Share

BAB 4

"Anjani?"

Ucapan William menyadarkan Anjani dari lamunan. Wanita itu segera mengeluarkan katalog bersampul kulit dari tasnya. “Ini pak penawaran saya, silahkan di baca dulu, nanti saya akan menjelaskan setelah bapak membaca penawaran dari saya.”

William pun mengambil katalog itu dari tangan Anjani, “Baik, terima kasih.”

Dalam diam, Anjani memperhatikan William yang sedang memandang katalog dan penawaran harga yang ia ajukan.

Oh God, ia tidak percaya bahwa kliennya setampan itu.

Lihatlah ketampannya bertambah dia ketika dia membaca cukup serius.

Badannya tegap bersandar di kursi, bergerak secara natural. Ia menunggu William membaca penawarannya hingga pria itu paham.

Beberapa menit kemudian, William pun menutup katalog dan penawaran harga yang sudah tercantum. Ia menatap Anjani, ia memperhatikan struktur wajah, dia memiliki hidung yang mancung, alis terukir sempurna dan bibir penuh yang di olesi lipstick berwarna merah menggoda.

William meraih gelas berisi kopi itu, ia sebagai klien sudah cocok dengan harga yang di tawarkan. Walau harga dipasaran ada yang lebih murah dengan merek berbeda, namun ia tetap mengutamakan kualitas. Banyak teman-teman sesama pengusaha property seperti dirinya, dia menggunakan produk ini untuk material bangunan. Ia memerlukan produk ini, sebagai bahan baku utama propertynya.

“Sebenarnya banyak teman saya yang menggunakan produk ini. Saya cocok dengan penawaran harga kamu, nanti sekretaris saya hubungin kamu.”

Anjani tidak menutupi rasa bahagianya, ia suka dengan buyer yang seperti William, tidak terlalu berkelit tentang tawar menawar, cocok harga langsung deal. Tipe buyer seperti William ini tipe pembeli yang loyal, dia tidak terlalu memperhatikan soal harga. Mereka cenderung lebih fokus terhadap kualitas produk. Cara menarik perhatian pembeli loyal ini tentu saja ia memperlakukannya dengan special. Pembeli loyal seperti ini akan merasa senang ketika  diperhatikan dan merasa dihargai.

“Baik pak, saya tunggu konfirmasinya bapak  nanti.”

William mengangguk. Ia lalu kembali mperhatikan Anjani. “Kamu sudah lama kerja di sini?” tanyanya sambil menyantap hidangan pembuka ia hanya menanyakan ini karena ingin berbasa-basi.

“Sudah hampir sembilan tahun, pak.”

“Wow, lama juga ya.”

Anjani tersenyum, “Iya, pak.”

William memicingkan matanya, “Sudah menikah?” tanyanya lagi.

Pria itu tahu pertanyaan ini masuk ke dalam personal.

Masalahnya tidak ada lagi yang harus dibicarakan karena mereka sudah menyelesaikan pekerjaanya. Tapi entah mengapa, William masih ingin bersama wanita itu.

Untungnya, Anjani tampak santai. “Saya belum menikah, pak. Kalau bapak?” tanyanya balik.

William menyungging senyum, “Belum juga.”

“Umur kamu berapa?”

“Tahun ini 30 tahun.”

William menatap Anjani, “Umur sudah dewasa, enggak kepikiran buat nikah?”

Anja tertawa, ia memasukan makanannya ke dalam mulutnya, ia menatap mata elang itu, “Enggak, saya sama sekali nggak kepikiran buat nikah.”

Mendengar jawaban itu, William tersenyum, “Sama kalau begitu, saya juga nggak kepikiran buat nikah.”

“Oh ya? Apa alasan bapak tidak ingin menikah?” Tanya Anjani penasaran ia menatap William.

“Kamu mau tahu?”

“Kalau bapak mau menceritakannya.”

“Mungkin beda orang, kadar egoisnya juga beda. Saya ini egosinya yang level lebih baik tidak menikah daripada harus  saling menyakiti. Selain itu saya juga merasa jika menikah nanti ada kemungkinan-kemungkinan hal buruk terjadi, karena menikah itu menyatukan dua keluarga, takutnya keluarga saya dan pasangan saya itu nggak cocok. Banyak kasus mertua seperti itu.”

“Saya akan menikah jika ada seorang wanita yang mengerti keegoisan saya. I know, setiap orang memberi pengaruh yang lebih kepada seseorang. Hingga saat ini saya belum menemukan wanita yang mempengaruhi keegosian saya, meyakinkan keraguan saya tentang menikah, menumbuhkan saya berani mengambil keputusan,  menerima kondisi saya, dan ingin berjalan melintasi waktu hidup bersama dengan saya, mungkin saya akan berubah.”

“Sayangnya, sosok wanita seperti itu, sulit saya temukan.”

Anjani paham apa yang di ucapkan William, “Saran saya, bapak mencari sosok yang sependapat. Jika merasa cukup dengan diri sendiri dan lebih baik bahagia sendiri.”

“Exactly.”

“Kalau kamu?”

Anjani tertawa, “Mungkin sel cinta saya sudah mati.”

William tertawa, “Why?”

“Menurut saya, sebenernya tidak ada korelasi khusus antara rasa cinta dan keinginan menikah. Faktanya cinta tidak cukup untuk menjadi motivasi menikah. Untuk sebagian besar orang justru mungkin kondisi usia, latar belakang keluarga, ekonomi membuatnya memutuskan untuk menikah.”

“Saya setuju sama kamu,” ia membenarkan ucapan Anjani.

Anja mengambil air mineral yang ada di gelas, ia meneguknya, “Saya dulu juga sama seperti wanita pada umumnya, ingin menikah, bahkan  ngebet pengen. Tapi saya punya temen satu kantor, dia mengalami trauma, umurnya 35 tahun di atas saya. Waktu ditanya, kenapa? Alasannya karena kakaknya  bunuh diri loncat dari apartemen karena berkelahi dengan suaminya. Akhirnya dia memilih tidak menikah, karena menikah semenyeramkan itu. Tidak ada bahagia-bahagianya.”

“Kalau alasan kamu sendiri, bagaimana?” Tanya William.

Anja terdiam beberapa detik, ia memandang William, “Alasan terbaik saya untuk tidak menikah adalah kebebasan. Ketika sudah menikah, otomatis kebebasan teralihkan untuk keluarga, jika tidak menikah saya masih bebas melakukan apapun yang saya mau tanpa perlu memikirkan suami dan anak.”

“Sederhana saja, saya tidak mau diatur-atur dengan yang berbelit-belit serta tidak mau mencurigai pasangan dengan overprotektif, saya butuh ketenangan dan kesendirian.”

Bibir William terangkat, ia menatap Anjani cukup serius. Pemikirannya dan wanita di hadapannya ini memang sama dengannya, hanya saja beda penjabaran saja. Mereka sama-sama egosi untuk melakukan kegiatan menikah. Dia seperti bercermin dengan dirinya sendiri.

Tidak butuh waktu lama, server datang menyiapkan hidangan utama di atas meja berupa salmon salad, wagyu steak medium rare with mushroom sauce, lamb with blackpaper sause dan ice lemon tea. Semua dihidangankan sangat fresh.

William meraih gelas berisi ice lemon, ia sesap sambil menatap Anjani. Ia baru kali ini bertemu dengan seorang wanita yang enggan menikah. Karena sebanyak-banyak wanita yang ia kenal, merengek-merengek untuk dinikahi secepatnya. Tapi wanita di hadapannya ini berbeda, sama seperti dirinya.

Ia kembali memandang Anja dan menatap iris mata bening itu. “Menurut kamu, FWB (Friend with benefit) itu apa?” tanya William, mengubah topik pembicaraan.

Rasanya, sesuatu dalam dirinya bergejolak menanti tanggapan wanita itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status