Sahira berdiri mematung di dekat pintu ruangan Michael. Matanya terbelalak mendengar permintaan terakhir bos barunya.
“Mulai besok, kau harus pakai rok mini.” Kalimat itu menggema dalam pikirannya, membuat wajahnya merah padam antara marah dan malu. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak. “Apa maksudnya, Pak?” Sahira memberanikan diri bertanya, meskipun suaranya terdengar bergetar. “Kenapa saya harus pakai rok mini? Bukankah saya di sini untuk bekerja, bukan ... untuk hal yang aneh-aneh?” Michael menatapnya dengan tenang, tetapi ada kilatan nakal di matanya. Sahira yang berdiri di sana dengan pipi merona dan ekspresi protes justru terlihat begitu menggemaskan bagi Michael. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangannya sambil menyunggingkan senyum. “Itu sudah menjadi peraturan di kantor ini,” jawab Michael santai. “Peraturan?” Sahira mengerutkan alisnya, tidak percaya. “Kenapa harus ada peraturan seperti itu?” Michael mengangkat bahu, matanya tetap tak lepas dari wajah cantik Sahira yang terlihat kesal. “Kantor ini memiliki budaya kerja yang unik. Penampilan sangat penting untuk menjaga citra perusahaan di depan klien.” Sahira membuka mulutnya hendak membantah, tetapi Michael segera memotongnya, “Kalau kau tidak nyaman, tentu aku tak memaksa. Namun, tanpa itu, kau tidak bisa bekerja di sini.” dia sengaja menekankan kalimat terakhirnya, membuat Sahira merasa berada di posisi sulit. “Aku harus bagaimana?” batin Sahira. Sahira menoleh ke arah Haidar, berharap mendapat dukungan, tetapi pria tua itu malah menyuruhnya menurut. “Sahira, ini kesempatan besar. Kau harus patuh pada aturan kantor ini! Lagipula, hanya memakai rok mini. Apa susahnya?” tukas Haidar, seolah tidak peduli dengan perasaan Sahira. Akhirnya, Sahira menyerah. “Baiklah,” katanya pelan. “Saya akan melakukannya.” Michael tersenyum penuh kemenangan, tetapi dia berusaha tetap menjaga ekspresi serius. “Bagus,” ucapnya. “Kau bisa pulang sekarang dan persiapkan dirimu. Ingat, besok kau harus datang tepat waktu.” Sahira mengangguk, melangkah keluar dari ruangan. Haidar mengikutinya dari belakang, dia tampak santai, seolah tidak ada yang salah. Sahira merasa dadanya sesak, tetapi ia tak punya pilihan lain. * Setelah Sahira dan Haidar keluar, suasana ruangan itu menjadi sunyi. Namun, tak lama kemudian, Lucas masuk tanpa permisi. Ia berhenti di depan meja Michael, memperhatikan bosnya yang tengah duduk dengan senyum simpul di wajahnya. Lucas mengerutkan kening. “Bos, siapa gadis tadi? Aku perhatikan, kau sangat tertarik.” Michael mengangkat wajahnya, tatapannya dingin. “Itu bukan urusanmu,” jawabnya singkat. Lucas tidak menyerah. “Oh, jadi mainan baru? Tumben kali ini berbeda? Biasanya kau pilih yang sudah berpengalaman.” Michael menghela napas panjang, merasa terganggu dengan rasa ingin tahu Lucas. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap anak buahnya dengan tatapan tajam. “Dia sekretaris pribadiku,” jawabnya. Lucas terbelalak. “Sekretaris pribadi? Bos, kau yakin? Aku lihat dia tidak seperti Karin—dia masih sangat lugu.” Michael mendengus pelan, lalu menyunggingkan senyum kecil. Lucas tidak tau saja, yang polos itu lebih ... menggemaskan. Michael langsung memejamkan mata, masih terasa aroma parfum manis milik Sahira membuatnya semakin bergairah. Lucas hanya bisa menghela napas panjang. “Baiklah, Bos. Aku takkan mencampuri urusanmu, tapi hati-hati. Yang polos bisa jadi masalah di kemudian hari.” Michael tersenyum tipis, menatap Lucas dengan pandangan penuh percaya diri. “Jangan khawatir. Aku tahu apa yang sedang aku lakukan. Lagipula, masalah adalah sesuatu yang bisa kuciptakan, dan kuselesaikan dengan caraku sendiri.” Lucas hanya bisa mengangguk sebelum melangkah keluar, meninggalkan Michael yang kembali tenggelam dalam pikirannya. Michael tak sabar menunggu hari esok, di mana dia bisa melihat Sahira lagi—seorang gadis polos yang begitu menggoda, dia memiliki sesuatu yang memikat yang tidak dimiliki oleh siapa pun sebelumnya. *** Malam hari. “Mulai besok, kau harus pakai rok mini.” Lagi, kata-kata Michael menggema di pikiran Sahira. Dia yang sedang duduk di pinggir ranjang, menggigit bibirnya. “Dasar bos mesum!” umpatnya kesal. “Aku bahkan tak punya rok mini satu pun.” dia bermonolog seorang diri di dalam kamar. Namun, tak berselang lama .... BRAK! Terdengar suara pintu depan dibuka kencang, membuat Sahira terperanjat. Dia segera keluar kamar dan mendapati Ayahnya pulang kondisi lebam di area wajah. “Bapak! Bapak kenapa?” tanya Sahira, dia begitu khawatir. Haidar tak menjawab pertanyaan putrinya, dia segera masuk ke dalam kamar. Lalu mengemasi pakaiannya ke dalam tas besar. “Pak, Bapak mau ke mana?” Haidar menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengemasi pakaian sejenak, dia menatap Sahira. Pria tua itu begitu kesal pada Michael, Michael telah menipunya. Menjanjikan 200 juta tapi hanya membayar setengahnya saja. Dia malah mengancam Haidar karena telah menjual Sahira, lalu saat Haidar protes, anak buahnya malah menghajarnya. “Sialan!” batin Haidar. “Pak ...,” panggilnya Sahira, saat tak ada respon dari Haidar. Haidar menghela napas. “Bapak mau pergi. Kau tak perlu ikut, tetaplah di sini.” Ya, Haidar harus pergi. Dia tak punya pilihan. Dia sudah berjanji pada Michael. Tak apalah pria itu hanya memberinya 100 juta, tidak sesuai dengan perjanjian. Saat ini, keselamatannya lebih penting. “Pak ... jangan lama-lama. Aku takut sendirian di sini.” Sahira menatapnya nanar. Haidar mengembuskan napas kasar, dia menggenggam tasnya. Kemudian mendekat ke arah Sahira. Di tatapnya wajah Sahira sejenak, putri yang dia besarkan selama 15 tahun. Haidar merogoh kantong, lalu menyerahkan dua lembar uang kertas berwarna merah. “Ambillah, untuk keperluanmu beberapa hari. Bapak tidak bisa memberimu banyak uang. Setidaknya, kamu punya sedikit untuk makan,” ucapnya berbohong, padahal dia telah menerima banyak dari Michael. Sebelum pergi, Haidar menatap Sahira sekali lagi. Mengulurkan tangan, mengusap air mata putrinya yang menetes. “Jangan menangis, Bapak akan segera kembali. Jaga dirimu baik-baik.” Bohong. Haidar sendirilah yang telah menyerahkan Sahira pada pria berbahaya. Sahira mengangguk. “Jangan lama-lama, Pak,” ucapnya. Haidar melepaskan tangannya, lalu pergi dengan tergesa dari sana. Dia menoleh ke arah samping. Ada beberapa pria suruhan Michael yang sedang mengawasinya. *** Di Mansion Michael. Suasana di kamar mandi utama mansion Michael begitu tenang, hampir seperti surga kecil yang diciptakan untuk melepas penat. Cahaya temaram dari lilin aroma terapi menghiasi setiap sudut ruangan, memantulkan sinar lembut pada permukaan marmer mewah. Wangi lavender memenuhi udara, memberikan nuansa rileks yang menenangkan. Michael tengah berendam di dalam bathtub besar berbahan porselen mahal. Air hangat bercampur busa tebal menyelimuti tubuh atletisnya. Kepalanya bersandar pada pinggiran bathtub, matanya terpejam, dan bibirnya menyunggingkan senyum samar. Tapi pikirannya berkelana jauh. Bayangan Sahira, gadis yang baru saja ia temui pagi tadi, memenuhi setiap sudut benaknya. “Eumh, Sahira ...,” desisnya, sambil mengelus senjatanya di bawah sana. Bibir ranum merah muda milik Sahira, bulu mata lentik, dan bulatan indah di balik bra itu memenuhi pikiran Michael. Milik Michael telah mengeras, sejak dia membayangkan Sahira. “Ughh ...,” gumamnya pelan seperti menahan desahan. Ia membayangkan betapa gemasnya gadis itu saat protes tadi pagi, betapa kulit mulusnya tampak bersinar di bawah pencahayaan kantornya. Rasanya ingin dia lum4t bibir mungilnya saat itu juga. “Kau memang sangat cantik,” katanya lagi. Tangannya bergerak mencipratkan air perlahan ke dadanya, mencoba menghilangkan panas yang tiba-tiba menjalar di tubuhnya. “Aku sangat tak sabar ...,” lanjutnya, suaranya penuh dengan gairah yang tertahan. Namun, tak berselang lama ... Tok! Tok! Tok! Ketukan di pintu kamar mandinya memecah suasana. Michael langsung membuka mata, ekspresi kesal terlihat jelas di wajahnya. “Sialan! Mengganggu saja,” umpatnya. Dengan nada malas, dia berucap, “Masuk!” Kriet! Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan David, salah satu anak buahnya yang setia. Pria itu berdiri tegak di ambang pintu, mencoba menjaga tetap sopan meskipun tatapannya sedikit bingung melihat bosnya yang masih berada di bathtub. “Bos,” panggil David. “Nyonya Evelyn sejak tadi menelpon.” Michael mendengus keras, pandangannya tajam sejenak sebelum ia menutup matanya kembali. “Mau apa dia?” tanyanya. David menjawab cepat, “Dia hanya menanyakan kenapa ponselmu tidak aktif, Bos.” Michael mengembuskan napas panjang, menatap langit-langit kamar mandi dengan raut frustrasi. 'Bukankah Mommy sedang sibuk mengurus bisnisnya di London? Kenapa tiba-tiba dia mencemaskanku?' batinnya. “David,” ucap Michael akhirnya, dengan suara yang lebih tenang, “Kalau nanti Mommy telepon lagi, katakan padanya bahwa aku baik-baik saja. Dia tak perlu khawatir.” “Em, baik, Bos,” jawab David singkat sambil sedikit membungkukkan tubuhnya. Setelah itu, dia segera keluar, menutup pintu dengan hati-hati. Michael kembali sendirian di kamar mandi yang sunyi. Suasana rileks yang sempat ia rasakan sebelumnya telah lenyap. Dia mengusap wajahnya, mencoba menetralkan perasaannya yang sedikit berkecamuk. Dengan gerakan malas, ia berdiri dari bathtub. Air mengalir turun dari tubuhnya, menciptakan suara gemericik yang memecah kesunyian. Dia meraih handuk besar di dekatnya, mengeringkan tubuhnya sebelum mengenakan kimono sutra hitam yang tergantung di dinding. Michael berjalan ke arah cermin besar, menatap bayangannya sendiri. Ia menyentuh dagunya, mencoba menenangkan pikirannya. Khayalannya tentang Sahira kini sudah benar-benar kandas, digantikan oleh kekesalan kecil akibat gangguan tadi. “Huh!” desahnya, lalu mengibaskan tangan seolah ingin membuang semua kekesalan itu. Dia segera keluar dari kamar mandi, menuju kamar tidur yang luas. Meskipun tubuhnya sudah bersih dan segar, suasana hatinya masih sedikit buruk. Michael segera mengambil pakaian santai dari lemari mewah miliknya, memakainya asal, lalu segera berbaring di tempat tidur. *** Keesokan Harinya Michael duduk di kursi eksekutifnya yang besar, memutar-mutar pena di tangannya, tatapannya sesekali melirik ke arah telepon di meja. Wajah tampannya terlihat serius. Dengan gerakan cepat, ia meraih gagang telepon, menekan nomor internal untuk menghubungi resepsionis di lantai bawah. Suaranya terdengar berat dan tegas saat berbicara. “Apa wanita bernama Sahira sudah datang?” tanyanya langsung tanpa basa-basi. “Em ... belum, Pak.” Michael mendesah pelan, suaranya terdengar jelas di ruangan yang sunyi. “Kabari aku kalau dia sudah datang,” ucapnya dingin sebelum menutup telepon tanpa menunggu respons lebih lanjut. Ia bersandar kembali di kursinya, kedua tangan disilangkan di dada. Matanya menatap lurus ke depan. “Kenapa dia belum datang?” gumamnya sendiri, merasa waktu berjalan begitu lambat pagi ini. Namun, tak berselang lama .... Kriek! Pintu ruangan terbuka perlahan. Michael langsung mengangkat wajahnya. Tatapannya tajam, dan tanpa sadar sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. Sosok yang sejak tadi dia tunggu kini berdiri di ambang pintu. “Maaf, Pak, saya terlambat,” ucap Sahira pelan, sedikit menunduk. Michael awalnya tersenyum kecil, tapi senyum itu segera lenyap saat matanya benar-benar menangkap penampilan Sahira pagi itu. Matanya melebar, dia langsung berdiri dari kursinya, nyaris menjatuhkan pena yang sejak tadi dia pegang. “Apa-apaan ini?!” tukasnya. Bayangan paha mulus Sahira yang sejak tadi ada di pikirannya musnah. Alih-alih memakai rok mini, Sahira malah memakai rok hitam panjang semata kaki. “Kamvret! Bersambung ....Keesokan harinya.Di kantor pusat Horisson Steel Corporation dipenuhi oleh para wartawan, awak media, investor, dan jajaran direksi penting dari dalam dan luar negeri. Lampu-lampu kamera sudah menyala terang, mikrofon berbagai stasiun TV berjajar rapi di meja panjang tempat konferensi akan dimulai. Sorotan tertuju pada satu nama: Michael Nathaniel, CEO karismatik yang dikenal tegas, dingin, dan tak mudah tersentuh media. Namun hari ini, ia membuat pengumuman yang menggemparkan: ia akan memperkenalkan putra sulungnya.Detik demi detik terasa menegangkan.Pintu utama terbuka perlahan, dan muncullah Michael dengan setelan jas abu gelap yang elegan. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun berjalan dengan langkah tenang namun penuh wibawa kecil. Dialah Marvel Nathaniel, bocah yang dulu dikenal sebagai Maxy si penjual tisu, kini berdiri tegak sebagai pewaris sah kerajaan bisnis baja raksasa itu.Para hadirin langsung berdiri. Kilatan kamera membanjiri ruangan. Bisik-bisi
Satu bulan kemudian ...Sudah genap satu bulan sejak identitas Maxy dipindahkan secara resmi menjadi Marvel Nathaniel, putra kandung dari seorang pengusaha ternama, Michael Nathaniel.Selama sebulan itu pula, hidup Marvel berubah total.Ia tak lagi tidur beralaskan tikar tipis di ruangan pengap. Kini, ranjang empuk dengan selimut hangat menyambut tidurnya setiap malam. Tak ada lagi rasa lapar atau kecemasan esok akan makan apa. Semua kebutuhan hidupnya tercukupi. Bahkan, ia sudah terbiasa mengenakan seragam sekolah rapi dan sepatu mengkilap.Marvel kini resmi menjadi siswa di salah satu sekolah elit internasional. Sekolah yang hanya bisa dimasuki oleh anak-anak dari kalangan atas. Banyak anak pejabat, artis, bahkan diplomat luar negeri yang bersekolah di sana.Awalnya, semua terasa asing bagi Marvel.Guru-guru berbicara dalam dua bahasa, anak-anak berpenampilan glamor, bahkan menu makan siang di kantin pun seperti hidangan restoran mahal. Namun Marvel bukan anak biasa. Kecerdasannya s
Michael menggenggam tangan Maxy erat saat mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Sahira berada di sisi lain, membelai lembut rambut Maxy, sementara Belinda hanya berdiri di pintu, masih kikuk, tapi berusaha tenang. Dia tetap ingin mengawasi anak yang sudah dianggapnya dunia selama delapan tahun terakhir.Dokter anak bernama dr. Felicia wanita paruh baya berseragam putih, menyambut mereka dengan senyum hangat.“Halo. Ini Maxy, ya?” sapanya lembut.Maxy mengangguk malu-malu.“Ayo, Maxy. Kita cek dulu ya. Tidak sakit kok, santai saja.”Maxy duduk di atas tempat tidur pemeriksaan. Satu per satu prosedur pun dilakukan: dari mengukur tekanan darah, mengecek detak jantung, menyenter tenggorokan, hingga mengambil sampel darah kecil. Maxy sempat meringis saat jarum masuk ke kulitnya, tapi Sahira langsung menggenggam tangannya.“Mommy di sini, Sayang,” ucap Sahira lembut.Belinda yang berdiri agak jauh tampak menahan napas. Matanya tak lepas dari Maxy. Wajahnya cemas.Michael berdiri kaku di pojok
Seorang wanita muda berdiri di sana dengan tubuh tegap namun anggun. Rambut panjangnya tersisir rapi dan wajahnya dilapisi riasan tipis namun mewah. Ia mengenakan gaun berwarna gading berkilau dengan sepatu hak tinggi yang pasti tak pernah menginjak lumpur. Belinda menelan ludah. Matanya langsung menyipit.“Anda siapa?” tanyanya dingin meski tubuhnya mulai bergetar.Sahira menatapnya tajam, lalu menghela napas dan tersenyum kaku. “Saya ... Sahira. Istri dari Michael Nathaniel. Saya datang ke sini … untuk melihat putra saya.”Deg!Kalimat itu menghantam dada Belinda seperti palu.Maxy memandang bingung ke arah dua wanita itu. Ia masih berdiri di antara mereka, tak mengerti apa yang sedang terjadi.“Putra Anda?” gumam Belinda.Sahira melangkah masuk tanpa izin, pandangannya menyapu seisi rumah—ruang sempit, dinding lapuk, dan atap bocor. Bau pengap menyengat hidungnya, tapi ia berusaha menahannya.“Tempat seperti ini …?” lirihnya.Belinda bergerak cepat dan berdiri menghadang. “Keluar
Michael turun dari mobilnya dengan langkah gontai. Hembusan angin menyapu rambutnya yang kusut, dan wajahnya menyiratkan kepenatan yang tak mampu disembunyikan. Bahunya merosot, matanya sayu. Tak ada lagi sorot tajam penuh percaya diri seperti biasanya. Lelaki itu bahkan tak menyadari ketika Sierra melambai dari teras depan dengan senyum ceria.“Daddy! Daddy sudah pulang! Ayo, main boneka bareng aku. Kita bangun rumah-rumahan lagi, seperti kemarin!”Michael hanya memaksa tersenyum. Langkahnya berat, seolah tubuhnya menanggung beban berton-ton. “Nanti ya, Sayang ...” suaranya lirih, nyaris tidak terdengar.Sahira yang tengah duduk di sofa membaca buku langsung menoleh curiga. Ia mengenal betul bahasa tubuh suaminya. Michael tidak sedang baik-baik saja.“Ada apa, Mike?” tanyanya pelan, sambil bangkit dan menghampiri.Michael tidak menjawab. Ia hanya menatap mata istrinya dalam-dalam, penuh luka yang tertahan.“Ayo bicara di dalam kamar,” ucap Sahira, kini mulai merasa gelisah.Ia berba
Mobil hitam berkilap itu terparkir tak jauh dari pos ronda tua, mencolok di antara deretan rumah-rumah berdinding triplek dan atap seng berkarat.Michael turun pertama, diikuti oleh David. Langkah kaki mereka menyusuri lorong becek dengan genangan kecil yang memantulkan sisa cahaya senja. Michael menatap sekitar dengan tatapan nanar. Di sinilah ... anaknya tinggal selama ini? Di tempat sekotor ini? Di antara lalat, bau busuk, dan tembok penuh lumut?Ya Tuhan ...!Dadanya sesak. Setiap langkah terasa berat. Karena emosi yang menumpuk: marah, sedih, hancur, dan bersalah.Mereka sampai di depan pintu rumah. Sebuah pintu kayu kusam yang catnya sudah habis terkelupas. Michael menarik napas dalam-dalam lalu mengetuknya. Tok! Tok! Sekali. Tok! Tok!Dua kali. “Permisi ....”Tak ada jawaban.David menoleh. “Kosong?”Michael menggeleng, mengetuk lagi—lebih keras.Tok! Tok! Tok!Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka pelan dengan suara berderit panjang. Belinda muncul. Rambutnya digelung