"Anjani?"
Ucapan William menyadarkan Anjani dari lamunan. Wanita itu segera mengeluarkan katalog bersampul kulit dari tasnya. “Ini pak penawaran saya, silahkan di baca dulu, nanti saya akan menjelaskan setelah bapak membaca penawaran dari saya.”William pun mengambil katalog itu dari tangan Anjani, “Baik, terima kasih.”
Dalam diam, Anjani memperhatikan William yang sedang memandang katalog dan penawaran harga yang ia ajukan.
Oh God, ia tidak percaya bahwa kliennya setampan itu.
Lihatlah ketampannya bertambah dia ketika dia membaca cukup serius.
Badannya tegap bersandar di kursi, bergerak secara natural. Ia menunggu William membaca penawarannya hingga pria itu paham.
Beberapa menit kemudian, William pun menutup katalog dan penawaran harga yang sudah tercantum. Ia menatap Anjani, ia memperhatikan struktur wajah, dia memiliki hidung yang mancung, alis terukir sempurna dan bibir penuh yang di olesi lipstick berwarna merah menggoda.
William meraih gelas berisi kopi itu, ia sebagai klien sudah cocok dengan harga yang di tawarkan. Walau harga dipasaran ada yang lebih murah dengan merek berbeda, namun ia tetap mengutamakan kualitas. Banyak teman-teman sesama pengusaha property seperti dirinya, dia menggunakan produk ini untuk material bangunan. Ia memerlukan produk ini, sebagai bahan baku utama propertynya.
“Sebenarnya banyak teman saya yang menggunakan produk ini. Saya cocok dengan penawaran harga kamu, nanti sekretaris saya hubungin kamu.”
Anjani tidak menutupi rasa bahagianya, ia suka dengan buyer yang seperti William, tidak terlalu berkelit tentang tawar menawar, cocok harga langsung deal. Tipe buyer seperti William ini tipe pembeli yang loyal, dia tidak terlalu memperhatikan soal harga. Mereka cenderung lebih fokus terhadap kualitas produk. Cara menarik perhatian pembeli loyal ini tentu saja ia memperlakukannya dengan special. Pembeli loyal seperti ini akan merasa senang ketika diperhatikan dan merasa dihargai.
“Baik pak, saya tunggu konfirmasinya bapak nanti.”
William mengangguk. Ia lalu kembali mperhatikan Anjani. “Kamu sudah lama kerja di sini?” tanyanya sambil menyantap hidangan pembuka ia hanya menanyakan ini karena ingin berbasa-basi.
“Sudah hampir sembilan tahun, pak.”
“Wow, lama juga ya.”
Anjani tersenyum, “Iya, pak.”
William memicingkan matanya, “Sudah menikah?” tanyanya lagi.
Pria itu tahu pertanyaan ini masuk ke dalam personal.
Masalahnya tidak ada lagi yang harus dibicarakan karena mereka sudah menyelesaikan pekerjaanya. Tapi entah mengapa, William masih ingin bersama wanita itu.
Untungnya, Anjani tampak santai. “Saya belum menikah, pak. Kalau bapak?” tanyanya balik.
William menyungging senyum, “Belum juga.”
“Umur kamu berapa?”
“Tahun ini 30 tahun.”
William menatap Anjani, “Umur sudah dewasa, enggak kepikiran buat nikah?”
Anja tertawa, ia memasukan makanannya ke dalam mulutnya, ia menatap mata elang itu, “Enggak, saya sama sekali nggak kepikiran buat nikah.”
Mendengar jawaban itu, William tersenyum, “Sama kalau begitu, saya juga nggak kepikiran buat nikah.”
“Oh ya? Apa alasan bapak tidak ingin menikah?” Tanya Anjani penasaran ia menatap William.
“Kamu mau tahu?”
“Kalau bapak mau menceritakannya.”
“Mungkin beda orang, kadar egoisnya juga beda. Saya ini egosinya yang level lebih baik tidak menikah daripada harus saling menyakiti. Selain itu saya juga merasa jika menikah nanti ada kemungkinan-kemungkinan hal buruk terjadi, karena menikah itu menyatukan dua keluarga, takutnya keluarga saya dan pasangan saya itu nggak cocok. Banyak kasus mertua seperti itu.”
“Saya akan menikah jika ada seorang wanita yang mengerti keegoisan saya. I know, setiap orang memberi pengaruh yang lebih kepada seseorang. Hingga saat ini saya belum menemukan wanita yang mempengaruhi keegosian saya, meyakinkan keraguan saya tentang menikah, menumbuhkan saya berani mengambil keputusan, menerima kondisi saya, dan ingin berjalan melintasi waktu hidup bersama dengan saya, mungkin saya akan berubah.”
“Sayangnya, sosok wanita seperti itu, sulit saya temukan.”
Anjani paham apa yang di ucapkan William, “Saran saya, bapak mencari sosok yang sependapat. Jika merasa cukup dengan diri sendiri dan lebih baik bahagia sendiri.”
“Exactly.”
“Kalau kamu?”
Anjani tertawa, “Mungkin sel cinta saya sudah mati.”
William tertawa, “Why?”
“Menurut saya, sebenernya tidak ada korelasi khusus antara rasa cinta dan keinginan menikah. Faktanya cinta tidak cukup untuk menjadi motivasi menikah. Untuk sebagian besar orang justru mungkin kondisi usia, latar belakang keluarga, ekonomi membuatnya memutuskan untuk menikah.”
“Saya setuju sama kamu,” ia membenarkan ucapan Anjani.
Anja mengambil air mineral yang ada di gelas, ia meneguknya, “Saya dulu juga sama seperti wanita pada umumnya, ingin menikah, bahkan ngebet pengen. Tapi saya punya temen satu kantor, dia mengalami trauma, umurnya 35 tahun di atas saya. Waktu ditanya, kenapa? Alasannya karena kakaknya bunuh diri loncat dari apartemen karena berkelahi dengan suaminya. Akhirnya dia memilih tidak menikah, karena menikah semenyeramkan itu. Tidak ada bahagia-bahagianya.”
“Kalau alasan kamu sendiri, bagaimana?” Tanya William.
Anja terdiam beberapa detik, ia memandang William, “Alasan terbaik saya untuk tidak menikah adalah kebebasan. Ketika sudah menikah, otomatis kebebasan teralihkan untuk keluarga, jika tidak menikah saya masih bebas melakukan apapun yang saya mau tanpa perlu memikirkan suami dan anak.”
“Sederhana saja, saya tidak mau diatur-atur dengan yang berbelit-belit serta tidak mau mencurigai pasangan dengan overprotektif, saya butuh ketenangan dan kesendirian.”
Bibir William terangkat, ia menatap Anjani cukup serius. Pemikirannya dan wanita di hadapannya ini memang sama dengannya, hanya saja beda penjabaran saja. Mereka sama-sama egosi untuk melakukan kegiatan menikah. Dia seperti bercermin dengan dirinya sendiri.
Tidak butuh waktu lama, server datang menyiapkan hidangan utama di atas meja berupa salmon salad, wagyu steak medium rare with mushroom sauce, lamb with blackpaper sause dan ice lemon tea. Semua dihidangankan sangat fresh.
William meraih gelas berisi ice lemon, ia sesap sambil menatap Anjani. Ia baru kali ini bertemu dengan seorang wanita yang enggan menikah. Karena sebanyak-banyak wanita yang ia kenal, merengek-merengek untuk dinikahi secepatnya. Tapi wanita di hadapannya ini berbeda, sama seperti dirinya.
Ia kembali memandang Anja dan menatap iris mata bening itu. “Menurut kamu, FWB (Friend with benefit) itu apa?” tanya William, mengubah topik pembicaraan.
Rasanya, sesuatu dalam dirinya bergejolak menanti tanggapan wanita itu.
Anjani memakan dimsumnya dengan tenang, lalu memandang William yang sedang menunggu jawabannya. Ia tahu kenapa arah pembicaraan mereka mengarah ke friend with benerfit. Akhir-akhir ini FWB menjadi pembicaraan hangat,“Setahu saya, FWB itu hubungan pertemanan yang sangat dekat antara satu sama lain tanpa melibatkan perasaan. Biasa orang yang melakukan itu, orang-orang yang jenuh dengan hubungan konvensional yang biasanya dianggap terlalu mengikat dan membelenggu.” “Menurut saya FBW ini lebih membebaskan satu sama lain walau sebatas teman. Tapi pada akhirnya tetep saja hubungan itu berujung pada suatu hubungan seksual. Yah, FWB itu dianggap lebih ideal dibanding affair atau one night stand.” “Akan lebih baik jika ingin memulai FWB, dari awal udah ada kesepakatan antara kalian berdua jika hubungan ini hanya sebatas FWB, jadi kedepannya tidak ada yang harus terbawa perasaan. Make it as simple as possible, karena memang ini semestinya adalah hubungan yang simple, no drama, no tears.” “
Anjani menarik nafas, “Iya, kita chek in sekarang,” ucapnya akhirnya. Wanita itu mengeluarkan voucher menginap di hotel untuk mitra dalam jumlah besar.Dan di sinilah Anjani berdiri. Jujur, jantungnya tidak berhenti maraton setelah meninggalkan table. Ia melangkahkan kakinya menuju meja counter receptionis. Anjani melirik William berada di sampingnya yang juga sedang memperhatiikannya. Jarak mereka sangat dekat, bahkan ia dapat mencium aroma parfum vanilla yang lembut, dan dipadukan dengan woody yang maskulin dan disusul dengan wangi apel yang membuat pria terlihat gentlemen, tapi manis. Anjani segera memberikan voucer itu kepada receptionis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika berduaan dengan William di kamar hotel. Mereka bukan dua manusia suci yang tidak mengerti apa-apa tentang apa yang terjadi selanjutnya. Ini bukanlah tentang ngobrol biasa, tapi tentang bagaimana cara mempertahakan diri untuk tidak tergoda. Beberapa menit kemudian receptionis itu memberikan kunci
“No, saya di sini saja,” jawab Anja pada akhirnya,“Why? Saya nggak apa-apain kamu?” Ucapan William membuat Anja mulai berpkir. Ia menatap mata elang itu lama. Anja sadar benar pria itu tidak aman, namun entahlah ia tetap melakukannya. Dilepasnya stiletto, dan mulai mendekati William. Entah apa yang merasuki dirinya, Anjani pun berbaring di samping pria itu. Sungguh ia menangkap umpan William dengan sangat baik, ia tahu bahwa ini tidak akan baik-baik saja. Anja menaikan kepalanya di atas bantal, ia menatap langit-langit plafon dan berusaha setenang mungkin. Sementara William mengubah posisi tidurnya menyamping, ia memandang Anja, ia dapat mencium aroma parfume vanilla dari tubuh wanita itu. Mereka saling menatap satu sama lain, dilihat dari jarak dekat seperti ini, Anja terlihat semakin menarik. Ia tahu masih banyak wanita-wanita di luar sana jauh lebih cantik dari Anja. Namun saat dia berpendapat terdengar realistis. Sejujurnya ia suka dengan wanita yang berpikiran terb
HAPPY READING William memandang Anja cukup serius, memperhatikan wanita itu dari kejauhan, ia menepuk bantal di sampingnya, “Kamu nggak mau ke sini?” Tanya William. Anja menarik nafas, ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa sekasur dengan William. “No, saya di sini saja.” “Why? Saya nggak apa-apain kamu?” Ucap William. Anja mulai berpkir, ia menatap mata elang itu. Ia tahu bahwa pria itu tidak aman, namun entahlah ia tetap melakukannya. Anja lalu melepas stiletto nya, ia menatap William, ia tidak yakin kalau William tidak akan apa-apain dirinya jika mereka bersama. Entah dorongan apa, ia mendekati William, dan lalu berbaring di samping pria itu. Sungguh ia menangkap umpan William dengan sangat baik, ia tahu bahwa ini tidak akan baik-baik saja. Anja menaikan kepalanya di atas bantal, ia menatap langit-langit plafon dan berusaha setenang mungkin. Sementara William mengubah posisi tidurnya menyamping, ia memandang Anja, ia dapat mencium aroma parfume vanilla dari tubuh wanita
Anja menggelengkan kepala. “Sama sekali nggak.”“Kalau gitu, kamu suka?” “Apa saya harus menjawab, setelah kita sudah melakukannya?” William tertawa, ia pandangi iris mata bening itu, “Saya tidak ingin hubungan kita sampai di sini,” gumam William. “Why?” “Karena saya sudah merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan kamu,” bisik Wiliam. “Istirahat lah, kamu pasti lelah,” ucap William, ia memandang Anja yang mengubah posisi tidurnya menyamping, namun William menarik tubuh Anja, dan membenamkan wajah itu ke dadanya. “Enjoy our moment.” *** Anja membersihkan tubuhnya dengan air hangat, ia merasakan rileks, dan lelahnya hilang begitu saja. Ia memejamkan mata beberapa detik, otaknya terus berpikir dengan ekstra bahwa ia tidak menyangka kalau ia sudah having sex dengan pria bernama William, pria itu merupakan klien nya sendiri. Bekerja sembilan tahun lamanya di perusahaan ini, baru kali ini ia melakukan hal gila. Ia tidak mengerti jalan pikirannya. Hanya karena dia tampan dan peng
HAPPY READINGAnja menggelengkan kepala, “Sama sekali nggak?”“Kamu suka?”“Apa saya harus menjawab, setelah kita sudah melakukannya?”William tertawa, ia pandangi iris mata bening itu, “Saya tidak ingin hubungan kita sampai di sini,” gumam William.“Why?”“Karena saya sudah merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan kamu,” bisik Wiliam.“Istirahat lah, kamu pasti lelah,” ucap William, ia memandang Anja yang mengubah posisi tidurnya menyamping, namun William menarik tubuh Anja, dan membenamkan wajah itu ke dadanya.“Enjoy our moment.”***Anja membersihkan tubuhnya dengan air hangat, ia merasakan rileks, dan lelahnya hilang begitu saja. Ia memejamkan mata beberapa detik, otaknya terus berpikir dengan ekstra bahwa ia tidak menyangka kalau ia sudah having sex dengan pria bernama William, pria itu merupakan klien nya sendiri. Bekerja sembilan tahun lamanya di perusahaan ini, baru kali ini ia melakukan hal gila. Ia tidak mengerti jalan pikirannya. Hanya karena dia tampan dan pengusaha
HAPPY READINGMereka sudah berada di basemen, William mengikuti langkah Anja menuju mobilnya. Wanita itu menghidupkan central lock, ia memperhatikan mobil Anja, mobilnya HRV berwarna putih bentuknya sporty dan terkesan maskulin, mobil dengan 2 seat memang terkesan feminim dan Anja memang sangat pantas menggunakannya. Ia yakin kalau Anja memiliki finansial yang baik sehingga mampu membeli mobil ini.“Kamu hati-hati di jalan. Fun to drive.”“Kamu juga.”“Nanti saya akan hubungi kamu lagi,” ucap William.“Iya.”William mencondongkan wajahnya dan mengecup kening Anja, ia memeluk sebentar sebelum melepaskan kepergian Anja. Anja merasakan ketenangan pada dirinya, ia mendongakan wajahnya menatap William. Ia lalu melangkah menjauhi pria itu.“Saya pulang dulu,” ucap Anja, ia membuka hendel pintu mobilnya.“Iya.”William memandang Anja, menghidupkan mesin mobilnya, setalah itu mobil meninggalkan area parkiran. Setelah itu mobil hilang dari pandangannya. Ia kembali ke mobilnya, ia masuk ke dala
HAPPY READINGIa memandang ke samping, di dekat ruangannya ada dua blok kubikel kecil dan besar, di sana di isi oleh staff-nya, Karen, Tio dan Nia. Di belakangnya terdapat ruangan direktur marketing, pak Emmanuel, dia sudah berumur 59 tahun, katanya jabatannya akan digantikan oleh sang anak dari USA. Ia pernah mendengar kalau beliau memiliki saham 30 persen di perusahaan ini. Perusahaan ini dibangun oleh tiga bersaudara salah satunya pak Emmanuel, walau dia tidak terlalu aktif di kantor.Beberapa saat kemudian, ia memandan pak Emmanuel keluar dari ruangannya, pria itu masih tampak gagah dengan balutan kemeja biru dan celana hitam. Pria itu berjalan tersenyum kepadanya, mungkin beliau mendengar bahwa pak Willi sebagai target utama mereka menyetujui kerja sama ini. Ia lalu berdiri ketika pak Emmanuel berada di hadapannya.“Selamat ya ibu Anja, saya dengar pak William sudah menyetujui kerja sama dengan kita.”Anja tersenyum, “Iya, pak sama-sama.”“Saya senang dengan kinerja kamu. Kamu