“Kamu diantar pulang sama Nak Denis, Nduk?”
“Njih, Bu.” “Kok bisa ketemu?” Aku mengangkat bahu. “Gak sengaja, tadi waktu mau pulang ketemu Mas Denis, terus diantar.” Aku sengaja tidak menceritakan bagian aku yang hampir terserempet kendaraan saat berjalan hingga ditolong oleh Mas Denis. Aku tidak mau, Ibu menjadi khawatir denganku. “Bukannya ini masih jam kantoran?” tanya Ibu kembali. Aku kembali mengangkat bahu, meskipun otakku ikut penasaran dan memikirkan apa yang dikatakan oleh ibu. ‘Gak, gak! Gak mungkin, kan, kalau Mas Denis memang sengaja di depan Pengadilan Agama karena tahu aku mau ke sana? Mana peduli Mas Denis sama aku? Pasti tadi sungguhan tidak sengaja,’ batinku tidak berani berasumsi lebih. “Ya sudah lah. Ibu cuma bisa bantu doain kamu, mudah-mudahan dapat jalan takdir yang terbaik.” “Aamiin. Matur nuwun, Bu. Doa dan restu Ibu justru yang paling utama untuk saat ini.” Aku pun kembali ke kamar setelah berbincang singkat dengan ibu. Aku ingin merebahkan badan yang letih, tetapi pikiranku yang masih ramai membuatnya tidak nyaman untuk sekedar istirahat. Aku kembali bangun dan mencari berkas di laci meja. “Aku harus cari kerjaan lagi. Setelah pisah dari Mas Denis, aku harus punya penghasilan sendiri lagi, supaya tidak menjadi beban tanggungan Bapak sama Ibu,” gumamku lirih. Sebenarnya aku bisa saja kembali ke kantorku bekerja sebelumnya. Kinerjaku yang cukup lama disana dengan reputasi yang baik, seharusnya bisa membuatku diterima kembali bekerja dengan mudah. Hanya saja, ada perasaan takut ditanya rekan-rekan disana mengenai pernikahanku dengan Mas Denis. Jujur saja, aku tetap merasa malu jika ada orang terdekatku tahu jika aku harus menjadi janda secepat ini. Aku belum cukup siap untuk diperbincangkan atau justru dikasihani. Untuk itu, aku pikir bekerja dan mendapatkan lingkungan baru akan jauh lebih baik untuk sekarang. “Apa aku cari lowongan kerja luar Jogja aja, ya?” Memulai hidup baru, di tempat baru, terdengar lebih menjanjikan. Mungkin aku juga bisa lebih mudah melupakan Mas Denis dan kebersamaan kami yang singkat ini. Aku pun membuka internet dan mencari aplikasi-aplikasi yang biasanya menyediakan banyak lowongan pekerjaan dari berbagai profesi di banyak kota. Aku pilih saja berdasarkan dengan kemampuan dan keinginanku. Mencoba memasukan beberapa lamaran secara random sesuai dengan instingku. “Bismillah, semoga Tuhan berikan yang terbaik buat jalan hidupku.” Untuk mengisi kekosongan, aku membantu Risa membuat kue dan menitipkannya ke warung-warung. Sejak dulu, Risa memang tidak suka kerja di tempat orang. Dia lebih suka berwirausaha, dan yang sedang digelutinya sekarang adalah jualan kue. Cukup menyenangkan juga, karena dengan begitu, aku jadi punya kegiatan positif selama menunggu surat gugatanku diproses Pengadilan Agama yang katanya bisa sampai satu bulan sendiri prosesnya. “Kamu jadi masukin surat gugatan cerai ke Mas Denis, Mbak?” “Iya jadi. Kemarin Mbak udah ke Pengadilan Agama.” “Gak mau dipikir-pikir lagi? Aku lihat pas Mas Denis kesini sama mamanya waktu itu, tatapan Mas Denis ke Mbak berbeda, lho. Dalam gimana gitu.” “Masa sih? Tapi dia gak bilang apa-apa juga ke Mbak. Malah cuma ngasih dokumen yang Mbak butuhkan buat ke pengadilan. Jadi, asumsi Mbak, ya, dia memang sudah siap pisah dari Mbak, Risa.” “Aku juga gak tau, sih, Mbak. Cuma …, ya, sebenarnya sayang aja kalau Mbak Dila sama Mas Denis harus pisah. Padahal sebenarnya kalian cocok. Mas Denis juga baik, kan?” “Baik aja gak cukup buat Mbak, Risa. Mbak juga ingin dicintai sama suaminya Mbak.” “Iya, iya. Risa tau, Mbak. Risa bantu doain aja apa yang terbaik buat Mbak Dila dan Mas Denis.” “Nah, gitu, dong. Itu yang paling penting.” Diam-diam, aku penasaran dengan perkataan Risa. Apa benar, Mas Denis punya tatapan dalam kepadaku saat kemarin ke rumah? Entah mengapa, aku sangat berharap akan hal itu. Seandainya, Mas Denis memang mulai ada rasa padaku. Aku sampai tidak sadar melamun beberapa saat hingga ditegur Risa. “Udah, daripada cuma penasaran sampai dilamunin, mending besok pagi bantu aku setor kue ke rumah Mas Denis aja. Kali aja kalau berangkatnya pagi, bisa ketemu sama Mas Denis sebelum kerja.” Aku terperanjat mendengarnya. “Maksudnya?” “Mbak Dila gak tau, kalau toko kelontong di rumahnya Mas Denis, diteruskan sama Mak Ijah? Makanya aku masih diminta buat isi kue di toko.” Aku menggeleng sebagai jawaban. Aku memang tidak tahu, karena saat Mas Denis ke rumah, dia tidak membicarakan apa-apa tentang itu. Mak Ijah adalah orang yang biasa ikut kerja di keluarganya Mas Denis. Dulu, beliau adalah asisten rumah tangga di rumah orang tua Mas Denis. Hanya saja, sekarang sudah digantikan dengan yang lebih muda supaya lebih gesit dan cekatan. Jadinya, Mak Ijah hanya dipanggil sesekali jika dibutuhkan tenaga tambahan. “Jadi gimana? Mau gak besok antar kue ke rumah Mas Denis?” goda Risa dengan mengedipkan mata ke arahku. Aku masih diam saja. Kalau boleh jujur, tentu saja aku sangat ingin. Akan tetapi aku juga malu untuk mengakuinya di depan Risa. Belum lagi, aku juga takut jika keinginanku ini akan keterusan menjadi harapan semu. “Ayolah, Mbak. Bantuin! Aku besok full banget jadwalnya. Harus antar pesanan acara temanku juga,” bujuk Risa yang kebetulan orderan kuenya untuk besok memang banyak. Karena dipaksa oleh Risa, akhirnya aku pura-pura setuju dengan terpaksa. Padahal, hatiku berbunga-bunga karena punya kesempatan untuk bertemu atau setidaknya melihat sekilas Mas Denis saat berangkat bekerja. “Iya, udah, iya. Besok Mbak yang antar kue ke rumah Mas Denis.” “Nah, gitu dong, Mbak. Bantuin adiknya gak boleh setengah-setengah. Harus totalitas,” balas Risa sambil terkekeh. “Bawel!” ketusku sambil menyembunyikan senyum. “Bawel-bawel, tapi baik kan?” goda Risa lagi. Akhirnya aku dan Risa bercanda dengan saling mengoleskan tepung ke wajah satu sama lain hingga dapur makin berantakan atas ulah kami berdua. Ibu yang melihat dari ambang pintu dapur saat mendengar keributan hanya bisa menggelengkan kepala tanpa melerai atau menyudahinya. Baru saat tiba malam harinya, aku sampai tidak bisa tidur karena tidak sabar menunggu esok untuk mengantar kue ke rumah Mas Denis. “Apakah besok akan berjalan sesuai dengan ekspektasiku?”Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku?
”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok.
“Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa
Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat. “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi. Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa. “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah. Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?" Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa." Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan
[Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat. Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se
“Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu