Share

Bab 7. Menantu Rasa Babu

Penulis: Trinagi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-17 15:10:49

"Kenapa kamu ngomong begitu, Nes? Aku heran dengan kelakuan kamu. Apa pantas seorang istri, seorang menantu atau seorang kakak ipar malah mencari rumah sewa disaat ada hajatan besar dalam keluarganya? Mas tanya sekali lagi sama kamu. Apa pantas, Nes?"

 

"Bagaimanapun marahnya kamu sama keluargaku janganlah kamu tunjukkan sama tetangga atau sanak saudara. Kamu tau sendiri, 'kan? Di rumah lagi rame. Jangan kau tunjukkan sekali lah kekurangan kita di depan orang. Keburukan kita cukup kita-kita saja yang tau. Jangan sampai isi perut keluarga ini menjadi bahan gosip para tetangga nantinya," nasehat Mas Rama.

 

Aku hanya bisa tertegun dan secara tidak langsung aku juga meng-iyakan apa yang baru saja Mas Rama katakan. Seburuk apapun mereka itu masih berstatus mertua dan iparku. Aku harus menjaga harkat dan martabat mereka semua.

 

Cukup lama kami saling diam dan aku sibuk mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mas Rama dan menurut aku ada benarnya juga. Kalau aku tetap bersikeras keluar mencari kontrakan sekarang,  malah aku yang di cap sebagai seorang menantu yang gak bener. 

 

Demi kebaikan semua pihak akhirnya aku memutuskan untuk tidak mencari kontrakan untuk sementara waktu dan menelpon Kepala Sekolah  meminta ijin gak masuk selama dua hari. Hari ini dan besok.

 

Lagian pestanya besok dan surat undangan pun sudah masuk ke meja Kepala Sekolah dan para staf termasuk guru lainnya. Aku mengalah dan berusaha untuk tidak terpancing dengan perkataan dari mertua dan tidak terpancing dengan sikap Mas Rama yang seolah-olah beliau menganggap aku hanyalah orang lain dan bukan siapa-siapa dia.

 

Pesta pernikahan Sinta yang berlangsung sangat meriah dan sukses di laksanakan tanpa halangan yang berarti. Dan hari ini pun cuaca sangat mendukung. Mau dibilang panas enggak dan juga gak dingin. Pokoknya cuaca hari ini sangat mendukung terlaksananya pesta. 

 

Kulihat raut kebahagiaan ibu dan Mas Rama. Beliau sangat bahagia karena pesta telah selesai dan para tamu undangan juga sudah pada pulang semua. Tinggal mempelai lelaki yang tidak pulang karena memang begitulah adatnya. Pengantin lelakinya mendampingi sang mempelai wanita duduk di kursi pengantin.

 

Hingga malam menjelang dan badan ini sangat lelah karena seharian sibuk dengan aktivitas dari persiapan sampai acara pestanya berakhir.

 

Dibantu tetangga dan para kerabat kami membersihkan semua perlengkapan dapur yang kotor. Sampai rumah dan perkarangan sudah bersih kami kerjakan secara bergotong royong.

Setelah semuanya beres aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan setelah itu rencananya mau beristirahat sebentar. Tubuh ini sangat lelah dan pegal semua.

 

Seandainya ada orang yang berbaik hati mau memijat, mungkin tidurpun akan lelap.

Niken anakku sudah lama terlelap di atas ranjang kebesaran kami. Karena di rumah neneknya, kamar tidak cukup sehingga membuat kami harus tidur sekamar bertiga dengan anak gadis beliaku.

 

Walaupun umurnya masih tujuh tahun sebenarnya dia tidak pantas lagi tidur bergabung dengan kedua orang tuanya. 

 

Sebenarnya kamarnya banyak tetapi tidak boleh ditempati dan hanya kamar satu ini aja yang boleh kami tempati bertiga.

 

Makanya niat banget mencari rumah kontrakan sekalian untuk mendidik anakku menjadi lebih mandiri. Walaupun Mas Rama keberatan untuk terpisah dari orang tuanya tetapi sampai kapan kami akan mandiri jika masih bergantung sama orang tua terus.

 

***

 

Subuh aku bangun. Mandi dan mengerjakan solat subuh. Barulah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Aku sudah hampir lima belas tahun mengabdikan diriku di sebuah sekolah negri yang tidak jauh dari rumah mertua aku. 

 

Tujuh tahun setelah aku diangkat menjadi PNS Mas Rama juga menyusul menjadi seorang PNS.

 

Setelah mengikuti serangkaian tes mas Rama akhirnya menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil.

Mungkin bagi siapapun yang melihat kehidupan rumah tangga kami sangatlah bahagia dan harmonis. Keuangan tidak pernah kekurangan tentunya.

 

Tetapi itu hanya nampak dari luar saja. Mas Rama lulus PNS langsung saja dia mengambil uang dari koperasi tanpa memberitahu sama sekali kepada aku selaku istrinya. Dan uang itu untuk biaya renovasi rumah ibu mertua. Dan lebih miris lagi sisa gajinya hanya beberapa juta saja dan itupun dia menambah pinjaman diluar koperasi kantor.

 

Sehingga mau tidak mau semua sisa gaji Mas Rama habis untuk membayar utang-utangnya. 

Sakitnya lagi dia mengatakan kepada saudara atau kerabatnya jika uang yang dia pinjam di bank tersebut untuk biaya pesta dan seserahan untuk pengantin wanita. Padahal satu sen pun aku tidak merasakan uang dari Mas Rama.

 

Jadi untuk biaya makan kami sehari-hari dari gajiku yang masih utuh karena aku tidak pernah mau terikat dengan utang riba.

 

Bukan hanya biaya makan kami bertiga tetapi biaya makan ibu mertua dan adik ipar aku juga yang menanggungnya. Belum lagi gaya hidup mertua dan ipar aku besar pasak daripada tiang.

 

"Dek, mau kemana sepagi ini sudah cantik." Sang suami bertanya seakan tidak tau jika istrinya punya tanggung jawab sebagai seorang Pegawai negeri sipil. Aku tidak mau hanya makan gaji buta. Malu makan gaji tetapi malas-malasan bekerja.

 

"Lagi bersiap-siap mau mengajar, Mas. Kenapa nanya begitu? Mas lupa ya, kalau istri Mas seorang guru yang mempunyai tanggung jawab dan tidak hanya makan gaji buta?" Aku menyindir Mas Rama yang masih ogah-ogahan bangkit dari ranjangnya sementara hari sudah mulai beranjak siang.

 

"Masak sih Adek mau bekerja hari ini. Siapa yang memasak buat pengantin baru."

 

"Kan ada ibu, Mas. Dan lagian Sinta bisa masak sendiri. Aku aja pengantin baru tetap masak seperti biasanya. Gak ada yang melayani. Udah cukup sehari aja jadi ratu dan raja. Jangan kelamaan. Nanti mereka jadi malas."

 

"Jangan gitu lah, Dek. Mas gak enak sama ibu. Dikira ibu aku sebagai abangnya Sinta tidak menghargai suami Sinta. Dikira mereka Mas ini  gak menerima suaminya tinggal disini."

 

"Itu 'kan tugas ibu, Mas. Menantu dan anaknya 'kan ibu yang melayani. Bukan istri seorang Mas Rama yang notabene punya kewajiban juga. Aku bekerja juga mencari rejeki di luar sana,  bukan ongkang-ongkang di rumah."

 

"Sombong benar kamu, Dek. Udah sana masak sarapan. Nanti bangun ibu merepet-repet aja. Sakit telinga kita mendengarnya. Lama-lama budeg nih telinga." Cerocos Mas Rama sambil tersenyum seakan aku paling bahagia tinggal disini.

 

"Makanya Mas cari rumah kontrakan aja. Aku juga kepingin bebas bisa seenak hatiku di rumah sendiri, Mas. Lama-lama aku bisa mati berdiri kalau begini terus."

 

"Mas gak ada duit, Dek. Semua gaji Mas habis buat renovasi rumah dan juga lunasi utang buat pesta pernikahan kita." 

 

Uang buat pesta kami di pinjami oleh mas Bagas sepupunya Mas Rama. Begitu lulus PNS langsung saja dilunasi sekalian dengan bunganya.

 

"Jadi sampai kapan kita akan disini terus." Tanya aku sambil melangkahkan kaki dan duduk di tepi ranjang sejajar dengan Mas Rama yang sedari tadi hanya duduk ditepi ranjang sambil memeluk bantal guling kesayangannya.

 

"Buat apa sih kita kontrak rumah. Sementara rumah ibu lebar begini dan sudah mas renovasi. Kan mubazir juga. Banyak ruangan yang kosong tidak ditempati."

 

"Banyak ruangan kosong pun percuma. Kita tetap juga hanya menempati kamar satu ini. Sampai kapan kita akan tidur gabung dengan Niken, Mas. Dia sudah besar sebentar lagi sudah menjadi gadis tanggung. Apa sampai Niken menikah dan dia  akan tidur bersama kita?"

 

"Kita sudah berumah tangga. Sudah mempunyai kehidupan sendiri. Jangan suka bergantung sama orang tua."

 

"Udahlah, Dek. Sana masak nasi goreng. Mas kangen nasi goreng buatan kamu." Mas Rama mulai merayu aku. Nampaknya sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa keluar dari rumah ini.

"Kapan aku bisa merasakan hidup berumah tangga yang sesungguhnya, Mas?"

 

"Loh ... emang sekarang kita berumah tangga gak sesungguhnya? Kita hanya main-main? Ada-ada saja kamu, Dek."

 

"Udah ... sana. Masak nasi goreng. Mas sudah lapar." Titah Mas Rama sambil memegang perutnya seakan dia sangat kelaparan saat ini.

 

 Sementara satupun penghuni rumah ini belum ada yang bangun. Jangankan pengantin baru. Ibu mertua saja belum bangun padahal jam sudah menunjukkan diangka 06.00. Beliau tidak pernah mengerjakan solat subuh makanya jam segini masih di tempat tidur.

 

Sakit hatinya lagi ... Mentang-mentang aku dirumah ini semua pekerjaan aku kerjakan sendiri dan mereka hanya tinggal menikmati saja.

 

Aku merasakan seperti pembantu saja dirumah ini. Mereka memakai jasa aku dan juga menguras semua gaji aku. Begitu buruknya nasib ini entah sampai kapan akan berakhir. Dan herannya aku ini seakan tidak berdaya untuk melepaskan diri dari belenggu penderitaan ini.

 

"Nes, jam segini kau belum masak? Kasian Sinta dan suaminya belum dikasih sarapan sudah jam segini juga. Ngapain aja kamu dari tadi sih?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
udah tau di jadiin babu tp g pindah2 banyak mikir yg ada tersiksa
goodnovel comment avatar
Lucky Ari
jgn ngeluh trs melangkah pindah aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kasihan Mas Rama

    Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Menyesal Tidak Ada Gunanya

    "Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bermain Dengan Niken

    "Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Agnes melahirkan

    Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bahagia Bersama Putriku

    Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Mantan Mertua Masuk Rumah Sakit Jiwa

    Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status