Dinginnya udara di sekitar, tidak menyurutkan semangat mereka untuk memulai ritual sesegera mungkin. Mereka berdiri dengan pola melingkar sambil memakai pakaian serba hitam menyerupai malam. Bibir mereka pun terus merapalkan doa-doa keramat untuk melancarkan ritual yang ada.
Mereka terus berbisik menyatu dengan embun yang jatuh di hutan terlarang. Melingkari mayat seorang gadis yang berhasil mereka bunuh.
Gadis ini adalah seseorang yang terlahir dengan kutukan. Membuat roh leluhur marah dan menurunkan bencana pada kaumnya. Gadis dengan pesona Dewi yang membius para lelaki untuk tunduk padanya. Karena kecantikan adalah bentuk dari menyimpangnya keseimbangan alam.
Suara burung hantu terus menggema memecahkan keheningan hutan, seolah alam merestui ritual mereka malam ini.
Api abadi terus menyala di tubuh wanita itu, membakarnya hingga menjadi abu tak bersisa. Api yang hanya bisa mereka lihat dengan mata batin mereka. Api keramat yang mereka anggap sebagai api suci pemberian sang roh leluhur yang abadi. Sang pemberi kehidupan.
Gadis ini adalah persembahan terbaik yang akan mengakhiri penderitaan kaumnya.
Mereka bersimpuh dan memohon ampun atas kesalahan mereka karena terlambat membunuh gadis itu. Dengan pisau tajam di tangan kanan, mereka lalu menusuk jantung masing-masing hingga tak berdetak lagi. Merapalkan doa sebagai benteng untuk mencegah roh sang gadis berkeliaran dan membalas dendam. Membiarkan gadis itu abadi sebagai bayangan hitam tak terlihat mata telanjang. Mengurungnya hingga tak akan mampu untuk bereinkarnasi.
"Gadis yang malang."
"Itu adalah cerita lokal yang sangat terkenal di daerah ini. Banyak yang mendongengkan kisah itu pada anak-anak untuk mencegah mereka keluar malam dan masuk ke dalam hutan tanpa izin. Namun cerita itu adalah cerita kuno yang tak bisa dibuktikan. Tapi semua orang percaya pada cerita itu, karena cerita itu telah diceritakan dari nenek moyang mereka."
"Cerita yang menarik tapi apa gunanya untuk kita?"
"Jangan salah, walaupun cerita itu belum ada pembuktian. Tempat itu selalu ramai didatangi oleh paranormal. Ada yang sekedar menjajal ilmu atau bertapa bahkan ada yang meminta kekayaan."
"Bukankah itu tidak masuk akal?"
Mendengar komentar sahabat pirangnya, laki-laki berkulit sawo matang itu berkekeh pelan. Orang Netherland memang tidak mudah percaya dengan cerita tahayul. Mereka terlalu logis dalam berfikir.
"Semua bagian tanah ini telah di amanat kan padaku, maka aku akan membangunnya. Carilah gadis cantik sebagai gundik di daerah ini dan jangan lupa kumpulkan pemuda tangguh untuk membangun rumah dengan segera."
Sebagai bawahan yang patuh tentu saja ia akan mematuhi atasannya. Banyak pemuda Belanda yang dikirim ke tanah mereka untuk memerintah. Mereka adalah para bangsawan yang telah dilatih dengan ketat dan ambisius.
Di usia muda mereka telah menjadi seorang pemimpin tangguh. Dengan hormon yang meledak-ledak tentu saja mereka butuh pelampiasan. Gadis lokal cantik adalah pilihan terbaik.
Gadis lokal akan dijadikan sebagai gundik pemuas nafsu. Menikahi mereka tidak terlalu rumit, hanya perlu menikah secara adat tanpa membutuhkan surat pernikahan resmi. Gadis tersebut haruslah di didik untuk menjadi penurut dan patuh pada suaminya. Istri semacam itu akan menjadi jalan terbaik untuk melakukan pendekatan dengan pemimpin suku, agar mereka mudah diterima dan dianggap keluarga.
Membunuh para pemuda pemberontak adalah hal yang tidak sulit. Hanya perlu mengangkat senjata dan menembak mereka dengan timah panas. Tapi cara cerdik dan licik dianggap sebagai cara terbaik untuk memenangkan perang. Selama ia dapat diterima, selama itu pula peluru di pistolnya akan tetap utuh.
Mereka terus berjalan mengelilingi hutan ini. Pemandangan alam yang menakjubkan terus disajikan tanpa tersentuh banyak manusia di dalamnya.
Sebuah batu besar menyambut mereka. Batu hitam bulat yang diselimuti dengan lumut hijau yang khas. Di atasnya ada bermacam-macam bunga dengan berbagai warna.
Pieter mendekat dan menyentuh bunga-bunga itu dengan dingin. Memikirkan betapa bodohnya orang yang menaruh bunga itu disana.
"Bodoh."
Ia segera menyingkirkan bunga itu dengan asal. Membuat mereka jatuh tak beraturan ke tanah.
Jiwana terus diam melihat atasannya bertingkah. Ia adalah seorang pribumi, walaupun dikenal sebagai penghianat negara. Namun ia tentu saja membawa bekal selayaknya seorang pendekar.
Mengobrak abrik sebuah persembahan adalah hal yang dianggap kualat oleh bangsanya. Banyak hal yang tak kasat mata menghuni tanah mereka. Namun tentu saja mereka tak bisa membuktikan nya.
Tatapan-tatapan tajam terus mendera mereka namun hanya Jiwana yang merasakan nya. Mata batinnya terlalu peka di tempat ini. Tempat keramat yang di agung-agungkan leluhurnya.
Sebagai penghianat negara yang setia pada tuan Belandanya, tentu saja ia telah memperingatkan nya. Namun mereka terlalu bebal dan acuh tak acuh dengan hal semacam ini. Dan ia tak punya kewajiban untuk meyakinkan nya.
"Buatlah rumah disini," ucapnya jengkel.
"Tuanku, batu ini terlalu besar dan sulit untuk disingkirkan. Bagaimana kita akan menghancurkan nya, bukankah kita harus membuat rumah dan kantor pemerintahan sesegera mungkin. Lagipula menghancurkan batu ini akan menimbulkan kemarahan warga dan akan mempersulit kita mengumpulkan pekerja lokal."
Mendengar nasehat bawahannya, Peter mendengus pelan. Ia ingin menghancurkan keyakinan para orang orang bodoh ini. Namun ia sadar bahwa yang dikatakan oleh Jiwana adalah sebuah kebenaran. Walaupun ia membenci orang bodoh namun ia tak akan mengambil resiko untuk memulai perang dengan mereka.
Wajah masam dan cemberut tercetak jelas di wajah Pieter. Ia ingin tertawa tapi tak punya cukup pengaruh untuk melakukannya. Orang Belanda ini terlalu angkuh dan arogan, menganggap dirinya hebat dan pintar melebihi orang-orang biasa. Betapa tak berguna.
Kelak ia akan menghancurkan dirinya sendiri serta meruntuhkan kekuasaannya. Untuk sementara marilah bekerja sama dan bersiap mencari tuan yang lain. Terlalu merugi jika meninggalkannya saat ini. Uang yang di hasilkan dari orang pirang ini, cukup untuk ia timbun kepada anak cucunya kelak.
"Tuanku, ada tanah kosong dan lapang tak jauh dari kita berdiri. Sangat cocok dijadikan tempat tinggal. Akan sangat mudah untuk diolah baik untuk bangunan maupun untuk bercocok tanam."
Dengan santai mereka meninggalkan tempat itu dan bergeser ke tempat lainnya. Tanah yang dimaksud memang benar-benar bagus. Cocok untuk menanam tanaman rambat serta bunga-bunga indah. Menjadikan seorang pribumi sebagai bawahan serta berpura-pura sedikit bersahabat memang yang terbaik. Mereka terlalu mudah untuk di manipulasi.
Tapi mereka tak menyadari ada tatapan tajam seorang gadis dengan kain hitam duduk di atas batu dengan marah.
'orang asing tak beradab, tentu bukanl ah dari kaumku.'
Di lain pihak, Jiwana telah mendengar tentang invasi Nippon ke pulau ini yang berniat menggantikan kekuasaan Netherland. Hal tersebut membuat Jiwana tidak setuju, bukan hanya karena ia bekerja bersama para bangsawan Netherland, tapi juga karena Jiwana merasa bahwa bangsawan Netherland tidak terlalu kejam selama di pulau ini, mereka hanya sangat sombong dan pelit.Netherland memang memiliki riwayat buruk dengan para pribumi, akan tetapi itu hanya berlaku di pulau seberang. Di pulau ini, Jiwana lah yang mengaturnya. Ia menjilat para bangsawan Netherland untuk mendapatkan upah yang lebih baik. Ia juga membujuk para pribumi untuk mau bekerja tanpa sebuah paksaan. Sehingga keduanya tidak memiliki konflik yang berarti.Akan tetapi Nippon datang dan Jiwana tidak tau seperti apa strategi politik yang akan dilakukan Nippon di masa depan. Jiwana takut Nippon akan lebih sulit dibujuk dan akan menyengsarakan pribumi dan lebih kejam dari Netherland. Hal tersebut membuat Jiwana membentuk kelompok k
Saat peperangan meledak, hujan di Ziel tak henti-hentinya turun. Alam sepertinya mendukung para pribumi dengan menurunkan hujan deras agar mereka bisa memiliki lebih banyak waktu untuk lari, sedangkan tentara Nippon kesulitan karena cuaca dan Medan yang belum mereka kuasai.Disaat hujan terus mengguyur Ziel dan tentara Nippon memaksakan diri untuk masuk, Pieter bersembunyi di balik pohon sambil membawa pedang telah ia asah selama beberapa hari. Matanya telah terbiasa oleh hujan dan kabut, jadi Pieter mampu melihat dengan jelas gerakan lawan dibalik pohon itu.'hmm mereka terlihat familiar'Tentara Nippon memiliki perawakan yang hampir sama dengan pribumi, hanya saja kulitnya putih dan matanya agak sipit. Hampir mirip dengan keturunan Tionghoa yang biasa Pieter lihat. Mereka memiliki suara yang keras dan perawakan yang kaku, jadi wajar saja jika Pieter merasa wajah mereka terlihat familiar.Pieter bergerak dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin meremehkan musuh. Walaupun tubuh Pieter
Beberapa tahun setelah kematian Sina, perang terjadi di pulau Mirah Adhi dan diprediksi Netherland akan segera kalah. Pasukan Nippon telah mulai melakukan aksi untuk menguasai, sehingga Pieter pun harus bersiap mengevakusi anggota keluarga agar bisa pergi ke tempat yang lebih aman. Pieter bahkan memecat semua pelayanannya agar mereka bisa pergi mengungsi dengan cepat. Pieter tidak ingin orang-orang dibunuh ataupun dibantai karena mereka bekerja pada Netherland. Karena bagaimanapun para pelayannya bukanlah penghianat negara melain orang biasa yang mengais rezeki dengan bekerja padanya. Walaupun begitu ada beberapa pelayan masih enggan untuk pergi karena merasa sayang pada Pieter."Tuan, kami masih ingin tetap bersamamu. Kami rela mati bersamamu jadi kami tidak akan pergi kemanapun. Atau kalau Tuan mau, ikutlah bersama kami ke kampung. Disana kami akan menyembunyikan Tuan agar aman dan tak akan tertangkap oleh tentara Nippon."Mereka bekerja bersama Pieter, akan tetapi mereka mendedika
Pieter menatap ke arah gundukan tanah yang tertulis nama Lana di atasnya. Pieter ingat ketika ia membuka mata untuk pertama kalinya tubuh Sina telah mendingin di dalam pelukannya. Tubuh yang cantik itu telah kehilangan jiwanya dan Pieter akhirnya ditinggalkan untuk yang kedua kalinya.Selama dua kehidupan ia harus ditinggalkan oleh kekasihnya. Akan tetapi walaupun rasa sedih menguasai hatinya, ia selalu ingat bahwa kematian Sina saat ini adalah untuk kebaikannya sendiri. Sina tak lagi merasakan kesakitan dan penderitaan seperti yang ia rasakan ratusan tahun yang lalu. Dia telah terbebas dan Pieter bahagia karenanya."Kamu bebas sekarang." ucap Pieter lirih.Saat pemakaman berlangsung, banyak orang yang datang untuk melayat. Mereka berdoa dengan penuh hikmat dan terkadang datang untuk bersalaman dengan Pieter sambil mengucapkan banyak kalimat menghibur. "Dia sekarang berada di lindungan Tuhan, jadi kamu jangan bersedih terlalu berlarut-larut.""Ya, Lana adalah gadis yang baik dan taat
Saka meninggal di hutan keramat saat berusia ia telah 97 tahun. Ia sangat tua dan tak pernah pergi dari tempat itu satu kali pun. Ia telah meninggalkan semua kemewahan dan kejayaan serta masa mudanya. Ia memilih untuk tinggal bersama Sina di hutan keramat. Ia ingin jiwa Sina tak merasa kesepian, setidaknya sampai ia meninggalkan dunia ini. Saka juga tak pernah berkomunikasi dengan orang lain sehingga ia tak pernah tau apa yang terjadi di luar hutan. Baginya tugas sebagai seorang Raja telah ia penuhi, ia telah berusaha untuk membuat rakyat sejahtera dan keluarga yang ia tinggalkan dapat dipastikan akan aman setelah ia pergi meninggalkan mereka.Jika orang lain melihat keseharian Saka di tempat itu maka mereka mungkin akan menyimpulkan bahwa Saka telah menjadi orang 'gila'. Saka akan berbicara pada sendiri dan setelah itu menangis, setelah itu tertawa keras. Hanya itu yang ia lakukan setiap hari.Saka telah tinggal di hutan keramat selama puluhan tahun, dan ia telah bertapa serta mening
Setelah kemenangan, semua orang di Mirah Adhi merasakan 'duka' yang dirasakan oleh Raja. Harga ternak telah turun drastis mengingat dilarangnya konsumsi daging selama setahun, hal tersebut membuat para peternak dan pemburu hewan tak memiliki mata pencaharian dan terpaksa beralih profesi. Para petani pun bersedih karena bahan pangan juga tak terlalu laku mengingat adanya pengadaan puasa selama 40 hari. Apalagi para bangsawan, mereka sekarang terlihat seperti rakyat biasa karena tak ada lagi pakaian mewah dan perhiasan yang bisa mereka gunakan selama lima tahun ke depan.Sekarang hutan keramat menjadi momok paling menakutkan bagi masyarakat. Mereka tidak berani ke sana karena takut akan dieksekusi mati oleh Raja. Apalagi saat melihat secara langsung bagaimana raja memberi hukuman pada orang-orang yang membuat Sina menderita. Pada hari itu semua orang tak berani keluar rumah karena mendengar suara jeritan orang-orang yang dibakar dengan kejam. Bahkan setelah kejadian itu, para orang tua