Hai! Yang baca wajib komen dong .... Kalau kalian komentar, aku semangat mengetik bab selanjutnya .... komentarnya boleh marahin tokohnya, atau apa. jangan cuma kasih semangat sama othornya wkkkkk ....
Part 16 Sepanjang hari setelah sampai rumah, aku masih memikirkan kalimat yang diucapkan Udin saat hendak berpisah tadi. Menimbang-nimbang keputusan yang hendak kuambil, apakah aku akan kesana atau tidak. Memperhitungkan dampak baik buruknya. Akan tetapi, rasa penasaran mendorong hati untuk mantap kembali ke rumah itu lagi. “Besok aku akan kesana, tetapi harus bersama dengan seseorang yang bisa kupercaya. Agar jika ada sesuatu yang menimpa, aku punya teman menghadapi,” ucapku seorang diri. Miyanti, sosok yang paling tepat kuajak ikut serta ke rumah keluarga mas Harno. Dia janda yang anaknya sudah besar dan sudah bekerja di Jakarta. Ia menikah sejak masih belia, beda denganku yang sampai bergelar perawan tua. Rumah Miyanti juga cukup jauh dari rumahku, jadi akan aman dari keingintahuan mbak Darmi. Pembenci memang seperti itu, selalu ingin tahu apa yang sedang dialami oleh orang yang dibencinya. Tadi siang saja, ia sudah datang ke rumah. Alih-alih ingin memberi perhatian, bahasa yang
Part 17 Wajah yang menampakkan kemarahan itu langsung mencari kain di lemari dan menutupnya ke atas tubuh mas Harno. "Terlalu kamu, Resmi! Beraninya kamu masuk ke rumah orang tanpa permisi dan membuat onar." Ibu mertua mengatakan ini rumah orang? Semakin mempertegas statusku dirumah ini. "Lepaskan Marni!" perintah ibu mertua lagi. Ya Rabb, wanita di hadapanku ini, apa dia tidak memposisikan diri jika menjadi aku? "Jadi emak tahu tentang hubungan mereka?" tanyaku asih menjambak rambut perempuan bernama Marni. "Aku tidak perlu menjawab pertanyaan kamu, Resmi. Lepaskan Marni!" "Oh jadi emak kemarin melarangku menempati kamar ini, kemudian mengusir aku dan anak-anak, itu karena kamar ini akan dijadikan tempat zina?" tanyaku sinis. "Itu bukan urusan kamu. Ini rumahku. Aku tidak perlu menjawab pertanyaan kamu, Resmi." Pandangan ibu mertua beralih pada mas Harno. "Bangunlah, Harno! Pakai bajumu dan seret wanita ini keluar. Kita sepertinya harus memberi pelajaran sama dia agar tidak l
Part 18 Sampai rumah, Dinis sudah menyiapkan mie instan rebus di atas meja. "Aku dapat upah karena bantu bu guru tadi. Aku buat beli mie biar ibu gak capek makan," katanya. Kupandang anak perempuan yang memakai celana pendek lusuh dengan perasaan tercabik-cabik. "Mbak mau hidup bahagia?" tanyaku pada dia. "Yang penting bisa hidup sama ibu," jawabnya polos. "Kalau ibu ajak pergi, apa Mbak mau?" "Asalkan sama ibu, aku akan mau kemana saja." Brak! Pintu dibuka paksa. Mbak Darmi berdiri dengan wajah yang menahan amarah. “Kamu habis dari mana lagi, Resmi? Kamu dari rumah Harno? Iya? Jawab!” hardiknya tanpa memperhatikan perasaan Dinis. “Kemana aku pergi, itu bukan urusan mbak Darmi. Dinis, pergi keluar, ajak adikmu! Mbak, jika mau bicara tunggu anakku keluar.” “Biar saja mereka tahu kelakuan kamu yang tidak tahu malu.” “Dinis, cepat ajak Hasbi keluar. Jangan dekat-dekat sama Fariha. Ibu takut kamu akan dianiaya.” “Resmi! Jaga bicara kamu!” “Mbak Darmi yang harus mendidik Fari
Part 19 Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun lebih, duduk di atas kursi roda memandang jendela yang ada di hadapan. “Pak, saya sudah membawa orang yang akan menggantikan saya,” ucap Sumi hati-hati. Lelaki itu tidak menoleh. Membuat jantungku berdebar kencang. Takut kalau reaksi yang tidak terduga ia berikan terhadapku. “Dia seperti kamu atau tidak?” “Insya Allah iya, Pak. Silakan kalau bapak mau kenalan,” jawab Sumi dengan tenang. Pria itu berbalik. Bukan seorang yang tampan, tidak juga jelek, sedang-sedang saja. Namun begitu, wajahnya cukup teduh dipandang. Lelaki dengan sorot mata tajam itu menatapku lekat. “Aku sedang mencari orang yang merawatku sampai aku sembuh. Hanya sampai sembuh saja. Setelah itu, kamu boleh pergi. Tetapi, aku tidak tahu kapan akan sembuh. Maka dari itu, aku berharap, Sumi adalah orang terakhir yang meninggalkanku. Jika kamu bersedia untuk merawatku sampai batas waktu yang tidak ditentukan, maka aku akan menerimamu. Tetapi jika tidak, sebelu
Part 20Aku duduk termenung di dalam bus yang kami tumpangi. Menyaksikan pemandangan yang terlewati. Sawah seolah berlari melewatiku. Perasaan yang bercampur membaur menjadi satu. Antara lega akan mendapatkan tempat baru, sedih karena harus meninggalkan tanah kelahiran, risau dengan tanah warisan yang ku tinggalkan, dan juga sakit hati karena dikhianati.“Setelah ini, kamu berangkat pakai uang sendiri ya, resmi. Aku sudah tidak menanggung ongkos kamu lagi,” kata Sumi membuat lamunanku buyar.Aku menoleh dan tersenyum pada wanita di sampingku sambil mengangguk pelan.“Aku senang sebenarnya bekerja dengan pak Harun dan bu Normi. Tetapi anak-anakku sudah tidak mau ditinggal. Suamiku juga sudah mulai merintis jualan bubur ayam di Jakarta, jadi aku diminta untuk di rumah saja,” kata Sumi.Aku menanggapi tetap dengan senyuman. Dia orang yang beruntung menurutku. Masih memiliki orang tua dan punya suami yang setia.Kami sampai di terminal terakhir yang menyediakan angkutan ke desa pukul sepu
Part 21 Lelaki yang sudah membuatku sakit hati itu duduk dengan santainya, lalu menyulut rokok dan menyesap perlahan. Tubuhnya disandarkan pada kursi, memandang langit-langit atap rumah. “Buatkan kopi,” perintahnya tanpa merasa bersalah sama sekali. Dinis tiba-tiba menyusul dan memegang erat lenganku. “Resmi, buatkan kopi!” Perintah itu diucapkannya sekali lagi. Tidak seperti orang yang sedang marah. Aku jadi curiga. “Aku tidak punya kopi. Kamu sudah tahu, jika kamu tidak ada, bahkan gula saja jarang sekali membeli,” jawabku dingin. “Dinis, belikan bapak kopi!” ucapnya sambil melempar selembar uang ke atas meja. Dinis bergeming, malah semakin mempererat pegangan di lenganku. “Dinis!” mas Harno memanggil dengan nada tinggi. “Kamu mau memarahi dia lagi? Siapa yang menyuruh kamu datang? Tidak ada. Bukankah kamu sudah bahagia bersama dengan keluarga kamu? Kenapa kembali kesini? Di sini tidak ada kopi. Di rumahmu banyak sekali kenikmatan makanan, jadi jangan mencari di rumah orang
Part 22 POV Harno Saat hendak menikahi Resmi, tentu saja aku mencari silsilah dari gadis yang menurutku sudah perawan tua itu. Resmi, sosok perempuan tangguh yang kukenal saat bekerja merantau ke Jakarta dulu kala. Dia memiliki sikap yang dewasa dan penyabar. Dalam kamus hidupku, mencari istri sama dengan mencari pelayan untuk keluarga. Dia harus mau disuruh-suruh oleh saudara serta emak. Pun dalam hal harta, aku tentu saja berharap, sosok pendamping hidup harus rela berkorban apapun demi mereka yang sangat ku sayangi. Terlebih ketika mengenalkan perawan tua itu pada bapak. Ternyata, dia adalah perempuan yang berasal dari keluarga terpandang. Namun sayang, kenyataan tak seindah khayalan. Resmi tak lebih dari seorang anak yang terbuang. Harta ayahnya di bawah kuasa ibu tiri. Kakak-kakaknya hidup dengan keegoisan masing-masing. Mungkin karena ibu mereka telah tiada, sehingga ikatan batin antar saudara seperti hilang. Saat membawa Resmi berkunjung ke rumah orang tua, ia memang bisa m
Part 23 “Kenapa kamu mau pulang ke rumah Resmi?” tanya mbak Siti sangat keberatan. “Kamu sudah bahagia lho, Harno sama Marni. Dia juga benar-benar bisa menyatu dengan keluarga ini,” lanjutnya lagi. Bapak dan emak duduk berdampingan sambil terdiam. Marni sudah ku antar pulang sampai terminal kota tadi siang. “Marni tidak boleh membuat rumah di sini sebelum aku bercerai dari Resmi. Sementara bapak sudah terlanjur memberi uang muka tanah,” jawabku jujur. “Aku akan kesana untuk meminta Resmi menjual warisan.” “Kamu akan kembali pada Resmi dan melepaskan Marni?” tanya mbak Siti sangat tidak suka. “Harno hanya akan meminta tanah Resmi. Nanti bisa diatur. Kita di sini sudah sangat menyukai Marni. Emak juga tidak akan rela kalau Harno tidak jadi sama Marni,” jelas emak. Sejujurnya sangat berat melangkahkan kaki menuju tempat dimana orang-orang yang masih berstatus sebagai istri dan anakku tinggal. Akan tetapi, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan keadaan. Sedangkan proyek baru akan di