Home / Rumah Tangga / HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS / Bab 8. Aku Menantu Bukan Babu

Share

Bab 8. Aku Menantu Bukan Babu

Author: Trinagi
last update Last Updated: 2023-05-17 17:18:15

"Kamu jam segini belum masak, Nes? Ngapain aja dari tadi?" Tiba-tiba saja ibu Lastri datang dengan rambut macam rambut singa khasnya orang bangun tidur. Sedangkan untuk mencuci muka dan menggosok gigi saja beliau belum mengerjakannya. Pantas saja Sinta pemalas, ternyata nurun dari ibu Lastri.

 

"Agnes mau berangkat kerja, Bu. Masalah sarapan pagi, saya heran. Apa tidak bisa Ibu atau Sinta sendiri yang memasaknya? Kok dikit-dikit Agnes yang kerjainnya. Kapan Sinta bisa mandiri. Nanti kalau dia tinggal di rumah mertua bagaimana? Kalau tidak belajar dari sekarang kapan lagi? Ibu selaku orang tua kandung ajarinlah Sinta masak dan berberes rumah." Tiba-tiba saja timbul keberanian aku untuk menasehati ibu mertua yang terlalu memanjakan anak gadisnya. Jangankan memasak untuk makan sekeluarga, kurasa memasak untuk makan sendiri aja dia gak pernah.

 

"Lantam kali mulut kau, Nes." 

 

"Bukan lantam, Bu. Saya cuma menasehati aja. Kasian nanti di rumah mertua jika Sinta tidak bisa apa-apa."

 

"Ngapain dia tinggal di rumah mertuanya. Rumah disini lebar dan kamarnya pun banyak. Gak akan ibu lepaskan anakku. Bukan kayak orang tuamu yang melepaskan aja anak gadisnya tinggal sama mertua."

 

"Loh ... selama masih terikat suami istri. Agnes harus tunduk dan patuh sama suami dong, Bu. Gak bisa semau gue. Lagian orang tua saya gak suka mencampuri urusan rumah tangga anaknya."

 

Aku masih ingat sekali nasehat bapak.

 

'Nak, kamu harus patuh dan nurut sama suamimu ya. Surgamu di telapak kaki suamimu. Kamu sudah Bapak serahkan kepada Rama. Susah senang harus kamu syukuri. Dan Bapak sama Ibu hanya bisa mendoakan untuk kebahagiaanmu dari sini.'

 

"Ya udah. Kalau begitu sekarang kamu harus sediakan kami sarapan buat sekeluarga. Kamu 'kan masih terikat suami istri dengan anakku. Jadi otomatis kamu juga harus tunduk dan patuh terhadap orang tuanya dong. Lagian masih jam 06.00. Masih sempatlah sekedar menggoreng nasi."

 

"Iya, Dek. Goreng nasi sana. Mas sudah sangat lapar ni." 

 

Akhirnya mau tidak mau aku terpaksa juga mengerjakan pekerjaan tersebut dengan setengah hati. 

 

Heran aja melihat Mas Rama. Bukannya membela aku sebagai istrinya tapi dia malah membela ibunya. Jika aku terlambat atau bermasalah di kantor mana mau tau dia. Tetapi jika tanggal gajian dia duluan yang nagih. Dasar suami dan mertuaku sama-sama tidak tau malu.

 

Masakan sudah selesai aku kerjakan. Membuat nasi goreng dan dadar telur. Nasi goreng buatanku kata penghuni rumah ini memang sangatlah enak tiada duanya. Aku gak tau itu perkataan jujur yang keluar dari mulut mereka atau hanya sekedar basa-basi saja untuk menghiburku. Atau bisa jadi supaya dengan pujian itu membuat aku bersemangat dalam memasak dan mereka terlepas dari tugas di dapur.

 

Rasanya aku semakin tidak berdaya didepan Mas Rama. Entah kenapa. Apa aku ini terlalu bucin sehingga begitu mudah diperbudak. 

 

Lagi sibuk berbenah kamar dan bersiap-siap untuk berangkat, tiba-tiba Mas Rama masuk kamar. Bukannya bersiap-siap untuk ke kantor, lelaki yang sudah menemani hidupku selama delapan tahun ini malah mengambil kembali gulingnya dan hendak melanjutkan mimpi yang tertunda begitu katanya.

 

"Mas, kok malah tidur lagi sih. Mas gak kerja?"

 

"Lagi malas, Dek."

 

"Jangan gitu dong. Masak Mas makan gaji buta? Masih muda malas-malasan. Nanti dah tua baru menyesal."

 

"Jika kita tua nanti 'kan masih ada uang pensiun, Dek. Gak usah terlalu khawatir."

 

"Dek, besok gajin kan? Mas dengar Adek juga dapat bonus, ya? Bagaimana kalau kita beli mobil saja nanti kita ambil kredit lagi dan ditambah bonus kamu."

 

"Buat apa beli mobil, Mas. Kalau tidak perlu sekali jangan suka mengutang. Yang penting kita mempunyai rumah sendiri dulu baru pikirkan mobil. Toh mobil belum perlu kali untuk keluarga kita. Jika mau berpergian jauh bisa rental. Lagian bus umum sekarang nyaman juga kok."

 

"Kasian aja jika Sinta ke rumah mertuanya harus naik bus umum ataupun rental mobil, Dek. Mas gak mau mertua dan iparnya memandang sepele terhadap Sinta. Walau bagaimanapun adikku harus disegani dan dihormati sama keluarga suaminya."

 

Mas Rama tidak mau adik semata wayangnya di anggap sepele oleh keluarga mertuanya sementara mereka memperlakukan aku seperti babu disini. 

 

'Semoga saja mereka merasakan apa yang aku rasakan saat ini.' Batinku berdoa.

 

"Aku mau berangkat kerja dulu, Mas. Nanti terlambat. Malu sudah tua begini masih ditegor atasan karena terlambat. Dikira aku gak pernah solat subuh karena selalu saja terlambat masuk sekolah."

 

Malas juga melayani obrolan yang tidak berfaedah buatku. Dalam pikiran Mas Rama hanya ingin menyenangkan ibu dan adiknya saja. Seakan-akan aku ini hanyalah patung yang bernyawa dan tidak mempunyai keinginan apa-apa.

Herannya lagi ingin menyenangkan keluarganya kok malah mengharapkan uang dari gaji istri. Sementara orang tuaku saja selama menikah dengan Mas Rama sepersenpun mereka tidak merasakan gaji dari anak perempuannya yang telah susah payah dididik dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang.

 

Apa dikira dia, orang tuaku menyekolahkan anaknya gak memakai uang? Apa mereka pikir orang tuaku mempunyai pohon uang sehingga mereka begitu tidak berperasaan dalam menguras habis-habisan gaji aku? Dan herannya Mas Rama juga suka meminjam uang sama Bapak ataupun sama Kak Ayu dengan alasan buat biaya aku berobat. Entah sejak kapan mereka selalu saja meminjam uang sama keluargaku dengan alasan yang dibuat-buat. Padahal aku sehat wal afiat tetapi mereka mengatakan aku sakit. Semoga saja mereka sendiri yang sakit nantinya karena telah menipu keluargaku.

 

"Dek, bagaimana saran Mas tadi? Nanti kita sama-sama mengajukan kreditnya, ya. Daripada gaji Adek habis gak jelas. Bagus Adek ambil kredit dan uangnya buat membeli mobil. Ya kan?"

 

"Gak ah. Malas berurusan dengan riba." Jawabku ketus dan pergi berlalu keluar dari kamar.

 

"Jangan marah dong, Nes. Mas hanya ingin kita hidup layak dan tidak direndahkan sama tetangga. Sekurang-kurangnya ada yang bisa Mas banggakan pada tetangga, teman dan kerabat." Mas Rama mengikutiku sampai ke teras.

 

"Persetan dengan teman dan kerabatmu, Mas. Aku tidak tertarik." Ucapku ketus dengan sedikit berbisik tetapi aku yakin jika suaraku itu terdengar jelas ditelinga Mas Rama. Enak saja dia mau menyenangkan keluarganya sendiri dengan menguras gajiku habis-habisan. Aku mau dijadikan sapi perah Mas Rama dan keluarganya. Sementara bapakku saja tidak pernah sedikitpun menanyai berapa jumlah gaji anaknya yang sudah mati-matian diperjuangkan untuk bisa berhasil seperti ini.

 

"Dek, jangan gitu dong. Mas kepingin kita bisa membeli mobil. Gaji kamu kan masih penuh. Jadi bisa dong kita gadaikan SK kamu di bank. Kita ambil dua ratus juga aja. Kalo ada sisa 'kan bisa buat modal Romi."

 

"Buat modal Romi? Tapi kata ibu, suami Sinta seorang pengusaha yang kaya raya? Jadi buat apa kita kasih modal lagi?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
terlalu bnyak drama tegas dong nisa keluar dr rumah ngapain mau d jdiin babu jg d peras uangmu jgn bodoh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kasihan Mas Rama

    Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Menyesal Tidak Ada Gunanya

    "Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bermain Dengan Niken

    "Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Agnes melahirkan

    Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bahagia Bersama Putriku

    Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Mantan Mertua Masuk Rumah Sakit Jiwa

    Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status