Share

Bab 8. Aku Menantu Bukan Babu

"Kamu jam segini belum masak, Nes? Ngapain aja dari tadi?" Tiba-tiba saja ibu Lastri datang dengan rambut macam rambut singa khasnya orang bangun tidur. Sedangkan untuk mencuci muka dan menggosok gigi saja beliau belum mengerjakannya. Pantas saja Sinta pemalas, ternyata nurun dari ibu Lastri.

 

"Agnes mau berangkat kerja, Bu. Masalah sarapan pagi, saya heran. Apa tidak bisa Ibu atau Sinta sendiri yang memasaknya? Kok dikit-dikit Agnes yang kerjainnya. Kapan Sinta bisa mandiri. Nanti kalau dia tinggal di rumah mertua bagaimana? Kalau tidak belajar dari sekarang kapan lagi? Ibu selaku orang tua kandung ajarinlah Sinta masak dan berberes rumah." Tiba-tiba saja timbul keberanian aku untuk menasehati ibu mertua yang terlalu memanjakan anak gadisnya. Jangankan memasak untuk makan sekeluarga, kurasa memasak untuk makan sendiri aja dia gak pernah.

 

"Lantam kali mulut kau, Nes." 

 

"Bukan lantam, Bu. Saya cuma menasehati aja. Kasian nanti di rumah mertua jika Sinta tidak bisa apa-apa."

 

"Ngapain dia tinggal di rumah mertuanya. Rumah disini lebar dan kamarnya pun banyak. Gak akan ibu lepaskan anakku. Bukan kayak orang tuamu yang melepaskan aja anak gadisnya tinggal sama mertua."

 

"Loh ... selama masih terikat suami istri. Agnes harus tunduk dan patuh sama suami dong, Bu. Gak bisa semau gue. Lagian orang tua saya gak suka mencampuri urusan rumah tangga anaknya."

 

Aku masih ingat sekali nasehat bapak.

 

'Nak, kamu harus patuh dan nurut sama suamimu ya. Surgamu di telapak kaki suamimu. Kamu sudah Bapak serahkan kepada Rama. Susah senang harus kamu syukuri. Dan Bapak sama Ibu hanya bisa mendoakan untuk kebahagiaanmu dari sini.'

 

"Ya udah. Kalau begitu sekarang kamu harus sediakan kami sarapan buat sekeluarga. Kamu 'kan masih terikat suami istri dengan anakku. Jadi otomatis kamu juga harus tunduk dan patuh terhadap orang tuanya dong. Lagian masih jam 06.00. Masih sempatlah sekedar menggoreng nasi."

 

"Iya, Dek. Goreng nasi sana. Mas sudah sangat lapar ni." 

 

Akhirnya mau tidak mau aku terpaksa juga mengerjakan pekerjaan tersebut dengan setengah hati. 

 

Heran aja melihat Mas Rama. Bukannya membela aku sebagai istrinya tapi dia malah membela ibunya. Jika aku terlambat atau bermasalah di kantor mana mau tau dia. Tetapi jika tanggal gajian dia duluan yang nagih. Dasar suami dan mertuaku sama-sama tidak tau malu.

 

Masakan sudah selesai aku kerjakan. Membuat nasi goreng dan dadar telur. Nasi goreng buatanku kata penghuni rumah ini memang sangatlah enak tiada duanya. Aku gak tau itu perkataan jujur yang keluar dari mulut mereka atau hanya sekedar basa-basi saja untuk menghiburku. Atau bisa jadi supaya dengan pujian itu membuat aku bersemangat dalam memasak dan mereka terlepas dari tugas di dapur.

 

Rasanya aku semakin tidak berdaya didepan Mas Rama. Entah kenapa. Apa aku ini terlalu bucin sehingga begitu mudah diperbudak. 

 

Lagi sibuk berbenah kamar dan bersiap-siap untuk berangkat, tiba-tiba Mas Rama masuk kamar. Bukannya bersiap-siap untuk ke kantor, lelaki yang sudah menemani hidupku selama delapan tahun ini malah mengambil kembali gulingnya dan hendak melanjutkan mimpi yang tertunda begitu katanya.

 

"Mas, kok malah tidur lagi sih. Mas gak kerja?"

 

"Lagi malas, Dek."

 

"Jangan gitu dong. Masak Mas makan gaji buta? Masih muda malas-malasan. Nanti dah tua baru menyesal."

 

"Jika kita tua nanti 'kan masih ada uang pensiun, Dek. Gak usah terlalu khawatir."

 

"Dek, besok gajin kan? Mas dengar Adek juga dapat bonus, ya? Bagaimana kalau kita beli mobil saja nanti kita ambil kredit lagi dan ditambah bonus kamu."

 

"Buat apa beli mobil, Mas. Kalau tidak perlu sekali jangan suka mengutang. Yang penting kita mempunyai rumah sendiri dulu baru pikirkan mobil. Toh mobil belum perlu kali untuk keluarga kita. Jika mau berpergian jauh bisa rental. Lagian bus umum sekarang nyaman juga kok."

 

"Kasian aja jika Sinta ke rumah mertuanya harus naik bus umum ataupun rental mobil, Dek. Mas gak mau mertua dan iparnya memandang sepele terhadap Sinta. Walau bagaimanapun adikku harus disegani dan dihormati sama keluarga suaminya."

 

Mas Rama tidak mau adik semata wayangnya di anggap sepele oleh keluarga mertuanya sementara mereka memperlakukan aku seperti babu disini. 

 

'Semoga saja mereka merasakan apa yang aku rasakan saat ini.' Batinku berdoa.

 

"Aku mau berangkat kerja dulu, Mas. Nanti terlambat. Malu sudah tua begini masih ditegor atasan karena terlambat. Dikira aku gak pernah solat subuh karena selalu saja terlambat masuk sekolah."

 

Malas juga melayani obrolan yang tidak berfaedah buatku. Dalam pikiran Mas Rama hanya ingin menyenangkan ibu dan adiknya saja. Seakan-akan aku ini hanyalah patung yang bernyawa dan tidak mempunyai keinginan apa-apa.

Herannya lagi ingin menyenangkan keluarganya kok malah mengharapkan uang dari gaji istri. Sementara orang tuaku saja selama menikah dengan Mas Rama sepersenpun mereka tidak merasakan gaji dari anak perempuannya yang telah susah payah dididik dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang.

 

Apa dikira dia, orang tuaku menyekolahkan anaknya gak memakai uang? Apa mereka pikir orang tuaku mempunyai pohon uang sehingga mereka begitu tidak berperasaan dalam menguras habis-habisan gaji aku? Dan herannya Mas Rama juga suka meminjam uang sama Bapak ataupun sama Kak Ayu dengan alasan buat biaya aku berobat. Entah sejak kapan mereka selalu saja meminjam uang sama keluargaku dengan alasan yang dibuat-buat. Padahal aku sehat wal afiat tetapi mereka mengatakan aku sakit. Semoga saja mereka sendiri yang sakit nantinya karena telah menipu keluargaku.

 

"Dek, bagaimana saran Mas tadi? Nanti kita sama-sama mengajukan kreditnya, ya. Daripada gaji Adek habis gak jelas. Bagus Adek ambil kredit dan uangnya buat membeli mobil. Ya kan?"

 

"Gak ah. Malas berurusan dengan riba." Jawabku ketus dan pergi berlalu keluar dari kamar.

 

"Jangan marah dong, Nes. Mas hanya ingin kita hidup layak dan tidak direndahkan sama tetangga. Sekurang-kurangnya ada yang bisa Mas banggakan pada tetangga, teman dan kerabat." Mas Rama mengikutiku sampai ke teras.

 

"Persetan dengan teman dan kerabatmu, Mas. Aku tidak tertarik." Ucapku ketus dengan sedikit berbisik tetapi aku yakin jika suaraku itu terdengar jelas ditelinga Mas Rama. Enak saja dia mau menyenangkan keluarganya sendiri dengan menguras gajiku habis-habisan. Aku mau dijadikan sapi perah Mas Rama dan keluarganya. Sementara bapakku saja tidak pernah sedikitpun menanyai berapa jumlah gaji anaknya yang sudah mati-matian diperjuangkan untuk bisa berhasil seperti ini.

 

"Dek, jangan gitu dong. Mas kepingin kita bisa membeli mobil. Gaji kamu kan masih penuh. Jadi bisa dong kita gadaikan SK kamu di bank. Kita ambil dua ratus juga aja. Kalo ada sisa 'kan bisa buat modal Romi."

 

"Buat modal Romi? Tapi kata ibu, suami Sinta seorang pengusaha yang kaya raya? Jadi buat apa kita kasih modal lagi?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
terlalu bnyak drama tegas dong nisa keluar dr rumah ngapain mau d jdiin babu jg d peras uangmu jgn bodoh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status