Julliet menggeleng. “Enggak terlalu sih, pernah denger namanya dari bokap.”
“Siapapun dia. Gue harapnya sih deal dia bakalan kerja sama.”
“Semoga ya, gue harapnya sih gitu.”
“Sombong nggak sih orang kayak gitu? Misalnya gaya bahasa tinggi atau sok cool, atau apalah itu,” tanya Anja.
Ia memang tidak suka dengan klien yang punya sifat kritis, karena mereka biasanya mau di sembah-sembah.
“Enggak deh kayaknya mereka justru lebih sopan. Tapi nggak tau juga, kan gue nggak kenal.”
“Gue harap sih dia nggak terlalu kritis, ah yaudahlah semoga klien gue pak Willi ini orangnya nggak kritis, malas gue ngadapi orang kritis, tapi clingy juga males ngadepinnya.”
“Yang penting lo baik aja, ramah. Kalau nggak deal, harus lapang dada.”
“Gue nggak mau tau, itu klien harus deal.”
“Duh, gimana caranya?” Tanya Juliet penasaran.
“Ya pokoknya gimanapun caranya pak Willi harus deal, ini demi masa depan gue.”
“Hemmm, terus.”
“Pinter-pinter gue sih ngadepinnya gimana.”
“Kalau dia deal, ngajak lo tidur bareng gimana?”
Anja menutup wajahnya dengan tangan. Ia tak dapat membayangkannya.
Namun, senyuman Julliet yang tampak menggodanya, membuat Anja balas bercanda. “Tergantung dia ngambil berapa banyak? Tanda tangan NDA dulu.”
“Dasar ya lo.”
Anja tertawa, “Nervous tau.”
“Cielah, nervous, kayak pertama ketemu klien aja.”
“Tadi sih, lo ngomongnya tidur bareng, jadi nggak tenang gue. Kayak dejavu tau.”
Alis Juliet terangkat, “Really? Padahal gue becanda doang.”
“Ah, entahlah, gue ngerasa kalau itu bakalan terjadi.”
“Hanya perasaan lo doang,” ucap Juliet lalu menyesap kopinya lagi.
***
Tepat jam sebelas, Anjani sudah berada di Spectrum – Fairmont Jakarta. Ia memang sering bertemu dengan kliennya di sini, staff di sini juga banyak mengenalnya, dia ramah dan sangat helpful. Seperti biasa ia menjamu makan siang di sini bersama klienya, kalau kliennya ini merupakan kelas kakap, kalau biasa-biasa saja, mungkin cukup di office.
Restoran ini tempatnya memang tidak seluas buffet restoran hotel lain, namun makanannya tidak diragukan lagi, di sini enak-enak. Ia pernah makan lamian, kuah orginalnya enak, dimsum apa lagi, daging lamb tidak berbau dan sangat empuk, buah-buah selalu keadaan fresh, sushi roll juga enak, dan rata-rata kliennya puas, saat ia ajak makan di sini.
Anjani melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 11.00, ia di sini sudah sepuluh menit yang lalu. Ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan. Ia seketika bergeming memandang seorang pria yang baru masuk dari arah pintu masuk.
Pria itu mengenakan kemeja hitam dan celana berwarna senada. Ia memperhatikan struktur wajah pria itu, dia memiliki rahang yang tegas, alis yang tebal dan bibir yang menggoda untuk dicicipi. Oh God, ia berharap itu adalah kliennya. Jika kliennya setampan itu ia rela jika tidur bersama malam ini. Damn! Kenapa pikirannya sangat liar. Tatapan mereka lalu bertemu dan saling memandang satu sama lain.
Pria itu memandang seorang wanita mengenakan celana kulot berwarna coklat muda dan kemeja berwarna putih tanpa lengan. Rambutnya lurus berwarna hitam tampak sehat berkilau. Ia harus mengakui kalau wanita itu cantik. Dia memiliki mata yang bersinar, bulu mata yang lentik, alis terukir sempurna, bibir penuh sensual dengan lipstick berwarna nude. Ia melihat ada keterangan manager marketing di lanyard coach di dadanya.
“Ibu Anjani?” tanyanya to the point.
Anjani menahan nafas beberapa detik, ia tidak menyangka bahwa pria itu mengetahui namanya. Anjani berikan senyum terbaiknya secara professional. Ia mengulurkan tangan kepada pria itu.
“Iya, saya Anjani. Apa bapak yang namanya bapak William?”
“Iya, saya William.”
Pria itu membalas uluran tangan Anjani, “Senang berkenalan dengan anda.”
“Terima kasih. Saya juga senang berkenalan dengan anda pak William.”
“Silahkan duduk pak.”
William dan Anjani lalu duduk, beberapa detik kemudian ia melihat server menghidangan dua cangkir hot coffee dan makanan pembuka di atas meja.
Anjani tahu bahwa kliennya ini adalah William seorang pengusaha sukses, biasa dipanggil Willi, pemilik dari Metropolitan Grup, proyeknya berpusat di Kemayoran, dan Jakarta pusat. Dia merupakan salah satu pengusaha property yang sukses. Salah satu bisnis property yang dikelolanya lewat Internasional Expo, perusahaanya dikenal sebagai penyelenggara dari Pekan Raya Jakarta atau PRJ.
Anjani melirik pak William menyesap kopi dan ia pun melakukan hal yang sama.
“Apa kamu menunggu saya dari tadi?” Tanya William kepada Anjani.
“Enggak pak, saya datang sepuluh menit yang lalu.”
“Sudah pesan?”
“Iya, sudah.”
William memandang Anja, cukup serius, “Tawaran kamu seperti apa?” tanya William langsung ke inti pertemuan mereka.
Anjani menahan degup jantunngnya kala mendapati pria itu menatapnya dengan dalam.
"Anjani?"Ucapan William menyadarkan Anjani dari lamunan. Wanita itu segera mengeluarkan katalog bersampul kulit dari tasnya. “Ini pak penawaran saya, silahkan di baca dulu, nanti saya akan menjelaskan setelah bapak membaca penawaran dari saya.”William pun mengambil katalog itu dari tangan Anjani, “Baik, terima kasih.” Dalam diam, Anjani memperhatikan William yang sedang memandang katalog dan penawaran harga yang ia ajukan. Oh God, ia tidak percaya bahwa kliennya setampan itu. Lihatlah ketampannya bertambah dia ketika dia membaca cukup serius. Badannya tegap bersandar di kursi, bergerak secara natural. Ia menunggu William membaca penawarannya hingga pria itu paham. Beberapa menit kemudian, William pun menutup katalog dan penawaran harga yang sudah tercantum. Ia menatap Anjani, ia memperhatikan struktur wajah, dia memiliki hidung yang mancung, alis terukir sempurna dan bibir penuh yang di olesi lipstick berwarna merah menggoda. William meraih gelas berisi kopi itu, ia sebagai kl
Anjani memakan dimsumnya dengan tenang, lalu memandang William yang sedang menunggu jawabannya. Ia tahu kenapa arah pembicaraan mereka mengarah ke friend with benerfit. Akhir-akhir ini FWB menjadi pembicaraan hangat,“Setahu saya, FWB itu hubungan pertemanan yang sangat dekat antara satu sama lain tanpa melibatkan perasaan. Biasa orang yang melakukan itu, orang-orang yang jenuh dengan hubungan konvensional yang biasanya dianggap terlalu mengikat dan membelenggu.” “Menurut saya FBW ini lebih membebaskan satu sama lain walau sebatas teman. Tapi pada akhirnya tetep saja hubungan itu berujung pada suatu hubungan seksual. Yah, FWB itu dianggap lebih ideal dibanding affair atau one night stand.” “Akan lebih baik jika ingin memulai FWB, dari awal udah ada kesepakatan antara kalian berdua jika hubungan ini hanya sebatas FWB, jadi kedepannya tidak ada yang harus terbawa perasaan. Make it as simple as possible, karena memang ini semestinya adalah hubungan yang simple, no drama, no tears.” “
Anjani menarik nafas, “Iya, kita chek in sekarang,” ucapnya akhirnya. Wanita itu mengeluarkan voucher menginap di hotel untuk mitra dalam jumlah besar.Dan di sinilah Anjani berdiri. Jujur, jantungnya tidak berhenti maraton setelah meninggalkan table. Ia melangkahkan kakinya menuju meja counter receptionis. Anjani melirik William berada di sampingnya yang juga sedang memperhatiikannya. Jarak mereka sangat dekat, bahkan ia dapat mencium aroma parfum vanilla yang lembut, dan dipadukan dengan woody yang maskulin dan disusul dengan wangi apel yang membuat pria terlihat gentlemen, tapi manis. Anjani segera memberikan voucer itu kepada receptionis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika berduaan dengan William di kamar hotel. Mereka bukan dua manusia suci yang tidak mengerti apa-apa tentang apa yang terjadi selanjutnya. Ini bukanlah tentang ngobrol biasa, tapi tentang bagaimana cara mempertahakan diri untuk tidak tergoda. Beberapa menit kemudian receptionis itu memberikan kunci
“No, saya di sini saja,” jawab Anja pada akhirnya,“Why? Saya nggak apa-apain kamu?” Ucapan William membuat Anja mulai berpkir. Ia menatap mata elang itu lama. Anja sadar benar pria itu tidak aman, namun entahlah ia tetap melakukannya. Dilepasnya stiletto, dan mulai mendekati William. Entah apa yang merasuki dirinya, Anjani pun berbaring di samping pria itu. Sungguh ia menangkap umpan William dengan sangat baik, ia tahu bahwa ini tidak akan baik-baik saja. Anja menaikan kepalanya di atas bantal, ia menatap langit-langit plafon dan berusaha setenang mungkin. Sementara William mengubah posisi tidurnya menyamping, ia memandang Anja, ia dapat mencium aroma parfume vanilla dari tubuh wanita itu. Mereka saling menatap satu sama lain, dilihat dari jarak dekat seperti ini, Anja terlihat semakin menarik. Ia tahu masih banyak wanita-wanita di luar sana jauh lebih cantik dari Anja. Namun saat dia berpendapat terdengar realistis. Sejujurnya ia suka dengan wanita yang berpikiran terb
HAPPY READING William memandang Anja cukup serius, memperhatikan wanita itu dari kejauhan, ia menepuk bantal di sampingnya, “Kamu nggak mau ke sini?” Tanya William. Anja menarik nafas, ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa sekasur dengan William. “No, saya di sini saja.” “Why? Saya nggak apa-apain kamu?” Ucap William. Anja mulai berpkir, ia menatap mata elang itu. Ia tahu bahwa pria itu tidak aman, namun entahlah ia tetap melakukannya. Anja lalu melepas stiletto nya, ia menatap William, ia tidak yakin kalau William tidak akan apa-apain dirinya jika mereka bersama. Entah dorongan apa, ia mendekati William, dan lalu berbaring di samping pria itu. Sungguh ia menangkap umpan William dengan sangat baik, ia tahu bahwa ini tidak akan baik-baik saja. Anja menaikan kepalanya di atas bantal, ia menatap langit-langit plafon dan berusaha setenang mungkin. Sementara William mengubah posisi tidurnya menyamping, ia memandang Anja, ia dapat mencium aroma parfume vanilla dari tubuh wanita
Anja menggelengkan kepala. “Sama sekali nggak.”“Kalau gitu, kamu suka?” “Apa saya harus menjawab, setelah kita sudah melakukannya?” William tertawa, ia pandangi iris mata bening itu, “Saya tidak ingin hubungan kita sampai di sini,” gumam William. “Why?” “Karena saya sudah merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan kamu,” bisik Wiliam. “Istirahat lah, kamu pasti lelah,” ucap William, ia memandang Anja yang mengubah posisi tidurnya menyamping, namun William menarik tubuh Anja, dan membenamkan wajah itu ke dadanya. “Enjoy our moment.” *** Anja membersihkan tubuhnya dengan air hangat, ia merasakan rileks, dan lelahnya hilang begitu saja. Ia memejamkan mata beberapa detik, otaknya terus berpikir dengan ekstra bahwa ia tidak menyangka kalau ia sudah having sex dengan pria bernama William, pria itu merupakan klien nya sendiri. Bekerja sembilan tahun lamanya di perusahaan ini, baru kali ini ia melakukan hal gila. Ia tidak mengerti jalan pikirannya. Hanya karena dia tampan dan peng
HAPPY READINGAnja menggelengkan kepala, “Sama sekali nggak?”“Kamu suka?”“Apa saya harus menjawab, setelah kita sudah melakukannya?”William tertawa, ia pandangi iris mata bening itu, “Saya tidak ingin hubungan kita sampai di sini,” gumam William.“Why?”“Karena saya sudah merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan kamu,” bisik Wiliam.“Istirahat lah, kamu pasti lelah,” ucap William, ia memandang Anja yang mengubah posisi tidurnya menyamping, namun William menarik tubuh Anja, dan membenamkan wajah itu ke dadanya.“Enjoy our moment.”***Anja membersihkan tubuhnya dengan air hangat, ia merasakan rileks, dan lelahnya hilang begitu saja. Ia memejamkan mata beberapa detik, otaknya terus berpikir dengan ekstra bahwa ia tidak menyangka kalau ia sudah having sex dengan pria bernama William, pria itu merupakan klien nya sendiri. Bekerja sembilan tahun lamanya di perusahaan ini, baru kali ini ia melakukan hal gila. Ia tidak mengerti jalan pikirannya. Hanya karena dia tampan dan pengusaha
HAPPY READINGMereka sudah berada di basemen, William mengikuti langkah Anja menuju mobilnya. Wanita itu menghidupkan central lock, ia memperhatikan mobil Anja, mobilnya HRV berwarna putih bentuknya sporty dan terkesan maskulin, mobil dengan 2 seat memang terkesan feminim dan Anja memang sangat pantas menggunakannya. Ia yakin kalau Anja memiliki finansial yang baik sehingga mampu membeli mobil ini.“Kamu hati-hati di jalan. Fun to drive.”“Kamu juga.”“Nanti saya akan hubungi kamu lagi,” ucap William.“Iya.”William mencondongkan wajahnya dan mengecup kening Anja, ia memeluk sebentar sebelum melepaskan kepergian Anja. Anja merasakan ketenangan pada dirinya, ia mendongakan wajahnya menatap William. Ia lalu melangkah menjauhi pria itu.“Saya pulang dulu,” ucap Anja, ia membuka hendel pintu mobilnya.“Iya.”William memandang Anja, menghidupkan mesin mobilnya, setalah itu mobil meninggalkan area parkiran. Setelah itu mobil hilang dari pandangannya. Ia kembali ke mobilnya, ia masuk ke dala