Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai.
“Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang. “Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?” “Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.” “Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.” “Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.” “Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…” “Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?” “Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Aku pun mengobrol banyak dengan Mak Ijah. Sesekali aku melihat ke arah pintu utama rumah Mas Denis, dan Mak Ijah sepertinya sempat memergokinya. “Paling bentar lagi, Mas Denis berangkat kerja, Mbak,” katanya sambil tersenyum. Aku pun hanya bisa menunduk malu. Mak Ijah mengusap bahuku dengan lembut. “Sebenarnya, Mak merasa sayang banget Mbak Dila harus menyerah secepat ini. Padahal Mak rasa, Mbak Dila sama Mas Denis udah cocok banget. Mak yakin kok, lambat laun Mas Denis bakalan lupain almarhum Mbak Indah dan bisa tulus sama Mbak Dila.” “Kemarin Dila memang kebawa emosi, Mak, jadi gak pikir panjang. Cuma Mas Denisnya sendiri juga, gak ada usaha untuk mempertahankan Dila, Mak. Jadi mungkin memang ini yang terbaik buat kami,” terangku menjelaskan. Tidak lama setelah itu, terlihat seorang wanita datang dengan dandanan formal. Aku cukup familiar dengan postur tubuhnya. Begitu terlihat wajahnya, aku pun tahu siapa wanita itu dan bisa menebak tujuannya datang untuk apa. “Kamu, kok masih ke sini aja, sih?” tanyanya dengan ketus saat bersitatap denganku. Baru aku akan menjawabnya, Mas Denis sudah keluar lebih dulu dari dalam rumah dan menyahuti ucapannya. “Ya emang kenapa? Dila masih sah jadi istriku. Bahkan kalau dia mau tinggal di rumah ini juga masih bisa.” “Tapi, Den-” “Sudah, ya! Kamu mau apa pagi-pagi ke sini?” pungkas Mas Denis lagi. Aku senang sekali dibela Mas Denis di depan Dewi. Dewi adalah tetangga Mas Denis yang ku kenal sejak awal memang terlihat menginginkan Mas Denis. Namun, Mas Denis selalu menolaknya dengan tegas. “Mau nebeng berangkat ke kantor, Den. Tempat kerja kita kan searah. Kebetulan hari ini aku gak ada yang anter,” katanya dengan suara mendayu. Muak sekali aku mendengarnya. Sayangnya, aku harus tetap bersikap kalem di depan Mas Denis, supaya aku juga bisa melihat sendiri bagaimana Mas Denis akan mengatasi ulat bulu tersebut. “Maaf, Dewi. Aku gak bisa. Aku mau pergi sama Dila. Kamu kalau mau bisa pakai motor di garasi ada yang gak dipake. Minta Mak Ijah cariin kuncinya.” Tanpa menunggu jawaban dari Dewi, Mas Denis sudah menggandengku masuk ke dalam mobilnya. Dewi terlihat marah dan menggerutu, tetapi diabaikan Mas Denis. “Maaf,” cicit Mas Denis begitu mobilnya melaju pelan dari pelataran rumahnya. “Maaf buat apa, Mas?” “Maaf karena kamu ku jadikan alasan buat hindari Dewi.” “Oh,” jawabku singkat. Jujur saja aku kecewa. Akan tetapi, itu masih lebih baik daripada Mas Denis harus menanggapi Dewi, apalagi sampai membiarkannya menumpang di dalam mobilnya untuk ke tempat kerja. Aku yakin, setelah tahu rumah tangggaku dengan Mas Denis di ujung tanduk, Dewi pasti akan makin gencar mendekati Mas Denis lagi. Sebenarnya aku tidak rela, tetapi aku bisa apa jika jodohku dengan Mas Denis memang tidak panjang. “Mau diantar kemana?” tanya Mas Denis lagi. Aku melihat ke pergelangan tangan dan waktu sudah terlalu mepet untuk Mas Denis sampai di tempat kerjanya. Aku pun meminta Mas Denis menurunkanku di sembarang tempat supaya dia tidak terlambat ke kantor, tetapi dia menolaknya. “Kamu masih perlu antar kue kemana lagi?” tanyanya lagi lebih tegas. Aku pun membuka keranjang kue yang sejak tadi aku bawa dan memperlihatkan isinya kepada Mas Denis. “Sebenarnya sudah semua kok. Aku tinggal pulang aja.” “Okay.” Baru setelahnya kendaraan Mas Denis melaju lebih cepat dan mengarah ke rumah orang tuaku. Di perjalanan pun kami tidak banyak mengobrol. Hanya sesekali saja aku mencuri pandang pada Mas Denis yang fokus dengan jalanan. Aku pikir, Mas Denis tidak tahu jika sejak tadi aku sering memandangnya secara diam-diam. Namun, begitu kami tiba di depan rumah orang tuaku, teguran Mas Denis membuatku malu sendiri. “Kamu masih bisa pulang ke rumahku biar puas lihat wajahku waktu aku di rumah. Daripada harus repot pagi-pagi antar kue ke warung dan curi-curi pandang pas aku nyetir kayak tadi.” “Hah?” seruku terkejut. Mas Denis hanya tersenyum simpul saja. Aku pun menjadi kesal sendiri dengan gayanya yang begitu percaya diri. Sayangnya aku yang masih syok sampai tidak bisa berkata-kata, bahkan tidak juga lekas turun dari dalam mobil Mas Denis. “Kamu mau turun apa ikut aku ke kantor?” tegurnya lagi membuatku gelagapan. “I-iya, turun, Mas. Sabar kenapa, sih,” gerutuku menutupi rasa malu. Aku pun lekas turun dengan tidak lupa mengucapkan terima kasih secara singkat. Mas Denis pun hanya mengangguk pelan dan membunyikan klakson sebelum kembali melaju dengan cepat. “Ciye, ciye …., modusnya sukses, kan? Dianter pulang sama Ayang,” goda Risa, kembali mengagetkanku yang masih melamun melihat kepergian kendaraan Mas Denis. “Modus apaan, sih. Yang ada malah aku yang dipakai Mas Denis buat tameng dari si ulat keket,” sahutku dengan ketus. Aku pun berjalan sambil menghentakkan alas kaki dengan keras. Risa pun mengekor di belakangku sambil menagih cerita secara lengkap. Dan cerita tentang Dewi yang berniat mendekati Mas Denis pun ku ceritakan kepada Risa yang memang penasaran sekali dengan kejadian saat aku ke rumah Mas Denis pagi ini. Tentu saja setelah aku sortir bagian aku yang ketahuan curi pandang pada Ms Denis dan tegur olehnya. “Aku lihat Mas Denis masih peduli dan perhatian kok sama kamu, Mbak. Kamu yakin, gak mau berjuang lebih keras lagi buat dapetin cintanya? Orang kayak Mas Denis ini limited edition, lho, Mbak!” ujar Risa masih mencoba untuk mempengaruhiku. “Memangnya masih ada kesempatan buat kembali berjuang? Berjuang sendirian itu gak enak, Risa,” lirihku meragu.Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku?
”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok.
“Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa
Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat. “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi. Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa. “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah. Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?" Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa." Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan
[Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat. Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se
“Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu