HAPPY READINGAnja duduk di kursinya, “Sudah lebih baik,” ucap Anja, ia menaruh kopi dan handbag-nya di meja, ia melihat map di atas meja kerjanya. Itu kerjaan yang telah diselesaikan oleh staff nya, namun ia tetap mengoreksinya. Ia juga mengambil pekerjaanya di laci dan ia taruh di meja.“Selamat pagi ibu Anja.”Anja lalu menoleh, ia menatap Richad tepat berada di belakangnya. Ia dengan reflek berdiri, ia lalu tersenyum kepada pria itu.“Selamat pagi juga pak.”“Apa kabar kamu hari ini?”“Ah ya, baik,” ucap Anja gugup, ia memperhatikan penampilan Richad dia mengenakan kemeja berwarna putih dan celana abu-abu, dia sangat sempurna.“Syukurlah kalau begitu. Ponsel kamu tidak aktif dari kemarin, membuat saya khawatir.”Anja tersenyum, “Saya baru mengaktifkan ponsel saya barusan, maaf membuat bapak khawatir.”“Yaudah kalau begitu, saya ke office dulu. Kamu lanjut kerja.”“Baik pak,” ucap Anja.Anja lalu duduk kembai, ia lalu segera melihat ke arah ponselnya, ia melihat banyak pesan dan p
HAPPY READING“Jelaskan pria mana yang tidak marah, wanitanya bersama pria lain. Pria itu bahkan selevel dengan saya!”“Saya hampir gila tiba-tiba kamu pergi meninggalkan saya!”“Saya seperti pria yang tidak tentu arah karena kamu pergi begitu saja, tanpa kejelasan apapun!”“Mungkin saya salah karena saya bertanya apakah kamu tidur dengannya! Saya mengatakan seperti itu karena saya takut kehilangan kamu! Saya tidak bisa, wanita saya berbagi dengan pria manapun!”“Oh God, bagaimana lagi saya harus menjelaskan kepada kamu!”“Apa perlu pembuktian kalau saya ini cinta sama kamu!” Teriak Willi.“Kamu mau bukti, kalau saya bisa menikah dengan kamu!”“Ayo kita menikah! Kalau kamu mau! Saya mau mengikat kamu sehidup semati!”“Saya tidak peduli lagi dengan keluarga saya! Mereka tahu apa tentang peraasaan saya!”“Persetan dengan Livy! Tidak peduli statusnya apa! Saya tidak akan pernah terpikirkan untul bersanding dengannya apalagi memacarinya!”“Yang saya pikirkan saat ini itu, kamu!”“Hanya k
HAPPY READINGBeberapa hari kemudian, itu merupakan terakhir mereka bertemu, William tidak lagi menghubunginya walau ia sudah membuka blokir ponselnya. Selama beberapa hari itu, jujur pria itu tidak lepas dari kepalanya. Masih teringat dalam ingatannya, bagaimana pria itu memeluknya, tertawa bersama, saling bercerita, deeptalk, pillowtalk, moment seperti itu sangat berharga untuknya. Mereka bisa bercerita banyak hal, walau moment itu hanya sebentar, entahlah ia merasa kalau setiap moment yang mereka lakukan itu sangat terkenang.Ia mulai menerima dan menyadari bahwa perasaannya terhadap William itu ada. Ia tidak menapik kenyataan bahwa ia memang menyukai Willi. Ia tidak bisa membohongi perasaanya, semakin berpikir semakin membuatnya tidak tenang. Ia berbicara pada diri sendiri, apa ia sanggup menjalin hubungannya dengan William.Untuk Richad, entahlah ia merasa gamang, pria itu memberi prihatian lebih kepadanya, tidak jarang ia dan Richad makan siang bersama. Dia sangat baik, bahkan
HAPPY READING***1 bulan kemudian,“Oh My God!” Teriak William dalam hati. Ia menatap Anja, dengan rambut sebahunya, ia tidak tahu sejak kapan Anja memangkas rambutnya panjangnya menjadi separuh, lalu tatapannya berubah dan senyumnya berkurang, ia berubah menjadi ragu. Ini sudah sebulan berlalu Anja tidak bersamanya, ia hampir gila memikirkan wanita itu setiap harinya.Willi memejamkan mata beberapa detik, ia menutup wajahnya dengan tangan, ia menghabiskan dua Minggu di Eropa di kota terpencil hanya karena memikirkan wanita itu. Untuk masalah Livy sudah ia selesaikan sejak ia mengatakan cintanya kepada Anja. Orang tuanya menyayangkan hubungannya dengan Livy, namun apa boleh buat ini semua tentang keputusannya. Ia tidak bisa menikah dengan orang yang tidak memiliki perasaan yang sama.Willi merasa senang kalau Anja kini menghampirinya, namun beberapa detik kemudian ia berubah menjadi jengkel dan kesal. Memasang topeng tidak peduli di wajahnya, ia melangkah mendekati Anja yang berdir
“Pak, jadwal Anda sore nanti adalah bertemu dengan ibu Anjani manager Marketing dari Semen Indonesia.” William memandang sekretarisnya. “Terima kasih sudah mengingatkan saya.” Setelah wanita itu pergi kembali ke ruangannya, ia menarik nafas beberapa detik lalu melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 09.00. Entahlah ada angin apa ia ingin bertemu dengan Anjani. Biasanya, staff saja yang mengurus ini semua. Namun, firasatnya membuat pria itu ia ingin terjun langsung bertemu dengan Anjani yang menawarkan kualitas harga bahan baku pembuatan property-nya itu. Sebagai pengusaha real estat, keluarganya konsisten memberi yang terbaik. William pun kembali menekuri pekerjaannya. Beberapa jam kemudian, pekerjaanya selesai. Diambilnya kunci mobilnya dan segera menemui kliennya saat ini. William beranjak dari duduknya ia lalu memasukan kunci ke saku celana. Ia melihat Tiara, sekretarisnya keluar dari ruangan, membawa berkas di tangannya.“Bapak mau ke mana?” “Saya m
“Siapa?” tanya Anjani penasaran.“Temennya papa.” “Really? Masih muda loh dia, papa lo kan udah tua,” ucap Anja. Ia sungguh tidak menyangka kalau teman papanya Juliet semuda itu. Juliet tertawa, “Namanya juga rekan bisnis, nggak mandang umur lah.” “Ganteng banget tau itu. Siapa namanya?” “Christian.” “Pasti tajir banget,” ucap Anja, karena ia melihat secara jelas look nya seperti apa. “Setara sama papa,” bisik Juliet sambil terkekeh. Alis Anja terangkat, “Keren banget dong.” “Pastinya,” Juliet tertawa geli. Anjani dan Juliet lalu duduk di kursi, ia memandang server yang membawa pesanannya. Mereka pun duduk dan menyesap coffee yang tersedia. Hot mocca yang ia sesap mengeluarkan rasa dark chocolate. Kopinya juga dipadukan dengan sempurna tanpa rasa asam setelahnya. Ia mengangguk puas, sebelum menatap Julliet yang juga sedang menikmati minumannya. “Lo dari tadi nungguin gue lama, nggak?” “Enggak sih, barusan aja. Sekitar 10 menit yang lalu,” ucap Juliet. Anjani memperhat
Julliet menggeleng. “Enggak terlalu sih, pernah denger namanya dari bokap.”“Siapapun dia. Gue harapnya sih deal dia bakalan kerja sama.” “Semoga ya, gue harapnya sih gitu.” “Sombong nggak sih orang kayak gitu? Misalnya gaya bahasa tinggi atau sok cool, atau apalah itu,” tanya Anja. Ia memang tidak suka dengan klien yang punya sifat kritis, karena mereka biasanya mau di sembah-sembah. “Enggak deh kayaknya mereka justru lebih sopan. Tapi nggak tau juga, kan gue nggak kenal.” “Gue harap sih dia nggak terlalu kritis, ah yaudahlah semoga klien gue pak Willi ini orangnya nggak kritis, malas gue ngadapi orang kritis, tapi clingy juga males ngadepinnya.” “Yang penting lo baik aja, ramah. Kalau nggak deal, harus lapang dada.” “Gue nggak mau tau, itu klien harus deal.” “Duh, gimana caranya?” Tanya Juliet penasaran. “Ya pokoknya gimanapun caranya pak Willi harus deal, ini demi masa depan gue.” “Hemmm, terus.” “Pinter-pinter gue sih ngadepinnya gimana.” “Kalau dia deal, ngajak lo ti
"Anjani?"Ucapan William menyadarkan Anjani dari lamunan. Wanita itu segera mengeluarkan katalog bersampul kulit dari tasnya. “Ini pak penawaran saya, silahkan di baca dulu, nanti saya akan menjelaskan setelah bapak membaca penawaran dari saya.”William pun mengambil katalog itu dari tangan Anjani, “Baik, terima kasih.” Dalam diam, Anjani memperhatikan William yang sedang memandang katalog dan penawaran harga yang ia ajukan. Oh God, ia tidak percaya bahwa kliennya setampan itu. Lihatlah ketampannya bertambah dia ketika dia membaca cukup serius. Badannya tegap bersandar di kursi, bergerak secara natural. Ia menunggu William membaca penawarannya hingga pria itu paham. Beberapa menit kemudian, William pun menutup katalog dan penawaran harga yang sudah tercantum. Ia menatap Anjani, ia memperhatikan struktur wajah, dia memiliki hidung yang mancung, alis terukir sempurna dan bibir penuh yang di olesi lipstick berwarna merah menggoda. William meraih gelas berisi kopi itu, ia sebagai kl