Share

Terobsesi

Author: Rafasya
last update Huling Na-update: 2025-01-22 19:01:07

Sahira berdiri mematung di dekat pintu ruangan Michael. Matanya terbelalak mendengar permintaan terakhir bos barunya.

“Mulai besok, kau harus pakai rok mini.” Kalimat itu menggema dalam pikirannya, membuat wajahnya merah padam antara marah dan malu. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak.

“Apa maksudnya, Pak?” Sahira memberanikan diri bertanya, meskipun suaranya terdengar bergetar. “Kenapa saya harus pakai rok mini? Bukankah saya di sini untuk bekerja, bukan ... untuk hal yang aneh-aneh?”

Michael menatapnya dengan tenang, tetapi ada kilatan nakal di matanya. Sahira yang berdiri di sana dengan pipi merona dan ekspresi protes justru terlihat begitu menggemaskan bagi Michael. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangannya sambil menyunggingkan senyum. “Itu sudah menjadi peraturan di kantor ini,” jawab Michael santai.

“Peraturan?” Sahira mengerutkan alisnya, tidak percaya. “Kenapa harus ada peraturan seperti itu?”

Michael mengangkat bahu, matanya tetap tak lepas dari wajah cantik Sahira yang terlihat kesal.

“Kantor ini memiliki budaya kerja yang unik. Penampilan sangat penting untuk menjaga citra perusahaan di depan klien.”

Sahira membuka mulutnya hendak membantah, tetapi Michael segera memotongnya, “Kalau kau tidak nyaman, tentu aku tak memaksa. Namun, tanpa itu, kau tidak bisa bekerja di sini.” dia sengaja menekankan kalimat terakhirnya, membuat Sahira merasa berada di posisi sulit.

“Aku harus bagaimana?” batin Sahira.

Sahira menoleh ke arah Haidar, berharap mendapat dukungan, tetapi pria tua itu malah menyuruhnya menurut.

“Sahira, ini kesempatan besar. Kau harus patuh pada aturan kantor ini! Lagipula, hanya memakai rok mini. Apa susahnya?” tukas Haidar, seolah tidak peduli dengan perasaan Sahira.

Akhirnya, Sahira menyerah. “Baiklah,” katanya pelan. “Saya akan melakukannya.”

Michael tersenyum penuh kemenangan, tetapi dia berusaha tetap menjaga ekspresi serius. “Bagus,” ucapnya. “Kau bisa pulang sekarang dan persiapkan dirimu. Ingat, besok kau harus datang tepat waktu.”

Sahira mengangguk, melangkah keluar dari ruangan. Haidar mengikutinya dari belakang, dia tampak santai, seolah tidak ada yang salah. Sahira merasa dadanya sesak, tetapi ia tak punya pilihan lain.

*

Setelah Sahira dan Haidar keluar, suasana ruangan itu menjadi sunyi. Namun, tak lama kemudian, Lucas masuk tanpa permisi. Ia berhenti di depan meja Michael, memperhatikan bosnya yang tengah duduk dengan senyum simpul di wajahnya.

Lucas mengerutkan kening. “Bos, siapa gadis tadi? Aku perhatikan, kau sangat tertarik.”

Michael mengangkat wajahnya, tatapannya dingin. “Itu bukan urusanmu,” jawabnya singkat.

Lucas tidak menyerah. “Oh, jadi mainan baru? Tumben kali ini berbeda? Biasanya kau pilih yang sudah berpengalaman.”

Michael menghela napas panjang, merasa terganggu dengan rasa ingin tahu Lucas. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap anak buahnya dengan tatapan tajam. “Dia sekretaris pribadiku,” jawabnya.

Lucas terbelalak. “Sekretaris pribadi? Bos, kau yakin? Aku lihat dia tidak seperti Karin—dia masih sangat lugu.”

Michael mendengus pelan, lalu menyunggingkan senyum kecil. Lucas tidak tau saja, yang polos itu lebih ... menggemaskan. Michael langsung memejamkan mata, masih terasa aroma parfum manis milik Sahira membuatnya semakin bergairah.

Lucas hanya bisa menghela napas panjang. “Baiklah, Bos. Aku takkan mencampuri urusanmu, tapi hati-hati. Yang polos bisa jadi masalah di kemudian hari.”

Michael tersenyum tipis, menatap Lucas dengan pandangan penuh percaya diri. “Jangan khawatir. Aku tahu apa yang sedang aku lakukan. Lagipula, masalah adalah sesuatu yang bisa kuciptakan, dan kuselesaikan dengan caraku sendiri.”

Lucas hanya bisa mengangguk sebelum melangkah keluar, meninggalkan Michael yang kembali tenggelam dalam pikirannya.

Michael tak sabar menunggu hari esok, di mana dia bisa melihat Sahira lagi—seorang gadis polos yang begitu menggoda, dia memiliki sesuatu yang memikat yang tidak dimiliki oleh siapa pun sebelumnya.

***

Malam hari.

“Mulai besok, kau harus pakai rok mini.”

Lagi, kata-kata Michael menggema di pikiran Sahira. Dia yang sedang duduk di pinggir ranjang, menggigit bibirnya.

“Dasar bos mesum!” umpatnya kesal.

“Aku bahkan tak punya rok mini satu pun.” dia bermonolog seorang diri di dalam kamar.

Namun, tak berselang lama ....

BRAK!

Terdengar suara pintu depan dibuka kencang, membuat Sahira terperanjat. Dia segera keluar kamar dan mendapati Ayahnya pulang kondisi lebam di area wajah.

“Bapak! Bapak kenapa?” tanya Sahira, dia begitu khawatir.

Haidar tak menjawab pertanyaan putrinya, dia segera masuk ke dalam kamar. Lalu mengemasi pakaiannya ke dalam tas besar.

“Pak, Bapak mau ke mana?”

Haidar menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengemasi pakaian sejenak, dia menatap Sahira. Pria tua itu begitu kesal pada Michael, Michael telah menipunya. Menjanjikan 200 juta tapi hanya membayar setengahnya saja. Dia malah mengancam Haidar karena telah menjual Sahira, lalu saat Haidar protes, anak buahnya malah menghajarnya.

“Sialan!” batin Haidar.

“Pak ...,” panggilnya Sahira, saat tak ada respon dari Haidar.

Haidar menghela napas. “Bapak mau pergi. Kau tak perlu ikut, tetaplah di sini.”

Ya, Haidar harus pergi. Dia tak punya pilihan. Dia sudah berjanji pada Michael. Tak apalah pria itu hanya memberinya 100 juta, tidak sesuai dengan perjanjian. Saat ini, keselamatannya lebih penting.

“Pak ... jangan lama-lama. Aku takut sendirian di sini.” Sahira menatapnya nanar.

Haidar mengembuskan napas kasar, dia menggenggam tasnya. Kemudian mendekat ke arah Sahira.

Di tatapnya wajah Sahira sejenak, putri yang dia besarkan selama 15 tahun. Haidar merogoh kantong, lalu menyerahkan dua lembar uang kertas berwarna merah.

“Ambillah, untuk keperluanmu beberapa hari. Bapak tidak bisa memberimu banyak uang. Setidaknya, kamu punya sedikit untuk makan,” ucapnya berbohong, padahal dia telah menerima banyak dari Michael.

Sebelum pergi, Haidar menatap Sahira sekali lagi. Mengulurkan tangan, mengusap air mata putrinya yang menetes.

“Jangan menangis, Bapak akan segera kembali. Jaga dirimu baik-baik.”

Bohong. Haidar sendirilah yang telah menyerahkan Sahira pada pria berbahaya.

Sahira mengangguk. “Jangan lama-lama, Pak,” ucapnya.

Haidar melepaskan tangannya, lalu pergi dengan tergesa dari sana. Dia menoleh ke arah samping. Ada beberapa pria suruhan Michael yang sedang mengawasinya.

***

Di Mansion Michael.

Suasana di kamar mandi utama mansion Michael begitu tenang, hampir seperti surga kecil yang diciptakan untuk melepas penat. Cahaya temaram dari lilin aroma terapi menghiasi setiap sudut ruangan, memantulkan sinar lembut pada permukaan marmer mewah. Wangi lavender memenuhi udara, memberikan nuansa rileks yang menenangkan.

Michael tengah berendam di dalam bathtub besar berbahan porselen mahal. Air hangat bercampur busa tebal menyelimuti tubuh atletisnya. Kepalanya bersandar pada pinggiran bathtub, matanya terpejam, dan bibirnya menyunggingkan senyum samar. Tapi pikirannya berkelana jauh.

Bayangan Sahira, gadis yang baru saja ia temui pagi tadi, memenuhi setiap sudut benaknya.

“Eumh, Sahira ...,” desisnya, sambil mengelus senjatanya di bawah sana.

Bibir ranum merah muda milik Sahira, bulu mata lentik, dan bulatan indah di balik bra itu memenuhi pikiran Michael.

Milik Michael telah mengeras, sejak dia membayangkan Sahira.

“Ughh ...,” gumamnya pelan seperti menahan desahan. Ia membayangkan betapa gemasnya gadis itu saat protes tadi pagi, betapa kulit mulusnya tampak bersinar di bawah pencahayaan kantornya. Rasanya ingin dia lum4t bibir mungilnya saat itu juga.

“Kau memang sangat cantik,” katanya lagi. Tangannya bergerak mencipratkan air perlahan ke dadanya, mencoba menghilangkan panas yang tiba-tiba menjalar di tubuhnya.

“Aku sangat tak sabar ...,” lanjutnya, suaranya penuh dengan gairah yang tertahan.

Namun, tak berselang lama ...

Tok! Tok! Tok!

Ketukan di pintu kamar mandinya memecah suasana. Michael langsung membuka mata, ekspresi kesal terlihat jelas di wajahnya. “Sialan! Mengganggu saja,” umpatnya.

Dengan nada malas, dia berucap, “Masuk!”

Kriet!

Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan David, salah satu anak buahnya yang setia. Pria itu berdiri tegak di ambang pintu, mencoba menjaga tetap sopan meskipun tatapannya sedikit bingung melihat bosnya yang masih berada di bathtub.

“Bos,” panggil David. “Nyonya Evelyn sejak tadi menelpon.”

Michael mendengus keras, pandangannya tajam sejenak sebelum ia menutup matanya kembali. “Mau apa dia?” tanyanya.

David menjawab cepat, “Dia hanya menanyakan kenapa ponselmu tidak aktif, Bos.”

Michael mengembuskan napas panjang, menatap langit-langit kamar mandi dengan raut frustrasi.

'Bukankah Mommy sedang sibuk mengurus bisnisnya di London? Kenapa tiba-tiba dia mencemaskanku?' batinnya.

“David,” ucap Michael akhirnya, dengan suara yang lebih tenang, “Kalau nanti Mommy telepon lagi, katakan padanya bahwa aku baik-baik saja. Dia tak perlu khawatir.”

“Em, baik, Bos,” jawab David singkat sambil sedikit membungkukkan tubuhnya. Setelah itu, dia segera keluar, menutup pintu dengan hati-hati.

Michael kembali sendirian di kamar mandi yang sunyi. Suasana rileks yang sempat ia rasakan sebelumnya telah lenyap. Dia mengusap wajahnya, mencoba menetralkan perasaannya yang sedikit berkecamuk.

Dengan gerakan malas, ia berdiri dari bathtub. Air mengalir turun dari tubuhnya, menciptakan suara gemericik yang memecah kesunyian. Dia meraih handuk besar di dekatnya, mengeringkan tubuhnya sebelum mengenakan kimono sutra hitam yang tergantung di dinding.

Michael berjalan ke arah cermin besar, menatap bayangannya sendiri. Ia menyentuh dagunya, mencoba menenangkan pikirannya. Khayalannya tentang Sahira kini sudah benar-benar kandas, digantikan oleh kekesalan kecil akibat gangguan tadi.

“Huh!” desahnya, lalu mengibaskan tangan seolah ingin membuang semua kekesalan itu.

Dia segera keluar dari kamar mandi, menuju kamar tidur yang luas. Meskipun tubuhnya sudah bersih dan segar, suasana hatinya masih sedikit buruk.

Michael segera mengambil pakaian santai dari lemari mewah miliknya, memakainya asal, lalu segera berbaring di tempat tidur.

***

Keesokan Harinya

Michael duduk di kursi eksekutifnya yang besar, memutar-mutar pena di tangannya, tatapannya sesekali melirik ke arah telepon di meja. Wajah tampannya terlihat serius.

Dengan gerakan cepat, ia meraih gagang telepon, menekan nomor internal untuk menghubungi resepsionis di lantai bawah. Suaranya terdengar berat dan tegas saat berbicara.

“Apa wanita bernama Sahira sudah datang?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.

“Em ... belum, Pak.”

Michael mendesah pelan, suaranya terdengar jelas di ruangan yang sunyi. “Kabari aku kalau dia sudah datang,” ucapnya dingin sebelum menutup telepon tanpa menunggu respons lebih lanjut.

Ia bersandar kembali di kursinya, kedua tangan disilangkan di dada. Matanya menatap lurus ke depan.

“Kenapa dia belum datang?” gumamnya sendiri, merasa waktu berjalan begitu lambat pagi ini.

Namun, tak berselang lama ....

Kriek!

Pintu ruangan terbuka perlahan. Michael langsung mengangkat wajahnya. Tatapannya tajam, dan tanpa sadar sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. Sosok yang sejak tadi dia tunggu kini berdiri di ambang pintu.

“Maaf, Pak, saya terlambat,” ucap Sahira pelan, sedikit menunduk.

Michael awalnya tersenyum kecil, tapi senyum itu segera lenyap saat matanya benar-benar menangkap penampilan Sahira pagi itu. Matanya melebar, dia langsung berdiri dari kursinya, nyaris menjatuhkan pena yang sejak tadi dia pegang.

“Apa-apaan ini?!” tukasnya.

Bayangan paha mulus Sahira yang sejak tadi ada di pikirannya musnah. Alih-alih memakai rok mini, Sahira malah memakai rok hitam panjang semata kaki.

“Kamvret!

Bersambung ....

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • HASRAT LIAR CEO (Perawan 200 Juta)   Wajah yang familiar

    David berlutut di samping Maxy, wajahnya pucat namun matanya penuh kekhawatiran. Ia menepuk lembut bahu kecil Maxy.“Apa … kamu baik-baik saja, Nak?” suaranya pelan, menembus keheningan di antara mereka.Maxy mengerjap, menahan air mata. Ia menggeleng dengan angel.“Aku … aku baik-baik saja, Paman,” jawabnya, suaranya berat tapi tegar.David mengusap pelipisnya, merasakan kelegaan sesaat, namun segera tertahan saat matanya turun ke lutut bocah itu.“Kakimu terluka … Kita sebaiknya ke klinik terdekat dulu sebentar, Nak,” ucapnya lembut, mencoba menyembunyikan rasa gelisah.Mata Maxy menatap permukaan jalan. Ia menggumam lirih.“Sudahlah, Paman. Luka ini cuma sekadar goresan. Aku bukan laki-laki lemah.”David menelan ludah, duduk di sela trotoar.“Baiklah …” ia menghela napas panjang. “Tapi kalau rasa sakitnya bertambah parah, kau harus bilang, oke?”Maxy mengangguk mantap. Bastir kecilnya tertutup bedak merah muda, menahan darah yang merembes tipis. Joy, bocah menahan Maxy dari belakan

  • HASRAT LIAR CEO (Perawan 200 Juta)   Benar kau Belinda?

    Langkah kaki David mantap menapaki trotoar sempit dengan tatapan fokus ke depan. Di tangannya, ponsel menyala menampilkan data hasil pelacakan yang barusan ia dapat dari seorang kenalannya yang bekerja sebagai pemulung di dekat bandara lama.“Nama wanita itu ... Belinda, katanya tinggal di ujung gang, rumah ketiga dari kiri.” gumam David pelan.Ia berhenti di depan sebuah rumah mungil berwarna hijau pudar, dindingnya retak di beberapa bagian, dan pagar kecilnya sudah berkarat. Sebuah pot gantung berisi tanaman kering tergoyang lemah diterpa angin. David menarik napas panjang, menurunkan kaca mata hitamnya lalu mengetuk pintu pelan namun tegas.Tok ... tok ... tok ...Beberapa detik kemudian, daun pintu terbuka. Muncul seorang wanita dengan wajah letih, berusia sekitar 40-an tahun. Rambutnya digelung asal-asalan, mengenakan daster bermotif bunga yang tampak sudah lusuh. Matanya menyipit, mengamati David dari ujung kepala sampai sepatu pantofel mengkilatnya.“Ada yang bisa saya bantu, P

  • HASRAT LIAR CEO (Perawan 200 Juta)   Maxy bukan bocah biasa

    Di sudut perempatan lampu merah yang biasa digunakan Maxy dan ibunya untuk berjualan, dua bocah lelaki tampak duduk di atas trotoar, menatap kaleng-kaleng bekas yang telah mereka susun menjadi mobil-mobilan.“Kau yakin kita akan bermain?” tanya Joy, bocah kurus dengan rambut acak-acakan dan kulit legam karena sering dijemur panas matahari.Maxy mengangguk penuh semangat. “Tentu saja.”“Tapi, Max ... bagaimana kalau nanti ibumu marah lagi? Nanti kau dipukul lagi?” Suara Joy terdengar ragu, masih teringat betapa kerasnya Belinda memarahi Maxy kemarin karena mencuri.Maxy tertawa kecil, tapi senyumnya tidak sepenuhnya ceria. “Sudah ... tenang saja. Ibuku memang suka memukul, tapi nanti besoknya dia akan minta maaf dan memberi makanan enak.”Joy mengangguk perlahan, walau raut wajahnya tetap tak yakin. “Baiklah ... ayo kita pergi.”Dua bocah itu pun berlari menuju gang kecil yang jarang dilewati orang, membawa mobil-mobilan kaleng yang sudah mereka rawat seperti harta karun. Mobilan itu t

  • HASRAT LIAR CEO (Perawan 200 Juta)   Firasat seorang Ayah

    “Sierra, ayo sayang, berlatih sekali lagi!” teriak Michael sambil setengah berlari mengejar anak kecil berbaju olahraga pink yang melesat cepat seperti peluru.Napasnya mulai tersengal. Kemeja putihnya kini kusut, dan dasinya tergantung miring. “Tidak mau!” seru Sierra sambil tertawa geli, kuncir kembarnya memantul seiring langkah kakinya. “Daddy kejam! Daddy tidak sayang aku!”“Sayang dong!” Michael terus mengejar, tapi Sierra dengan lincah menyelinap ke balik tiang dan melompat naik ke bangku taman kecil di halaman belakang.Dengan wajah cemberut yang hanya dibuat-buat, Sierra segera berlari ke arah sang ibu yang tengah duduk santai di ayunan rotan sambil membaca majalah.Sahira mengangkat wajahnya dari halaman majalah saat Sierra menyusup ke pelukannya. Ia menoleh sekilas pada suaminya yang baru tiba dengan wajah lelah tapi penuh kasih.“Mommy, katakan pada Daddy. Aku tidak mau berlatih. Aku lebih suka main boneka. Bonekaku lebih pintar daripada Daddy!”Michael menyipitkan mata se

  • HASRAT LIAR CEO (Perawan 200 Juta)   Aku bukan anak haram!

    “Hei, berikan bola itu padaku,” ucap seorang anak laki-laki bertubuh tambun dengan nada tinggi.Maxy yang sedang duduk menyusun gantungan kunci langsung menoleh. Matanya menangkap bola berwarna merah-biru yang menggelinding mendekatinya. Ia segera berdiri, meraih bola itu dengan kedua tangannya, lalu berjalan ke arah anak tersebut dengan wajah ramah.“Ini bolamu. Hai, namaku Maxy, kau bisa memanggilku Max.”Namun bocah itu tidak menunjukkan sedikit pun sikap ramah. Ia hanya menatap Maxy dengan tatapan meremehkan, lalu merebut bola dari tangan Maxy dengan kasar tanpa sepatah kata pun. Dia langsung membalikkan badan hendak pergi.“Heh, kau tidak berterima kasih padaku?” seru Maxy sedikit keras.Anak itu berhenti, berbalik dengan ekspresi sebal.“Untuk apa?” tanyanya ketus.“Karena aku telah mengambilkan bolamu,” jawab Maxy, masih mencoba sopan.Bocah itu mendengus dan tertawa sinis. “Kan itu memang tugasmu. Kamu cuma anak jalanan. Anak orang miskin yang nggak berguna.”Wajah Maxy menega

  • HASRAT LIAR CEO (Perawan 200 Juta)   Susu hambar

    Malam hari.Sahira duduk di sofa ruang tamu yang luas, dikelilingi dengan nuansa hangat dari pencahayaan lampu di rumah besar mereka. “Aduh.”Sebuah rasa sakit tiba-tiba menusuk di kakinya. Awalnya ia mengira hanya kelelahan setelah beraktivitas seharian, tapi rasa nyeri itu tak kunjung hilang. Sahira berusaha berdiri, namun kakinya terasa lemas dan sulit untuk digerakkan.Sebuah teriakan kecil keluar dari mulutnya tanpa bisa ia tahan.“Aw! Sakit!” Sahira memekik, mengangkat kaki kirinya yang terasa sakit.Michael, yang sedang sibuk di dekat dapur, langsung menoleh ke arah suara itu. Wajahnya berubah cemas saat melihat istrinya terkejut dengan rasa sakit yang mendalam.“Ada apa sayang?” Michael bertanya dengan nada khawatir, langkah kakinya cepat menuju Sahira.Sahira mencoba tersenyum, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Ia memegangi kakinya dengan tangan. “Tidak tahu, Mike. Kakiku tiba-tiba saja sakit,” sahutnya, berusaha menjelaskan, meski masih merasa bingung dengan rasa sakit

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status