Part 8Aku di sini memeluk lara, melambungkan harap, menunggu sosok itu datang agar dapat menceritakan banyak hal. Akan tetapi, yang kudapat hanyalah sepi. Pintu berderit bukan karena dibuka seseorang, melainkan terdorong angin yang berhembus kencang. Bapak, kau dimana sekarang?*Dinis****Hasbi berteriak senang saat melihatku datang. Ia langsung berlari memeluk. Langsung saja kuberikan es yang sudah hilang dinginnya. Ia menegyk sampai habis tak bersisa. Aku bahagia meski harus menahan diri untuk menikmati minuman yang jarang kubeli itu.“Lasmi, tunggu sebentar ya! Aku mau ambil uang dulu sama bude Darmi.” Aku paham jika Lasmi sudah menunggu uang dariku.Tubuh lelahku berlari menuju rumah bude Darmi yang hanya berjarak dua rumah.Mbak Fariha sedang memilih jajan untuk acaranya. Sebenarnya bukan ulang tahun yang besar. Hanya saja, beberapa orang kampung yang berkecukupan biasa mengadakan selametan weton (membuat bubur di hari kelahiran) di bulan Hijriah yang sama dengan pada saat lahi
Part 9“Dinis, Mbak, buka pintunya!” Suara itu kembali memanggil.Aku terkesiap antara takut, berharap dan senang. Dengan langkah pelan berjalan menuju pintu dan membukanya. Mataku melebar sempurna melihat ibu berdiri di sana dengan wajah yang penuh lebam.“Benarkah ibu? Benarkah ini ibu?” tanyaku tidak percaya.Ibu memelukku erat. Di belakang ada dua orang polisi yang segera pamit. Aku membawa masuk ibu ke dalam. Sesekali mengaduh saat tanganku tak sengaja menyenggol badannya.“Ibu sakit? Apa ibu dipukuli?” Aku bertanya yang dijawab dengan pelukan.“Yang penting sekarang kita sudah bersama lagi. Apa Hasbi menangis dan rewel? Terus, bagaimana kamu makan?” Ibu mengalihkan pembicaraan.Aku bercerita banyak hal tentang beberapa hari kelam yang kujalani kemarin.“Tidak apa-apa. Lebih baik kita dizalimi, daripada kita menzalimi, Dinis. Allah tidak tidur. Allah tahu apa yang kita rasakan dan Allah akan membalas air mata kira kelak, entah dengan cara apa,” ucap ibu sambil mengusap air matany
Part 10Hari yang sangat cerah secerah hatiku. Tak peduli dibenci oleh siapapun, asalkan ibu sudah berkumpul bersama kami, itu sudah cukup membuat diri bahagia. Berharap setelah ini, kami tidak akan terpisah lagi. Ibu terlihat lebih baik, meski sesekali masih berhenti saat berjalan, menahan sakit akibat luka yang ada di punggungnya.Sepiring nasi goreng dengan bumbu cabai hijau sudah terhidang di atas meja. Aku memakan dengan sangat lahap. Beberapa hari ini, sudah cukup menahan sedih.“Jangan dekati Dinda lagi. Jangan berurusan dengan dia. Jika dia memperlakukanmu dengan tidak baik, langsung pergi! Jangan hiraukan. Seseorang yang jahat akan merasa lelah menyakiti kita jika kita terlihat baik-baik saja di hadapan dia,” pesan ibu saat aku berpamitan hendak berangkat.Udara pagi menyapu wajahku. Sangat segar rasanya. Ah, selama ibu berada di penjara, aku tidak pernah menikmati
Part 11POV ResmiAku terdiam di sudut ruangan dengan pintu jeruji besi dalam keadaan baju yang terkoyak sobek. Rasanya sakit hati sekali diperlakukan sesadis itu. Meski beberapa saat lalu merasakan malu, tetapi sekarang yang kupikirkan adalah Dinis dan Hasbi.Mereka sedang apa?Tanpa aku, mereka hidup dengan siapa?Amarah yang memuncak pada keluarga Ratno seketika sirna, berganti sedih hati yang tak bertepi. Membayangkan dua buah hati harus hidup dengan berbagai cacian yang mendera. Keluargaku, sudah pasti akan semakin menyudutkan mereka.Beberapa hari harus tinggal di dalam penjara, aku selalu mendapatkan perlakuan yang buruk. Mereka tidak segan mencambuk hanya untuk mendapat pengakuan dariku. Sampai kapanpun, aku tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah kulakukan.Tangan ini tidak pernah mengambil uang seperti yang dituduhkan oleh Juragan Ratno dan juga istrinya. Malam itu aku hanya masuk rumahnya karena Hasbi meminta buang air besar. Akan tetapi, sungguh tidak menyangka sam
Part 12Memeluk dingin seorang diri. Meratapi nasib dalam sepi. Malam-malam yang ku lalui hanya berteman dengan air mata ....~~Resmi~~***Kutatap wajah polos yang tertidur dengan lelap. Mengusap pipinya pelan, merapikan anak rambut yang tak beraturan. Dinis, tak seharusnya kamu menanggung ini semua, Nak. Maaf telah menghadirkan kamu ke dunia ini hanya untuk ikut berkalung duka. Permintaan Dinis sebelum tidur membuatku dilanda bimbang. Menyusul mas Harno?Beberapa orang yang ada di Jakarta banyak yang memberikan informasi jika suami yang kucintai itu sudah berpindah tempat kerja. Sekarang, Dinis bilang jika ia melihat ayahnya di pasar dan di jalan?Mas Harno, sejak aku melahirkan Hasbi, perangainya berubah total. Jarang pulang dan jika pun pulang seringnya tidak membawa uang. Membuat mbak Darmi semakin mempunyai bahan untuk mengolok-olok dan menyalahkanku.“Hutang lagi? Bukankah suami kamu sudah pulang? Pergi kerja lama, masa tidak bawa uang?”Aku hanya bisa menunduk tatkala kakak p
Part 13“Mbak, makan dulu, Mbak ....” Sebuah ketukan di depan pintu membuatku bangun. Jujur saja, perut memang minta diisi.“Dinis, Mbak, bangun, kita makan yuk!” ajakku pada Dinis yang baru saja terlelap. Aku menggoyang-goyangkan badannya pelan.Dinis membuka matanya perlahan. “Ibu, aku lapar,” ucapnya pelan.“Iya, makanya, ayo kita makan,” ajakku lagi.Entah bagaimanapun sikap dari keluarga ini yang tiba-tiba berubah, perutku punya hak untuk diisi. Setidaknya agar punya tenaga untuk menghadapi kenyataan yang entah seperti apa. Sejak kedatanganku di rumah ini, aku punya firasat yang tidak baik.Suasana dapur tidak ramai, tetapi tidak juga sepi. Beberapa orang masih memasak di sana. Namun, tak satupun yang mau bertanya padaku.“Makan dulu,” ucap Wati sambil menyodorkan dua piring nasi dan sepiring bihun berbumbu kecap.Mataku menangkap setumpuk ayam yang sudah dimasak yang terletak di nampan, tak jauh dari kami. Aku melirik Dinis. Ia melihat makanan yang terlihat lezat itu dengan urat
Part 14 “Resmi, kenapa berdiri di balik tembok?” Sebuah suara membuatku kaget dan menghadap belakang. Ibu mertua sudah berdiri sambil menatap tajam wajahku. “Aduh, Mas, lupa kasih tahu. Tadi mbak Resmi kesini pas Maghrib.” Aku masih sempat mendengar suara Makmur. “Sudah, masuk kamar sana! Kamu besok pagi buta diantar suaminya Wati buat pulang. Soalnya mau banyak tamu dari Jakarta yang datang kesini. Butuh kamar banyak, daripada kamu tidak ada tempat mending pulang.” Sebuah kalimat pengusiran yang terdengar menyakitkan. Aku mendekap tubuh Dinis semakin erat. Mas Harno tiba-tiba sudah ada di sebelah kami. Mata ini menatapnya lekat. Pria tampan yang sudah hampir setahun tidak berjumpa, semakin terlihat gagah. Badannya sedikit berisi. Baju yang dipakai pun bagus. Rasa rindu dan marah bercampur menjadi satu. Aku tidak tahu, mana yang harus ku luapkan. Kami memang sering bertengkar. Mas Harno bukan orang yang romantis, dan juga tidak terlalu perhatian. Wataknya sedikit keras. Akan teta
Part 15 Kokok ayam berbunyi saling sahut menyahut--membuatku terjaga dari tidur yang hanya sebentar. Setelah mas Harno keluar kamar, aku tidak dapat tidur. Sempat keluar tengah malam mencari keberadaannya, ternyata suami yang sudah lama meninggalkanku itu tidur di kamar Makmur. Aku keluar kamar untuk mengambil air wudhu dan langsung berpapasan dengan Wati. “Mbak, Kang Udin sudah siap mengantarkan mbak Resmi pulang,” katanya tanpa peduli aku yang belum sadar penuh. Ternyata ucapan ibu mertua yang mengatakan kalau aku akan diantar pulang oleh suami Wati, benar terjadi. Di sini cukup paham, kalau aku sudah tidak berarti lagi di keluarga ini. Tidak perlu memaksa untuk dianggap ada, karena akan menambah sakit hati ini. “Tapi anak-anakku masih tidur, Wati. Aku kasihan sama Dinis kalau disuruh jalan kaki.” “Gak papa, nanti Kang Udin akan bantu gendong Dinis.” “Wati, aku tidak tahu, atas alasan apa kalian memperlakukan kami seperti ini. Kamu pun sama-sama wanita. Jika di posisiku sek