Matahari mulai menyingsing namun terhalang lebatnya pohon-pohon besar nan kokoh disekitarnya. Jiwana terus berkeliling melihat lebih detail tempat ini. Mengamati dan memikirkan apa saja yang bisa mereka manfaatkan untuk meningkatkan pundi-pundi uang mereka.
Matanya lagi-lagi tertuju pada satu titik, yaitu batu besar yang ia lihat kemarin. Namun pemandangan hari ini sedikit berbeda, terdapat seorang laki-laki berpakaian hitam menghadap sang batu, sambil menyatukan tangan menyentuh dahinya.
Ini merupakan ritual yang sering ia lihat dan dengar. Namun ini pertama kalinya ia melihat pancaran energi yang begitu kuat mempengaruhi batin nya. Ia terus menatap orang itu sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
'apa yang sedang kamu lihat anakku?'
Mata Jiwana langsung melotot kaget. Suara itu terdengar lembut dan mengayomi namun berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Suara itu terdengar di telinga kirinya, sangat jelas dan mengerikan. Ia tak berani menoleh.
"Saya hanya datang untuk melihat-lihat. Saya mohon maaf kepada jika merasa terganggu dengan kedatangan saya." ucapnya halus.
'bagus tutur bagus kata. Siapa namamu anakku?'
"nama saya adalah Jiwana."
Setiap kata yang Jiwana ucapkan, telah diatur sedemikian rupa. Keringat dingin mengalir di dahi serta punggung nya. Ia sadar dan ia tau bahwa menyinggung arwah leluhur ratusan tahun seperti ini adalah sesuatu yang tidak boleh ia remehkan.
Pancaran energi berhasil menusuk setiap sendi miliknya. Ini merupakan salah satu siksaan berat untuk seseorang yang memiliki kelebihan seperti dirinya. Ia sangat peka terhadap perubahan energi yang ada disekitarnya.
'jangan takut anakku. Saya tidak akan memakanmu
mhihihi.'Tawa gadis itu terdengar jelas, membuat sekujur tubuhnya semakin kaku. Dari sudut penglihatannya tampak jelas penampakan gadis itu. Jika ia menggambarkannya, sosok tersebut tampak seperti seorang Dewi. Bangsa Tiongkok sering menyebut kecantikan semacam itu sebagai kecantikan yang mampu menjatuhkan negara.
Paras rupawan yang tak pantas disandingkan dengan para bangsawan wanita Belanda. Wajah ini adalah wajah gadis pribumi dengan pesona Dewi yang mengelilinginya. Jika ia lupa bahwa sosok ini bukanlah manusia, mungkin ia telah bersimpuh meminta untuk dinikahi.
Namun ia masih waras dan berakal. Masih ingin memiliki anak dan cucu yang nyata. Bahkan secantik apapun yang dimiliki oleh roh leluhur ini, ia tidak akan tergoda. Ia masihlah seorang kesatria dengan harga diri yang pantas. Pantang baginya untuk jatuh pada pesona mahluk yang berbeda alam.
'apa yang kamu bawa? Tidak ingin berbagi pada ibumu?'
"Mohon maafkan saya. Saya hanya membawa bekal barang yang melekat di badan. Tak punya apa-apa untuk dibagi."
Mendengar jawaban Jiwana perempuan tersebut tertawa keras.
'jangan sering berbohong, macam orang berambut jagung (pirang). Lupa tanah lupa air, akan mati di terpa api. Jika masa telah habis kau akan menemaniku menjadi abu,' ucapnya sambil tersenyum.
Nasihat dari seorang leluhur tentulah harus ia hapal dan pahat di dalam hati. Sebagai seseorang yang makan dan minum dari alam yang ia injak, harus tau balas Budi dan terima kasih.
Tanggapan pemuda itu membuat sosok itu tersenyum sumringah. Banyak anak tak pantas dinasehati dan bebal terhadap peringatan. Salah dengar maka salah jalan, salah ucapan maka akan menyesatkan.
Setelah memberi nasihat singkat, seorang laki-laki lain terlihat membawa berbagai macam bunga dan wewangian. Laki-laki itu berlutut sambil menyembah pada sang batu. Ia terlihat mengucapkan bebagai macam permohonan dan itu membuat Arwah Leluhur itu sedikit marah. Ia menegur keras laki-laki itu. Hanya saja, laki-laki itu bodoh dan tak memiliki kemampuan khusus. Jadi Arwah leluhur itu pun menyampaikan pesan melalui Jiwana, agar dapat menyingkirkan laki-laki itu sebelum sang Leluhur membunuhnya.
'jika anak belum yakin dan paham pada garis hidup jangan lah goyah keyakinan. Meminta sesuatu yang fana dan menghilangkan yang kekal. Singkirkan laki-laki itu, baunya macam bangkai. Bekal yang ia bawa adalah sesuatu yang busuk menyesatkan hati.'
Tanpa berfikir panjang ia segera menghampiri orang itu lalu menepuk bahu laki-laki itu pelan. Tampak jelas guratan kekesalan yang menghiasi dahinya. Namun terlalu sungkan dan enggan mengeluarkan kata kata kasar.
"Jika belum paham dan mengerti garis hidup janganlah goyah keyakinan. Meminta sesuatu yang fana dan menghilangkan yang kekal," ucapnya tersenyum.
Jiwana mengambil kantong di sabuk kirinya dan mengeluarkan sejumlah kepingan uang untuk dibagi pada orang itu. Meletakkannya pada tangan kanan serta menutupnya agar tak terlihat jumlah yang ia beri. Hal ini dilakukan untuk menyisakan sedikit harga diri kepada orang yang ia beri.
Melihat dirinya diberi banyak uang, laki-laki itu meneteskan air mata. Ia percaya pada keyakinannya namun tak punya cukup harga diri melihat anak dan istrinya kelaparan. Banyak orang yang menjauhinya karena tak berdaya, hanya dengan cara sesat semacam ini yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan pundi-pundi uang.
"Terima kasih banyak," ucapnya pilu.
Laki-laki itu segera bangkit dari duduknya. Berlari menembus hutan untuk memberi makan keluarganya di seberang desa. Kakinya yang lelah duduk tak terasa pegal saat ia menggenggam sejumlah uang ditangannya.
Melihat hal itu Jiwana sedikit terenyuh. Manusia adalah mahluk yang rapuh dan mudah dirayu. Uang dan jabatan adalah kebaikan dan kejahatan disaat bersamaan.
Banyak orang kehilangan harapan dan keinginan untuk hidup, mencari sesuatu dari yang ghaib untuk dimintai pertolongan. Keputusasaan adalah bukti nyata betapa rentannya hati manusia.
Ia ingin berterima kasih pada sosok tersebut, namun saat ia berbalik sosok tersebut telah menghilang. Sebagai sebuah pohon tentu mereka tak boleh melupakan akarnya. Sebagai penghianat negara ada rasa bersalah yang tiba-tiba muncul dihatinya.
'apakah jabatan dan uang yang aku dapatkan adalah sesuatu yang kekal atau fana?'
Merasa bingung atas dirinya sendiri, Jiwana pun melanjutkan perjalan dengan berfikir. Jalan yang ia tempuh pun terlihat acak tanpa tujuan.
Kakinya tersandung akar besar dari sebuah pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. Membuatnya sedikit goyah karena kaget. Namun penglihatannya jatuh pada anak sungai tak jauh dari tempat ia berdiri.
Suara air mengalir terdengar namun tak terkesan deras dan cenderung tenang. Para gadis biasa menggunakannya sebagai tempat untuk membersihkan tubuh sebelum memulai aktivitas harian mereka.
Tawa riang sekumpulan gadis berhasil memasuki telinganya. Mereka bersenda gurau mengenai laki-laki yang mereka sukai.
"Kakak Ijong sangat pandai memainkan seruling. Bahkan suaranya masih terdengar di telinga saat malam menjelang."
Suara riuh semakin terdengar diantara kelompok wanita tersebut. Hal ini memang sering terjadi pada kumpulan wanita di sungai. Mereka akan bercengkrama dan menambah suasana menyenangkan, sambil membersihkan badan dan pakaian yang mereka pakai setiap harinya. Namun ada satu wanita yang berhasil mengalihkan perhatiannya.
Gadis itu terlihat tersenyum tenang mendengar cerita temannya. Wajahnya halus memancarkan ketenangan, sangat cocok dengan yang diinginkan tuannya.
Ia merasa bersyukur, setelah bersedekah sedikit uang, ia mendapat kemudahan dari Tuhan atas tugasnya. Ada sedikit rasa bersalah disudut matanya karena melihat sesuatu yang harusnya tidak boleh ia lihat pada gadis-gadis itu. Namun rasa bahagia telah berhasil mengalihkan perhatian nya. Betapa beruntungnya ia.
Langkah Jiwana semakin ringan mengingat ia sudah memiliki kandidat yang tepat untuk tuannya. Senyum sumringah dan berwibawa tetap terpatri di wajahnya. Sebagai kesatria ia harus mempertahankan citra mulia untuk membuat orang semakin segan padanya.Di jaman Kolonial ini kita harus memiliki sedikit keserakahan untuk mendapatkan kesejahteraan. Menjadi naif dan terlalu berempati pada orang lain dianggap sebagai kehancuran dini.Mereka yang berjuang demi tanah air harus terkubur diusia muda, dengan banyak penyesalan dan air mata. Mereka bodoh dan terlalu percaya diri dan Jiwana bukan orang yang sama seperti mereka. Ia adalah orang yang hidup untuk dirinya sendiri.Hidup bergelimang harta dan akan menikahi gadis cantik adalah impian semua pria. Mengumpulkan sedikit pundi-pundi uang dari hasil menjilat para kaum kulit putih. Terdengar menjijikkan namun menjanjikan. Mereka yang terlalu setia pada tanah air tak akan berakhir dengan
Langkah kaki Jiwana terus menyusuri jalan setapak menuju hutan. Ia hampir mencapai pagar perbatasan antara desa dan hutan bagian dalam, akan tetapi suara nyaring dari arah belakang segera membuatnya berbalik."Tuan tunggu dulu!" Orang itu segera berlari menuju ke arahnya. "Ada hal yang lupa Tuan kami sampaikan kepada pelungguh. Tuan kami akan mengadakan pertemuan di Balai Desa terkait dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tuan kami mengharapkan agar tuan juga ikut dalam musyawarah tersebut.""Oh tentu saja saya pasti akan ikut." Sambil tersenyum ramah.Mendengar kepastian dari Jiwana orang itu pun tersenyum sumringah. "Terima kasih Tuan. Kami akan menunggu tuan pada besok malam di Balai Desa."Orang itu pun mengucap pamit dengan wajah senang. Ia sebenarnya telah menyiap
Malam telah berganti malam, rasa lelah terus menyelimuti hatinya. Punggung serta tubuhnya yang letih membutuhkan istirahat. Jiwana terus menghela nafas dengan pelan. Ada rasa frustasi yang tersimpan didalamnya.Setiap hari ia harus berkeliling ke setiap rumah warga di seluruh Desa. Berusaha meyakinkan mereka untuk ikut bersamanya, sambil berharap bahwa mereka akan tertarik walau hanya dengan iming-iming uang dan gotong royong.Matanya seolah terpejam sejenak, menikmati kebohongan yang ia sampaikan setiap harinya.Ada rasa malu terselip dihati Jiwana, akan tetapi jumlah uang yang ada didalam kantongnya telah berhasil menutup hatinya. Ia adalah seorang pendosa untuk kaumnya, tetapi seorang raja untuk ambisinya. Ia bahagia menjadi orang yang egois dan ia ingin seperti itu selamanya.jiwana perlahan berjalan di jalan setapak menuju hutan. Suara hewan malam terus terdengar dan menemaninya, ia terbia
Suara desiran angin yang kencang terdengar keras dibalik daun-daun yang bergesekan. Suara rapalan-rapalan mantra memenuhi gendang telinganya. Mereka tersenyum senang sambil menusuk jantung mereka sebagai bentuk pengabdian.Tangan Jiwana terus mendekat, mencoba meraih mereka dan mencegah agar pisau itu tidak merobek jantung. Namun tubuhnya seolah terpaku ditempat yang sama dan tak bisa kemana-mana.Matanya terus melotot kaku menyaksikan adegan berdarah didepannya.Ritual telah usai namun api biru itu tidak juga padam. Seolah mengatakan bahwa aku abadi. Kobaran api yang membara perlahan-lahan berubah menjadi bentuk manusia. Api itu terus menunjuk Jiwana dengan marah."Semuanya adalah salahmu!!"Suara itu terus menggema memenuhi hutan. Bahkan pohon-pohon bergoyang dengan keras menambah kengerian didalamnya.Jiwana kesal dan putus asa. Dadanya sesak dan tak bisa mengatakan apa
Suara langkah kaki terdengar sangat mengganggu. Ranting-ranting kecil yang terinjak membuat Sina sedikit kesal karena berisik. Hal itu dikarenakan sangat jarang orang yang masuk ke hutan ini tanpa permisi dan adab yang buruk.Sina segera keluar dari gubuk dan melihat sekelompok orang mendekat. Laki-laki berambut pirang yang merusak persembahan milikinya terlihat memimpin rombongan itu. Tinggi laki-laki itu benar-benar tidak manusiawi. Rambut pirang serta kulitnya yang putih menampilkan kecantikan khas orang Barat."Kemana Jiwana?" Ucapnya tidak sabar."Sepertinya Tuan Jiwana belum kembali, tadi ada seorang warga yang memberitahu saya bahwa Tuan Jiwana pergi ke pasar."Wajahnya segera memerah karena marah. "Lalu apakah aku harus menunggu?!"Mereka segera menunduk takut. Pieter bukan orang bisa mereka bujuk, hanya Jiwana yang paham sifat laki-laki itu. Namun salah seorang dari ke
Tangan kecil membelai wajah Jiwana. Tangan itu milik seorang gadis dengan wajah rupawan serta mata yang menyilaukan. Gadis itu terus menatapnya sambil tersenyum manis.Jiwana heran dan terus menatap takjub pada gadis kecil didepannya. Namun gadis itu seolah tidak peduli dan terus membelai pipinya dengan lembut."Istirahatlah, aku akan menemanimu disini." Ucapnya lembut.Seolah tidak mendengar perintah dari gadis itu, Jiwana terus menatapnya dan enggan untuk tertidur. Namun gadis itu segera memukul kepala Jiwana dengan keras, lalu memarahinya dengan mata tajam."Saka, aku menyuruhmu untuk tidur maka tidurlah. Aku tidak akan meninggalkanmu jadi kamu jangan takut!" Ucapnya keras.Entah kenapa hati Jiwana terasa nyeri saat mendengar gadis itu memarahinya. Seolah hatinya merasakan sakit yang tak terhingga dan merasa kecewa yang mendalam. Ta
"Penguasa api biru? Heh." Pieter tersenyum remeh.Ia terus menatap badai yang mulai mereda. Hal itu membuatnya jengkel karena banyak pekerjaan yang menumpuk dan harus tertunda karena cuaca buruk. Ditambah lagi kata kakek tua itu yang terus menghantuinya. Ada rasa penyesalan dihatinya, penyesalan karena tidak membunuh orang itu dengan lebih kejam."Bahkan jika Tuhan marah padaku, apa yang bisa Dia lakukan?"Pieter segera berbalik dan masuk kedalam rumah mewahnya, mencoba mengerjakan pekerjaan yang tertunda. Namun sebelum ia membuka pintu ruangannya, ada seseorang yang memanggil namanya."Tuan Pieter."Pieter segera menoleh, terdapat seorang pemuda pribumi yang menunduk didepannya. Pemuda itu memakai pakaian khas, namun masih terlihat lusuh."Ada apa?""Tuan besar ingin bertemu dengan anda di ruangan pribadi beliau."Tanpa berfikir panjang, ia segera pergi menuju ruangan sang ayah. Sebagai anak bungsu dan dari tiga bersaudara dan
Suara ketukan terdengar jelas ditelinga nya, namun rasa kantuk dan lelah telah menyelimuti tubuhnya. Walaupun hati kecilnya seolah memperingatkannya untuk bangun, akan tetapi hal itu sangat sulit ia lakukan. Lana mendengar dengan samar suara wanita di luar kamarnya."Tuan, pintunya tidak terkunci.""Benar-benar ceroboh, bagaimana bisa seorang gadis tidur tanpa menutup pintu! Bangunkan dia sebelum aku yang kesana dan membangunkannya!"Itu suara ayahnya, Lana segera membuka matanya dengan susah payah. Namun suara teriakan wanita itu berhasil mengalihkan perhatiannya.Matanya yang melotot kaget tertangkap jelas di penglihatan Lana. Satu persatu orang-orang mulai datang, namun ia belum menyadari apa yang salah hingga wajah mereka terlihat begitu kecewa.Ayahnya terlihat memerah dan berteriak keras. Entah apa yang beliau ucapnya, Lana tak bisa mendengarnya. Hal yang ia lihat adalah wajah kecewa sang ibu. Ada air mata disana dan ia ingin menghapusn