Share

Arwah leluhur

Matahari mulai menyingsing namun terhalang lebatnya pohon-pohon besar nan kokoh disekitarnya. Jiwana terus berkeliling melihat lebih detail tempat ini. Mengamati dan memikirkan apa saja yang bisa mereka manfaatkan untuk meningkatkan pundi-pundi uang mereka.

Matanya lagi-lagi tertuju pada satu titik, yaitu batu besar yang ia lihat kemarin. Namun pemandangan hari ini sedikit berbeda, terdapat seorang laki-laki berpakaian hitam menghadap sang batu, sambil menyatukan tangan menyentuh dahinya.

Ini merupakan ritual yang sering ia lihat dan dengar. Namun ini pertama kalinya ia melihat pancaran energi yang begitu kuat mempengaruhi batin nya. Ia terus menatap orang itu sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

'apa yang sedang kamu lihat anakku?'

Mata Jiwana langsung melotot kaget. Suara itu terdengar lembut dan mengayomi namun berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Suara itu terdengar di telinga kirinya, sangat jelas dan mengerikan. Ia tak berani menoleh.

"Saya hanya datang untuk melihat-lihat. Saya mohon maaf kepada jika merasa terganggu dengan kedatangan saya." ucapnya halus.

'bagus tutur bagus kata. Siapa namamu anakku?'

"nama saya adalah Jiwana."

Setiap kata yang Jiwana ucapkan, telah diatur sedemikian rupa. Keringat dingin mengalir di dahi serta punggung nya. Ia sadar dan ia tau bahwa menyinggung arwah leluhur ratusan tahun seperti ini adalah sesuatu yang tidak boleh ia remehkan.

Pancaran energi berhasil menusuk setiap sendi miliknya. Ini merupakan salah satu siksaan berat untuk seseorang yang memiliki kelebihan seperti dirinya. Ia sangat peka terhadap perubahan energi yang ada disekitarnya.

'jangan takut anakku. Saya tidak akan memakanmu

mhihihi.'

Tawa gadis itu terdengar jelas, membuat sekujur tubuhnya semakin kaku. Dari sudut penglihatannya tampak jelas penampakan gadis itu. Jika ia menggambarkannya, sosok tersebut tampak seperti seorang Dewi. Bangsa Tiongkok sering menyebut kecantikan semacam itu sebagai kecantikan yang mampu menjatuhkan negara.

Paras rupawan yang tak pantas disandingkan dengan para bangsawan wanita Belanda. Wajah ini adalah wajah gadis pribumi dengan pesona Dewi yang mengelilinginya. Jika ia lupa bahwa sosok ini bukanlah manusia, mungkin ia telah bersimpuh meminta untuk dinikahi.

Namun ia masih waras dan berakal. Masih ingin memiliki anak dan cucu yang nyata. Bahkan secantik apapun yang dimiliki oleh roh leluhur ini, ia tidak akan tergoda. Ia masihlah seorang kesatria dengan harga diri yang pantas. Pantang baginya untuk jatuh pada pesona mahluk yang berbeda alam.

'apa yang kamu bawa? Tidak ingin berbagi pada ibumu?'

"Mohon maafkan saya. Saya hanya membawa bekal barang yang melekat di badan. Tak punya apa-apa untuk dibagi."

Mendengar jawaban Jiwana perempuan tersebut tertawa keras.

'jangan sering berbohong, macam orang berambut jagung (pirang). Lupa tanah lupa air, akan mati di terpa api. Jika masa telah habis kau akan menemaniku menjadi abu,' ucapnya sambil tersenyum.

Nasihat dari seorang leluhur tentulah harus ia hapal dan pahat di dalam hati. Sebagai seseorang yang makan dan minum dari alam yang ia injak, harus tau balas Budi dan terima kasih.

Tanggapan pemuda itu membuat sosok itu tersenyum sumringah. Banyak anak tak pantas dinasehati dan bebal terhadap peringatan. Salah dengar maka salah jalan, salah ucapan maka akan menyesatkan.

Setelah memberi nasihat singkat, seorang laki-laki lain terlihat membawa berbagai macam bunga dan wewangian. Laki-laki itu berlutut sambil menyembah pada sang batu. Ia terlihat mengucapkan bebagai macam permohonan dan itu membuat Arwah Leluhur itu sedikit marah. Ia menegur keras laki-laki itu. Hanya saja, laki-laki itu bodoh dan tak memiliki kemampuan khusus. Jadi Arwah leluhur itu pun menyampaikan pesan melalui Jiwana, agar dapat menyingkirkan laki-laki itu sebelum sang Leluhur membunuhnya.

'jika anak belum yakin dan paham pada garis hidup jangan lah goyah keyakinan. Meminta sesuatu yang fana dan menghilangkan yang kekal. Singkirkan laki-laki itu, baunya macam bangkai. Bekal yang ia bawa adalah sesuatu yang busuk menyesatkan hati.'

Tanpa berfikir panjang ia segera menghampiri orang itu lalu menepuk bahu laki-laki itu pelan. Tampak jelas guratan kekesalan yang menghiasi dahinya. Namun terlalu sungkan dan enggan mengeluarkan kata kata kasar.

"Jika belum paham dan mengerti garis hidup janganlah goyah keyakinan. Meminta sesuatu yang fana dan menghilangkan yang kekal," ucapnya tersenyum.

Jiwana mengambil kantong di sabuk kirinya dan mengeluarkan sejumlah kepingan uang untuk dibagi pada orang itu. Meletakkannya pada tangan kanan serta menutupnya agar tak terlihat jumlah yang ia beri. Hal ini dilakukan untuk menyisakan sedikit harga diri kepada orang yang ia beri.

Melihat dirinya diberi banyak uang, laki-laki itu meneteskan air mata. Ia percaya pada keyakinannya namun tak punya cukup harga diri melihat anak dan istrinya kelaparan. Banyak orang yang menjauhinya karena tak berdaya, hanya dengan cara sesat semacam ini yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan pundi-pundi uang.

"Terima kasih banyak," ucapnya pilu.

Laki-laki itu segera bangkit dari duduknya. Berlari menembus hutan untuk memberi makan keluarganya di seberang desa. Kakinya yang lelah duduk tak terasa pegal saat ia menggenggam sejumlah uang ditangannya.

Melihat hal itu Jiwana sedikit terenyuh. Manusia adalah mahluk yang rapuh dan mudah dirayu. Uang dan jabatan adalah kebaikan dan kejahatan disaat bersamaan.

Banyak orang kehilangan harapan dan keinginan untuk hidup, mencari sesuatu dari yang ghaib untuk dimintai pertolongan. Keputusasaan adalah bukti nyata betapa rentannya hati manusia.

Ia ingin berterima kasih pada sosok tersebut, namun saat ia berbalik sosok tersebut telah menghilang. Sebagai sebuah pohon tentu mereka tak boleh melupakan akarnya. Sebagai penghianat negara ada rasa bersalah yang tiba-tiba muncul dihatinya.

'apakah jabatan dan uang yang aku dapatkan adalah sesuatu yang kekal atau fana?'

Merasa bingung atas dirinya sendiri, Jiwana pun melanjutkan perjalan dengan berfikir. Jalan yang ia tempuh pun terlihat acak tanpa tujuan.

Kakinya tersandung akar besar dari sebuah pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. Membuatnya sedikit goyah karena kaget. Namun penglihatannya jatuh pada anak sungai tak jauh dari tempat ia berdiri.

Suara air mengalir terdengar namun tak terkesan deras dan cenderung tenang. Para gadis biasa menggunakannya sebagai tempat untuk membersihkan tubuh sebelum memulai aktivitas harian mereka.

Tawa riang sekumpulan gadis berhasil memasuki telinganya. Mereka bersenda gurau mengenai laki-laki yang mereka sukai.

"Kakak Ijong sangat pandai memainkan seruling. Bahkan suaranya masih terdengar di telinga saat malam menjelang."

Suara riuh semakin terdengar diantara kelompok wanita tersebut. Hal ini memang sering terjadi pada kumpulan wanita di sungai. Mereka akan bercengkrama dan menambah suasana menyenangkan, sambil membersihkan badan dan pakaian yang mereka pakai setiap harinya. Namun ada satu wanita yang berhasil mengalihkan perhatiannya.

Gadis itu terlihat tersenyum tenang mendengar cerita temannya. Wajahnya halus memancarkan ketenangan, sangat cocok dengan yang diinginkan tuannya.

Ia merasa bersyukur, setelah bersedekah sedikit uang, ia mendapat kemudahan dari Tuhan atas tugasnya. Ada sedikit rasa bersalah disudut matanya karena melihat sesuatu yang harusnya tidak boleh ia lihat pada gadis-gadis itu. Namun rasa bahagia telah berhasil mengalihkan perhatian nya. Betapa beruntungnya ia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status