Sahira berdiri kaku di depan pintu, bingung dengan reaksi Michael. “Maaf, Pak?” tanyanya ragu, suaranya hampir tak terdengar.
Michael mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Sahira dari kepala hingga kaki. Matanya menilai setiap detail penampilannya. Tidak ada sedikit pun kesan formal, apalagi seksi, seperti yang ia harapkan. “Ini ... ini yang kau pakai untuk bekerja?” ucap Michael, ia mencoba menahan emosinya. “Aku sudah bilang kau harus memakai rok mini, bukan pakaian seperti ini! Rok-mu itu terlalu panjang!” Sahira menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gugup. “Maaf, Pak,” jawabnya pelan, “tapi aku memang tidak punya pakaian seperti itu di rumah.” Michael memijit pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Di satu sisi, ia merasa kesal karena Sahira tidak mengikuti instruksinya. Namun di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa gadis itu tetap terlihat cantik meskipun dengan penampilan sederhana seperti itu. “Dengar,” ucap Michael, suaranya sedikit melunak, “di sini, aku yang menentukan aturan. Jika aku bilang kau harus berpakaian dengan cara tertentu, maka itu yang harus kau lakukan. Mengerti?” Sahira mengangguk perlahan. “Baik, Pak. Aku mengerti, tapi aku memang tak punya rok mini. Mau beli pun aku tak punya uang.” Michael memejamkan mata sejenak, mencoba menahan rasa frustrasinya. Namun, ia segera membuka mata kembali, kali ini dengan ekspresi dingin. Tanpa berkata apa-apa pada Sahira, ia meraih telepon di meja, lalu menghubungi seseorang. “Lucas,” suaranya terdengar tegas, “panggil desainer perusahaan sekarang juga. Suruh dia datang ke kantorku dan bawa beberapa setelan rok mini. Pilih yang terbaik,” sambungnya. Sahira menatap Michael dengan bingung, kedua alisnya berkerut. Ia tidak menyangka Michael akan bertindak sejauh ini hanya karena masalah pakaian. Namun, ia tetap berdiri di tempatnya, tidak berani memprotes. Tak butuh waktu lama, pintu ruangan kembali terbuka, kali ini seorang wanita dengan penampilan modis masuk dengan membawa beberapa kantong pakaian besar. Rambutnya yang bergelombang tertata rapi, mengenakan blazer putih dengan rok pensil hitam yang memperlihatkan kesan profesional sekaligus elegan. “Permisi, Pak, Anda memanggilku?” Michael mengangguk. “Ya, apa kamu membawa apa yang kuinginkan?” “Tentu saja,” jawabnya dengan nada genit. Michael menyeringai. “Bagus. Letakkan semuanya di sofa,” ucapnya sambil menunjuk ke arah sofa di sudut ruangan. Wanita tersebut segera menuruti perintah Michael. Ia mengeluarkan beberapa rok mini dari dalam kantong pakaian, lengkap dengan atasan yang serasi. Semua pakaian tersebut terlihat mewah dan memancarkan kesan mahal. Sahira meneguk ludah, matanya melebar melihat deretan pakaian yang dipajang di sofa. Dia merasa tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Michael berdiri dari kursinya dan melangkah mendekati sofa, sambil menunjuk satu per satu pakaian yang ada di sana. “Kau bisa pilih salah satu untuk besok. Tidak ada alasan lagi, Sahira. Mulai besok, kau harus berpakaian seperti ini.” Sahira menatap Michael dengan tatapan tajam. “Pak, aku rasa ini tidak perlu. Aku bisa bekerja dengan baik tanpa harus berpakaian seperti itu.” Michael menoleh ke arahnya, senyum menghiasi wajahnya. “Bukan kau yang menentukan apa yang perlu atau tidak, Hira. Di sini, aku yang membuat aturan.” Wanita desainer yang membawa pakaian itu tersenyum sambil mendekati Sahira. “Jangan khawatir, Nona. Semua pakaian ini sudah didesain agar nyaman dipakai. Saya yakin Anda akan terlihat luar biasa.” Sahira hanya mendengus kesal. “Baiklah,” ucap Sahira menyerah. “Aku akan memakainya mulai besok. Tapi, untuk saat ini, aku harap Bapak bisa menerima penampilanku apa adanya.” Michael menyipitkan matanya, memandang Sahira seperti sedang menilai sesuatu. Setelah beberapa saat, ia mengangguk perlahan. “Baik. Untuk hari ini, aku maafkan.” Sahira hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya dia terus mengumpat. “Dasar, bos mesum!” ucapnya dalam hati. *** Sahira duduk di salah satu sofa kecil di sudut ruangan, punggungnya bersandar dengan malas sementara kedua tangan terlipat di depan dada. Ia merasa sangat bosan. Matanya berkeliling, memperhatikan ruangan Michael yang mewah. Dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota dari ketinggian, furnitur kulit mahal, dan aroma khas maskulin yang memenuhi udara, ruangan itu benar-benar mencerminkan karakter sang pemilik. “Apa begini rasanya jadi sekretaris?” Sahira bergumam pelan pada dirinya sendiri. Ia melirik ke arah Michael, pria tampan itu duduk di belakang meja kerja besar dengan tatapan serius. Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard komputer, sesekali matanya berpindah ke layar ponsel yang berada di sampingnya. Sesekali, alisnya mengerut, tanda ia sedang berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya. Sahira menghela napas panjang. Dia merasa diabaikan. Sejak tadi ia duduk di situ, Michael bahkan tidak meliriknya sedikit pun, seolah kehadirannya sama sekali tidak penting. Hufft! Sahira mencoba mencari cara untuk mengisi waktu, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Tidak ada tumpukan dokumen untuk dibaca, tidak ada komputer untuk digunakan, bahkan tidak ada buku untuk sekadar dibolak-balik. Matanya kembali tertuju pada Michael. Pria itu benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya. Wajahnya yang tampan dengan hidung mancung, rahang yang tegas, alis sedikit tebal, dan mata setajam elang membuatnya terlihat dingin. Namun, tidak bisa dipungkiri, Michael memang memiliki aura yang memikat. “Kenapa dia harus setampan itu?” batin Sahira, sedikit jengkel dengan dirinya sendiri karena terus memperhatikan bos-nya. “Pak, aku bisa membantu sesuatu?” tanyanya dengan ragu. Michael tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat satu tangan, memberikan isyarat agar Sahira menunggu. Sahira mendesah pelan. Ia merasa ditolak secara halus. “Kalau begini terus, mending aku jualan cilok,” gumamnya, kali ini sedikit lebih keras. Michael akhirnya berhenti mengetik dan mengangkat kepalanya. Ia menatap Sahira dengan mata tajam, seolah baru menyadari keberadaannya. “Ada apa?” tanyanya datar. Sahira tertegun sejenak, tidak menyangka Michael akan merespons. “Em, tidak ada. Aku hanya sedikit bosan.” Michael menatapnya lebih lama, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu, ia tersenyum tipis—senyum yang sulit ditebak artinya. “Kalau kau bosan, aku bisa memberimu pekerjaan tambahan,” ucapnya. Mendengar itu, mata Sahira berbinar sejenak. “Tentu saja, Pak. Apa yang harus saya lakukan?” “Sederhana saja. Mulai besok, pastikan kau mengenakan pakaian yang sesuai dengan aturan kantor. Itu pekerjaan pertamamu.” Sahira tersenyum kecut. “Dasar pria menyebalkan,” gumamnya pelan.Keesokan harinya.Di kantor pusat Horisson Steel Corporation dipenuhi oleh para wartawan, awak media, investor, dan jajaran direksi penting dari dalam dan luar negeri. Lampu-lampu kamera sudah menyala terang, mikrofon berbagai stasiun TV berjajar rapi di meja panjang tempat konferensi akan dimulai. Sorotan tertuju pada satu nama: Michael Nathaniel, CEO karismatik yang dikenal tegas, dingin, dan tak mudah tersentuh media. Namun hari ini, ia membuat pengumuman yang menggemparkan: ia akan memperkenalkan putra sulungnya.Detik demi detik terasa menegangkan.Pintu utama terbuka perlahan, dan muncullah Michael dengan setelan jas abu gelap yang elegan. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun berjalan dengan langkah tenang namun penuh wibawa kecil. Dialah Marvel Nathaniel, bocah yang dulu dikenal sebagai Maxy si penjual tisu, kini berdiri tegak sebagai pewaris sah kerajaan bisnis baja raksasa itu.Para hadirin langsung berdiri. Kilatan kamera membanjiri ruangan. Bisik-bisi
Satu bulan kemudian ...Sudah genap satu bulan sejak identitas Maxy dipindahkan secara resmi menjadi Marvel Nathaniel, putra kandung dari seorang pengusaha ternama, Michael Nathaniel.Selama sebulan itu pula, hidup Marvel berubah total.Ia tak lagi tidur beralaskan tikar tipis di ruangan pengap. Kini, ranjang empuk dengan selimut hangat menyambut tidurnya setiap malam. Tak ada lagi rasa lapar atau kecemasan esok akan makan apa. Semua kebutuhan hidupnya tercukupi. Bahkan, ia sudah terbiasa mengenakan seragam sekolah rapi dan sepatu mengkilap.Marvel kini resmi menjadi siswa di salah satu sekolah elit internasional. Sekolah yang hanya bisa dimasuki oleh anak-anak dari kalangan atas. Banyak anak pejabat, artis, bahkan diplomat luar negeri yang bersekolah di sana.Awalnya, semua terasa asing bagi Marvel.Guru-guru berbicara dalam dua bahasa, anak-anak berpenampilan glamor, bahkan menu makan siang di kantin pun seperti hidangan restoran mahal. Namun Marvel bukan anak biasa. Kecerdasannya s
Michael menggenggam tangan Maxy erat saat mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Sahira berada di sisi lain, membelai lembut rambut Maxy, sementara Belinda hanya berdiri di pintu, masih kikuk, tapi berusaha tenang. Dia tetap ingin mengawasi anak yang sudah dianggapnya dunia selama delapan tahun terakhir.Dokter anak bernama dr. Felicia wanita paruh baya berseragam putih, menyambut mereka dengan senyum hangat.“Halo. Ini Maxy, ya?” sapanya lembut.Maxy mengangguk malu-malu.“Ayo, Maxy. Kita cek dulu ya. Tidak sakit kok, santai saja.”Maxy duduk di atas tempat tidur pemeriksaan. Satu per satu prosedur pun dilakukan: dari mengukur tekanan darah, mengecek detak jantung, menyenter tenggorokan, hingga mengambil sampel darah kecil. Maxy sempat meringis saat jarum masuk ke kulitnya, tapi Sahira langsung menggenggam tangannya.“Mommy di sini, Sayang,” ucap Sahira lembut.Belinda yang berdiri agak jauh tampak menahan napas. Matanya tak lepas dari Maxy. Wajahnya cemas.Michael berdiri kaku di pojok
Seorang wanita muda berdiri di sana dengan tubuh tegap namun anggun. Rambut panjangnya tersisir rapi dan wajahnya dilapisi riasan tipis namun mewah. Ia mengenakan gaun berwarna gading berkilau dengan sepatu hak tinggi yang pasti tak pernah menginjak lumpur. Belinda menelan ludah. Matanya langsung menyipit.“Anda siapa?” tanyanya dingin meski tubuhnya mulai bergetar.Sahira menatapnya tajam, lalu menghela napas dan tersenyum kaku. “Saya ... Sahira. Istri dari Michael Nathaniel. Saya datang ke sini … untuk melihat putra saya.”Deg!Kalimat itu menghantam dada Belinda seperti palu.Maxy memandang bingung ke arah dua wanita itu. Ia masih berdiri di antara mereka, tak mengerti apa yang sedang terjadi.“Putra Anda?” gumam Belinda.Sahira melangkah masuk tanpa izin, pandangannya menyapu seisi rumah—ruang sempit, dinding lapuk, dan atap bocor. Bau pengap menyengat hidungnya, tapi ia berusaha menahannya.“Tempat seperti ini …?” lirihnya.Belinda bergerak cepat dan berdiri menghadang. “Keluar
Michael turun dari mobilnya dengan langkah gontai. Hembusan angin menyapu rambutnya yang kusut, dan wajahnya menyiratkan kepenatan yang tak mampu disembunyikan. Bahunya merosot, matanya sayu. Tak ada lagi sorot tajam penuh percaya diri seperti biasanya. Lelaki itu bahkan tak menyadari ketika Sierra melambai dari teras depan dengan senyum ceria.“Daddy! Daddy sudah pulang! Ayo, main boneka bareng aku. Kita bangun rumah-rumahan lagi, seperti kemarin!”Michael hanya memaksa tersenyum. Langkahnya berat, seolah tubuhnya menanggung beban berton-ton. “Nanti ya, Sayang ...” suaranya lirih, nyaris tidak terdengar.Sahira yang tengah duduk di sofa membaca buku langsung menoleh curiga. Ia mengenal betul bahasa tubuh suaminya. Michael tidak sedang baik-baik saja.“Ada apa, Mike?” tanyanya pelan, sambil bangkit dan menghampiri.Michael tidak menjawab. Ia hanya menatap mata istrinya dalam-dalam, penuh luka yang tertahan.“Ayo bicara di dalam kamar,” ucap Sahira, kini mulai merasa gelisah.Ia berba
Mobil hitam berkilap itu terparkir tak jauh dari pos ronda tua, mencolok di antara deretan rumah-rumah berdinding triplek dan atap seng berkarat.Michael turun pertama, diikuti oleh David. Langkah kaki mereka menyusuri lorong becek dengan genangan kecil yang memantulkan sisa cahaya senja. Michael menatap sekitar dengan tatapan nanar. Di sinilah ... anaknya tinggal selama ini? Di tempat sekotor ini? Di antara lalat, bau busuk, dan tembok penuh lumut?Ya Tuhan ...!Dadanya sesak. Setiap langkah terasa berat. Karena emosi yang menumpuk: marah, sedih, hancur, dan bersalah.Mereka sampai di depan pintu rumah. Sebuah pintu kayu kusam yang catnya sudah habis terkelupas. Michael menarik napas dalam-dalam lalu mengetuknya. Tok! Tok! Sekali. Tok! Tok!Dua kali. “Permisi ....”Tak ada jawaban.David menoleh. “Kosong?”Michael menggeleng, mengetuk lagi—lebih keras.Tok! Tok! Tok!Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka pelan dengan suara berderit panjang. Belinda muncul. Rambutnya digelung