Share

Bab 3-Talak Tiga

Penulis: Wahyu Hakimah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-06 15:22:24

Setelah berhasil membuang perhiasan milik Umik dan istrinya ke selokan yang masih di kawasan dalam pondok, Hamzah bergegas ke luar kamar. Di sana beberapa perewang—orang-orang yang membantu prosesi resepsi tampak berkerumun. 

"Tadi aku lihat. Ada bocah perempuan bawa seragam hitam putih. Bawa tas-tas para tamu. Tak pikir bocah sinoman," ujar Mbokde penjaga tas. 

"Bocah sinoman seragamnya biru telur bebek, Mbokde!" ujar satu suara sambil berdecak.

"Mbokde nggak ingat wajahnya?" tanya yang lain. Sepertinya ketua pemuda karena membawa walkie talkie.

"Bocah e ayu. Pakai lipen merah ungu. Namanya Menuk."

"Menuk?"

"Iya. Ngakunya Menuk gitu."

"Menuk itu, ya, Raihana Bunga.  Menuk itu julukannya waktu kecil. Soalnya dia gemuk ginuk-ginuk." Satu suara menyahut. 

"Sekarang cantik. Langsing. Apa, ya, singset lencir kuning. Tinggi semampai."

"Hust! Sudah-sudah! Bubar!" teriak Hamzah.

Ilham datang dengan tergopoh-gopoh. Suara lagu qasidah yang sejak tadi mengiringi suasana pagi menuju siang kini berganti dengungan suara para rewang yang saling bertukar cerita. Mereka saling bisik. Ada yang mengatakan bahwa itu karma karena menyakitkan istri tua. Karma? Orang Islam, kok, percaya karma. 

Ada juga yang mengatakan semua itu rekayasa lawan politiknya Hamzah. 

Maklum, Hamzah berhasil masuk Gedung Kuning karena kesalahan cetak surat suara sehingga terjadi pemilihan ulang. Saat itulah dari dewan pusat—seorang bekas reporter televisi konon memberikan transfer uang senilai satu milyar untuk mendulang suara dari pemilihan susulan. Dan, tara, Hamzah menjadi anggota dewan. 

Setelah menjadi anggota dewan, gaya hidupnya berubah. Hamzah tidak lagi cawe-cawe urusan pondok. Pak Kyai jadi kelimpungan. Istrinya Hamzah terlalu tradisional untuk tampil ke hadapan publik. Itulah kenapa dia memerlukan pendamping yang mumpuni. Bagi Hamzah, Bunga adalah sosok itu. 

Dia tidak melarang, jika suatu saat Bunga menyambung kuliahnya. 

Bunga meskipun bukan jebolan pondok, tetapi lumayan lanyah membaca Al Qur'an. Dia telah hafal tiga juz juga. Prestasi akademiknya moncer. Beberapa kali menjuarai olimpiade di bidang IPA dan IPS. Kenapa Hamzah tahu? Karena salah satu guru pembimbing Bunga di ekskul—ekstra kulikuler 'Bina Prestasi' adalah sahabatnya. Guru muda itu tidak henti memuji murid kesayangannya. Jangan lupakan juga soal paras rupa Bunga yang membuat hati para Adam berdegup tak karuan. Sejak saat itu, Hamzah mengincar Raihana Bunga Yasmin untuk dijadikan 'bunga' di hatinya. 

"Le, sini!" panggil Kyai Anwar. 

"Abah jangan membela perempuan yang sudah ingkar itu."

"Ayo, kita rembukan. Musyawarah. Ada apa sebenarnya."

Satu tangan Hamzah ada di pinggang. Satunya menuding pada sang mertua. "Saya pegat kamu, Raihana Bunga Yasmin dengan talak tiga. Detik ini, kita nggak ada hubungan lagi sebagai suami istri."

"Le! Sabar, ojo kesusu. Jangan tergesa-gesa dan gelap mata. Ayo diomong baik-baik." Kyai Anwar maju menenangkan anak bungsunya. Namun, Hamzah tidak bisa mundur lagi. Dia dipermalukan di hadapan para tamu. Jamaah pondok. Tamu kehormatan, terutama  teman-temannya dari Gedung Kuning. 

"Saya do'akan kamu nggak laku, Raihana! Jadi perawan tua seumur hidup!" Muntahan laknat keluar juga dari mulut Hamzah tanpa perasaan. 

"Astaghfirullah hal adzim," ucap Pak Kyai. Juga beberapa tamu berhampiran pelaminan. 

"Saya, terima. Sebagai orang tuanya, kami minta maaf," ujar Khosim. 

"Tentu saja. Selain mempermalukan saya, Ana juga mencuri," tuduh Hamzah. 

Pak Kyai dan kakak ipar Hamzah merangkul pria itu agar masuk ke dalam rumah utama. Di sana, tidak banyak orang-orang akan mendengar segala kemarahan Hamzah yang sudah diluar nalar. Meskipun marah, tidak seharusnya Hamzah melaknat istrinya. Mantan istrinya. 

"Mencuri? Mencuri apa? Anak saya jujur. Dia gadis baik-baik." 

Khosim gemetar. Matanya merah. Ada kilau yang hampir terpelanting dari kedua pasang mata yang kuyup kurang tidur itu. Dia telah salah untuk semua hal. Khosim teringat apa yang diucapkan putrinya seminggu yang lalu.

"Semua perempuan ingin seperti kamu, Ana. Punya suami yang memiliki tubuh tinggi tegap. Kulit bersih, jambang rapi, hidung bangir. Punya darah biru keturunan kyai. Trah pesantren."

"Semua perempuan? Darah biru? Apa jaminannya, Pak. Nuwun sewu, bagi Ana apa yang penting itu seorang yang hanif. Tidak meninggalkan sholat. Rasanya itu lebih dari cukup."

"Kamu itu bicara apa. Bapak hanya menujukkan kelebihan Mas Hamzah."

"Ana berhak menyelidiki kepribadian calon suamiku. Bagi, Ana dia itu ...."

"Apa, Nduk?"

"Pak, beliau itu anggota dewan. Duduk di komisi VIII, yang katanya membawahi masalah sosial, kebencanaan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Lha, Ana saja mau dinikahi siri. Apa, nggak salah," bantah Ana penuh amarah.

"Kalau dinikahi di KUA, awakmu mau?"

Bunga menggeleng. Dia tidak sampai hati. Dengan aib yang ingin dia beberkan. Kenyataan siapa Hamzah sebenarnya. Gedung Kuning itu mengubah sosoknya. 

 

 "Nduk. Bapak terpaksa ngomong. Minta tolong," ujar Khosim menggenggam tangan Bunga. "Masmu itu harus berurusan dengan polisi. Narkoba. Mas Hamzah sudah keluar uang banyak. Mengusahakan agar masmu direhabilitasi."

Bunga tunduk. Tangannya terkulai ke samping tubuh. Air mata pelan, tapi pasti berebutan turun di pipinya yang ranum. "Oh, ternyata itu."

"Mau, ya, Nduk, tolong Bapak sama Ibuk."

Bunga terisak lirih. Bahunya terguncang hebat. Inikah suratannya? "Ya."

"Kamu nggak akan menyesal. Bapak janji."

"Njih, Pak."

"Saya berdosa sama Abah. Sama Umik. Saya pikir, Ana itu benar-benar gadis baik. Sosok yang bisa membesarkan pesantren ini seperti harapan Abah sama Umik," rengek Hamzah.

"Sa—saya akan berusaha menasihati Ana." Pak Khosim bicara meskipun tersendat. 

"Saya sudah menjatuhkan talak. Dia lari sama pacarnya. Dia mencuri perhiasan milik Umik. Memang perhiasan itu tadinya akan saya berikan padanya. Tapi ...." Napas Hamzah naik turun. Dia terduduk lemas di kursi pengantin yang sedianya akan menjadi singgasananya, menjadi raja sehari. 

"Kasih minum," ujar satu suara. 

"Apa benar, Ana membawa kabur perhiasan, Bu Nyai?" tanya ibunya Bunga tidak percaya. 

"Ibuk nuduh saya memfitnah?" jawab Hamzah tak terima. 

"Bukan seperti itu. Tapi, Ana nggak punya pacar. Dia itu hanya fokus dengan sekolah."

"Pacaran tidak harus ketemuan. Bisa lewat ponsel, Buk. Hallo! Bisa saja, yang diajak bicara ada di Mesir, Korea, atau Jepang. Anak sekarang seperti itu." Hamzah masih saja mengarang cerita. 

Pertengkaran itu sudah reda. Namun,  Hamzah masih saja menumpahkan kekesalannya dengan memarahi pasangan Khosim. Tanpa mereka sadari ada beberapa pemuda pemudi sinoman yang menguping kegaduhan itu. Di antaranya adalah Ismail. Pemuda tanggung itu sempat merekam semuanya. Saat Hamzah mengucapkan talak dan laknat kepada Bunga. 

"Mosok, Ana nyuri, ya?" ujar teman satu kampung yang ikut menjadi tukang sinoman seperti Ismail. 

"Nggak mungkin. Aku tahu itu fitnah," bisik Ismail. 

Ismail lantas keluar lewat serambi bagian barat kemudian berbelok ke belakang. Di bagian belakang pondok memang ada gerbang kecil yang pintunya sedikit rusak. Terkadang Ismail disuruh ibunya mengantar galon air mineral atau gas dari sana. Usaha keluarganya memang toko runcit. 

"Angkat, dong," ucapnya sambil mendekap ponsel. Ismail berusaha menghubungi Bunga. Namun, panggilannya diabaikan begitu saja. Pemuda tanggung itu lantas mengirimkan rekaman berisi sumpah serapah dan talak untuk Bunga. 

Mail: Nyoh, vidio dari Mas Mantan. Nikmati hidupmu, Na. Ojo lali komisinya. Satu lagi, Na. Opo kamu maling perhiasannya, Umik?

TTD, Mail si pemimpin Punk-Saleh. Konspirasi tiada henti. 

Ismail mengakhiri pesan suara dan vidio pada sahabatnya. Ketika kakinya berhasil melangkahi selokan,  ada benda berkilau di antara air yang  tidak begitu jernih, tetapi tidak terlalu keruh itu. Air bercampur sabun. Benda berkilau itu seperti—perhiasan dari emas. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mimin Rosmini
jahatnya hamzah..ditinggal kabur istri malah nuduh nyuri.padahal dia sendiri yg buang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 66-Bapak Akhirnya Menyerah

    Bapak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sudah sejak tadi beliau meminta ke kamar mandi. Tidak cukup sekali. Berulang kali juga Mas Rohman—suami Mbak Hanik meminta Pak Khosim menggunakan fasilitas pitspot, tetapi pria tua itu justru menolaknya mentah-mentah.“Aku masih sanggup ke kamar mandi sendiri kalau awakmu nggak mau nuntun,” ujarnya ketus. “Kamu nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalimat terakhirnya ditujukan kepada Mbak Hanik. Itu sore tadi. Dari Ashar sampai selepas Isya. Selepas Isya, Bapak akhirnya menyerah karena bagian bawah tubuhnya sudah basah. Bapak tak lagi mampu mengontrol pipisnya. Bahkan Bapak seperti orang linglung. “Bapak kenapa nggak ngomong?” ujar Ibuk.Bapak diam saja. Memandang kosong ke depan. Mbak Hanik mengambil diaper dari tangan Bunga yang tadi diutusnya ke minimarket. “Basah semua, bau. Kulit Bapak juga bisa merah-merah,” ujar Mbak Hanik menambahkan. Sedikit geram. “Uwis, Han. Ojo mbok marahi terus bapakmu. Iku lagi ingat anak lanang. Si Nasir

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 65-Kesalahan Paling Konyol

    Bab 65-Kesalahan Paling Konyol Kesalahan apa yang dianggap paling konyol? Di saat jalan hidupnya seakan menyerupai telur di ujung tanduk setan, Alfian justru ingat satu hal. Satu hal konyol. Tentang orang pintar yang mendadak bodoh. Kebodohannya karena disebabkan lidah dan perut murahan yang tak bisa berkompromi. Namanya Anthony Gignac, pria yang akan tercatat sebagai orang yang membuat kesalahan paling bodoh sepanjang sejarah.Hampir separuh hidupnya dihabiskan dengan berpura-pura menjadi pangeran jutawan dari Dubai. Dia menamai dirinya "Pangeran Khalid Bin Al Saud". Nama Bani atau wangsa paling berpengaruh di jazirah Arab bahkan berhasil menegakkan sebuah empayar selama 4 abad lebih. Jadi, makhluk bernama Gignac memang terlampau percaya diri. Dia melakukan semua ini dengan satu tujuan, yaitu menipu para investor. Aksinya sudah cukup lama, dan mirisnya banyak pula investor yang percaya padanya. Bahkan diperkirakan dia menipu dan memanipulasi ratusan orang, dengan total kerugian

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 64-Sandiwara Sang Ipar

    Saat pintu dibuka, semua berebut untuk masuk ke dalam kamar. Satu yang sangat mencengangkan semua orang, kar itu dalam keadaan berantakan. Suasana sungguh berbeda dengan saat Alfian meninggalkan kamar itu beberapa waktu lalu. Sekitar setengah jam lalu yang kemudian dia tertahan di depan pintu, kemudian bergeser sedikit menjauh dari pintu karena aksi dorong dan jegal oleh Nasir. Kamar pengantin itu terlihat seperti habis dilanda tornado. Dengan bantal dan guling tercampak ke lantai. Sebagian sprei berwarna kuning gading itu terburai ke lantai seperti usus ayam keluar dari rongga perut. Kelopak mawar berhamburan ke seluruh sudut ruang.. Benar-benar dahsyat tornado yang berputar hanya di ruangan ini. “Di ma—na Zum-ra-tul?” Suara Bapak tersendat, terdengar cemas. Mereka semua mencari di setiap sudut ruangan kamar yang tak seberapa luas itu. 3x4 meter. Biasanya Zum duduk mencangkung di pojok ruangan atau di bawah jendela karena lelah mengamati lalu lalang orang-orang yang melintas. Zum

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 63-Noda di Hari Persandingan

    “Si—siapa kamu?”Alfian hampir mati berdiri saat melihat ada sosok yang berbaring di ranjang pengantin di kamar milik Bunga. Meskipun mengenakan brokat dengan warna sangat mirip dengan milik Bunga, dia tahu itu bukan baju pengantin yang tadi dikenakan istrinya. Sudah pasti sosok itu bukan Bunga. Istri kecilnya masih berada di luar. Sosok yang menguasai ranjang pengantinnya tampak meringkuk seperti bayi koala itu tertidur dengan mulut terbuka. Ada tetes liur yang mengalir deras dari sela bibirnya yang terbuka itu. Air liur itu menyirami tumpukan kelopak mawar di atas ranjang. “Ya Tuhan,” gumam Alfian. Sosok itu bergerak, dari tangannya yang terjulur tampak berjatuhan benda berbentuk bulat-bulat seukuran duku. Sosok itu ternyata menggenggam buah-buahan. Anggur dan pisang. “Hai,” sapanya lagi, kali ini Alfian bersuara sedikit keras. Sosok itu bangun mengucek matanya. Matanya sipit, dagu kecil, wajah bulat, dan batang hidung datar, bahkan dahinya seakan lebih menonjol dari hidupnya y

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 62-Pelaminan

    Kekhawatiran Bunga akan ada kekacauan tidak terbukti. Bahkan, kelebat Mas Hamzah pun tidak ada. Jadi, ketika acara hampir selesai digelar jelang Dzuhur, ada buncah kelegaan di sana. Seorang fotografer memberi arahan untuk sesi foto. Setelah selesai dengan sesi foto keluarga, kini giliran foto berdua khusus pengantin. “Jangan kaku begitu, Mbak Bunga.” Photografer memberi pengarahan. “Letak kedua tangannya di dada Mas e, dada nempel lagi. Iya, gitu. Lagi, dikit, terus wajah memandang ke arah angka tujuh, ya. Oke, siap! Satu, dua, ti ….”“Kamu deg-degan, ya?” tanya Alfian tersenyum lebar setelah sang fotografer berhasil membidikkan kameranya dan menghasilkan beberapa gambar. “Ngapain deg-degan. Malu aja, kan, dilihat orang banyak.”“Nggak usah malu-malu. Udah resmi ini.” Rupanya fotografer yang disewa itu mendengar celetukan Bunga. “Atau mau foto dengan latar khusus. Di candi misalnya. Saya bisa merekomendasikan tempatnya. Ayo, kapan.” Dasar tukang photo, gumam Bunga. “Ini udahan, ka

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 61-Sah!

    Bunga tertawa terbahak-bahak saat membaca pesan dari Alfian. Pesan yang berisi curhatan pria itu sehabis makan siang. Namun, sebelum acara makan, Alfian malah ditest soal bacaan sholat, doa, bagaimana taharoh yang benar, bagaimana mandi junub yang benar. Karena terus dibombardir pesan yang isinya keluh kesah, akhirnya Bunga memencet tombol hijau pada aplikasi pesan. Aplikasi berkirim pesan dan panggilan yang sederhana, aman, dan reliabel“Assalamualaikum, Mas Al …,” sapa Bunga masih dengan tawa berderai. “Wah, terus saja tertawa, Na.”“Iya, deh. Ana nggak tertawa lagi.” Bunga berusaha mendekat mulutnya. Namun, Bunga masih saja kesulitan menahan tawanya. Setiap dia ingat apa yang menjadi curhatan Alfian, Bunga sontak tertawa. “Mas maaf, aduh.”“Kamu, sih, hanya kasih bocoran tentang sholat. Ternyata semua ditanyakan sama bapakmu.”“Justeru syukur, Mas. Jadi Mas Al nambah ilmunya,” bisik Bunga sambil sesekali melemparkan candaan. Alfian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status