Home / Romansa / Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama / Bab 4. Kedatangan Suami dan Mertua

Share

Bab 4. Kedatangan Suami dan Mertua

Author: Dian Matahati
last update Last Updated: 2024-10-31 17:34:26

Malam harinya, Mas Denis datang ke rumah bersama dengan mamanya. Aku menyambut keduanya dengan ramah, meskipun aku bisa melihat gurat kecewa dari mamanya Mas Denis saat bersitatap denganku.

Kedua orang tuaku juga menyambut keduanya dengan baik. Bahkan dengan inisiatifnya, bapakku juga meminta maaf atas sikapku yang mungkin tidak mengenakkan untuk mereka.

Jujur, saat ini aku menjadi merasa bersalah kepada Bapak. Aku tidak berniat mempermalukan keluargaku, atau merendahkan harga diri di depan mereka dengan meminta maaf seperti ini.

Namun, aku pun tidak bisa mencegah mereka melakukannya, karena mungkin dalam pandangan mereka, aku memang bersalah.

“Ma, maaf kalau Dila sudah bersalah dalam mengambil sikap,” ucapku ikut meminta maaf saat aku sedang berdua dengan mamanya Mas Denis.

Selama ini beliau memang sangat baik kepadaku, sehingga aku pun menjadi sungkan sendiri sekarang karena sudah membuatnya kecewa.

“Jujur saja Mama kecewa sama kamu, Dila. Padahal Mama dan Denis sudah baik banget sama kamu selama ini, tapi kamu langsung pergi begitu tahu sedikit saja kurangnya Denis. Mama pikir, kamu adalah wanita dan istri yang pengertian. Ternyata gak ada bedanya sama yang lainnya.”

Wajahku langsung tertunduk mendengar teguran dari mamanya Mas Denis. Mungkin ini untuk pertama kalinya aku mendengar kata-kata tidak enak dari bibirnya. Sampai-sampai, aku seperti ada di antara percaya atau tidak dengan apa yang baru saja aku dengar, jika beliau lah yang berkata demikian kepadaku.

“Maaf, Ma,” cicitku lagi.

Walaupun hatiku sakit dengan tegurannya, tetapi aku pun tidak bisa untuk menyanggah ucapannya. Mungkin aku memang bersalah karena kurang pengertian kepada Mas Denis yang belum move on dari mendiang istrinya.

Namun, andai saja Mas Denis berusaha menjelaskan dan meyakinkanku jika dia mau memperbaiki semuanya, mungkin aku masih mau kembali bertahan dengannya.

“Sudahlah. Maaf darimu gak penting lagi. Mama dan Denis ke sini juga bukan buat minta kamu kembali. Silakan saja teruskan niatan kami buat menggugat cerai Denis. Denis akan kabulkan selama kamu yang mengurus semua biaya gugatan, tanpa tuntutan nafkah iddah, nafkah mut’ah, juga harta gono gini.”

Aku cukup syok mendengarnya. Sama sekali tidak menyangka jika tujuan mereka datang bukanlah untuk mengajakku kembali dengan Mas Denis.

“Kamu pikir, kami tadi ke sini buat minta kamu mengurungkan niatan untuk menggugat Denis?” tebak ibu mertuaku itu dengan tepat.

Wajahku makin tertunduk. Ternyata sifat asli ibu mertuaku baru terlihat sekarang. Kemarin-kemarin, dia begitu baik karena ada maunya.

Sepertinya beliau tahu jika Mas Denis masih belum sembuh dengan masa berdukanya ditinggal Mbak Indah. Dan mungkin saja, beliau berharap aku bisa menyembuhkan luka batin putranya.

“Ma, belum selesai?”

Pertanyaan dari Mas Denis memutus kecanggungan kami. Sejak kedatangannya tadi, Mas Denis belum ada interaksi langsung berdua denganku.

Padahal aku menunggu barangkali ada yang ingin dia katakan kepadaku. Namun, ternyata tidak ada sama sekali. Sepertinya Mas Denis memang tidak berminat sama sekali kepadaku.

“Sudah, kok. Kita bisa pulang,” jawab ibu mertuaku kepada suamiku.

Tanpa menyapaku kembali, beliau kembali ke ruang tamu diikuti dengan Mas Denis. Keduanya berpamitan kepada keluargaku untuk pulang. Bapak dan ibuku terlihat kecewa setelah mereka berdua pulang dari rumah kami.

“Sepertinya gak ada kesempatan lagi, Pak.”

“Iya, Bu. Gak apa-apa, mungkin memang sudah nasib anak kita menjadi janda.”

Aku kembali menitikkan air mata mendengar percakapan singkat kedua orang tuaku itu. Mereka pasti tertekan dengan rencana gugatan cerai dariku. Memiliki anak perempuan dengan status janda di usia muda pastinya menjadi tekanan tersendiri bagi mereka. Apalagi, perceraian menjadi hal yang tabu untuk keluarga besar kami.

Risa yang entah sejak kapan berada di belakangku akhirnya mengusap punggungku dengan lembut. Dia juga membisikkan kata penghibur untukku.

“Gak apa-apa, Mbak. Semua akan baik-baik saja. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Mbak Dila masih punya kami, keluarga yang gak akan pernah ninggalin Mbak Dila dalam kondisi apapun.”

Aku mengangguk dan mengusap air mata yang membasahi pipi. Dalam hati aku bersyukur karena masih dikelilingi dengan keluarga yang selalu ada untuk mendukungku.

Esok harinya, aku mulai mengurus gugatan cerai dengan dokumen yang dibawakan Mas Denis dan mamanya semalam. Rasanya ingin tertawa geli merasakan nasib yang seakan puas mempermainkanku.

“Pasti selalu ada hikmahnya dibalik kejadian apapun. Mungkin Mas Denis memang bukan jodoh yang Tuhan siapkan untukku. Aku harus semangat!”

Aku pun langsung menuju pusat bantuan hukum begitu tiba di gedung Pengadilan Agama, untuk membuat surat gugatan. Saat diminta mengisi alasan melakukan gugatan cerai, aku termenung sejenak. Berpikir apakah alasan yang akan aku tulis cukup kuat untuk diloloskan di pengadilan?

Setelah berdoa dan mengucap basmalah dan istighfar berulang kali, aku pun mengisi surat gugatan tersebut. Baru kemudian aku serahkan ke Pengadilan berikut dengan dokumen lain yang dibutuhkan.

Beruntung aku masih punya cukup tabungan sebelum resign dari tempat aku bekerja sebelumnya. Sehingga, untuk biasa perceraian yang harus kutanggung ini, aku tidak perlu sampai merepotkan kedua orang tuaku.

Aku sengaja tidak menggunakan jasa pengacara, karena entah mengapa, aku yakin Mas Denis dan keluarganya tidak akan menyulitkan prosesnya. Melihat sikap mereka semalam saat datang ke rumah, sepertinya mereka juga sudah siap dan setuju dengan perceraian ini.

Mengingat hal itu, dadaku terasa sesak. Padahal ini yang aku putuskan lebih dulu. Akan tetapi, rasanya tetap menyakitkan karena semudah itu Mas Denis melepaskanku.

Aku berjalan gontai keluar dari kantor Pengadilan Agama yang ada di sekitar tempat tinggal Mas Denis. Karena pikiran yang kalut, aku berjalan dengan sembarangan sehingga sebuah sepeda motor hampir saja menyerempet tubuhku.

“Aaaahh…!” teriakku saat ada sebuah tangan kekar menarik tubuhku menjauh dari jalan raya.

“Kamu gak apa-apa?” tanyanya.

Aku sangat familiar dengan suara itu, bahkan sejujurnya aku pun merindukan suara dan sosoknya.

“Mas Denis?” desisku seperti belum sepenuhnya percaya jika yang baru saja menyelamatkanku adalah suamiku sendiri.

“Bisa gak, kalau jalan jangan sambil melamun? Bahaya tau!” balasnya dengan suara agak ketus.

“Maaf,” cicitku sambil menundukkan wajah.

“Ayo aku antar pulang. Sampai surat pengadilan keluar, kamu masih menjadi tanggung jawabku.”

Tanpa menunggu jawaban dariku pun, Mas Denis sudah menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya yang lebar. Dengan berjalan tergesa, aku pun berusaha menyamai langkahnya supaya tidak terlihat seperti sedang diseret olehnya.

Walaupun sikapnya sedikit dingin, tetapi aku masih bisa merasakan ketulusan dari kebaikan Mas Denis kepadaku. Tanpa dikomando, kedua bola mataku sudah kembali berkaca-kaca.

‘Seandainya tidak pernah ada Mbak Indah di masa lalumu, mungkin aku akan menjadi istri paling beruntung di dunia ini, Mas…’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 60. Ending

    Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku? 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 59. Kontraksi

    ”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok. 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 58. Kau Rumah

    “Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 57. Phobia Jarum Suntik

    Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat.  “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi.  Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa.  “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah.  Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?"  Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa."  Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 56. Rekonsiliasi di Villa

    [Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat.  Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 55. Hati yang Bimbang

    “Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status