Dinis Maheswari, seorang anak yang harus bergantian mukena dengan ibunya karena kemiskinan yang membelenggu. Ia menangis meminta mukena baru karena sering diejek, namun ternyata hal itu mengantarkan pada kemalangan yang lain. Ibunya, Resmi, dituduh mencuri di sebuah rumah besar milik seorang juragan, membuat Dinis harus menjaga adiknya seorang diri. Resmi yang juga hidup dalam kemalangan yang besar, tidak mampu berbuat apapun. Sang suami, Harno meninggalkan mereka merantau ke Jakarta dan tak kunjung pulang. Sementara keluarga Resmi, memusuhi karena tidak setuju dengan pernikahannya dengan Harno. Pada suatu ketika, ia mendapati sosok yang diharapkan pulang itu ternyata sudah memiliki wanita lain. Resmi lalu bertekad untuk keluar dari keadaan menyakitkan itu.
view moreNote: Awal cerita ini berlatar waktu tahun antara tahun 1998-2000
Namaku Dinis Maheswari. Aku duduk di kelas tiga sekolah dasar.
Hidup dalam keluarga yang cukup kekurangan, membuatku harus memaklumi banyak hal termasuk tidak memiliki fasilitas dan barang-barang yang sifatnya harus dipunya. Termasuk sebuah mukena.
Ibuku, Resminanti, tidak dinafkahi oleh bapak. Sehingga dia harus berjuang seorang diri memberikan aku dan adikku makan.
Mukena menjadi barang mewah yang sangat kuimpikan sejak awal mengaji. Aku harus memakai mukena ibu secara bergantian. Hingga suatu ketika, ibu membelikanku sebuah mukena yang cukup cantik. Akan tetapi, karena mukena itulah ibuku harus berurusan dengan orang kaya bernama Juragan Ratno.
Ibuku mencuri uang untuk membeli mukena? Benarkah?
***
Part 1
“Bu, cepetan dong, Bu,” teriakku sambil memangku Hasbi, adik semata wayangku. Adzan Maghrib telah berhenti berkumandang beberapa menit yang lalu.
“Iya sebentar. Ibu masih menggoreng ikan asin nanggung,” jawab Ibu dari dapur dengan suara keras.
Aku sudah hampir menangis saat Ibu tergopoh masuk kamar dengan wajah yang basah. Sesekali kepalaku mendongak keluar jendela, melihat dan memastikan jika di luar masih sedikit terang. Akan tetapi, malam mulai turun sehingga langit justru terlihat semakin gelap.
“Mbak, maem. Mbak, maem.” Hasbi merengek meminta diambilkan nasi.
“Sudah lewat Maghrib, nanti Mbak terlambat lagi,” ucapku kesal dan masih hampir menangis.
Tak berapa lama Ibu keluar kamar dan menyodorkan mukena lusuh yang setengah basah. “Ibu tadi gak lap muka, ya? Ini basah,” protesku sambil berurai air mata. “Sudah lama, dibuat basah pula,” kataku lagi menggerutu.
“Kamu gak makan dulu?” tanya Ibu.
“Enggak,” jawabku sambil berlari ke masjid yang jaraknya lima ratus meter dari rumah.
Bisa kupastikan sampai sana orang sudah selesai dzikir. Segera ambil wudhu dan sholat lalu berlari ke rumah ustadz yang mengajar ngaji.
“Dinis terlambat lagi, Pak Ustadz.”
“Dinis pemalas.”
“Dinis harus dihukum lagi. Masa tadi gak ikut menata meja. Dinis juga gak pernah ikut dzikir.”
Ucapan menghakimi selalu keluar dari mulut teman-teman tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Aku diam saja karena memang di mata mereka semua, aku bersalah.
“Dinis kenapa selalu terlambat dan tidak ikut dzikir?” tanya Pak Ustadz terdengar sangat dingin.
Aku mengusap air mata yang keluar terus menerus. Sudah kupastikan, malam ini akan pulang paling terakhir karena harus piket seorang diri. Mengatakan kalau mukena yang kupakai harus menunggu Ibu dulu? Itu sama dengan bunuh diri. Mereka tahunya hanya membully saja, tanpa mengerti bahwa aku adalah orang susah.
Terkadang kesusahan kita adalah lelucon bagi mereka yang tidak memiliki nasib sama.
“Sudah, duduk! Tadarus dulu biar lancar ...,” kata Pak Ustadz menengahi.
Aku mengambil antrian mengaji paling terakhir. Teman yang tadi duduk disitu beringsut minggir, mencoba menjauh dari tubuhku yang berbalut mukena lusuh. Aku yang sadar diri segera menjauh dari dia. Tadarus Alquran untuk memperlancar bacaan saat nanti maju.
Beberapa teman ada yang mengobrol sambil tertawa.
“Besok aku mau dibelikan mukena baru sama Ibu,” ucap Nazma.
“Itu masih bagus, kok beli lagi?” tanya Rizka.
“Aku mau yang warna biru. Biar bisa buat ganti kalau lagi dicuci.”
Bibir ini tersenyum getir, menahan hati yang sangat pilu. Anak lain membeli mukena lagi karena ingin koleksi. Sedangkan aku? Harus menunggu Ibu sholat lebih dulu, baru dapat giliran untuk dibawa mengaji.
“Dinis, bilang dong sama ibu kamu biar belikan mukena. Itu sudah banyak bintik hitamnya. Lagian, kamu tubuhnya kecil, masa pakai mukena besar,” celetuk salah satu teman yang duduk di deretan depanku.
“Iya, Dinis. Terus bilang sama ibu kamu, jagain Hasbi kalau mau ngaji, jadi kamu tidak terlambat terus,” sahut yang lain.
Aku tidak mengindahkan apa yang mereka katakan. Membeli sebuah mukena adalah mimpi yang entah kapan bisa terwujud. Bapak pergi merantau ke Jakarta dan sudah lama tidak pulang. Sekalinya pulang, pasti memukul-mukul Ibu. Mana bisa meminta sama Bapak? Bahkan untuk bertanya saja, aku sangat takut.
“Asal kamu tahu, Pak Ustadz sebenarnya belum mau memulai mengaji kalau belum berkumpul semua,” celetuk teman lain. “Makanya, jangan membuat kami semua susah,” lanjutnya lagi.
Aku menundukkan wajah semakin dalam. Sungguh, berada dalam posisi ini adalah hal yang tidak ku inginkan. Berkali-kali aku hanya menelan ludah, menahan tangis di tenggorokan sehingga tercipta rasa sakit di sana.
“Sodaqollahul adzim,” ucapku sambil menutup Al Qur'an lusuh pemberian kakak sepupu.
Kami membaca doa sesudah mengaji. Setelahnya mereka semua berlarian keluar. Aku masih disini, berkutat dengan puluhan meja kecil. Menatanya dengan menahan sesak dalam dada.
Allah, kenapa harus aku yang menjadi anak yang tidak beruntung dalam hal kekayaan?
Aku pulang ke rumah, menapaki jalan yang sudah sepi. Cahaya remang dari lampu teras warga sedikit mengurangi rasa takut. Penerangan di kampung hanya mengandalkan kincir air, sehingga jalan tidak diberi lampu oleh warga.
Derit pintu membuat Ibu langsung berdiri menyambut. “Kamu belum makan, ayo, makan dulu,” ajak beliau.
“Aku sudah kenyang diejek teman-teman,” sungutku kesal.
Ibu menarik napas dalam. “Maaf ya, Mbak, Ibu belum bisa membelikan mukena buat Mbak,” kata beliau sambil mengusap sudut mata yang basah.
Aku tahu Ibu kesusahan memberi makan kami, tetapi aku hanya meminta mukena agar tidak harus bergantian dengan Ibu saat Maghrib tiba. Jika waktu sholat lain, aku masih bisa memaklumi, tetapi tidak dengan waktu Maghrib.
“Ibu, sampai kapan?” Tangisku pecah sambil terduduk di atas ubin yang di beberapa bagian sudah hancur.
Ibu mendekat sambil mengusap kepalaku. “Besok Maghrib, kamu langsung berangkat ya? Mbak tidak perlu menunggu Ibu sholat,” kata beliau.
“Benarkah?” Aku bertanya senang.
“Iya,” jawab Ibu sambil memeluk.
Seperti biasa, kami tidur bersama di atas dipan kayu yang kasurnya sudah tidak terlalu empuk. Tengah malam aku terbangun. Ibu masih terjaga sambil menjahit kain jarik di bawah remang cahaya lampu.
***
Tidak ada hidup yang sempurna. Begitu yang selalu ibu katakan. Meski baru duduk di kelas tiga SD, aku sering dipuji orang karena menjadi juara kelas, tetapi selalu diejek dengan kemiskinan yang membelenggu keluarga. Belum lagi gosip tidak sedap tentang bapak yang sering dibawa orang dari Jakarta, membuat diri menjadi orang yang lebih memilih menyendiri saat bermain di sekolah karena tidak ingin dibully.
Sore itu, ibu langsung memberikanku mukena dan menyuruh untuk cepat berangkat. Aku menerimanya dengan perasaan bahagia--benda putih yang sudah berbau harum. Tidak seperti tadi malam saat memakainya.
“Dinis mukenanya robek di bagian kepala,” ucap seorang teman.
“Iya, rambutnya kelihatan, sholat sama ngajinya tidak sah itu,” tambah yang lain.
“Giliran berangkat tepat waktu, mukenanya robek.”
Tangan ini langsung memegang kepala, dan benar saja, rambutku langsung bersentuhan dengan kulit. Kali ini tidak bisa lagi kubendung rasa malu. Tidak peduli kalau belum mulai mengaji, aku langsung berlari pulang.
“Maafkan Ibu, itu Ibu sikat lama biar bintik hitamnya keluar.” Ibu mencoba memberi penjelasan yang justru membuat aku tambah marah.
Malam ini, aku memilih tidur sendirian di kamar lain. Rasanya besok tidak ingin keluar rumah agar tidak malu.
Part 49Suasana kota Surabaya sangat ramai malam hari. Harun sudah berganti kostum memakai celana dan kaos yang berbeda, tetapi tetap terlihat menawan di mata Resmi.“Besok kamu pagi-pagi aku antar ke salon, ya? Aku akan mengajak kamu ke undangan pernikahan anak temanku. Kamu jangan kaget, karena tamu yang hadir memang dari kalangan atas.”“Memangnya teman Pak Harun yang punya hajat, bekerja sebagai apa?”“Dia kapolresta. Istrinya seorang dokter.”Resmi menunduk dan memainkan jari-jarinya. Merasa sangat rendah dan semakin penasaran dengan sosok Harun sebenarnya.“Dulu aku punya bisnis di bidang properti. Aku dan temanku membangun bisnis bersama. Usaha yang kami kelola di bidang pembangunan perumahan. Aku dan temanku membeli lahan milik warga yang tidak produktif, lalu kami memasarkannya. Jika ada yang berminat, baru kami membangun rumah sesuai model yang diinginkan orang itu. Sebelum ini, aku sudah sampai di Surabaya juga. Kalau di Surabaya, yang kami bangun rumah kontrakan, lalu menye
Part 48Resmi telah kembali pada rutinitas sebelumnya. Namun, ada yang berbeda, karena ia akan menjadi nyonya di rumah itu, maka sekarang urusan rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Seperti menyediakan bahan makanan, membayar pembantu, listrik dan lain-lain. Di awal kepergian saja, Harun langsung memberikan uang nafkah padanya. Benar-benar Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella.Dua minggu setelah kepergian Harun, Resmi akhirnya mendapatkan akta cerai yang dikirim melalui pos. Hatinya sangat lega dan bahagia. Ia pun langsung memberitahukan hal ini pada Normi.“Ya sudah, berarti sembilan puluh hari dari hari ini, kamu akan menikah dengan Harun. Tidak usah menghitung bulan dan hari baik. Karena semua hari itu baik untuk menikah. Nanti Ibu yang akan memberitahu Harun.” Normi sangat bahagia mendengar kabar ini. “Ah, lihat akta cerai kamu dulu. Kapan itu tanggalnya? Maksudnya tanggal kamu benar-benar sudah bercerai dari lelaki itu.”“Ini keluarnya sepuluh hari yang lalu, Bu,”“Berarti k
Part 47“Aku sudah merindukan kamarku,” kata Dinis sambil meregangkan kedua tangan di depan rumah.Resmi tersenyum melihat tingkah anaknya yang menganggap rumah majikannya sebagai rumah sendiri. Meskipun sudah ada kesepakatan hubungan dengan Harun, tak lantas membuat wanita itu percaya diri.“Bapak punya sesuatu yang spesial untuk kalian,” kata Harun membuat langkah Dinis berhenti.Gadis kecil itu berbalik dan menatap pria yang berdiri di samping pintu mobil. “Apa?” tanyanya.“Berhenti dulu,” kata Harun. “Tutup mata kamu, sini Bapak bantu,” lanjutnya.Satu telapak tangan saja sudah bisa menutup wajah mungil Dinis. Hasbi yang tertidur lelap diangkat oleh sang ibu.“Apa sih, aku penasaran,” seru Dinis.Resmi yang tidak tahu apa-apa memilih diam dan mengikuti keduanya dari belakang. Ia kaget saat Harun membawa anak sulungnya menuju kamar utama di rumah itu. ruangan pribadi yang ia pikir itu dipersiapkan untuk anak Harun yang sudah lama meninggalkan rumah. Sesekali ia masuk hanya untuk me
Part 46Harun seakan memiliki semangat yang seribu kali lipat untuk melanjutkan hidup. Setelah kepulangan Normi dengan membawa kabar buruk, lelaki itu mulai pergi menemui kolega yang telah lama tidak dijumpainya. Ia mencari peluang bisnis baru yang sedang ramai saat ini.Lelaki itu juga mulai menata rumah. Dua kamar yang kosong dicat kembali serta dibelikan kasur dan lemari yang baru. Warna pink dipilihnya untuk satu kamar yang paling besar ukurannya dibandingkan kamar lain.“Gordennya juga harus warna pink, Harun, Itu pantas untuk kamar cewek,” sahut Normi saat melihat dalam kamar. “Kalau kamar Hasbi, harus warna biru, yang teduh.“Ah, iya, Bu. Kamar ini juga harus ada AC, biar Dinis nyaman saat tidur,” sambung Harun.“Tapi sepertinya mereka akan lama di desa,” ucap Normi.“Yang penting mereka kembali ke rumah ini, Bu. Ah iya, Bu, aku besok mau pergi ke Surabaya. Mau menemui teman. Rencananya aku akan membuka dealer motor bekas untuk sementara ini. Sambil melihat peluang bisnis yang
Part 45“Siapa yang datang, Resmi?” Normi bertanya sambil mengusap mata, pandangannya sering mengabur jika malam hari.“Aku suaminya Resmi. Anda siapa di rumahku?” Harno balik bertanya.“Apa kamu bilang? Ini rumahmu? Ini rumahku,” bentak Resmi.“Oh, jadi kamu suami tidak bertanggung jawab yang membelikan mukena anak saja tidak bisa? Sampai istri harus masuk penjara, memangnya kamu kemana? Kenapa sekarang pulang?” Normi yang geram langsung memberondong Harno dengan pertanyaan menyudutkan.“Jaga ucapan, Anda! Jangan macam-macam di rumah orang. Resmi, siapa wanita tua ini?”“Harno, ayo ikut aku,” ajak Resmi sambil menarik lengan pria yang masih menjadi suaminya sebelum terjadi perdebatan panjang. “Bu, jaga anak-anak di dalam!”“Bu? Berlagak sekali kamu, resmi panggil orang ini Bu?”“Ikuti aku, atau kami akan ramai-ramai memukul kamu, Harno?” ancam Resmi.Harno mengekor, mengikuti langkah Resmi menuju samping rumah.“Mau apa kamu kesini?” tanya Resmi lagi.“Jelas mau pulang lah, aku kange
bu dan anak itu pulang dengan perasaan yang kecewa.“Uang bapakmu sudah habis untuk pesta pernikahan Imah, Harno. Untuk biaya tujuh bulanan dan juga lahiran, kamu coba cari. Belum lagi Siti yang terancam jadi janda. Harno, apa kamu tidak bisa berbuat apapun?”Semakin hari, Harno semakin dibuat tidak nyaman dengan segala permasalahan yang terjadi. Ia memilih pergi beberapa hari, menginap di berbagai rumah orang di kecamatan Resmi. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar jika Resmi sudah mengajukan gugatan cerai.“Jadi dia sudah pulang?” tanya Harno.“Iya, Resmi sudah berubah menjadi cantik sekarang.”Harno langsung berdiri dan meminta salah satu orang yang membawa motor untuk mengantar.“Mau kemana kamu, Harno?”“Pulang ...,” teriaknya dari atas motor yang sudah berjalan.‘Gak bisa, Resmi tidak boleh meminta cerai dari aku disaat keadaanku seperti ini. Murni sudah pergi menjauh dan aku tidak punya uang untuk menemui. Imah sedang hamil dan butuh biaya banyak. Mbak Siti juga terancam jadi j
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments