Share

|5| Surah Yusuf dan Surah Maryam

"Jadi apapun yang terjadi, sekalipun keluarga Ghazalah memaksa Tuan untuk merujukku, Tuan tetap tidak akan merujukku?"

Aktivitas makan Tuan Harraz terhenti saat aku bertanya dengan suara pelan untuk memastikan.

Tuan Harraz seakan kehilangan selera makan. Lelaki itu terlihat enggan untuk menghabiskan isi piringnya yang beberapa detik yang lalu dimakannya dengan lahap.

"Ya."

Sambil mengangguk, lelaki itu menyahut singkat.

"Baguslah kalau begitu Tuan," dengan senyum getir aku melanjutkan makan malamku. Lelaki yang duduk berseberangan denganku itu terlihat tersinggung saat aku fokus sendiri dan mengabaikannya.

"Aku salat istikharah setiap malam semenjak menalakmu." Kunyahanku tidak sampai ke kerongkongan saat Tuan Harraz berkata seperti itu.

"Aku hanya berusaha meyakinkan hati," hembusan napas lelaki itu terdengar berat. "Tapi jawaban yang kudapatkan selalu bertentangan dengan apa yang sudah kuputuskan."

"Apa yang kamu ragukan, Tuan?" Tanyaku sambil menatap lekat wajahnya.

Tuan Harraz urung menjawab. Lelaki itu terlihat seperti tidak ingin membahasnya. "Tak usah dibahas," Tuan Harraz menyudahi pembicaraan begitu saja.

"Apa yang harus kamu ragukan, Tuan?" Tanyaku terus dan berulang.

Lelaki itu kesal mendapatiku yang keras kepala bertanya.

Jakun Tuan Harraz naik-turun, lelaki itu membekukan tubuhku dengan jawabannya, "Perasaanku padamu."

***

"Tak perlu diragukan lagi Raz, Talita benar-benar tengah mengandung."

Kamarku riuh oleh panjatan puji syukur saat Dr. Leo menjelaskan.

Di antara wajah-wajah bahagia yang kudapati, hanya Tuan Harraz yang nampak biasa saja.

"Harraz, sebaiknya kita bicara." Tuan Harraz menoleh saat kakak sulungnya menyentuh bahunya. Tuan Harraz terlihat keberatan saat diajak bicara empat mata. Karena Mas Nazar melotot, lelaki itu terpaksa menurut.

"Sejak kapan Mas Nazar sudah ada di sini?" Gumamku pada Ummu Hilza yang duduk di sebelahku.

"Tadi Subuh," aku manggut-manggut mendengar jawaban Ummu Hilza, sambil menatap sepasang anak kembar lucu yang tengah bergelayutan di gamis istri Mas Nazar. Kedua keponakan Tuan Harraz dari Mas Nazar tersebut menjadi suara utama yang membisingi kamar ini sejak tadi.

"Aneh," Dr. Leo yang mendengar pembicaraan kami nyeletuk. Dia tengah mengemasi barang-barangnya untuk pulang setelah memastikan isi perutku benar-benar berisi. "Kamu manggil kakaknya 'Mas', suamimu sendiri--maksudku calon mantan suamimu--kamu panggil 'Tuan', rasanya janggal 'kan?" Lelaki itu menatapku heran.

"Mas Nazar yang memintaku memanggilnya 'Mas' setelah aku menikahi adiknya dulu," jawabku menatap balik pria tinggi yang memakai setelan kemeja maskulin tersebut. Sejak dulu Dr. Leo kemana-mana memang selalu berpenampilan seperti orang pada umumnya, entah kenapa lelaki itu tidak bangga saat memakai jas dokter miliknya. 

 

"Lalu, kenapa ke Harraz kamu tidak memanggilnya 'Mas' juga? Selalu saja dengan sebutan tuan, seakan kalian pelayan dan majikan."

"Sebelum menikah dulu, kami memang bawahan dan majikan," kepalaku mengangguk. 

 

"Tuan Harraz pemilik rumah ini dan aku wanita yang dibayarnya untuk mengambil kerja paruh waktu untuk mengurus ponakan-ponakannya sambil mengajari mereka mengaji selagi aku masih kuliah dulu," jelasku, membenarkan tuduhan Leo sebelumnya. 

 

Dr. Leo terperangah, meski sudah dijelaskan, lelaki itu masih terlihat tidak terima, "Tapi itu 'kan dulu sebelum kamu dinikahi, kenapa tidak ganti saja sebutanmu itu? Aneh jika terdengar di telinga." 

 

"Aku terlanjur terbiasa, apalagi orang-orang di sekitarku memanggil Tuan Harraz dengan sebutan yang sama. Seperti Ummu Hilza, pelayan-pelayan lain dan kadang para tetangga juga memanggilnya 'Tuan'," jelasku lagi, membuat Leo kesal karena aku suka sekali beralasan.

 "Memangnya Harraz tidak pernah memintamu memanggilnya 'Mas' saja, atau sebutan lain, seperti sayang dan semacamnya, gitu?" Aku terdiam sebentar untuk mengingat-ngingat. 

 

"Dia tidak pernah memintanya secara langsung seperti Mas Nazar, tapi Tuan Harraz pernah menyebut dirinya sendiri 'Mas' sekali, tapi setelah itu tidak pernah lagi." 

 

"Nah," Dr. Leo berseru gemas, "Sepertinya dia mengharapkanmu memanggilnya dengan sebutan yang sama. Masa' kamu tidak sadar itu kode, meski tidak dijelaskannya secara langsung, sih?" 

 

"Coba nanti kamu panggil dia 'Mas'. Meski status kalian sudah di ambang perpisahan seperti ini, coba saja. Itung-itung menambahi kenangan," Dr. Leo berkata setengah memaksa. Aku ragu untuk menyetujuinya, tapi lelaki itu tidak akan menyerah menerorku sebelum aku menganggukkan kepala tanda menyetujui.

"Iya, akan kucoba." Aku terpaksa menyetujui saran Leo. Lelaki itu terlihat senang saat aku menuruti maunya.

***

"Dasar anak itu," keluh Mas Nazar saat kembali. Aku yang tengah memandangi Hasan dan Husain membaca Al-Qur'an dengan lancar dari kamar sebelah menoleh penasaran, menatap ke arah Mas Nazar yang mengeluh gemas pada istrinya. 

 

"Isi kepalanya tidak bisa kupahami, apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan dan kenapa dia bisa begitu keras kepala?" Mas Nazar sedikit tenang saat istrinya mengusap lembut kedua bahu kokohnya. 

 

Meski begitu, Mas Nazar masih melanjutkan omelannya pada sang adik yang entah ada dimana sekarang, "Apa salahnya merujuk Talita? Toh, Talita terbukti mengandung anaknya sekarang. Masa' dia ingin anak-anaknya tumbuh besar tanpa seorang Ibu? Memangnya apa yang salah dari Talita?"

Emosi Mas Nazar yang hampir melambung lagi karena membicarakan lelaki itu kembali turun setelah dipeluk istrinya lagi. 

 

"Sejak dulu, si Harraz itu memang tidak bisa dimengerti," sambung Mas Nazar sambil mengusap lengan wanita yang mengungkungnya. "Tadi saat kuajak dia bicara untuk merujuk Talita kembali, lelaki itu dengan soknya menjawab semalam istikharah terakhirnya berhasil membuatnya yakin dengan keputusan yang lelaki itu ambil. Cih, dulu dia bersikeras sekali menikahi Talita, sekarang malah menalaknya tanpa memberitahu kenapa lelaki itu melakukannya."

"Tante kenapa?" Tanya Husain saat mendapati wajahku sendu.

Mas Nazar yang tidak sengaja membocorkan semuanya ke telingaku, membuat dadaku sakit. Kugelengkan kepala untuk menjawabi pertanyaan Husain. "Nggak pa-pa. Yuk, dibaca lagi. Bacaan tajwid kamu hampir sempurna, loh," ajakku dengan suara riang sambil mengacak rambutnya yang keriting.

"Mama bilang, kalau kita sedih, kita harus sering-sering ayat surat ini," seakan peka aku berbohong Husain membuka lembaran kitab Al-Qur'an dan menunjukkannya padaku. 

 

"Tante nggak lagi sedih kok," sangkalku sengaja berbohong.

"Tante lagi hamil 'kan?" Husain bertanya lagi. Sedangkan Hasan sejak tadi terus memerhatikan interaksi di antara kami berdua. Husain memang lebih aktif daripada kakak kembarnya yang pendiam sejak dulu.

"Kalau begitu, kita baca yang ini aja," Husain membuka surah Yusuf. "Jika Tante pengennya anak lelaki tampan nan saleh yang mirip dengan Paman Harraz."

"Atau surah Maryam," Husain dengan semangat menunjukkan lembaran-lembaran yang baru. "Yang bercerita mengenai perjuangan Siti Maryam saat melahirkan Nabi Isa AS, sejak dari proses persalinannya hingga doa-doa yang dipanjatkan. Surah ini juga diyakini merupakan salah satu doa bagi ibu hamil agar dimudahkan dalam proses persalinan. Selain itu, surah Maryam juga terdapat doa agar kelak anak bisa berbakti kepada orang tuanya." 

 

"Terimakasih sudah memberitahu Tante," balasku dengan senyum haru. Meski dulu aku yang mengajarinya Iqra' dan mengaji, pengetahuan agamaku kalah jauh dari kedua bocah ini, apalagi anggota keluarga Ghazalah yang lain. 

 

Aku ingat sindiran pelayan beberapa tahun yang lalu saat aku datang ke rumah ini sebagai pengasuh paruh waktu sekaligus guru ngaji untuk Hasan dan Husain, termasuk keponakan-keponakan Tuan Harraz yang lain. 

 

Mereka bilang, seharusnya yang mendidik dan membersamai mereka adalah orang yang pengetahuan agamanya lebih luas, tidak hanya sekedar berhijab dan bisa membaca Al-Qur'an sepertiku. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status