Wirya baru saja keluar dari kamar mandi dan tak melepas sedetik pun waktunya dalam memusatkan atensi pada sosok Latri yang tengah duduk di atas kasur.
Punggung wanita itu menyandar santai di kepala tempat tidur dengan kedua kaki lurus ke depan. Walaupun, Latri tampak serius manakala sedang melakukan aktivitas membaca, tapi menurut Wirya istrinya tetap terlihat cantik.
Dan saat mata mereka berdua saling bersirobok, tatapan pria itu segera menajam, terlebih ketika dihadapkan dengan sepasang manik cokelat milik Latri yang tak memancarkan cinta untuknya. Ia memilih memerlihatkan sikap dingin kemudian.
"Ibu tadi datang ke sini."
"Aku sudah tahu." Wirya menyahuti pemberitahuan dari istrinya dengan nada datar dan memutuskan sepihak kontak mata di antara mereka.
Pria itu lantas berjalan menuju lemari pakaian yang letaknya di seberang tempat tidur. Wirya tahu bahwa Latri masih memerhatikan dirinya. Namun, disaat dalam keadaan hati memanas, ia tidak ingin peduli. Semua hanya akan membuatnya semakin menaruh perasaan pada wanita itu.
"Wi ...," Latri menggumamkan nama panggilan suaminya dengan cukup lirih. Sedikit sungkan untuk memulai obrolan.
Sementara, Wirya tak langsung ingin menanggapi. Walaupun mendengar sangat jelas suara sang istri yang baru saja menyebut namanya. Wirya lebih dulu mengambil sebuah kaus oblong warna hitam dari dalam lemari, lalu dikenakan.
Dan dikala Wirya telah membalikkan badan, setelah sempat membelakangi istrinya tadi. Ia pun masih mendapati sorot mata yang sama dari Latri dan tetap terarah padanya. Alhasil tatapan Wirya semakin menajam. Sungguh, ia tak pernah suka dipandang dengan cahaya yang redup oleh sepasang mata indah istrinya.
"Ada apa, Latri? Apa Ibu bicara yang menyakiti hatimu lagi?" tanya Wirya to the point. Bukan menjadi rahasia yang tidak pernah diketahuinya jika perlakuan dari sang ibu acapkali tak mengenakan pada Latri.
"Bukan, Wi. Ada masalah lain."
"Masalah apa?" Kali ini Wirya kembali menanggapi dengan cepat.
"Ibu bilang akan menyiapkan dokter spesialis kandungan khusus untukku."
Ketika bisa menangkap kekhawatiran yang kini terlihat di kedua mata Latri, Wirya mampu mengartikan dengan baik maksud dari perkataan wanita itu barusan. "Aku bisa mengaturnya."
"Sampai kapan kebohongan ini akan terus dilanjutkan?"
Selepas mendengar pertanyaan Latri yang menyelipkan nada keengganan kentara, maka seringaian di wajah Wirya tercipta. Sedangkan, kaki-kaki pria itu melangkah dengan cepat mendekati tempat tidur. Tatapan mata yang tajam tak dilepaskannya dari sosok sang istri.
"Kita berdua tidak harus melanjutkan kebohongan ini, kalau benar-benar mengandung anakku, Latri." Wirya berujar santai. Akan tetapi, terdapat penekanan di setiap kata.
Sesuai dugaannya, Latri pun tidak membalas dan hanya memalingkan wajah ke arah lain. Seringaian Wirya kian tampak jelas di wajahnya, cukup bertolak belakang dengan rasa sakit yang hadir di dada pria itu.
"Kenapa, Sayang? Bukannya sudah jadi hal wajar kalau anakku pantas tumbuh di rahim kamu, Latri?"
Wirya masih senantiasa menatap dua mata istrinya, meski wanita itu tidak menginginkan mereka berdua saling beradu pandang. "Kita juga sudah satu bulan lebih menikah. Tapi, kamu cuma menemaniku tidur di ranjang yang sama."
"Kapan kamu akan menjalankan tugas sebagai istri dalam melayaniku di atas tempat tidur, Sayang?" Wirya bertanya secara terang-terangan.
"Apakah kamu masih menginginkan wanita yang pernah menghabiskan malam bersama mantan suaminya?"
Decakan sinis pun dikeluarkan Wirya selepas Latri melontarkan pertanyaan sebagai serangan balik padanya. "Ck, kenapa tidak, Sayang? Aku tidak terlalu mempermasalahkan jika kamu tidur dengan mantan suamimu, Latri. Dulu aku juga pernah menghabisakn malam bersama wanita lain. Kita setimpal. Tapi sekarang, aku hanya ingin menghabiskan malam-malam yang indah denganmu."
"Aku mungkin akan menguranginya setelah minimal bisa membuat kamu hamil anakku, Latri. Apa kamu setuju, Sayang?" Wirya belum berniat untuk berhenti menyerang istrinya dengan pertanyaan yang terkesan dinadakan secara arogan.
Dan tanpa menunggu jawaban dari Latri, Wirya segera mendekatkan tubuhnya guna semakin mengikis bentangan jarak yang masih tersisa di antara mereka berdua. Seringaian sinis tak menghilang dari wajahnya.
Tangan kanan Wirya juga cepat-cepat menarik paksa tengkuk Latri, lalu melumat kasar dan menuntut bibir wanita itu yang terkatup rapat. Wirya turut membaringkan tubuh Latri di atas kasur selepas tidak mendapatkan perlawanan dalam bentuk apa pun.
"Ap...apa semua ini akan dapat membuat kamu merasa bahagia dan puas, Wi?" gumam Latri sangat pelan disela-sela ciuman Wirya yang kian liar di lehernya.
"Aku akan semakin bahagia jika kamu bisa mencintaiku, Sayang. Menjadi milikku secara utuh."
.................
Rasa kantuk sedikit pun belum juga menghampiri Latri, meskipun hampir seluruh bagian tubuhnya terasa cukup lelah setelah apa yang Wirya lakukan malam ini sebagai seorang suami. Ia sama sekali keberatan melayani pria itu, karena telah menjadi bagian dari kewajibannya selepas mereka berdua resmi menikah.
Lagipula, Wirya memperlakukan tadi dirinya dengan begitu lembut, tanpa ada paksaaan. Meski pada awalnya, pria itu sempat menunjukkan rasa amarah dan sedikit kekasaran. Watak Wirya memang keras serta mudah terbawa jika sudah marah. Tapi, Latri tahu benar bahwa Wirya ingin selalu membuat ia nyaman. Termasuk saat menyentuhnya.
"Aku mencintaimu, Sayang. Bisakah beri aku kesempatan?"
Latri memilih memejamkan kedua mata barang seperkian detik, tatkala ucapan Wirya tergiang-giang kembali di telinganya. Suara berat milik pria itu yang didominasi nada ketulusan membuatnya tidak dapat begitu saja memberlakukan pengabaian.
"Kenapa, Latri? Kenapa kamu suka menyiksaku dengan perasaan yang rasanya sakit ini?"
Rasa sesak bersemanyam cepat di dada Latri ketika ucapan lain Wirya mengusiknya. Jika boleh berkata jujur, ia masih cukup sulit membuka hati untuk Wirya sampai kini. Walau, kebersamaan dalam status sebagai pasangan yang bertunangan karena perjodohan telah disandang mereka selama bertahu-tahun.
Latri pun sangat sering menerima bukti dari perasaam Wirya, baik perbuatan atau perlakuan pria itu. Namun, hanya memiliki rasa sayang pada Wirya. Banyak alasan yang melatarbelakangi dan mengakibatkan Latri belum mampu memberikan cinta secara utuh untuk Wirya, bukan hanya karena perasaan wanita itu masih terikat pada mantan suaminya.
"Apa yang menyebabkan kamu belum tidur, Latri?"
Berbarengan dengan pertanyaan yang dilontarkan Wirya dalam nada dingin, maka Latri juga tak merasakan lagi keberadaan lingkaran tangan pria itu di pinggangnya. Dan disaat mereka harus saling bersitatap, ia kemudian hanya memperoleh sorot mata Wirya yang seakan mengintimidasi.
"Aku tidak apa-apa, cuma belum mengantuk saja," jawab Latri tenang. Tak ingin menimbulkan kecurigaan.
Keterkejutan seketika langsung melanda Latri, sedetik pasca Wirya menarik tubuhnya yang ditutupi oleh selimut dan tidak memakai sehelai benang pun. Alhasil, bentangan jarak segera mereka terkikis. Latri tak bisa berkutik manakala Wirya memangut bibirnya, ia diam. Dan tak lama, pria itu mengakhiri ciuman mereka.
"Aku tahu kamu tidak sudi atau suka melakukan ini denganku." Nada suara Wirya terdengar kian terdengar dingin.
"Tidak seperti itu, Wi," balas Latri membantah tuduhan suaminya.
"Aku tidak akan senang mendengar kebohongan kamu."
Latri tahu Wirya tidak akan mudah memercayai perkataannya. Tapi, ia ingin meyakinkan pria itu "Tidak, Wi. Aku tidak berbohong, Aku sama sekali tidak keberatan. Cum--"
"Cuma apa? Aku kurang hebat dari mantan suamimu? Benar?" Sindiran dikeluarkan Wirya secara terang-terangan.
"Bisa kita tidak membalas Arsa? Aku sudah ingin melupakan dia. Tolong mengerti, Wi." Latri meminta dengan serius. Setetes air matanya jatuh yang diakibatkan oleh hantaman rasa sesak semakin besar di dalam dada.
"Ck. Sampai kapan aku harus terus mengerti dirimu, Latri? Kamu tidak akan mungkin dapat melupakannya. Kamu tidak pernah cinta padaku."
"Aku akan belajar mencintaimu jika itu yang kamu mau, Wi," balas Latri cepat tanpa ragu. Wanita itu lantas mempertemukan bibir mereka sambil memejamkan mata rapat-rapat. Latru ingin sang suami bisa percaya, walau ia tak yakin dengan dirinya sendiri.
"Latri tidak hamil, Bu. Aku sengaja berbohong supaya bisa menikahinya segera. Aku minta maaf, Bu." Wirya mengakui kesalahannya di hadapan sang ibu. Sorot penyesalan terpancar jelas pada mata pria itu, walaupun di wajahnya tercetak ekspresi datar. "Ibu sudah menduga kamu hanya berbohong, Nak." tanggap Ibu Ratna dengan peringai yang tenang. Tidak terlihat marah selepas mendengar kejujuran yang diutarakan oleh putra sulung beliau. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Bu. Tolong Ibu jangan marah pada Latri. Dia hanya mengikuti alur dari permainanku saja." Wirya meminta secara halus. Bukan tak mungkin jika nanti sang ibu akan melampiaskan amarah ke istrinya. Ia tentu tidak menginginkan semua sampai terjadi. Wirya mengetahui benar bahwa rasa tidak suka hadir dalam diri ibunya untuk Latri dari dulu, sejak mereka bertunangan. Bahkan, restu dari sang ibu belum sepenuhnya bisa diperoleh. Tapi, Wirya tetap pada pendirian dan tak menyerah mempertahankan Latri. "Apa I
Wirya hanya menggunakan Senin hingga Sabtu mengurus pekerjaan kantornya. Dan setiap hari Minggu, ia akan menghabiskan waktunya di rumah bersama Latri. Wirya sudah terbiasa untuk menemani istrinya melakukan serangkaian latihan fisik dalam proses fisioterapi yang tengah dijalani. Wirya memang sengaja memanggil beberapa terapis terbaik sejak dua bulan lalu ke rumah guna membantu Latri. Ia juga membeli sejumlah alat-alat terapi dan gym yang dapat membantu wanita itu selama masa penyembuhan. Wirya mendukung secara penuh keinginan sang istri untuk sembuh dan bisa berjalan lagi tanpa operasi. "Aku bisa, Wi," ucap Latri disertai senyuman cukup lebar disaat melihat sorot kekhawatiran di sepasang mata sang suami yang berdiri di depannya. Wanita itu sendiri sedang berada di tengah-tengah paralel bar, melatih kakinya berjalan. "Tidak, aku tetap mengawasi di sini. Hati-hati melangkahnya su—" Wirya belum sempat menyelesaikan kata-kat
Pak Indra menikmati secangkir kopi hitam hangat yang beberapa menit lalu baru disajikan oleh asisten rumah tangga di kediaman putra sulung beliau. Raut ketenangan terlihat nyata di wajah Pak Indra, meski tidak ada senyuman terbentuk di sana. Hari ini, beliau memang sengaja mempersiapkan waktu khusus untuk bertandang, selepas tiba dari Jepang kemarin malam. Pak Indra ingin tahu mengenai kondisi calon cucu pertama beliau yang sedang dikandung sang menantu. "Bagaimana kabar kalian berdua dan calon cucu Ayah? Kalian sudah tahu jenis kelaminnya?" tanya Pak Indra dengan menyelipkan keantusiasan cukup tinggi dalam suara beliau. Latri dan Wirya yang sedang duduk berdampingan pun lantas sama-sama menampakkan ekspesi ketegangan di wajah, selepas mendengar pertanyaan dari Pak Indra. Terutamanya Wirya yang mulai dilanda sekelumit rasa bersalah akibat kebohongannya sendiri. Dan pria itu telah bertekad akan mengatakan kejujuran.
Ketidakpercayaan masih sangat Latri rasakan, ia bahkan ingin menyangkal hasil dari pemeriksaan dokter yang menyebutkan jika dirinya sedang hamil empat bulan. Latri pun jarang memerhatikan siklus menstruasi yang kerap tak menentu. Ia enggan memusingkan. Dan seingatnya, terakhir datang bulan memang sudah lama. Sungguh semua ini diluar prediksi yang pernah Latri pikirkan. Andai tadi ia tidak pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, mungkin keberadaan calon anak mereka tak akan diketahui secara cepat. Latri tentu bersyukur dan merasa bahagia akan menjadi ibu lagi setelah keguguran yang sempat ia dialami beberapa tahun lalu. Latri juga ingin segera memberi tahu Wirya perihal kehamilannya, namun hampir lima hari belakangan pria itu tak menghubunginya. Latri mengira suaminya sedang cukup sibuk dengan sejumlah agenda dalam perjalanan bisnis di luar negeri. Sudah selama dua bulan lima hari lamanya Wirya tidak pulang, menyisakan 25 hari hingga akhirnya pria itu bisa kemba
Wirya belum pernah menginginkan sesuatu sampai harus mengorbankan harga dirinya yang tinggi. Akan tetapi, ia bahkan sangat rela untuk berlutut di hadapan ibunya semata-mata demi mengetahui keberadaan Latri yang tak kunjung ditemukannya. Wirya sudah berupaya melakukan pencarian, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Kefrustrasian kian menggeroti diri pria itu. "Tolong, Bu. Tolong katakan kemana Latri pergi sebenarnya. Aku mohon, Bu," pinta Wirya sungguh-sungguh. Ia telah kehabisan cara mendapatkan informasi dimana istrinya berada kini. Dan Wirya sangat yakin jika sang ibu tahu tentang semua ini tanpa sedikit pun menaruh curiga bahwa ibunyalah yang ternyata merencanakan secara matang perpisahan mereka. Wirya tak berpikir sejauh itu. Kepercayaan pada ibunya masih begitu ada. Ia tidak berburuk sangka. "Bangun, Nak." Wirya bergeming saja saat sang ibu membantu dirinya berdiri, kemudian dibimbing duduk di atas sofa ruang tamu. Pria itu tak berda
Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab. Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda. Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan. Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung. "Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?" W
================================ Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama. Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya. Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya. Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal. "Aku minta maaf, Latri
Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya. Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang. "Belum mengantuk, Nak?" Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah mem