"Sayang, sadar." Diwan mencoba membuka jemari tangan Atika yang terkepal sangat kuat. "Lepasin! lepasin saya, hahahahaa." Atika malah tertawa terpingkal-pingkal. Dan itu sangat membuat Diwan merinding, seluruh bulukuduknya naik."Siapa kamu? kenapa kamu mengusil istri saya?" Tanya Diwan lagi."Kamu tidak perlu tau siapa saya! hanya istrimulah yang tau siapa saya!" "Astaghfirullah, kamu mau saya, kasih hadiah?" Mulut Diwan mulai membacakan ayat suci Al-Quran, dan tanganya tetap memijit jari-jari Atika yang terkepal."Hahahaha," Seluruh tubuh Atika bergetar hebat, dan mengambang diatas Awang. Diwan sangat merasa panik, karna takut Atika akan terjatuh."Brukkkk," Benar saja Iblis itu menjatuhkan tubuh Atika, tepat dimeja kaca."Katakan siapa kamu? kamu jangan main-main dengan saya!" Bentak Diwan. Dilihatnya kepala Atika sedikit terluka akibat terkena sudut meja."Kasih saya tumbal yang saya mau! baru saya, akan menjawab siapa saya!" Diwan mencerna suara itu, sepertinya ia mengenali sua
"Aku kecewa sama Mama!" Pekik Yuni. Airmatanya menetes begitu derasnya."Maafkan Mama Kak. Mama terpaksa melakukan ini, karna nggak da jalan lain. Papamu pergi meninggalkan kita, mama nggak rela hidup tanpa harta Kak." Lirih Dela. Ia ingin sekali meyakinkan Yuni, agar Yuni bisa mengerti kondisinya."Sekarang aku tau, siapa dibalik pembongkaran makam Dini!" Yuni menepis tangan Dela."Maafkan Mama, Mama hanya ingin memperdaya Atika. Kamu tau, kan kalau Papamu itu lebih memilih mereka dibanding kita.""Tapi nggak harus mengorbankan Dini juga Ma!" Pekik Yuni. Ia tidak terima adiknya disakiti oleh siapapun, ia sangat menyayangi Dini adiknya."Mama tau Mama salah. Tapi Maam menyesal." Kalau Atika tidak mencari tumbal untuk Mama, maka Mama, dan kamu yang akan celaka Kak.""Maksut Mama apa sih? Yuni nggak ngerti Ma. Yuni nggak abis fikir dengan jalan pikiran Mama."Dela menunduk. Sejak awal memang ia tidak menyukai Diwan, karna Diwan itu orang yang tidak punya, dan apa adanya. "Mama nggak beg
"Sebentar lagi lebaran, kamu masak apa Ti?" tanya Nilam, Tetangga Atika."Belum tau Nil. Suamiku juga belum ada ngirim uang," jawab Atika. Ia ingin sekali lebaran ini masak daging, semua orang sudah pada ikut arisan daging, namun hanya dirinya sendiri yang tidak ikut. Boro-boro ikut arisan daging sapi, untuk beli ayam saja setahun sekali tidak kebeli."Nggak pentinglah masak enak. yang penting puasanya full," ucap Nilam lagi.Atika hanya membalas dengan senyuman saja. Sebenarnya ingin sekali Ia memasakan daging untuk kedua anaknya, jangan tanya kemana Suaminya, sudah merantau bertahun-tahun tapi belom juga mengirim uang."Buk, lebaran nanti kita masak daging kan?" tanya Mail, anak bungsu Atika."Iya, buk. Itu ibunya si, Mei sudah beli daging, karna daging lagi murah ibunya sudah setok," sambung Dimas anak sulung Atika.Atika tidak menjawab, Ia takut akan menyakiti perasaan kedua putranya. Orang bilang daging murah, tapi untuk keluarga seperti Atika yang makan nasi saja kesulitan, teta
"Wah, ibu masak enak?" tanya Mail yang baru saja bangun dari tidurnya."Mandi dulu sana, sekalian bangunin Abang Kamu ya," ucap Atika sembari ia memanaskan gulai ari yang ia masak tadi Malam.Mail segera berlari kecil kembali kedalam kamarnya. Segera ia membangunkan abang nya Dimas yang masih terlelap."Bang, bangun! ayo mandi. Ibu sudah masak daging loh, untuk kita," Serunya sembari mengguncang-guncangkan tubuh Dimas."Serius Dek?" Seru Dimas. Seketika itu Dimas langsung bangun dan beranjak meraih Handuk yang tersangkut di pintu kamar Mereka."Aku sudah nggak sabar Bang mau makan gulai daging buatan ibu," seru Mail yang sudah tidak sabar dan ingin segera cepat-cepat menuntaskan mandinya."Apalagi Abang Dek, kan sudah lama kita nggak makan daging. Pokonya lama banget," jawab Dimas lagi."Aku nanti mau nambah ah Bang," Seru Mail lagi. Sembari menyabuni kepalanya.Setelah mereka selesai mandi, mereka langsung menemui Atika sang ibu di amben yang terbuat dari bambu di depan rumah mereka.
Atika sudah semakin keringat dingin saat wanita tua itu mendekatinya," Atika. Maaf ya semalam Saya lupa mau ngasih ini kepadamu karna kamu keburu pulang," ucap ibunya Ningsih sembari memberi selembar uang 50 ribu."Apa ini Buk?" tanya Atika heran."Ini sebagai ucapan terimakasih Saya, karna Kamu sudah membantu semalam untuk menjaga Ningsih," ucapnya. Atika mengira ia hanya meminta tolong begitu saja, tapi ternyata ia malah memberikan uang."Tapi Saya ikhlas kok buk, lagian harusnya Saya yang menyalami Ningsih.""Nggak lah. Mana ada yang gratisan, saya sudah merepotkanmu semalam. Coba saja suaminya Ningsih masih ada." Wajahnya tiba-tiba berubah. Mungkin saja Ia teringat oleh Suami Ningsih yang sudah meninggal dunia 3 bulan lalu."Maaf ya buk, gara-gara saya ibu jadi sedih," ucap Atika merasa tidak enak."Oh iya saya mengucapkan selamat hari raya idul Fitri ya, mohon maaf lahir batin," ucapnya mengalihkan pembicaraan.Atika segera membalas uluran tangannya, dan meminta maaf kembali. Te
Malam semakin larut. Atika mewanti-wanti menunggu kedua putranya tertidur, setelah mereka berdua tidur, Atika akan segera melakukan aksinya."Kalian belum tidur?" tanya Atika. Kedua putranya masih saja belum tertidur. Padahal sudah tengah malam."Belum Buk. Dimas belum ngantuk," jawab Dimas sembari masih membaca buku.Atika sedikit cemas, bagaimana kalau anaknya tidak tidur-tidur. Kalau sampai terlambat gawat, karna mungkin bisa saja besok Ningsih akan membongkar ari-ari itu.Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya anaknya Mail, tertidur. Namun tidak dengan Dimas."Kamu belum tidur? adek kamu sudah tidur tuh," ucap Atika."Belum Buk. Dimas tidak ngantuk!" jawab Dimas. Entah ada firasat apa sampai Dimas tidak bisa mengantuk malam itu.Atika tidak bisa menunggu lebih lama lagi, ia memutuskan akan pergi diam-diam. Walaupun Dimas belum tertidur.Atika keluar rumah, dengan cara mengendap-ngendap seperti maling saja. Begitu sepi dan sudah tidak ada lagi manusia berkeliaran. Hanya saja A
"Buk. Kita nggak makan?" tanya Mail. Ia melihat Atika ibunya sedari siang terus benggong."Ibu marah ya?" sambung Dimas lagi."Nggak, ibu nggak marah kok. Ngapain ibu marah? ini bukan salah kalian, seandainya saja dulu ibu nggak mengizinkan bapak kalian merantau, mungkin nasip kita nggak seburuk ini. Dan kalau hanya untuk makan saja pasti bisa." Atika menghela napasnya.Ia merasa berdosa, karna tidak bisa menyekolahkan kedua anaknya. Hidupnya begitu susah. Ditambah lagi orang-orang disekitarnya tidak ada yang perduli. Jangankan untuk menolong, melihat kehidupan Atika yang sulit saja mereka jijik."Maafkan Dimas ya Buk. Dimas sudah menuntut untuk sekolah, padahal kita susah," ucap Dimas sembari memeluk tubuh Atika."Nggak apa-apa Nak, setiap anak memang berhak untuk sekolah. Hanya saja keadaan kita tidak seberuntung yang lain."Sementara itu Atika terus kepikiran gimana ari-ari yang ia ganti. Apa Ningsih tidak mengetahuinya sama sekali. Dan siapa orang yang telah mengintipnya malam itu
Atika berlari menyusuri jalan yang ia lewati tadi. Malam semakin kian larut, ada beberapa rumah yang ia lewati. Namun sepi sama sekali tidak kelihatan orangnya, karna mungkin semua sudah berada didalam.Ketika sudah sampai persimpangan, Atika berjalan dengan sangat hati-hati. Karna memang banyak rumah yang ia akan lewati dan sebagian orang itu juga masih berada diluar rumah.Bodohnya Atika, bukanya membawa arinya saja, namun beserta baskomnya juga ia bawa. Karna memang tadi hanya ada sedikit kesempatanya untuk mengambil ari itu."Duhh, gimana ini? kalau aku bawa sama baskomnya ini, akan ada Orang yang curiga," gumam Atika. Ia berfikir mulai mencari akal agar bisa membawa pulang ari itu tanpa membawa baskomnya juga.Setelah melihat sekeliling jalanan, akhirnya ia melihat sebuah karung bekas. Diambilnya karung bekas kotor itu dan memasukan ari-ari itu bersama baskomnya juga."Biarlah kebesaran, daripada nanti ada yang melihatku." lirihnya namun masi sambil berjalan mengendap-ngendap ag