Share

Saya Tidak Menjual Diri

"Apa kegiatanmu sekarang, Nis?" tiba-tiba Sofia memberikan pertanyaan di luar dugaan. Nisa tertegun sesaat, menatap wajah Sofia yang terlihat begitu penasaran.

"Uhm, sebenarnya aku baru saja kembali dari suatu tempat. Tepatnya, aku baru tiba dua malam di kota ini. Temanku tidak seberapa banyak di sini. Namun, karena pertolongan dari salah seorang teman, besok aku sudah mulai bekerja."

Nisa mengatur nafasnya sesaat, dia tidak ingin terlihat sedang mengarang cerita atau apapun di hadapan Aldo. Yang terjadi saat ini, dia yang sekarang tidak akan mungkin bercerita lagi dengan Aldo.

Nisa harus memahami kondisinya sekarang, Aldo bukan lagi pacarnya. Itu jauh sudah lama berlalu.

Aldo terlihat menyimak setiap kata demi kata yang keluar dari mulut Nisa.

"Oya? Jadi, kau pergi kemana saja selama ini? Liburan, kuliah lagi atau ...?"

Jantung Nisa seakan berhenti sesaat, mendengar pertanyaan itu, seolah membangkitkan kenangan buruknya. Pertanyaan yang membuat nyambung kamu dan tak ingin dia mengeluarkan segala kesedihannya. Itu terasa sangat menyakitkan seperti sebuah luka yang disiram air garam.

"Ah, kira-kira seperti itu!" Nisa hanya bisa memberikan jawaban menggantung dan mencoba tersenyum di balik setiap dukanya.

"Dia sedang berbohong. Apa sebenarnya yang terjadi?" Hati Aldo berbicara kepo kembali.

Sofia pun menyadari ada yang ditutupi oleh Nisa. Dia hanya ingin membantu suaminya mencari informasi kepergian selama lima tahun belakangan ini.

"Apa itu menyenangkan? Bisa liburan dan berkeliling?" pancing Sofia lagi

Wajah Nisa sedetik berubah muram dan sedih, lalu dia mengangkat kepalanya dan tersenyum.

"Sangat menyenangkan, aku bahkan tidak akan pernah melupakan saat-saat itu. Semua yang terjadi, sangat berarti buat hidupku," ucap Nisa dengan bibir sedikit bergetar dan terasa sekali menahan menangis.

Sofia menyadarinya, dia langsung memberikan segelas air untuk menenangkan hati Nisa.

"Ah, sepertinya kamu akan menjadi sahabat terbaikku. Aku sangat senang bisa bertemu dan berkenalan denganmu, Nisa!" Sofia mengusap punggung lengan Nisa perlahan sambil tersenyum. Dia tak ingin kembali bertanya saat melihat semua kesedihan yang tergambar jelas dari pelupuk mata Nisa.

Nisa menatap wajah istri dari mantan pacarnya, "Terima kasih, Tuhan. Ada orang yang menggantikan posisiku dan menjaga Aldo jauh lebih baik dariku."

"Ayah, kita mau kemana lagi?" suara Nata memecah keheningan dan ketengangan mereka. Mata mereka langsung tertuju pada gadis berambut ikal tersebut. Nata sudah mulai bosan dengan memperlihatkan wajahnya yang cemberut.

"Aduh, Ayah sampai lupa ... kamu mau kemana lagi setelah ini, Tuan Putri?" Aldo berusaha membujuk putri kesayangannya yang sedang ngambek.

Mata Nisa menatap takjub seorang Aldo yang dulu sangat mencintainya, kini sudah berubah menjadi seorang ayah dan suami yang bertanggung jawab.

Tatapan mata Aldo begitu hangat dan perhatian. Dan Nisa melihat keduanya tengah merayu Nata yang sedang merajuk.

Tanpa sadar rasa haru menyelimuti kalbu Nisa dan air matanya meleleh begitu saja dipipi. Nisa sangat bahagia melihat Aldo dengan kehidupannya.

Nisa segera memalingkan wajahnya. Mengusap perlahan air matanya yang meleleh. Dia tak ingin Aldo ataupun Sofia salah paham dengan sikapnya.

Nisa tidak merasa cemburu atau menyesal, dia benar-benar sangat bahagia. Perasaannya terhadap Aldo sudah sirna jauh sebelum dirinya menghilang lima tahun itu.

"Tante Nisa, kapan-kapan main ya ke rumah Nata ya," ucap Nata sambil melihat ke arah Nisa.

Nisa menatap gadis cilik yang mengajaknya tadi dengan penuh kecerian. Sedangkan kedua orang tuanya sangat heran. Bagi mereka Nata bukanlah anak yang mudah membuka diri dan bergaul dengan anak seusianya.

"Ayah, Bunda, Tante Nisa, boleh kan main ke rumah?" ucap Nata lagi karena belum memperoleh jawaban dari Nisa.

"Tentu saja boleh dong, apapun asalkan Tuan Putri senang," sahut Aldo gemas sambil menarik hidung mungil Nata perlahan.

"Iya, Nata. Nanti kapan-kapan tante Nisa main ke rumah." Nisa memberikan jawaban yang diinginkan Nata. Nata menghampiri Nisa dan mengarahkan kedua tangannya, meminta dipeluk.

"Janji ya tante, tante nggak boleh ingkar dengan Nata," ucap Nata berbicara di pelukan Nisa.

"Iya Nata sayang, tante janji!" Nisa mengikat janji kelingking karena Nata menyodorkan jari kelingkingnya.

"Astaga, Nata sungguh menggemaskan. Semoga aku pun bisa segera mendapatkan keluarga yang bahagia seperti Aldo." Batin Nisa kembali berbicara menatap haru kebahagiaan keluarga kebahagiaan kecil mereka.

"Kami pamit dulu ya, Nis!" Sofia berpamitan sambil memeluk Nisa. Aldo berjabat tangan lalu mereka pergi dengan Nata yang berada di tengah gandengan mereka.

"Huh, ternyata sangat menyenangkan melihat keluarga utuh." Kembali Batin Nisa masih berkomentar.

Nisa baru saja akan beranjak dari tempat duduknya ketika seorang pelayan menghampiri meja makannya.

"Nona, ini pesanan yang akan dibawa pulang!" ucap pelayan tadi memberikan dua kantong paper bag.

Nisa membuka paper bag yang berisi beberapa kotak makan yang akan dibawa pulang. Nisa menautkan alisnya, bahkan dia tidak memesan untuk makanan itu.

"Hurf, Aldo masih saja tetap perhatian. Untung Sofia bukan tipe wanita yang mudah cemburu dan terprovokasi."

"Terima kasih." Pelayan tadi mengangguk dan pergi.

Nisa berjalan keluar membawa dua paper bagi tadi, berbarengan dengan mobil Leon yang sedang berhenti kembali di lampu merah. Leon kembali menyadari sosok Nisa dari kursi penumpang, Leon berencana bertemu klien meskipun di hari libur.

Tanpa pikir panjang, Leon yang tak ingin kehilangan jejaknya. Membuka pintu mobil, dia bertekad tidak akan melepaskan Nisa begitu saja.

Seseorang mencengkram tangan Nisa tiba-tiba. Tatapan matanya penuh dengan kemarahan juga kebencian.

Nisa menarik wajahnya, melihat perlahan wajah orang yang sedang mencengkram nya dengan erat. Sosok itu terasa kabur dimata Nisa, bahkan dia tak mengenal orang di hadapannya.

"Kemana saja kamu pergi, hah? Aku terus mencarimu!" suara bariton penuh penekanan juga keras keluar dari mulut lelaki tadi membuat Nisa bingung.

"Aw, sakit!" Nisa meringis. Paper bagnya terjatuh karena guncangan hebat dari lelaki tadi.

"Katakan padaku, kamu pergi kemana!!" Hardik laki-laki tadi kembali membuat Nisa bertambah bingung.

"Ma–ma–maaf, Tuan mungkin anda salah orang!" Nisa bersikeras tidak mengenal laki-laki tersebut.

"Apa maksudnya? Dia sedang berpura-pura? Dia bahkan melupakanku." Leon sewot sendiri di dalam hatinya.

Laki-laki bertubuh besar itu menatap Nisa dipenuhi kemarahan. Dia merasa Nisa pura-pura tidak mengenalnya.

"Tuan, lepas!" Nisa menghempaskan tangan laki-laki tadi, berjongkok akan mengambil paper bagian makanan, tapi, brak, brak.

Makanan tadi sudah di injak-injak oleh kaki Leon membuat Nisa bahkan Bisma yang sudah memarkirkan mobilnya mengejar tuannya yang selalu tiba-tiba saja melarikan diri akhir-akhir ini, membulatkan kedua mata mereka.

"Arghh. Kamu!" teriak Nisa.

Plak!

Nisa spontan melayangkan satu tamparan di pipi Leon, membuatnya terkejut dan mengepalkan kedua tangannya. Nisa sedih melihat makanan tadi sudah berserakan dan tak berbentuk.

"Ada apa Tuan, apa salahku, hah? Aku sudah bilang, aku tidak mengenalmu? Kenapa kamu malah menginjak-injak makananku!" Nisa tidak terima dirinya diperlakukan kasar oleh laki-laki itu.

"Berapa hargamu? Katakan!!" ucap Leon dengan santai sambil mengeluarkan isi dompetnya, lalu melemparkan banyak lembaran uang kertas ke wajah Nisa.

Ini pertama kalinya Nisa merasa direndahkan. Hatinya terkoyak. Bagaimana bisa ada orang yang begitu saja menanyakan harga dirinya dengan sangat enteng. Di saat dia sedang merasa kesulitan dengan keuangan.

Nisa menggeleng hingga tanpa sadar air matanya mengalir begitu saja. Entah kenapa kata kata tadi sangat mengusik hatinya.

"Maaf, Tuan, anda salah orang. Saya tidak menjual diri!" ucap Nisa dengan sorot kekecewaan langsung meninggalkan Leon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status