Share

Bab 7. Menantu Rasa Babu

"Kenapa kamu ngomong begitu, Nes? Aku heran dengan kelakuan kamu. Apa pantas seorang istri, seorang menantu atau seorang kakak ipar malah mencari rumah sewa disaat ada hajatan besar dalam keluarganya? Mas tanya sekali lagi sama kamu. Apa pantas, Nes?"

 

"Bagaimanapun marahnya kamu sama keluargaku janganlah kamu tunjukkan sama tetangga atau sanak saudara. Kamu tau sendiri, 'kan? Di rumah lagi rame. Jangan kau tunjukkan sekali lah kekurangan kita di depan orang. Keburukan kita cukup kita-kita saja yang tau. Jangan sampai isi perut keluarga ini menjadi bahan gosip para tetangga nantinya," nasehat Mas Rama.

 

Aku hanya bisa tertegun dan secara tidak langsung aku juga meng-iyakan apa yang baru saja Mas Rama katakan. Seburuk apapun mereka itu masih berstatus mertua dan iparku. Aku harus menjaga harkat dan martabat mereka semua.

 

Cukup lama kami saling diam dan aku sibuk mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mas Rama dan menurut aku ada benarnya juga. Kalau aku tetap bersikeras keluar mencari kontrakan sekarang,  malah aku yang di cap sebagai seorang menantu yang gak bener. 

 

Demi kebaikan semua pihak akhirnya aku memutuskan untuk tidak mencari kontrakan untuk sementara waktu dan menelpon Kepala Sekolah  meminta ijin gak masuk selama dua hari. Hari ini dan besok.

 

Lagian pestanya besok dan surat undangan pun sudah masuk ke meja Kepala Sekolah dan para staf termasuk guru lainnya. Aku mengalah dan berusaha untuk tidak terpancing dengan perkataan dari mertua dan tidak terpancing dengan sikap Mas Rama yang seolah-olah beliau menganggap aku hanyalah orang lain dan bukan siapa-siapa dia.

 

Pesta pernikahan Sinta yang berlangsung sangat meriah dan sukses di laksanakan tanpa halangan yang berarti. Dan hari ini pun cuaca sangat mendukung. Mau dibilang panas enggak dan juga gak dingin. Pokoknya cuaca hari ini sangat mendukung terlaksananya pesta. 

 

Kulihat raut kebahagiaan ibu dan Mas Rama. Beliau sangat bahagia karena pesta telah selesai dan para tamu undangan juga sudah pada pulang semua. Tinggal mempelai lelaki yang tidak pulang karena memang begitulah adatnya. Pengantin lelakinya mendampingi sang mempelai wanita duduk di kursi pengantin.

 

Hingga malam menjelang dan badan ini sangat lelah karena seharian sibuk dengan aktivitas dari persiapan sampai acara pestanya berakhir.

 

Dibantu tetangga dan para kerabat kami membersihkan semua perlengkapan dapur yang kotor. Sampai rumah dan perkarangan sudah bersih kami kerjakan secara bergotong royong.

Setelah semuanya beres aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan setelah itu rencananya mau beristirahat sebentar. Tubuh ini sangat lelah dan pegal semua.

 

Seandainya ada orang yang berbaik hati mau memijat, mungkin tidurpun akan lelap.

Niken anakku sudah lama terlelap di atas ranjang kebesaran kami. Karena di rumah neneknya, kamar tidak cukup sehingga membuat kami harus tidur sekamar bertiga dengan anak gadis beliaku.

 

Walaupun umurnya masih tujuh tahun sebenarnya dia tidak pantas lagi tidur bergabung dengan kedua orang tuanya. 

 

Sebenarnya kamarnya banyak tetapi tidak boleh ditempati dan hanya kamar satu ini aja yang boleh kami tempati bertiga.

 

Makanya niat banget mencari rumah kontrakan sekalian untuk mendidik anakku menjadi lebih mandiri. Walaupun Mas Rama keberatan untuk terpisah dari orang tuanya tetapi sampai kapan kami akan mandiri jika masih bergantung sama orang tua terus.

 

***

 

Subuh aku bangun. Mandi dan mengerjakan solat subuh. Barulah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Aku sudah hampir lima belas tahun mengabdikan diriku di sebuah sekolah negri yang tidak jauh dari rumah mertua aku. 

 

Tujuh tahun setelah aku diangkat menjadi PNS Mas Rama juga menyusul menjadi seorang PNS.

 

Setelah mengikuti serangkaian tes mas Rama akhirnya menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil.

Mungkin bagi siapapun yang melihat kehidupan rumah tangga kami sangatlah bahagia dan harmonis. Keuangan tidak pernah kekurangan tentunya.

 

Tetapi itu hanya nampak dari luar saja. Mas Rama lulus PNS langsung saja dia mengambil uang dari koperasi tanpa memberitahu sama sekali kepada aku selaku istrinya. Dan uang itu untuk biaya renovasi rumah ibu mertua. Dan lebih miris lagi sisa gajinya hanya beberapa juta saja dan itupun dia menambah pinjaman diluar koperasi kantor.

 

Sehingga mau tidak mau semua sisa gaji Mas Rama habis untuk membayar utang-utangnya. 

Sakitnya lagi dia mengatakan kepada saudara atau kerabatnya jika uang yang dia pinjam di bank tersebut untuk biaya pesta dan seserahan untuk pengantin wanita. Padahal satu sen pun aku tidak merasakan uang dari Mas Rama.

 

Jadi untuk biaya makan kami sehari-hari dari gajiku yang masih utuh karena aku tidak pernah mau terikat dengan utang riba.

 

Bukan hanya biaya makan kami bertiga tetapi biaya makan ibu mertua dan adik ipar aku juga yang menanggungnya. Belum lagi gaya hidup mertua dan ipar aku besar pasak daripada tiang.

 

"Dek, mau kemana sepagi ini sudah cantik." Sang suami bertanya seakan tidak tau jika istrinya punya tanggung jawab sebagai seorang Pegawai negeri sipil. Aku tidak mau hanya makan gaji buta. Malu makan gaji tetapi malas-malasan bekerja.

 

"Lagi bersiap-siap mau mengajar, Mas. Kenapa nanya begitu? Mas lupa ya, kalau istri Mas seorang guru yang mempunyai tanggung jawab dan tidak hanya makan gaji buta?" Aku menyindir Mas Rama yang masih ogah-ogahan bangkit dari ranjangnya sementara hari sudah mulai beranjak siang.

 

"Masak sih Adek mau bekerja hari ini. Siapa yang memasak buat pengantin baru."

 

"Kan ada ibu, Mas. Dan lagian Sinta bisa masak sendiri. Aku aja pengantin baru tetap masak seperti biasanya. Gak ada yang melayani. Udah cukup sehari aja jadi ratu dan raja. Jangan kelamaan. Nanti mereka jadi malas."

 

"Jangan gitu lah, Dek. Mas gak enak sama ibu. Dikira ibu aku sebagai abangnya Sinta tidak menghargai suami Sinta. Dikira mereka Mas ini  gak menerima suaminya tinggal disini."

 

"Itu 'kan tugas ibu, Mas. Menantu dan anaknya 'kan ibu yang melayani. Bukan istri seorang Mas Rama yang notabene punya kewajiban juga. Aku bekerja juga mencari rejeki di luar sana,  bukan ongkang-ongkang di rumah."

 

"Sombong benar kamu, Dek. Udah sana masak sarapan. Nanti bangun ibu merepet-repet aja. Sakit telinga kita mendengarnya. Lama-lama budeg nih telinga." Cerocos Mas Rama sambil tersenyum seakan aku paling bahagia tinggal disini.

 

"Makanya Mas cari rumah kontrakan aja. Aku juga kepingin bebas bisa seenak hatiku di rumah sendiri, Mas. Lama-lama aku bisa mati berdiri kalau begini terus."

 

"Mas gak ada duit, Dek. Semua gaji Mas habis buat renovasi rumah dan juga lunasi utang buat pesta pernikahan kita." 

 

Uang buat pesta kami di pinjami oleh mas Bagas sepupunya Mas Rama. Begitu lulus PNS langsung saja dilunasi sekalian dengan bunganya.

 

"Jadi sampai kapan kita akan disini terus." Tanya aku sambil melangkahkan kaki dan duduk di tepi ranjang sejajar dengan Mas Rama yang sedari tadi hanya duduk ditepi ranjang sambil memeluk bantal guling kesayangannya.

 

"Buat apa sih kita kontrak rumah. Sementara rumah ibu lebar begini dan sudah mas renovasi. Kan mubazir juga. Banyak ruangan yang kosong tidak ditempati."

 

"Banyak ruangan kosong pun percuma. Kita tetap juga hanya menempati kamar satu ini. Sampai kapan kita akan tidur gabung dengan Niken, Mas. Dia sudah besar sebentar lagi sudah menjadi gadis tanggung. Apa sampai Niken menikah dan dia  akan tidur bersama kita?"

 

"Kita sudah berumah tangga. Sudah mempunyai kehidupan sendiri. Jangan suka bergantung sama orang tua."

 

"Udahlah, Dek. Sana masak nasi goreng. Mas kangen nasi goreng buatan kamu." Mas Rama mulai merayu aku. Nampaknya sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa keluar dari rumah ini.

"Kapan aku bisa merasakan hidup berumah tangga yang sesungguhnya, Mas?"

 

"Loh ... emang sekarang kita berumah tangga gak sesungguhnya? Kita hanya main-main? Ada-ada saja kamu, Dek."

 

"Udah ... sana. Masak nasi goreng. Mas sudah lapar." Titah Mas Rama sambil memegang perutnya seakan dia sangat kelaparan saat ini.

 

 Sementara satupun penghuni rumah ini belum ada yang bangun. Jangankan pengantin baru. Ibu mertua saja belum bangun padahal jam sudah menunjukkan diangka 06.00. Beliau tidak pernah mengerjakan solat subuh makanya jam segini masih di tempat tidur.

 

Sakit hatinya lagi ... Mentang-mentang aku dirumah ini semua pekerjaan aku kerjakan sendiri dan mereka hanya tinggal menikmati saja.

 

Aku merasakan seperti pembantu saja dirumah ini. Mereka memakai jasa aku dan juga menguras semua gaji aku. Begitu buruknya nasib ini entah sampai kapan akan berakhir. Dan herannya aku ini seakan tidak berdaya untuk melepaskan diri dari belenggu penderitaan ini.

 

"Nes, jam segini kau belum masak? Kasian Sinta dan suaminya belum dikasih sarapan sudah jam segini juga. Ngapain aja kamu dari tadi sih?"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
udah tau di jadiin babu tp g pindah2 banyak mikir yg ada tersiksa
goodnovel comment avatar
Lucky Ari
jgn ngeluh trs melangkah pindah aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status