Dinis Maheswari, seorang anak yang harus bergantian mukena dengan ibunya karena kemiskinan yang membelenggu. Ia menangis meminta mukena baru karena sering diejek, namun ternyata hal itu mengantarkan pada kemalangan yang lain. Ibunya, Resmi, dituduh mencuri di sebuah rumah besar milik seorang juragan, membuat Dinis harus menjaga adiknya seorang diri. Resmi yang juga hidup dalam kemalangan yang besar, tidak mampu berbuat apapun. Sang suami, Harno meninggalkan mereka merantau ke Jakarta dan tak kunjung pulang. Sementara keluarga Resmi, memusuhi karena tidak setuju dengan pernikahannya dengan Harno. Pada suatu ketika, ia mendapati sosok yang diharapkan pulang itu ternyata sudah memiliki wanita lain. Resmi lalu bertekad untuk keluar dari keadaan menyakitkan itu.
View MoreKaki putih yang terselubung sandal berhak tinggi, mulai menapaki jalan berbatu yang tertata rapi. “Resmi?” “Resmi? “Resmi benarkah ini kamu?” Tetanggaku berteriak girang. Aku tersenyum dan menyalami mereka. “Kamu cantik sekali. Pangling aku.” “Resmi, ya Allah, kamu sudah lama pergi, kemana saja?” “Jadi babu ....” Aku tetap sama. “Aku pulang dulu ya?” Kembali berjalan lagi menyusuri jalan yang penuh kenangan. “Resmi ... itu kamu?” Mbak Darmi kaget saat melihatku datang. “Iya, Mbak. Apa kabar?” sapaku. Bagaimanapun, Mbak Darmi adalah saudaraku. Aku menyalami dia, tetapi langsung gegas pergi. Dengan langkah cepat segera memasuki pekarangan. Rumahku terlihat tidak terawat, dan yang membuat hatiku panas, pintu terbuka lebar dan banyak sekali sampah daun dan bunga bekas mainan anak kecil. Ya Allah, aku masih hidup, tetapi rumah itu sudah bak tempat umum saja yang bebas digunakan siapapun. beberapa jendela ada yang rusak terbuka, sepertinya ulah anak-anak nakal. Geram, aku masuk k
Part 39“Tapi beneran ya, aku diantar pulang setelah selesai tes?” ucap Dinis memasang wajah sedih.“Iya, nanti kamu pulang sama Mas Roni,” jawab Bu Normi. Atas pertimbangan banyak hal, Dinis yang hendak mengikuti tes catur wulan ditahan Bu Normi agar tidak ikut pulang. Ia akan menyusul satu minggu lagi diantar Romi.“Sabar ya, nanti kamu bisa di sana sebulan. Setelah selesai tes, kamu akan langsung menyusul,” ucapku pada Dinis.Aku akan pulang untuk mengurus banyak hal, oleh karenanya, Hasbi juga ditahan oleh Bu Normi untuk sementara waktu.“Gak papa, nanti ada Mbok Jum. Dia juga sudah biasa tidur dengan Harun sekarang,” kata Bu Normi.Akhir-akhir ini, Hasbi lebih dekat dengan Pak Harun dan sering tidur bersama. Aku harus mengambil keputusan ini agar tidak terganggu dengan Hasbi.“Bu, apa tidak merepotkan nanti kalau anak-anak aku tinggal?”“Apa selama ini aku kelihatan tidak ikhlas dengan anak-anak kamu?” Bu Normi balas bertanya.“Baik, Ibu, aku akan pergi sendiri.”***NA***“Hati-
“Panggil bapak. Bapak saja, tanpa ada embel-embel Harun. Kalau kamu gak mau panggil itu, nanti pas menang dan maju tingkat kota, aku tidak mau mengajari,” Pak Harun berbisik di telinga Dinis sehingga posisi kepalanya condong pada pangkuan dimana Dinis berada.“Baik,” kata Dinis cepat.“Wah, ini orang tua kamu ya?” Tiba-tiba seseorang berpakaian guru menghampiri.“Em ....” Dinis hendak menjawab.“Iya, kami orang tuanya.” Pak Harun cepat menjawab sebelum Dinis selesai berbicara.Pria itu mengangguk-angguk dan berpamitan.“Siapa dia?” tanya Pak Harun pada Dinis.“Orang itu jadi pengawas tadi di dalam, sering menghampiri aku dan tanya-tanya. Kenapa Pak Harun bilang orang tuaku?”“Supaya kamu menang,” jawab Pak Harun asal.Kami kembali diam. Tak lama kemudian, Dinis tiba-tiba berbicara lagi.“Ibu, aku ingin pulang ke desa.”“Kamu ingin tinggal di sana lagi?” Pak Harun yang menjawab.“Enggak. Aku cuma pengin pulang dan ketemu sama Suci. Habis itu, kesini lagi.”“Kalau kamu menang lomba, Bap
Part 38Pak Harun sudah tidak lagi menggunakan kursi roda. Ah, seperti sedang bersandiwara saja kemarin-kemarin saat masih duduk di atasnya. Kenapa terapi beberapa minggu saja, dia sudah bisa berjalan?“Kamu melihatku terus dari tadi, ada apa?” tanya Pak Harun membuat aku salah tingkah.“Ah, enggak, kenapa Bapak sudah bisa berjalan sekarang?”Aku berlalu dengan segera, menghindar dari rasa malu.Pagi ini, seperti biasa kami makan bersama. Dinis sudah rapi karena hendak mengikuti loma di tingkat kecamatan. Ia sudah tidak lagi canggung saat diajak makan satu meja dengan keluarga ini.“Harun, kamu mau kemana sudah rapi?” tanya Bu Normi.“Ada acara, Bu.”“Kamu naik apa nanti?”“Diantar Romi.”Aku tidak melirik mereka sama sekali, memilih menyuapi Hasbi sampai habis.Tinggal di rumah Bu Normi, rasanya sudah betah, tetapi sadar kalau aku wanita yang masih beristri dan ada Pak Harun yang menjadi duda. Aku sudah berpikir hendak mencari rumah kontrakan. Namun hal tersebut belum ku utarakan pad
“Pulanglah! Urus perceraian kamu, dan Roni akan datang ke kampung kamu untuk mengurus pernikahan kalian. Lebih cepat lebih baik, Resmi. bila sekarang kamu belum mencintai Harun, belajarlah mencintai dia. Tidak semua pernikahan yang didasari oleh perjodohan, akan menimbulkan penderitaan. Kamu menikah dengan suamimu atas dasar cinta bukan? Tapi buktinya apa, dia menyakitimu ‘kan? Harun orang yang setia. Ditinggalkan istrinya dulu, ia memilih terpuruk.”Aku menunduk bingung. Mereka adalah sumber uangku saat ini. Jika aku menolak, aku harus kemana lagi? Jika menerima, hati masih terasa sulit membuka.Ya Allah, aku harus bagaimana? Tunjukkan jalan apa yang harus ku pilih?Aku menjerit dalam hati.“Itu adalah sebuah tawaran, Resmi. Kamu bisa menerima, bisa juga menolak. Jika pun kamu menolak, kamu masih bisa kok bekerja di toko. Aku sudah merasa sangat cocok dengan kamu. Aku bukan orang yang bisa mudah menerima orang baru. Ini hanya unek-unek yang ada dalam hatiku. Maaf jika kamu merasa ter
Part 37“Te-terima kasih, Pak, sudah membantu saya. Maaf jika harus melibatkan Bapak dalam situasi ini,” ucapku sambil mengamati Pak Harun yang masih berdiri tegap. “Itu, Pak, Anda sudah bisa berjalan,” kataku lagi.“Mau sampai kapan kamu hidup dalam ketidak pastian? Lelaki itu akan mencarimu terus, selama kamu belum bercerai dari dia. Selama kalian masih punya ikatan, maka ia berhak atas diri kamu, apapun latar belakang masalahnya, memang benar, kalian saat ini masih bersama, jadi dia punya hak atas kamu,” jawab Pak Harun.Hatiku mengiyakan apa yang lelaki itu katakan. Diri ini terlalu pengecut untuk hanya sekedar pulang mengurus status.Pak Harun berjalan, masuk kamar lalu menutup pintu. Meninggalkan kursi rodanya begitu saja.***NA***Tanganku gemetar saat menerima gaji dari Bu Normi. Tidak percaya karena isi amplopnya cukup tebal. Aku membuka perlahan dan mengintipnya. “Bu, ini terlalu banyak,” ucapku tidak percaya.“Tidak, itu sepadan dengan pekerjaan kamu yang banyak. Lagi pula,
“Naik jabatan jadi sopir ya, menggantikan kamu,” balasku dengan candaan.“Yah, kok jadi sopir, jadi nyonya dong, Mbak. Nyonya Harun,” teriaknya kencang.Refleks aku memukul tangannya keras. “Jangan sembarangan kalau bicara! Aku ini pembantu.”“Mbak, kenapa sih merendah terus? Gak pengen nasibnya berubah apa?”“Ya pengen, tapi candaanmu keterlaluan lho. Itu majikan kita.”“Ya ‘kan sudah didoakan siapa tahu jadi nyonya.”“Sudah, sudah, berhenti bercandanya. Kita harus pulang.”“Salut aku sama Mbak Resmi. Selalu merendah dan tahu diri. Jarang-jarang lho, Mbak wanita kayak gitu. Yang banyak itu matre, kalau lihat orang kaya ya penginnya deketin. Aku pengen punya satu cewek yang kayak Mbak resmi, tapi yang muda, kalau Mbak resmi ketuaan, hahahaha ....” Roni tergelak.Aku menoyor bahu pemuda itu dan meninggalkannya.“Sudah selesai tadi main pasirnya?” Aku bertanya pada Hasbi yang mulutnya penuh dengan kelapa.“Sudah. Mau mandi, Ibu, lengket.”Tak sengaja tatapan kami, aku dan Pak Harun bers
Part 36Melupakan rasa sakit hati, tak semudah mencintai seseorang. Hati yang terlanjur sakit, hanya butuh rasa nyaman untuk menyembuhkan, bukan pelampiasan.*Resmi*Aku menutup kembali pintu kamar dan urung keluar. Berkali-kali menggelengkan kepala, menepis kenyataan yang telah terlanjur singgah di telinga ini.Tidak, mereka hanya menyatakan sebuah opini semata. Hati ini, biar saja seperti sekarang. Terlanjur nyaman dengan kesendirian. Lebih baik esok aku bersikap biasa saja, seperti tidak tahu apapun.***NA***“Resmi, hari ini aku sudah agak mendingan. Kamu antar Harun terapi, ya!” perintah Bu Normi yang tentu saja aku iyakan.Aku hanyalah pembantu dan tugasku melayani majikan.“Sepertinya kamu perlu belajar naik motor, Resmi. Supaya mudah jika mau bepergian,” kata Bu Normi lagi.“Jika itu memang dibutuhkan, saya mau, Bu. Tapi siapa yang mau mengajari?”“Roni. Dia yang akan mengajari kamu di sore hari.”Aku mengangguk pelan. Anggap saja aku mayang mereka yang akan menuruti segala ya
"Bu, jujur saja saya sedang berada di fase yang sangat nyaman. Saya tidak peduli dengan status saya. Ibarat kata, habis dikejar-kejar segerombolan binatang di hutan, kini saya sampai di sebuah desa yang sangat aman. Jika Ibu di posisi saya, apa yang akan Ibu lakukan? Kembali ke hutan itu bertemu dengan binatang yang siap memangsa, atau bertahan di sini sementara waktu?" Bu Normi menatapku sambil mengangguk kecil. "Ibu paham maksud saya?" Lagi, beliau mengangguk. "Bagi saya, saya tak peduli status yang penting saya jauh dari mereka." "Jika ada yang suka sama kamu, kamu bagaimana?" Aku tertawa kecil. "Ada banyak jawaban kalau itu, Bu. Aku tidak yakin akan ada yang mau dengan perempuan beranak dua. Dan alasan lain, jika pun ada yang mau, aku belum bisa mengenalkan Dinis dan Hasbi pada orang baru. Iya kalau mereka nyaman dengan orang tersebut. Kalau tidak?" Aku berhenti sebentar. "Maaf, Ibu, bukankah Ibu pernah ada di posisi saya dan memili
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.