Malam Hari.Di dalam ruang kerja, Michael duduk dengan ekspresi serius, menatap layar besar yang menampilkan rekaman CCTV rumahnya.Di sampingnya, David berdiri dengan tangan bersedekap, ikut memperhatikan setiap sudut rumah yang terekam di layar.“Ada yang mencurigakan,” gumam Michael, matanya menyipit.David mengangguk. “Aku juga melihatnya, Bos. Seseorang baru saja menyelinap ke pekarangan belakang. Gerakannya sangat hati-hati, sepertinya sudah berpengalaman.”Michael mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, lalu menggerakkan mouse untuk memperbesar tampilan. Sosok berpakaian serba hitam itu tampak berjongkok di dekat salah satu jendela, seperti sedang mencari celah untuk masuk.“Siapkan orang-orang kita,” perintah Michael tegas. “Kita cegah dia sebelum bertindak lebih jauh.”David segera menghubungi tim keamanan. Dalam hitungan detik, beberapa orang sudah bersiap di titik-titik strategis.Michael tidak menunggu lebih lama. Dengan langkah tenang, ia keluar dari ruangannya dan berjalan m
Sahira bangun di pagi hari. Dia meregangkan badan, kemudian menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja. Terdapat 1 pesan masuk. Dia segera membukanya. Deg!Alangkah terkejutnya dia saat membaca chat dari Michael 30 menit yang lalu. Dan sekarang jam 8 pagi.[Hari ini kita ada meeting jam 7:30, jangan sampai terlambat.]“Astaga, aku kesiangan!” pekiknya. Dia langsung berlari menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan cepat, lalu memakai asal pakaiannya. Sahira mendengus kesal saat melihat jalanan yang tampak sepi, tak ada taksi atau transportasi umum yang lewat.“Huh! Aku harus bagaimana? Pasti datang lebih lambat hari ini,” gumamnya.Dia mencoba mengubungi Michael untuk meminta maaf, tapi nomor Bos-nya itu tidak aktif.***Di kantor.Michael menatap kursi kosong di ruang meeting. Harusnya dia sudah sampai satu jam yang lalu. Apa yang membuat asisten pribadinya itu sampai terlambat?“Aku akan memberikan hukuman,” ucapnya dalam hati sambil mengepalkan tangan.Michael masi
Bruk!“Ah, maaf, aku tak sengaja.” Sahira langsung mendongak melihat siapa orang yang tak sengaja dia tabrak.“Em, Pak ...” dia langsung menunduk saat melihat Michael di depannya.“Pulang naik apa?” tanya Michael datar.“Na-naik taksi.”“Hari ini aku yang antar.”Mata Sahira membulat, dia lekas menggeleng, “Tidak perlu, Pak.”“Tidak boleh menolak.”“Em, baiklah ...” Sahira akhirnya menurut, dia tak mau kalau Michael marah-marah lagi. Sudah cukup dia kena semprot pagi tadi, sampai mendapatkan hukuman yang masih tanda tanya.Mereka berjalan menuju parkiran di mana mobil mewah milik Michael berada.Sahira meremas roknya. Dia memang pernah menaiki mobil itu saat rumahnya kebakaran tempo lalu. Tapi saat itu ada David diantara mereka, sedangkan sekarang? Ah ...Sahira sangat takut Michael akan mengobok-obok dirinya di dalam mobil.Michael membuka pintu mobil untuk Sahira. Namun, tiba-tiba terdengar suara benturan kecil di belakangnya.Bruk!Dia menoleh dan melihat Karin terhuyung setelah m
Kriet!Pintu terbuka, menampakkan Michael di pintu apartemen.Huh! Sahira bernapas lega, dia pikir orang lain yang datang.“Cepat sekali. Kupikir siapa yang datang.”“Kenapa? Apa kau sedang menunggu orang lain?”Dia gelegapan sendiri, kemudian menggeleng, “Tidak, bukan begitu maksudku.”“Hmm.”Michael langsung memasuki apartemen Sahira tanpa dipersilahkan. Setiap langkahnya, menambah ketegangan dihati Sahira yang belum reda.Memang, saat pintu terbuka tadi, ekspresi Michael tidak menunjukkan keramahan sedikit pun. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi kali ini terlihat seperti sedang menahan amarah.Sahira, yang sebelumnya berdiri di dekat meja, mendekat dengan langkah ragu. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada sebelumnya, mencoba menenangkan diri, tapi sepertinya rasa gelisah itu semakin besar.Michael melepaskan jasnya dengan cepat dan melemparkannya ke atas kursi. Tanpa kata, dia melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, menuju sofa besar yang ada di tengah apartemen Sahira. Tidak
“Aku sedang menstruasi, Pak.”APAH?“Jangan bercanda!” wajah Micahel tampak frustrasi.“Aku sedang tidak bercanda, Pak.” Sahira menggigit bibirnya, merasa takut. Sebelah tangannya meraih selimut lalu menutupi dadanya yang polos.Michael terdiam sejenak, menatap Sahira dengan ekspresi tak terbaca. Ucapannya barusan sukses membuat gairahnya meredup seketika.Dia menarik napas panjang, lalu bangkit dari posisi semula dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa tidak bilang dari tadi?” tanyanya datar, menekan emosinya yang baru saja meluap.Sahira meneguk ludah, merasa bersalah karena telah membuat suasana menjadi canggung. “Aku … tak sempat. Bapak terlalu terburu-buru,” jawabnya pelan.Michael menoleh ke arah Sahira yang masih terbaring dengan napas sedikit tersengal. Dia menutup matanya sebentar, mencoba meredam gejolak dalam dirinya.Michael melirik ke arah bawah, di mana si gagah berada. Dia mendengus kesal. Kemudian ....“Kalau begitu, lakukan dengan cara lain.”Mata Sahira seketika membulat,
Sesampai di parkiran, Michael menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya sebelum akhirnya menatap Sahira. “Aku akan mengantarkanmu pulang dulu ke apartemen. Setelah itu, aku harus pergi.”Sahira mengernyit, bingung dengan perubahan sikapnya yang mendadak serius. “Ada apa, Pak? Kenapa tiba-tiba ingin pergi?”Michael tidak langsung menjawab. Dia hanya menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya.“Pak?” Sahira mencoba lagi, kini nada suaranya mengandung sedikit khawatir.Michael menghela napas, lalu berkata, “Aku tak bisa menjelaskannya sekarang. Ini urusan penting.”Sahira semakin curiga, tapi melihat ekspresi Michael yang tegang, dia memilih untuk tidak banyak bertanya.Mobil berhenti di depan apartemen Sahira. Michael menoleh padanya, matanya sedikit melunak. “Tetap di dalam. Jangan keluar sampai aku menghubungimu.”Sahira semakin bingung. “Pak, ini ada hubungannya dengan pekerjaan?”Michael tidak menjawab langsung. “Ya, semacam
Sahira masih duduk di sofa, memainkan ponselnya dengan bosan.Tak berselang lama, terdengar suara pintu apartemen terbuka.Klik!Kepalanya segera menoleh, dan di sana berdiri sosok Michael dengan jas yang kini sudah dilepas, hanya menyisakan kemeja putih yang lengannya sedikit digulung.Langkahnya tenang, tapi sorot matanya tajam. Ada sesuatu dalam cara dia menatap Sahira yang membuat napas wanita itu sedikit tertahan.“Pak Michael.”Michael tidak langsung bicara. Dia berjalan mendekat, lalu berdiri di depan Sahira yang masih duduk di sofa.“Bosan?” tanyanya dengan suara pelan.Sahira menelan ludah. “E-emm … ya, sedikit.”Michael tersenyum miring, tapi matanya tetap menatap Sahira dengan intens. “Aku sudah bilang jangan keluar, kan?”Sahira mengerutkan kening. “Aku memang tidak keluar.”Michael berjongkok, kini sejajar dengannya. Wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. Jari-jarinya terulur, menyelipkan helaian rambut Sahira ke belakang telinga dengan gerakan yang perlahan tapi penu
Beberapa Hari Kemudian.Di kantor 'Horisson Steel' Beberapa pegawai berlalu-lalang dengan dokumen di tangan, suara telepon yang berdering dan keyboard yang ditekan dengan cepat menciptakan latar belakang khas sebuah perusahaan yang sedang sibuk.Di dalam ruangannya, Sahira sedang fokus mengerjakan laporan di depan laptopnya. Dia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, jari-jarinya mengetik cepat di keyboard.Sahira memang tak mengerti, tapi soal ketik mengetik, itu sangat mudah baginya.Tak berselang lama ...TING!Sebuah pesan masuk, seketika fokusnya buyar. Dia segera melihatnya.Michael, [Buatkan aku kopi.]Sahira mengerutkan kening. [Hah? Buat sendiri, Pak.]Michael, [Aku bosan.]Sahira mendengus pelan, lalu membalas, [Lalu? Apa hubungannya dengan kopi?]Michael, [Aku bosan dan ingin kamu ke sini dengan membawa kopi.]Sahira menatap layar ponselnya dengan ekspresi tak percaya. Pria itu ini benar-benar ... uh![Aku sedang kerja, Pak Bos.]Michael, [Aku juga sedang kerja. Tapi aku but
Di lantai tertinggi kantor pusat yang menjulang, suasana di ruang rapat eksekutif terasa lebih dingin dari biasanya. Dinding-dinding kaca yang menghadap kota seolah menjadi saksi bisu kebangkitan kembali seorang raja yang nyaris terguling. Michael berdiri tegak di depan proyektor, wajahnya tanpa ekspresi, hanya sorot matanya yang tajam menyapu setiap wajah di ruangan. Di belakangnya, layar besar menampilkan rekaman-rekaman pengkhianatan: Lucas yang tertawa puas, Olivia yang berbisik dengan sensual, Rendi dan Jaya yang membicarakan strategi pengambilalihan secara rinci. Beberapa petinggi perusahaan yang duduk di meja panjang tampak tegang. Beberapa di antaranya bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kemarahan mereka. Tangan mengepal, rahang mengeras. Salah satu dari mereka, Pak Raymond, menunduk dalam-dalam, merasa bersalah karena pernah mendukung keputusan Lucas dalam rapat-rapat penting. “Lucas menipu kita semua,” gumamnya lirih. Michael tetap diam. Dia membiarkan v
Lucas duduk di sofa dengan Olivia yang melingkarkan lengannya di pundaknya, tubuhnya masih berbalut kimono tipis. Para pengikutnya—Rendi, Jaya, dan dua anak buah lainnya—berdiri dengan senyum puas di hadapan peta digital aset Michael yang telah mereka rampok secara perlahan. “Michael bukan apa-apa tanpa loyalitas,” ucap Lucas sombong. “Dan sekarang? Dia bahkan tidak bisa percaya pada bayangannya sendiri.” “Tapi dia bisa balas dendam,” ujar Rendi, sedikit ragu. “Kau tahu Michael, dia takkan tinggal diam.” Lucas menertawakannya. “Tenang. Aku sudah rencanakan semuanya. Bahkan jika dia melawan ... semua sudah terlambat. Aku punya cukup bukti untuk membuatnya tampak seperti dalang korupsi. Jika dia bicara, justru dia yang akan jatuh.” Olivia mencium leher Lucas, berbisik, “Kau memang jenius.” Lucas menarik napas panjang penuh kemenangan. “Bersiaplah. Dalam tiga hari lagi, kita ambil alih perusahaan—dan dunia akan melihat Michael jatuh, sementara kita berdiri di atas puingnya.” *
Mobil yang dikendarai Lucas melaju mulus membelah gelapnya malam. Musik klasik berdentum pelan dari speaker, namun tidak menenangkan suasana hati sang pengemudi. Di balik kemudi, Lucas bicara sendiri, seperti tak mampu menahan hasrat untuk meluapkan kejengkelannya terhadap Michael.“Bocah sok suci ...,” gerutunya.“Mentang-mentang pewaris, merasa bisa menginjak semua orang, memerintah semua orang. Tapi lihat sekarang, Michael ... kau hanya boneka. Aku yang menarik benangnya. Aku yang akan mengakhiri segalanya.”Lucas tertawa pendek, tajam dan getir. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama tak sabar. Dia sudah membayangkan ekspresi Michael saat semuanya terbongkar—hancur, marah, dan sendirian.Di belakang, dalam mobil lain yang lampunya sengaja diredam, Michael dan David membuntuti dengan cermat. Michael mengenakan topi gelap dan masker hitam, matanya tajam mengamati setiap gerak Lucas dari kejauhan. Di sampingnya, David duduk dengan napas sedikit berat, luka-luka di wajahnya belu
Setelah keluar dari tempat rahasia, Michael membanting pintu mobilnya dengan kasar. Napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan matanya memerah karena amarah yang tak terbendung. Tangan kanannya mengepal di atas kemudi, sementara tangan kirinya dengan cepat menyalakan mesin.“Brengsek!” desisnya lirih, tapi penuh racun. Mobil sport hitamnya melesat keluar dari parkiran seperti peluru, ban berdecit di aspal.Di dalam mobil, Michael meninju setir sekali, dua kali. “David! Kau berani mengkhianatiku?! Setelah semua kepercayaan yang kuberikan, kau mengiris punggungku dari belakang! Dasar pengkhianat busuk!”Giginya bergemeletuk karena menahan amarah. Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel. Dia menekan kontak dengan nama David dan menempelkan ponsel ke telinga, matanya fokus pada jalanan malam yang sepi namun terasa sempit oleh emosinya sendiri.“Halo, Tuan,” suara David terdengar datar di ujung sana, seperti biasa, tanpa curiga.Michael mendesis, menahan diri agar tak langsung berteriak.
Sahira dan Michael saling berpandangan. “Permisi, Pak, aku bawa kopi untuk Anda ....” “Oliv!”Sahira masih duduk di sofa, mengenakan blus putih elegan dan rok selutut. Ia menatap tajam ke arah Olivia yang baru saja membuka pintu dan masuk sambil membawa nampan berisi kopi."Tuan, ini kopinya," ucap Olivia lembut, senyum kecil menghias wajahnya yang dipoles rapi. Ia berjalan pelan, langkahnya menggoda seperti model catwalk.Michael mengerutkan alis. "Tapi, saya tidak memintanya.""Kan biasanya Tuan sering meminta saya buatkan kopi," jawab Olivia cepat. Dia meletakkan gelas kopi di meja kaca, lalu mundur dua langkah. Namun sebelum sepenuhnya berbalik menuju pintu, ia menepuk ringan bokongnya sendiri sambil mengedipkan mata ke arah Michael.Gerakan itu singkat, tapi jelas. Sahira melihatnya. Dan matanya langsung menyipit.Keheningan sejenak merayap ke ruangan. Olivia melangkah keluar dengan lenggokan pinggul yang dibuat-buat, meninggalkan aroma parfum mahal dan kejanggalan yang mencolo
“Sergio ...”Sahira memanggil pelan, tapi cukup untuk membuat dua pria di depannya menoleh bersamaan. Michael menatapnya penuh tanya, sementara Sergio menajamkan mata, seolah tak percaya Sahira menyapanya dengan nada selembut itu.Ruangan terasa hening sesaat. Ketegangan menggantung di udara, seperti benang tipis yang bisa putus kapan saja.Sahira menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin bicara. Hanya sebentar.”Sergio memandang Michael, seolah meminta izin, dan Michael mengangguk singkat. Dengan langkah pelan, Sergio mendekati Sahira, berdiri berhadapan dengannya. Jarak mereka cukup dekat untuk mendengar detak jantung masing-masing, tapi cukup jauh untuk menyimpan semua luka lama di antaranya.“Ada apa?” tanya Sergio datar. Tidak dingin, tapi juga tidak hangat.Sahira menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku ... aku ingin minta maaf,” ucapnya akhirnya. “Untuk malam itu. Waktu aku—waktu aku menembakmu.”Sergio tidak langsung bereaksi. Matanya menatap dalam ke arah Sahira,
Setelah selesai makan siang. Sahira merunduk manja ke dada Michael, tubuhnya melingkar seperti kucing jinak yang mencari kehangatan.Tangannya yang lembut merayap ke lengan kekar Michael, menyusuri kulitnya perlahan, seperti ingin mengukir rasa rindu yang ia tahan sejak pagi.Michael masih menatap layar ponselnya, membaca satu demi satu pesan masuk yang tak pernah berhenti berdatangan. Tapi fokusnya buyar saat suara lembut Sahira membisik halus di telinganya.“Apa ponselmu lebih menarik dari aku?”Pertanyaan itu terdengar manja, tapi ada nada menggoda di dalamnya. Michael menoleh. Sekejap saja, namun cukup untuk melihat tatapan jengkel sekaligus merayu dari Sahira. Tanpa banyak bicara, dia mematikan ponsel, meletakkannya di atas meja kaca dengan suara klik pelan, lalu membalikkan tubuhnya untuk menatap perempuan yang kini bersandar di lengannya.“Tentu saja tidak, sayangku,” ucap Michael pelan, suaranya berat dan penuh senyum. “Kenapa kamu manja begini seperti kucing birahi, hm?”Sahi
Berita tentang bersatunya Horison Steel dan ALX Group mengguncang jagat bisnis internasional. Di berbagai stasiun televisi, situs berita ekonomi, hingga media sosial, nama dua perusahaan raksasa itu terus menjadi perbincangan hangat. Para analis menyebut ini sebagai salah satu penggabungan korporasi paling berpengaruh dalam satu dekade terakhir. Alasan utamanya, bukan hanya karena kekuatan modal dan pengaruh pasar dari dua entitas itu, tetapi juga kabar bahwa dua pemimpin utamanya, Michael Nathaniel dan Alexa J, akan segera menikah.Michael duduk di ruang kantornya yang luas dan mewah. Ruangan itu sunyi, hanya denting jam dan desiran AC yang terdengar samar. Di hadapannya, layar laptop masih menampilkan berbagai laporan merger dan reaksi pasar yang positif. Saham perusahaannya melonjak tajam, investor dari berbagai belahan dunia mulai mengalihkan dana mereka ke sektor baja dan konstruksi. Ini seharusnya menjadi hari yang membanggakan, namun Michael justru menatap layar dengan raut wa
Pagi hari.Cahaya layar monitor memantul di wajah Michael, menyoroti ketegangan yang menggelayut di dahinya. Tangannya bergerak cepat, mengetik dan membuka beberapa file rahasia keuangan miliknya. Pupil matanya menyempit saat angka-angka tak wajar muncul di hadapannya. Beberapa akun sudah tidak aktif. Aset digitalnya hilang. Transfer tidak sah dilakukan dalam jumlah besar. Dan anehnya, semuanya dilakukan tanpa terdeteksi oleh sistem pengamanannya."Ini tidak masuk akal ...," desisnya lirih namun sarat amarah.Jantungnya berdegup lebih cepat. Semua dokumen yang dia buka menunjukkan hal yang sama, pencurian sistematis. Sesuatu yang dirancang dengan sangat cermat dan dilakukan oleh seseorang yang paham betul struktur keamanan keuangan perusahaannya."Siapa yang berani melakukan ini padaku?"Dengan gerakan kasar, Michael menutup laptopnya dan berdiri. Kursi kerjanya terhempas ke belakang. Dia melangkah keluar dari ruang kerja pribadinya menuju ruang tengah, wajahnya memerah karena emosi.