Part 6
Sangat berat hari yang kujalani tanpa ibu. Harus mendiamkan Hasbi kala menangis, harus menerima cemoohan beberapa warga dan banyak teman, belum lagi rasa rindu dan mengkhawatirkan keadaan ibu. Aku sama sekali tidak bisa mencari tahu bagaimana kondisi ibu saat ini.
Terhitung sudah tiga hari ibu tidak pulang. Saat malam tiba, aku suka menangis sambil memeluk baju ibu. Bude Darmi selalu mengantarkan lauk setiap pagi, tetapi selalu mengucapkan kalimat yang sama.
“Dinis, nanti kamu kalau mau makan enak apa, bilang saja! Ibumu nanti yang akan bayar kalau sudah keluar dari penjara.”
Aku bukan anak manja. Aku sudah biasa menghadapi hidup susah, jadi tidak mengharapkan lauk enak. Terlebih lagi aku tidak tahu bagaimana kondisi ibu.
Uang yang ditinggal ibu sudah hampir habis. Tiba-tiba teringat pesan kalau ibu memiliki sebuah cincin di lemari. Langsung saja ku utarakan pada Bude Darmi. Meskipun dia sering mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, tetapi tidak ada orang lain yang bisa kumintai tolong.
“Ya sudah, kamu besok ikut ke pasar. Hasbi nanti biar diasuh sama Lasmi. Nanti dikasih uang Lasminya kalau sudah dijual cincin itu,” jawab Bude Darmi.
Lasmi, anak yang harus putus sekolah karena ia datang kesini dibawa bapaknya dari luar Jawa. Menikah dengan perempuan desa ini dan hidup sengsara. Ia sering disuruh orang untuk bekerja dan diberi upah. Bedanya, tidak ada yang mencemooh Lasmi, pun dengan Mbak Fariha. Beda jika dengan aku.
Siang itu, aku terpaksa keluar rumah mengikuti keinginan Hasbi untuk bermain.
Memilih bermain di komplek yang orangnya tidak terlalu peduli dengan masalahku meski agak jauh.
Aku duduk di bawah pohon mangga yang rindang. Di teras rumah warga, beberapa kaum ibu sedang berkumpul dan merumpi.
“Tadi Hani pulang sekolah menunjukkan uang sama aku. Dia dapat uang jajan katanya dari Dinda.”
“Lhah kok sama. Anakku juga pulang bilang, habis dikasih uang Dinda tapi dibuat jajan semua.”
“Anakku nggak dikasih. Tapi dia cerita Si Dinda bagi-bagi uang ke banyak teman tadi.”
“Maklum, anak orang kaya.”
“Tapi bukannya Juragan Ratno orangnya pelit ya?”
“Ya gak cuma Juragan Ratno. Istrinya juga pelit sekali. Orang kerja di sana saja, kasih makannya dijatah satu piring sudah ada lauknya. Gak boleh mereka ambil sendiri. Kalau kasih makanan ke orang lain, itu pasti yang sudah berhari-hari tidak dimakan.”
“Ya mungkin saja sama Si Dinda gak pelit.”
“Ya tapi kalau bagi-bagi uang banyak sekali, masa iya, boleh? Heboh lho ternyata masalah Dinda bagi-bagi uang. Yang jualan tadi bilang, Dinda bawa uang lima puluh ribuan ada empat lembar, terus minta tuker. Yang jualan ya mana punya uang sebanyak itu, cuma bisa tuker lima puluh ribu saja katanya.”
Aku menguping pembicaraan mereka.
“Lha terus kasus Si Resmi bagaimana ya?”
“Ssssst ....”
Aku tahu, pasti ada yang menghentikan pembicaraan karena menyadari keberadaanku di sini.
Hasbi kuajak pulang karena matahari sudah condong ke arah barat. Meskipun menangis, tetap kupaksa. Beberapa ibu-ibu ada yang membantu membujuknya.
Saat sampai rumah, ternyata ada bu guru yang menunggu di teras. Aku kaget, sudah sore, bu guru datang ke rumah. Padahal beliau rumah kontrakannya jauh. Bu Yanti berasal dari kabupaten lain.
Dengan rasa malu, aku salim pada wanita yang memiliki nama panggilan Yanti itu.
“Kenapa tidak sekolah?” tanya bu Yanti.
“Tidak yang menjaga adikku, Bu,” jawabku sambi menunduk.
Rasanya sangat malu.
“Bu Yanti kenapa belum pulang?”
“Tadi habis lembur sambil menunggu jemputan.”
“Bu, saya sepertinya mau mundur sekolah. Adik saya tidak ada yang menjaga,” ucapku lirih sambil memandang Hasbi yang sedang asyik mengejar kupu-kupu.
Bu Yanti memandangku dengan tatapan kasihan.
“Dinis, kamu tetap sekolah ya?” bujuk bu Yanti.
Aku menggeleng.
“Kamu bawa adikmu gak papa.”
Aku menggeleng lagi.
“Dinis, ibu merasa sayang dengan kecerdasan kamu.”
“Aku malu, Bu. Aku tidak akan kuat kalau Dinda sampai mengejek. Dia saja sepertinya bahagia karena aku sudah tidak sekolah.”
“Dari mana kamu tahu Dinda bahagia kamu tidak sekolah?” Bu Yanti bertanya tidak percaya.
“Buktinya dia bagi-bagi uang di sekolah katanya, Bu.”
“Dinda bagi-bagi uang? Kamu dengar dari siapa?”
“Tadi ibu-ibu ngobrolin itu saat aku ngantar Hasbi main. Katanya uangnya banyak, dituker sama yang punya warung. Aku tambah malu, Bu, soalnya Dinda pasti akan mengejek. Aku tidak apa-apa di rumah saja. Apalagi kalau ibu sampai di penjara lama. Hasbi sendirian ....”
Bu Yanti mengusap kepalaku pelan. Aku bisa melihat kalau dia hendak menangis, tetapi urung.
“Aku tidak yakin ibuku mencuri, Bu. Ibu habis kerja metik cengkeh dan dapat uang. Tiga hari ibu kerja. Di rumah juga sisanya uang tinggal sedikit,” kataku mulai menangis.
“Sabar, Dinis. Bu Yanti yakin, kelak kamu bisa jadi orang sukses. Jadi, jangan menyerah ya! Ini ibu bawakan serantan lauk. Ayam serundeng, jadi bisa buat makan sampai besok. Kamu bisa menghangatkannya. Tidak juga tidak apa-apa karena gak bakalan basi,” ucap bu Yanti sambil mengulurkan sebuah plastik.
Dengan malu, aku menerimanya. Ah, ibu tidak pernah mengajarkanku meminta-minta. Iya, ibu selalu mengatakan lebih baik tidak makan apapun daripada harus meminta sama orang. Keadaan kami sudah sangat menyedihkan, jangan menambah kesempatan orang lain semakin merendahkan kita. Itu yang selalu beliau katakan.
Tetapi kenapa sekarang ibu mencuri? Apakah keinginanku memiliki mukena sangat membuat ibu terbebani sehingga melakukan hal itu?
“Dinis, bu Yanti pulang, ya? Berdoalah semoga ibu kamu cepat keluar, pulang dan berkumpul kembali bersama kalian.” Bu Yanti pamit usai berkata demikian.
Senja semakin turun menciptakan awan pekat di langit sana. Perlahan gelap mulai merayap. Aku kembali ke dalam kurungan derita yang hanya aku di dalam sana yang merasakan.
Dalam dingin memeluk sedih seorang diri. Sang Pencipta rupanya paham jika aku hanya anak kecil yang tidak berdaya. Hasbi tidur lelap tanpa menangis sedikitpun. Mata ini masih terjaga meratapi takdir yang tidak sedikitpun bisa kusyukuri.
“Bapak, pulanglah! Aku butuh bapak,” rintihku seorang diri.
Part 7Pagi buta Lasmi sudah datang menjemput Hasbi. Aku menyuruhnya untuk tetap tinggal di rumah. Toh rumahku tidak memiliki apapun yang ditakutkan akan ada yang mencuri. Lasmi berusia tiga tahun lebih tua dariku. Tetapi dia sempat masuk sekolah seangkatan denganku sebelum akhirnya memutuskan keluar.Dengan baju yang paling bagus, aku ke rumah bude Darmi. Mbak Fariha sudah duduk di teras memberi makan burung. Aku melewatinya dengan perasaan takut.“Adikmu sudah sama Lasmi?” tanya bude Darmi yang keluar rumah membawa keranjang besar.“sudah.”“Mana cincinnya?” tanya bude Darmi.Aku menyerahkan benda berwarna kuning pada bude Darmi.“Nanti sekalian aku potong buat biaya beli lauk kamu beberapa hari ini, Dinis.”Aku diam saja. meski masih kecil, soal hitung-hitungan sudah cukup mahir. Entah berapa lakunya benda itu nanti. Untuk memberi upah Lasmi, ditambah akan diambil bude Darmi. Sebenarnya aku sudah meminta bude Darmi untuk menjualkan tanpa aku ikut, tetapi dia memaksa.“Bu, jangan lu
Part 8Aku di sini memeluk lara, melambungkan harap, menunggu sosok itu datang agar dapat menceritakan banyak hal. Akan tetapi, yang kudapat hanyalah sepi. Pintu berderit bukan karena dibuka seseorang, melainkan terdorong angin yang berhembus kencang. Bapak, kau dimana sekarang?*Dinis****Hasbi berteriak senang saat melihatku datang. Ia langsung berlari memeluk. Langsung saja kuberikan es yang sudah hilang dinginnya. Ia menegyk sampai habis tak bersisa. Aku bahagia meski harus menahan diri untuk menikmati minuman yang jarang kubeli itu.“Lasmi, tunggu sebentar ya! Aku mau ambil uang dulu sama bude Darmi.” Aku paham jika Lasmi sudah menunggu uang dariku.Tubuh lelahku berlari menuju rumah bude Darmi yang hanya berjarak dua rumah.Mbak Fariha sedang memilih jajan untuk acaranya. Sebenarnya bukan ulang tahun yang besar. Hanya saja, beberapa orang kampung yang berkecukupan biasa mengadakan selametan weton (membuat bubur di hari kelahiran) di bulan Hijriah yang sama dengan pada saat lahi
Part 9“Dinis, Mbak, buka pintunya!” Suara itu kembali memanggil.Aku terkesiap antara takut, berharap dan senang. Dengan langkah pelan berjalan menuju pintu dan membukanya. Mataku melebar sempurna melihat ibu berdiri di sana dengan wajah yang penuh lebam.“Benarkah ibu? Benarkah ini ibu?” tanyaku tidak percaya.Ibu memelukku erat. Di belakang ada dua orang polisi yang segera pamit. Aku membawa masuk ibu ke dalam. Sesekali mengaduh saat tanganku tak sengaja menyenggol badannya.“Ibu sakit? Apa ibu dipukuli?” Aku bertanya yang dijawab dengan pelukan.“Yang penting sekarang kita sudah bersama lagi. Apa Hasbi menangis dan rewel? Terus, bagaimana kamu makan?” Ibu mengalihkan pembicaraan.Aku bercerita banyak hal tentang beberapa hari kelam yang kujalani kemarin.“Tidak apa-apa. Lebih baik kita dizalimi, daripada kita menzalimi, Dinis. Allah tidak tidur. Allah tahu apa yang kita rasakan dan Allah akan membalas air mata kira kelak, entah dengan cara apa,” ucap ibu sambil mengusap air matany
Part 10Hari yang sangat cerah secerah hatiku. Tak peduli dibenci oleh siapapun, asalkan ibu sudah berkumpul bersama kami, itu sudah cukup membuat diri bahagia. Berharap setelah ini, kami tidak akan terpisah lagi. Ibu terlihat lebih baik, meski sesekali masih berhenti saat berjalan, menahan sakit akibat luka yang ada di punggungnya.Sepiring nasi goreng dengan bumbu cabai hijau sudah terhidang di atas meja. Aku memakan dengan sangat lahap. Beberapa hari ini, sudah cukup menahan sedih.“Jangan dekati Dinda lagi. Jangan berurusan dengan dia. Jika dia memperlakukanmu dengan tidak baik, langsung pergi! Jangan hiraukan. Seseorang yang jahat akan merasa lelah menyakiti kita jika kita terlihat baik-baik saja di hadapan dia,” pesan ibu saat aku berpamitan hendak berangkat.Udara pagi menyapu wajahku. Sangat segar rasanya. Ah, selama ibu berada di penjara, aku tidak pernah menikmati
Part 11POV ResmiAku terdiam di sudut ruangan dengan pintu jeruji besi dalam keadaan baju yang terkoyak sobek. Rasanya sakit hati sekali diperlakukan sesadis itu. Meski beberapa saat lalu merasakan malu, tetapi sekarang yang kupikirkan adalah Dinis dan Hasbi.Mereka sedang apa?Tanpa aku, mereka hidup dengan siapa?Amarah yang memuncak pada keluarga Ratno seketika sirna, berganti sedih hati yang tak bertepi. Membayangkan dua buah hati harus hidup dengan berbagai cacian yang mendera. Keluargaku, sudah pasti akan semakin menyudutkan mereka.Beberapa hari harus tinggal di dalam penjara, aku selalu mendapatkan perlakuan yang buruk. Mereka tidak segan mencambuk hanya untuk mendapat pengakuan dariku. Sampai kapanpun, aku tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah kulakukan.Tangan ini tidak pernah mengambil uang seperti yang dituduhkan oleh Juragan Ratno dan juga istrinya. Malam itu aku hanya masuk rumahnya karena Hasbi meminta buang air besar. Akan tetapi, sungguh tidak menyangka sam
Part 12Memeluk dingin seorang diri. Meratapi nasib dalam sepi. Malam-malam yang ku lalui hanya berteman dengan air mata ....~~Resmi~~***Kutatap wajah polos yang tertidur dengan lelap. Mengusap pipinya pelan, merapikan anak rambut yang tak beraturan. Dinis, tak seharusnya kamu menanggung ini semua, Nak. Maaf telah menghadirkan kamu ke dunia ini hanya untuk ikut berkalung duka. Permintaan Dinis sebelum tidur membuatku dilanda bimbang. Menyusul mas Harno?Beberapa orang yang ada di Jakarta banyak yang memberikan informasi jika suami yang kucintai itu sudah berpindah tempat kerja. Sekarang, Dinis bilang jika ia melihat ayahnya di pasar dan di jalan?Mas Harno, sejak aku melahirkan Hasbi, perangainya berubah total. Jarang pulang dan jika pun pulang seringnya tidak membawa uang. Membuat mbak Darmi semakin mempunyai bahan untuk mengolok-olok dan menyalahkanku.“Hutang lagi? Bukankah suami kamu sudah pulang? Pergi kerja lama, masa tidak bawa uang?”Aku hanya bisa menunduk tatkala kakak p
Part 13“Mbak, makan dulu, Mbak ....” Sebuah ketukan di depan pintu membuatku bangun. Jujur saja, perut memang minta diisi.“Dinis, Mbak, bangun, kita makan yuk!” ajakku pada Dinis yang baru saja terlelap. Aku menggoyang-goyangkan badannya pelan.Dinis membuka matanya perlahan. “Ibu, aku lapar,” ucapnya pelan.“Iya, makanya, ayo kita makan,” ajakku lagi.Entah bagaimanapun sikap dari keluarga ini yang tiba-tiba berubah, perutku punya hak untuk diisi. Setidaknya agar punya tenaga untuk menghadapi kenyataan yang entah seperti apa. Sejak kedatanganku di rumah ini, aku punya firasat yang tidak baik.Suasana dapur tidak ramai, tetapi tidak juga sepi. Beberapa orang masih memasak di sana. Namun, tak satupun yang mau bertanya padaku.“Makan dulu,” ucap Wati sambil menyodorkan dua piring nasi dan sepiring bihun berbumbu kecap.Mataku menangkap setumpuk ayam yang sudah dimasak yang terletak di nampan, tak jauh dari kami. Aku melirik Dinis. Ia melihat makanan yang terlihat lezat itu dengan urat
Part 14 “Resmi, kenapa berdiri di balik tembok?” Sebuah suara membuatku kaget dan menghadap belakang. Ibu mertua sudah berdiri sambil menatap tajam wajahku. “Aduh, Mas, lupa kasih tahu. Tadi mbak Resmi kesini pas Maghrib.” Aku masih sempat mendengar suara Makmur. “Sudah, masuk kamar sana! Kamu besok pagi buta diantar suaminya Wati buat pulang. Soalnya mau banyak tamu dari Jakarta yang datang kesini. Butuh kamar banyak, daripada kamu tidak ada tempat mending pulang.” Sebuah kalimat pengusiran yang terdengar menyakitkan. Aku mendekap tubuh Dinis semakin erat. Mas Harno tiba-tiba sudah ada di sebelah kami. Mata ini menatapnya lekat. Pria tampan yang sudah hampir setahun tidak berjumpa, semakin terlihat gagah. Badannya sedikit berisi. Baju yang dipakai pun bagus. Rasa rindu dan marah bercampur menjadi satu. Aku tidak tahu, mana yang harus ku luapkan. Kami memang sering bertengkar. Mas Harno bukan orang yang romantis, dan juga tidak terlalu perhatian. Wataknya sedikit keras. Akan teta