“Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.”
Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.” Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan berjuang sendirian. Meskipun dalam hati kecilku, belum sepenuhnya juga merelakan sebuah perpisahan. “Iya, Mbak. Kalau doa, sih, sudah pasti gak pernah lupa. Yang penting Mbak Dila tetap semangat dan berpikiran positif,” ujar Risa sambil mengusap lenganku. “Eh, ngomong-ngomong masalah positif, berarti Mbak sama Mas Denis udah …., itu, kan?” “Itu? Apa?” “Ah, masa harus aku perjelas, sih?” balas Risa lagi sambil kedip-kedip mata. Gerak gerik Risa yang aneh akhirnya membawaku pada pemahaman mesum yang sedang dipikirkan adikku. Ternyata dia membahas mengenai kegiatan malam pertama yang nahasnya mungkin sekaligus menjadi yang terakhir untuk aku dan Mas Denis. “Iya, kan, gara-gara itu aku jadi yakin kalau Mas Denis gak akan bisa lupain almarhumah istrinya,” jawabku dengan nada setengah kesal, setengahnya lagi sedih. “Mbak gak sayang apa, udah terlanjur unboxing, malah minta cerai? Rugi, dong!” kekeh Risa masih saja menggodaku. “Lebih rugi lagi, kalau Mbak menyia-nyiakan seumur hidup Mbak untuk mencintai pria yang gak punya niat buat balas cintanya Mbak yang tulus ini,” lirihku. “Kalau Mbak Dila tulus, Mbak gak akan peduli kalau rasanya Mbak akan berbalas atau tidak,” cetus Risa membuat hatiku tertampar. Risa benar. Aku belum setulus itu kepada Mas Denis, karena aku masih berharap balasan atas apa yang aku rasakan untuknya. Hanya saja, bukankah rasa ingin berbalas ini adalah rasa yang begitu wajar dan manusiawi? Ya, aku begini karena aku masih manusia biasa yang butuh akan timbal balik dari manusia lainnya. “Maaf,” cicit Risa melihatku diam. “Aku gak bermaksud apa-apa, Mbak,” imbuhnya terlihat tidak enak hati. Risa memang cukup peka dengan perasaanku. Padahal aku sudah berusaha terlihat untuk tegar. Akan tetapi Risa masih saja bisa melihat kesedihanku. “Nggak masalah, Risa. Mbak paham kok. Dan kamu benar. Mbak memang belum secinta itu sama Mas Denis. Mbak masih lebih mencintai diri Mbak sendiri, makanya Mbak masih pedulikan dan prioritaskan perasaan Mbak, saat tahu ternyata selama ini Mbak tidak diinginkan Mas Denis.” Aku kembali terbayang saat Mas Denis berulang kali mengingat mendiang istrinya setiap kali sedang bersamaku. Dan yang paling menyakitkan adalah panggilannya saat diujung pelepasan di malam pertama kami. Setiap malam rasanya aku selalu dihantui kejadian itu hingga menyisakan trauma saat hendak tidur. Harga diri yang hancur dan rasa tidak diinginkan begitu menyakiti hatiku yang sampai sekarang belum sembuh. Entah, aku pun tidak tahu apakah nantinya bisa sembuh atau akan terus membekas selamanya. “Risa bangga sama Mbak Dila.” Aku tersadar dari lamunan. Risa mengusap lenganku dengan lembut. Tatapan mata Dila benar-benar menyiratkan rasa bangga yang dalam. Namun, aku merasa tidak pantas mendapatkan tatapan itu. “Bangga? Bangga kenapa? Karena Mbak bisa egois demi mengejar bahagianya Mbak sendiri?” sarkasku. Risa menggelengkan kepalanya. “Justru, Risa bangga karena Mbak bisa mencintai diri Mbak sendiri. Sebelum mencintai orang lain, memang sebaiknya kita mencintai diri kita sendiri, kan, Mbak?” Meskipun aku tidak begitu yakin dengan kebenaran teori yang baru saja diucapkan Risa, tetapi aku mengangguk saja untuk menyetujuinya. “Kalau bukan kita sendiri yang memperjuangkan kebahagiaan kita, lantas kita akan berharap pada siapa? Yang punya tanggung jawab atas kebahagiaan kita hanya diri kita sendiri.” Risa akhirnya memelukku dengan erat. Dadaku terasa sesak, tetapi bukan karena eratnya pelukan adikku. Melainkan, usaha untuk terlihat kuat dan baik-baik saja di depan orang lain, ternyata menyesakkan juga. Mungkin di depan Risa, aku terlihat begitu hebat dan tangguh. Padahal aslinya aku rapuh. Aku tetap ingin melihat seseorang memperjuangkan kebahagiaanku. Bukan hanya diriku sendiri yang peduli atas bahagianya aku. “Ini ada acara apa ini? Pagi-pagi udah peluk-pelukan kayak teletubies aja,” tegur Ibu dari dalam rumah. Aku dan Risa pun mengurai pelukan melihat Ibu sudah berdiri tidak jauh dari kami lengkap dengan celemek dapur di tubuhnya. Risa mengusap sudut matanya yang ternyata basah. Aku tidak menyangka adikku yang sering berbicara dewasa, ternyata cengeng juga. “Mbak Dila nih, Bu, bikin terharu aja. Masa katanya tiap pagi mau bantuin Risa antar kue ke warung-warung biar Risa gak kecapekan,” dustanya sambil berusaha mengerjai aku. Aku pun spontan melotot kepadanya. “Heh, mana ada Mbak bilang gitu. Mbak cuma banti sehari tadi karena kamu ada pesanan catering pagi, ya!” protesku, tidak terima dikerjai oleh Risa. “Ih, Mbak Risa udah mulai pikun, ya? Tadi, kan, bilang sendiri, gitu. Demi adik kesayangan.” Risa menjulurkan lidahnya untuk mengejekku. Aku pun meliriknya dengan judes. “Nggak, nggak ada. Mana ada aku bilang mau bantuin tiap hari. Dibantu sekali hari ini aja, tuman!” “Ibu …, Mbak Dila perhitungan sama saudara sendiri,” ujar Risa lagi dengan suara mendayu, berusaha mencari simpati dari Ibu. “Bodo amat!” ketusku masih menyahut. “Tuh, kan, Bu!” rengek Risa lagi pada Ibu. “Sudah, sudah! Kalian ini sudah pada besar masih aja berantem kayak bocah,” lerai ibu kepada kami. “Daripada berantem, mendingan kalian bantuin ibu aja di dapur. Ada pesanan mendadak dari Bu RT buat acara di Balai Desa siang ini,” titahnya lagi. Aku dan Risa pun melanjutkan cekcok-cekcok kecil sambil mengekor ibu yang berjalan menuju dapur. Meskipun sebenarnya kami tidak sungguhan bertengkar. Hanya demi meramaikan isi rumah yang mungkin sempat sunyi saat aku sudah pindah ke rumah Mas Denis setelah pernikahan kami. ‘Aku pun pernah memimpikan suasana rumah yang ramai dan harmonis penuh dengan kemesraan dan cinta kasih seperti ini di rumah tangga kita suatu hari nanti, Mas. Sayangnya, mimpiku mungkin tidak sama dengan mimpimu, sehingga sekarang rumah tangga kita yang masih hitungan bulan sudah terancam kandas di meja hijau.’Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku?
”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok.
“Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa
Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat. “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi. Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa. “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah. Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?" Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa." Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan
[Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat. Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se
“Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu