Share

Kematian

Lebaran sudah lewat beberapa hari. Atika mulai beraktivitas seperti biasa, menjahit keliling. Sepi, sama sekali tidak ada yang jahit. Atika berfikir karna ini masih lebaran, dan orang-orang sebagian juga masih sibuk dengan suasana lebaran mereka.

Saat Atika menyusuri jalan perkampungan, ada beberapa ibu-ibu sedang mnggobrol serius. "Tau, nggak. Itu, semalam. Kejadian dikampung sebelah, katanya ada ari-ari hilang," ucap salah seorang wanita.

"Ah, masa sih? kok aku jadi serem dengernya ya,"  jawab wanita yang sedang menjemur cucian.

"Iya, bener. Aku saja tau dari Mbok Karsem. Semalam dia itu membantu persalinan dikampung sebelah. Eh, taunya arinya hilang. Apa nggak serem tuh," ucapnya lagi meyakinkan ibu-ibu yang lainnya.

 Atika yang mendengar itu, wajahnya seketika berubah. Rasa takut akan ketahuan kalau sebenarnya ialah biang dari semuanya.

"Maaf, ibu-ibu. Mau jahit baju nggak?" Atika mencoba menawarkan jasa jahit baju keliling nya.

"Nggak, ada yang mau jahit baju sama kamu! mending pergi kekota. Sekalian belanja-belanja," jawab salah satu dari mereka yang bernama Yuni itu. Perutnya tampak buncit, mungkin saja ia sedang hamil tua.

"Lagian, hari gini jahit baju. Udah tau nggak laku, masih saja dikerjain." ketus ibu-ibu yang satunya juga.

"Kasihan, kamu. Suami nggak pulang-pulang, anak melarat, dan nggak sekolah. Jangan-jangan suaminya sudah kawin lagi." ketus Yuni sombong.

Bukan cuma itu, Yuni juga meludahi, serta menendang gerobak jahit milik Atika.

"Kalau kalian nggak mau jahit, nggak usah menghina. Setidaknya kalian hargai jerih payah orang," ucap Atika sembari membenarkan gerobaknya yang tumbang akibat di tendang oleh wanita yang bernama Yuni itu.

"Ngapain kami menghargai? wong kami nggak menikmati hasilmu kok." dengan perut buncitnya, Yuni menantang dan mendorong Atika hingga tersungkur.

"Mending kamu itu jual diri, biar cepet kaya." ketus ibu yang satunya lagi.

"Iya, nanti Aku akan jual diri ke suami-suami kalian," jwab Atika lantang. Ia menyetabilkan gerobaknya, dan berlalu dari hadapan mereka semua.

"Kamu, sih! ngapain cobak tadi ngomong gitu?" ucap Yuni.

Mereka semua khawatir dengan ucapanya dan malah berdebat.

"Sudah keliling seharian, hanya satu Orang saja, yang menjahit," gumam Atika hampir putus asa.

Ia berjalan melewati rumah Ningsih, dan ternyata Ningsih belum pindah. Namun ia juga mendengar tangisan suara Bayi Ningsih.

"Sepertinya Anak Ningsih menangis." Atika, segera menghampiri Ningsih kedalam rumahnya.

"Kenapa, anak kamu Sih?" tanya Atika.

Dilihatnya Ningsih menangis, dan seperti terpukul sekali jiwa dan mentalnya.

"Ini, Ti. Anaknya nggak berhenti-berhenti menangis. Kulitnya melepuh semua, dan pusarnya membusuk," jawab Inem ibunya Ningsih.

Seketika itu juga Atika menelan ludahnya dengan sangat susah. Ia merasa semua ini ada hubungannya dengan ari- ari yang ia curi dan Ia masak.

"Ya allah, aku turut perihatin ya Sih. Kasihan sekali anakmu," ucap Atika merasa bersalah dan berdosa.

Mata Atika tampak basah. sepertinya ia kasihan kepada Ningsih. Nggak seharusnya Ia mengambil, dan memasak ari-ari anaknya Ningsih. Apalagi Ningsih adalah sahabatnya sendiri.

Belum begitu lama Atika datang. Anak Ningsih malah semakin menagis histeris, dan matanyapun melotot seperti kesakitan, teramat sakit.

Ningsih memeluk erat tubuh munggil anaknya yang baru beberapa hari ia lahirkan. Airmatanya tumpah, hatinya hancur melihat buah hatinya meregang nyawa.

"Buk, kenapa nggak gerak lagi Anakku buk?" Ningsih panik, saat anaknya tidak lagi bersuara.

"Ya Allah, bayimu sudah nggak ada Sih!" jawab Inem. 

Ningsih terduduk dilantai rumahnya yang berlantai tanah, tubuhnya ambruk. Airmata bercucuran. Anak yang baru beberapa hari ia lahikan dengan taruhan nyawa pergi dengan cara mengenaskan.

Atika duduk disamping Ningsih. Seandainya saja semua bisa ia ulangi, maka ia tidak akan pernah melakukan itu terhadap Ningsih sahabatnya sendiri.

"Kamu yang sabar ya Sih, anakmu sudah bahagia disana. Doakan saja untuk anakmu," ucap Atika enteng.

"Sebaiknya kita panggil warga. Biar segera diurus pemakamannya." saran Inem.

Semua orang tidak menyangka dengan kematian teragis anak Ningsih. Dari mulai lahir kedunia, hingga meninggal bayinya terus menangis. hanya sewaktu tidur saja ia tidak menangis.

Semua orang sibuk mempersiapkan makam, dan memandikan anak Ningsih. Begitu juga Atika, yang selalu setia duduk disamping Ningsih.

"Semalam, dikampung sebelah kehilangan ari, eh disini malah ada bayi meninggal." ketus seorang ibu-ibu.

"Aneh, ya? sepertinya kampung kita ini akan ada marabahaya lagi." ketus Yuni yang juga berada sana.

Atika hanya menatap kearah mereka, matanya menaruh dendam terhadap Yuni. sudah lama sekali Yuni selalu menghina Atika. Namun Atika selalu mengalah, karna tidak ingin bertengkar.

"Ngapain matamu lihatin kami?" ketus Yuni. Di suasana yang tengah berdukapun, Yuni masih sempat mengajak Atika bertengkar.

Atika pura-pura mengalihkan pandanganya dan menunduk kearah bawah. Ingin sekali ia membalas sakit hatinya karna mereka semua sekelompok yang sering menghinanya.

Setelah semua pemakaman selesai, Atika kembali pulang kerumahnya. Dilihatnya Kedua anaknya sedang makan.

"Kalian makan?" 

"Iya, Buk. Ini lauk yang ibu masak masih banyak," jawab Mail.

"Oh, ya buk. Tadi Bapak nelpon. Tapi Dimas dengar ada suara anak-anak, seperti memanggil Ayah gitu," ucap Dimas.

Deg!.. lagi-lagi jantung dan pikiran Atika resah. Semalam suara wanita, sekarang suara anak. "Dimana sebenarnya kamu Mas?" gumam Atika dalam hati.

"Mungkin itu suara anak orang. Nanti ibu akan hubungin Bapak kalian lagi. Ibu mau tanya kapan Bapak pulang," jawab Atika. Ia berpura-pura tenang. Padahal hatinya sangat panas, dan tidak tenang. Apalagi ia baru saja menyaksikan anak Ningsih meninggal akibat ulahnya.

"Buk, Dimas mau bicara. Tapi Ibu jangan marah ya," ucap Dimas.

"Mau bilang apa?" Atika sedikit heran.

"Yang waktu malam-malam Ibu kerumah Bibi Ningsih, ngapain? kok, Ibu korek-korek tanah?" tanya Dimas.

Deg!..

Seketika jantung Atika ingin loncat mendengar pertanyaan Dimas. Seseorang yang telah melihatnya malam itu ternyata anaknya sendiri.

"Kamu salah mungkin." Atika menyangkal.

"Nggak, Buk. Dimas ikutin Ibu kok," ucap Dimas lagi.

Lagi-lagi Atika jantungan mendengar ucapan Dimas, anaknya.

"Kamu lihat ibu?" 

"Iya, Dimas ikutin Ibuk. Kan waktu itu Dimas tidak bisa tidur, terus Dimas liat Ibu keluar Rumah."

"Bukan apa-apa kok. Kamu itu kebiasaan, selalu ingin tau apa yang Ibu lakukan." Suara Atika meninggi.

"Kan Dimas cuma penasaran Buk," jawab Dimas pelan.

"Nggak perlu kamu sok tau, dan penasaran. Kalau kamu itu sayang sama Ibu, kamu itu mendoakan ibu saja, dan nggak perlu kamu ikut campur." bentak Atika.

Dimas, dan Mail saling bertatap. Wajahnya terlihat sedih karna bentakan Atika.

Mereka berdua juga heran, belakangan ini Atika sering sekali marah dan gampang emosi. Padahal sebelumnya Atika itu disebut sebagai ibu yang penyabar.

Atika meninggalkan kedua Anaknya yang masih berada di meja dapur. Wajahnya penuh sejuta beban. Masalah kemiskinan belum kelar, kini malah dihadapkan masalah suaminya yang sepertinya memang tidak beres.

"Awas, Kamu Mas. Kalau sampai benar kamu menghianatiku. ari-ari saja bisa kumasak, apalagi kamu." gerutu Atika. 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status