Menikah dengan seorang duda yang ditinggal mati oleh mendiang istrinya ternyata tidak mudah. Benarkah cintanya sudah habis untuk mendiang istrinya? Seumur hidup terlalu lama untuk dinikahi oleh seseorang yang tidak bisa mencintai diri kita sebagai seorang istri. "Ceraikan aku, Mas!"
View More"Kamu bikin sarapan nasi goreng pakai kecap?" tanya Mas Denis, suami yang belum lama ini menikahiku.
"Iya. Kamu gak suka nasi goreng pakai kecap, Mas?" Aku memang belum mengetahui banyak hal tentangnya. Kami hanya sempat dekat dan saling mengenal sekitar tiga bulan sebelum melangsungkan pernikahan. Karena aku yakin dia pria baik-baik, maka aku pun tidak ragu saat menerima lamarannya di depan kedua orang tuaku. "Suka kok. Cuma biasanya mendiang istriku kalau bikin nasi goreng untuk sarapan, gak pernah pakai kecap. Beda lagi kalau bikin nasi gorengnya buat makan malam. Baru dikasih kecap." Dahiku mengernyit. 'Terus maksudnya aku harus meneruskan kebiasaan almarhumah istrinya, gitu?' batinku yang ternyata tidak mampu kulisankan di depan Mas Denis. Aku memang dinikahi oleh seorang duda tanpa anak. Istri pertama Mas Denis meninggal dua tahun yang lalu. Selama dua tahun ini, yang kudengar Mas Denis pun tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Aku sempat merasa tersanjung karena bisa membuatnya 'move on'. Meskipun kini aku meragu sendiri. Benarkah suamiku sudah selesai dengan cinta masa lalunya? Benarkah dia sudah melupakan mendiang istrinya? Apakah aku benar-benar ada di dalam hatinya? Aku sungguh sangsi mengenai hal itu. "Maaf. Aku gak bermaksud untuk membandingkan masakan kalian. Aku tadi refleks bicara seperti itu," ujarnya terlihat tidak enak hati. Mungkin karena melihatku terdiam dalam beberapa saat. "Gak apa-apa, Mas. Aku paham. Aku bisa kok bikin nasi goreng tanpa kecap buat pagi hari, dan pakai kecap kalau malam hari. Gampang buatku," putusku kemudian. Mengalah seperti biasa jika Mas Denis sudah mulai membandingkan kebiasaanku dengan kebiasaan mendiang istrinya. "Makasih, Dik. Kamu memang istri yang baik," pujinya. Sayangnya, pujian itu tidak cukup membuatku tersanjung. 'Baik aja gak cukup, Mas. Kalau aku gak bisa jadi wanita yang benar-benar kamu cintai, sedangkan aku sudah sah menjadi istrimu.' Aku sama sekali tidak menyangka jika menikah dengan pria yang ditinggal mati istrinya akan serumit ini. Dia memang baik, sangat baik mungkin. Akan tetapi, aku merasa selalu kurang jika sudah mengenai perasaan. Kurasa, Mas Denis tidak pernah benar-benar mencintaiku. Mungkin cintanya sudah habis di orang lama. Bersamaku, Mas Denis hanya sekedar melanjutkan hidup saja. Dan aku? Apakah aku mampu bersaing dengan orang yang sudah mati? "Mbak, kok udah melamun aja, sih, pagi-pagi," tegur Risa. Adik perempuanku itu memang setiap pagi datang untuk menitipkan kue buatannya. Aku membuka warung kelontong di depan rumah setelah Mas Denis berangkat bekerja. Sejak menikah dengan Mas Denis, aku diminta untuk resign dari tempat kerjaku yang kantoran. Mas Denis ingin aku menjadi ibu rumah tangga dan tidak lagi bekerja di luar rumah. Semua kebutuhanku setelah menikah ditanggung olehnya. Namun, aku yang terbiasa mandiri dan punya penghasilan sendiri memaksa untuk diperbolehkan membuka warung dengan dalih untuk mengisi kesibukan semata. Beruntung Mas Denis mau mengizinkan meski syarat dan ketentuan yang menyertai tidak hanya satu dua hal saja. "Siapa yang melamun? Orang aku lagi mikirin barang warung apa aja yang udah habis. Jadi besok bisa langsung belanja sama Mas Denis." "Keh! Dikira aku percaya apa, Mbak?" Usiaku dengan Risa hanya selisih dua tahun. Kami sudah biasa sama-sama sejak kecil. Jadi tidak heran lagi jika dia paling mengerti gelagat tidak biasa yang tanpa sengaja kubuat. Bahkan tanpa aku bercerita panjang lebar padanya, aku yakin dia pasti sudah tahu jika aku sedang meresahkan sesuatu. "Apa ini masih tentang mendiang istrinya Mas Denis?" tebaknya begitu tepat sasaran. Aku mendesah lirih. Tadinya aku tidak ingin banyak mengeluh sekalipun pada adikku sendiri. Namun, tidak bisa dipungkiri, hanya kepadanyalah aku merasa nyaman untuk bercerita. "Gimana, ya, Dik? Mas Denis kayaknya gak bisa lupain almarhumah Mbak Indah, deh. Aku mulai capek ngikutin kemauan Mas Denis yang seakan pengen aku jadi seperti mendiang istrinya. Aku kayak gak bisa jadi diri sendiri kalau ngikutin maunya Mas Denis terus," keluhku. "Mbak pernah protes atau bilang terus terang sama Mas Denis gak? Kalau sebenarnya, Mbak Dila itu keberatan kalau apa-apa harus mengikuti kebiasaannya almarhumah Mbak Indah?" Aku menggeleng pelan. Selama ini aku memang tidak pernah protes pada suamiku. Aku merasa sungkan jika harus menolak keinginannya. Apalagi rata-rata yang berbeda antara aku dan mendiang istrinya Mas Denis hanya untuk hal-hal remeh seperti kebiasaan cara memasak atau cara berpenampilan. Aku yang biasanya tampil dengan rambut pendek di bawah telinga, akhirnya bertekad untuk memanjangkan rambut atas permintaan Mas Denis. Baru belakangan ini aku tahu jika rambut almarhumah Mbak Indah memang biasa tergerai panjang sepunggung. "Ya itu, sih, salahnya Mbak sendiri. Kenapa gak terus terang aja sama Mas Denis? Yang terpenting dalam suatu hubungan itu komunikasi yang baik, Mbak. Kalau Mbak pendam semuanya sendiri, yang ada justru jadi bom waktu yang tinggal menunggu saatnya tiba untuk meledak dan menghanguskan semuanya." Aku terpaku merenungi ucapan Risa sebelum meninggalkan warung. Apa yang dikatakan Risa mungkin benar. Aku bersalah karena berlagak mampu dan mengabaikan rasa sakitku sendiri. Namun, untuk jujur kepada Mas Denis? Aku sungguh takut menyinggungnya. "Dik, ada titipan dari Mama." Mas Denis memberikan amplop putih panjang kepadaku. Mama yang dimaksud Mas Denis pasti mamanya. Mamanya Mas Denis sering memberiku hadiah selama aku menikah dengan putranya. Dia begitu baik dan membuatku merasa beruntung karena menjadi menantunya. "Apa ini, Mas?" tanyaku sungguh penasaran. "Gak tau. Mas juga belum buka isinya. Coba kamu buka aja." Aku pun membuka amplopnya di depan Mas Denis. Ternyata sebuah paket liburan selama dua hari satu malam dengan jenis liburan staycation di The Westlake Hotel & Resort, Yogyakarta. Aku paham maksud mamanya Mas Denis. Beliau ingin kami bulan madu meskipun tanpa harus pergi ke luar kota karena pekerjaan Mas Denis yang sulit ditinggalkan. "Apa isinya, Dik?" tanya Mas Denis. Aku memperlihatkan isinya dan Mas Denis diam saja. 'Mas Denis pasti tidak berminat untuk bermalam di hotel denganku.' Aku menundukkan wajah. Berharap mukaku saat ini tidak menunjukkan dengan jelas rasa kecewaku atas keterdiaman Mas Denis. Namun, sepertinya Mas Denis yang cukup sensitif bisa merasakannya karena setelah itu dia segera merespon. "Kamu mau gak?" tanyanya dengan nada datar. "Aku terserah sama Mas Denis aja," lirihku. Aku tidak berani menjawab secara terang-terangan jika aku menginginkannya. Bukan hanya ingin berlibur karena memang sudah lama tidak liburan, tetapi aku juga punya harapan barangkali saat di sana nanti, Mas Denis akhirnya mau menjadikanku sebagai istri seutuhnya.Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku?
”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok.
“Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa
Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat. “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi. Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa. “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah. Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?" Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa." Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan
[Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat. Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se
“Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu
“Sayang, kita jalan-jalan sore, yuk?” suara Mas Denis memecah kebisuan. Dia berdiri di depanku, menatap dengan penuh perhatian. Sejak bangun tidur dan mandi sore, aku masih banyak diamnya karena belum bisa melupakan kejadian tadi siang. Mas Denis tampak khawatir dan sering mondar-mandir saja di dekatku. Aku mendongak, menatapnya sejenak. “Jalan-jalan ke mana, Mas?” tanyaku datar, meski di dalam hati aku sedikit tertarik dengan ajakannya.Mas Denis mengangkat bahu. “Entah, mungkin sekadar keluar rumah. Sepertinya kita butuh udara segar.” Senyum tipis tersungging di wajahnya, mencoba mengajakku untuk tidak terlalu larut dalam perasaan ini.Meski ragu, aku akhirnya mengangguk. “Boleh,” jawabku pelan.Kami pun berangkat. Di dalam mobil, aku menyandarkan kepala di jendela, menatap jalanan kota yang ramai. Mas Denis di sampingku, sesekali melirik dengan cemas. Kurasa dia ju
“Gini amat ya, punya suami pekerja keras. Hari libur juga tetap aja dipakai buat kerja dari rumah,” sarkasku pada Mas Denis yang tengah sibuk di depan layar laptopnya. Mas Denis menghentikan sejenak kegiatannya. Menoleh ke arahku dan tersenyum tipis. “Ada apa, sih, Dik? Kamu ada perlu sesuatu?” Aku mengangkat bahu. Masih enggan untuk mengatakan jujur jika aku sedang berharap diajak pergi jalan-jalan atau entah kemana hanya demi bisa bersama Mas Denis menghabiskan akhir pekan yang menyenangkan. “Kalau mau atau butuh sesuatu, kamu bilang langsung aja sama Mas, ya, Dik. Mas bukan cenayang yang bisa baca isi hati dan pikiran kamu,” sahut Mas Denis sambil kembali fokus ke perangkat kerjanya. Aku hanya bisa kembali menghela napas dengan berat. Mencoba fokus pada acara televisi, yang membuat pikiran tentang Risa dan pertengkaran kecil kami saat itu kembali muncul. Meskipun sudah berlalu cukup lama, tetapi aku belum bisa merasa lega jika tidak ada penyelesaian yang jelas. Komunikasiku de
“Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments