Home / Lainnya / HUMAIRA / Part 5 Harap-harap Cemas

Share

Part 5 Harap-harap Cemas

last update Last Updated: 2021-08-22 19:53:00

Jaka duduk di sofa di depan TV 

rumah ibunya. Wajahnya memperlihatkan ke gusarannya. 

"Jaka, cerita lah pada Ibu! Ada masalah apa?" Ibu duduk di samping Jaka. 

"Jaka bingung Bu harus mulai dari mana."

"Apa Kamu sedang ada masalah dengan Wati?" Jaka mengangguk. "Apa yang dipermasalahkan?" 

"Laki-laki bajingan itu Bu."

"Ada apa lagi? Dia sudah tenang Jaka."

"Dia menularkan penyakit terkutuk kepada kami semua." Kesal Jaka sambil menekan keningnya dengan kelima jarinya. 

"Maksud Kamu penyakit apa Jaka?" Ibu terkejut. 

"Aids Bu. Aids."

"A... Apa?" Ibu sangat terkejut. "Astagfirullah Jaka. Kenapa bisa begitu?" 

"Ntah Bu. Wati tidak pernah cerita tentang mantan suaminya itu. Yang Jaka tau hanya mantan suaminya itu melakukan KDRT kepada Wati."

"Desi!!!" Teriak bu Ratna memanggil adiknya Jaka. Desi yang sedang di dapur membuat kopi dan teh menghampiri ibu dengan satu gelas kopi dan dua gelas teh. Diletakkannya di atas meja di hadapan bu Ratna dan Jaka. 

"Ada apa Bu?"

"Kata masmu, dia tertular Aids karena mantan suami Wati." 

"Apa mas? Jadi mantan suami mba Wati meninggal karena HIV?" Desi terkejut. 

"Iya Des. Kamu tau kan virus HIV itu dalam jangka panjang baru bereaksi. Sedangkan mas menikah dengan mbakmu baru dua tahun lebih setelah satu tahun dia bercerai dengan suaminya."

"Mas dan mba Wati kan belum melakukan tes HIV. Jadi jangan buru-buru menyimpulkan mas tertular."

"Tapi yang mas dengar, kondisi terakhir Rendra badannya tinggal tulang yang dibalut kulit. Bukankah itu artinya dia sudah tertular lama Des?"

"Apa sudah dipastikan badannya seperti itu karena HIV? Bisa sajakan mantan suami mba Wati juga punya penyakit lainnya mas. Atau bisa jadi dia depresi karena ditinggal mba Wati kemudian diperburuk dengan positif HIV."

"Jaka, berpikir positif lah! Sekarang di mana Wati?" Tanya bu Ratna. 

"Dia izin menginap di rumah ibunya."

"Pasti dia sakit hati sekali Kamu malah pergi meninggalkannya ke sini." Sesal bu Ratna. 

"Jaka bingung Bu harus berbuat apa."

"Jaka, dengan sikapmu begini, Kamu sama saja menyalahkan Wati atas semuanya. Padahal Wati sangat perlu dukunganmu."

"Bu, jika Wati tertular, maka Jaka dan anak-anak pun juga tertular. Bagaimana Jaka bisa tenang Bu kalau sampai anak-anak tertular?"

"Dengar baik-baik Jaka! Mau Kamu tertular atau tidak, kalian tetap satu keluarga. Kalian harus saling dukung Jaka! Bukan Kamu menghindar seperti ini! Wati itu istrimu, Kamu harus selalu di sampingnya menguatkan dia. Bukan Kamu lari dari masalah seperti ini Jaka!"

"Jaka tidak sanggup Bu harus menghadapi takdir seperti ini." Jaka menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. 

"Mas Jaka, lebih baik mas Jaka secepatnya ajak mba Wati melakukan tes HIV biar mas Jaka tenang!" Saran Desi. 

"Kalau hasilnya positif bagaimana Des?"

"Mas sekeluarga harus berobat seumur hidup untuk bertahan mas. Tapi berdo'a lah Mas, kalau semuanya akan baik-baik saja!"

"Benar kata adikmu Jaka. Sekarang jemputlah Wati! Ibu tidak mau Kamu jadi laki-laki pengecut seperti ini Jaka! Apa pun hasilnya, Ibu akan selalu ada untuk keluarga kalian."

*****

Jaka pergi ke rumah bu Lastri untuk menjemput Wati dan anak-anak. Wati sedang menangis meratapi nasibnya sambil memandang kedua anaknya yang sudah tertidur pulas. 

"Jaka? Masuk Nak! Istrimu di dalam kamar." Ucap bu Lastri mempersilahkan menantunya masuk. 

"Apa Wati baik-baik saja Bu?" Tanya Jaka hati-hati. Ibu menggeleng dan mata ibu langsung basah. "Ma'afkan Jaka Bu. Ma'af Jaka belum bisa jadi suami yang baik untuk Wati." Jaka menangis di hadapan bu Lastri. Jaka mencium punggung tangan bu Lastri. 

"Jaka, Wati sangat mencintai Kamu. Dia sangat terluka tiap kali Kamu memperlakukannya dengan tidak baik." Ucap bu Lastri menangis tak sanggup menahan air mata. Jaka langsung bersimpuh di hadapan bu Lastri. "Dari awal dia memutuskan menerima lamaranmu, dia sudah tau hidupnya takkan mudah. Tapi dia mau melewati semuanya karena rasa cintanya kepadamu Jaka."

"Ma'afkan Jaka Bu. Ma'af."

"Jika Wati memang sudah menularkan penyakit itu ke Kamu dan anak-anak Ibu meminta ma'af yang sebesar-besarnya Jaka. Tapi Ibu mohon, jagalah perasaaan Wati! Dia sangat merasa bersalah. Dia sangat terpukul."

"Bu, Jaka yang minta ma'af karena bersifat kekanak-kanakan tiap kali ada masalah. Jaka minta ma'af Bu."

"Berdirilah Jaka. Temui Wati di kamar! Ibu yakin dia masih menangis meratapi nasibnya."

Jaka pun menuruti kata-kata bu Lastri. Dia masuk ke kamar Wati tanpa mengetok terlebih dulu. Perlahan dibukanya pintu. Dilihatnya anak-anak sudah tertidur, dan Wati istrinya sedang menangis menatap anak-anaknya. Wati duduk bersender di tembok. Dia tak sadar kalau Jaka sudah masuk ke dalam kamar. Jaka langsung meraih tubuh Wati ke dalam pelukannya. 

"Lepaskan Wati Bang!!!" Wati mencoba mendorong tubuh Jaka. Tapi Jaka semakin erat memeluknya.

"Ma'afkan sikap Abang Wati." Jaka tak kuasa menahan air matanya. "Abang minta ma'af."

"Semua salah Wati Bang. Wati teledor. Harusnya Wati tidak menjerumuskan Abang dan anak-anak." Wati terus berusaha melepaskan pelukan Jaka. 

"Kita hadapi semuanya sama-sama!" Ucap Jaka melepaskan pelukannya dan menatap wajah Wati yang berlinang air mata. Diusapnya air mata di pipi istrinya. "Wati, apa pun hasilnya, Abang akan tetap di sisi Kamu. Kita akan lewati sama-sama! Abang sangat mencintai Kamu." Jaka mengecup kening Wati kemudian kembali meraih tubuh Wati ke dalam pelukannya. Wati hanya bisa menangis terisak. "Abang mencintai Kamu. Sangat mencintai Kamu." Ucap Jaka sambil menangis. "Besok Abang akan antar Kamu tes. Kita berdo'a saja semoga semuanya baik-baik saja. Abang sudah siap apa pun hasilnya. Abang sudah siap Wati." Jaka terus menangis begitu pula Wati. 

*****

Jaka membawa Wati ke Rumah Sakit untuk melakukan tes HIV. Tangan Wati gemetar. Jaka terus menggenggam tangan istrinya yang begitu dingin karena gugup. 

"Kalau Kamu positif, Abang juga akan ikut tes. Anak-anak juga." Ucap Jaka. 

"Wati berharap ada keajaiban Bang. Sungguh Wati belum siap Bang. Wati tak akan sanggup melihat Abang dan anak-anak juga harus menerima akibat keteledoran Wati."

"Cukup sayang! Jangan terus-terusan menyalahkan diri sendiri!" Pinta Jaka. 

"Ibu Wati!" Perawat memanggil nama Wati. Wati pun masuk ke dalam ruangan. Sementara Jaka menunggu di luar dengan gelisah, harap-harap cemas. 

*****

Mohon votenya ya readers

Mohon kritik dan sarannya

Terima kasih sdh mau mampir untuk membaca

Happy reading

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • HUMAIRA   Part 30. Ikhlas (END)

    "Humaira, nenek mohon bertahanlah!" Bu Gita sesenggukan sambil membersihkan darah segar yang tak henti-henti mengalir dari hidung Humaira. Beliau meraih phonsel di atas meja. "Ada apa Bu?" Tanya Jaka di seberang. "Cepat ke kamar Humaira! Cepatlah!!!""Kenapa Bu?" Jaka terdengar panik. Bergegas dia bangunkan Wati. "Humaira... Humaira..." Ucap Jaka gemetar. "Kenapa Bang? Ada apa?" Tanya Wati terkejut. Jaka mondar mandir tidak jelas di depan tempat tidur. "Bang, ayolah Bang!""Otakku ngga bisa berpikir."Phonsel Wati kini yang berbunyi. Telpon dari bu Gita. Buru-buru diraihnya phonselnya yang ada di atas meja. "Apa? Baik Bu." Telpon ditutup, Wati langsung berlari sambil menarik tangan Jaka menuju lantai bawah, ke kamar Humaira. Wati dan Jaka sampai di depan pintu kamar Humaira, perlahan mereka membuka pintu. Jaka dan Wati terpaku melihat keadaan Humaira. Darah segar mengalir dari hidung Humaira. Wajahnya begitu pucat. Nafasnya mulai berat. Hidungnya kembang kempis. Bu Gita tak henti

  • HUMAIRA   Part 29. Lelah

    Enam bulan berlalu, Humaira sudah tidak memiliki rambut lagi. Setiap dia menatap kaca, dia menangis. Dia rindu rambutnya yang panjang, yang selalu disisir lembut oleh bunda Wati. Ada semangat yang mulai mengendur dalam diri Humaira. Ada rasa lelah karena harus terus kemo. "Sayang, jangan menangis!" Ucap Wati yang ada di sampingnya. Wati mencoba menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ya, matanya basah melihat pantulan bayangan Humaira di cermin. "Humaira lelah bunda." Ucap Humaira dengan suara lemah. "Tidak sayang. Humaira harus semangat! Banyak yang sayang Humaira." Wati langsung memeluk Humaira. Wati tidak bisa lagi membendung air matanya. "Sampai kapan Bunda? Sampai kapan Humaira harus seperti ini?" Humaira sesenggukan. "Rasanya sakit sekali Bunda. Humaira lelah Bunda. Lelah.""Maafkan Bunda dan ayah yang belum bisa memberikan pengobatan maksimal untuk Humaira. Untuk operasi tulang sum sum mencari donor yang cocok susah karena Humaira tidak punya saudara kandung.""Bunda. Humair

  • HUMAIRA   Part 28. Tidak Boleh Pergi

    Humaira berjalan perlahan di tepi pantai bersama Dito. Dito berjalan di samping Humaira sambil menggenggam erat tangan Humaira. Semilir angin pantai yang bertiup melambai-lambaikan rambut Humaira yang panjang. Kaki Humaira yang tanpa alas membuat pasir pantai yang dijajakinya mencetak telapak kakinya. Humaira tersenyum riang menatap ke arah lautan. "Ayah, terima kasih." Ucapnya. "Aku yang harus berterima kasih Humaira." "Tidak Ayah. Humaira sangat senang bisa bersama Ayah, melihat pantai yang indah ini." Humaira tersenyum menatap ayahnya dari samping. Dito menghentikan langkahnya. Dia pindah ke hadapan Humaira. Humaira meraih tangan Dito yang satunya. "Ayah, apa Ayah mencintaiku?" Dito tersenyum mendengar pertanyaan Humaira. "Cinta? Apa Aku mengerti apa itu cinta?" Batin Dito. "Ayah..." Humaira menggoyang-goyang kedua tangan Dito, tanda menunggu jawaban. Dito mengangguk. "Ayah, bungkukkan badan Ayah!" Pinta Humaira. Dito pun menuruti. Humaira langsung mengecup pipi kanan Dito. Di

  • HUMAIRA   Part 27. Kikuk

    Wati menemui Dito bersama Jaka. Jaka sempat menolak ajakan Wati karena takut tidak bisa mengontrol emosinya. Dito hanya menunduk di hadapan Jaka dan Wati. "Aku minta maaf atas sikapku selama ini." Ucap Dito. Jaka terkejut mendengar ucapan Dito. "Apa Aku tidak salah dengar Sayang?" Tanya Jaka pada Wati. "Tidak Bang." Ucap Wati. "Anak itu, anak itu dalam hitungan menit membuatku merasa hancur. Aku bersungguh-sungguh meminta maaf pada kalian. Terima kasih sudah mau datang menjengukku. Terima kasih sudah menjaga anak itu. Anak yang tidak pernah Aku anggap.""Alhamdulillah kalau Kamu sadar Dito. Kami kesini atas permintaan Humaira." Ucap Jaka. "Maksudnya?""Lusa Humaira jadwal kemo. Dia ingin Kamu menemaninya Dito.""Tapi..." Dito terkejut dengan ucapan Jaka. Dia menatap ke arah Jaka. "Aku..." Dito bingung harus berkata apa. "Kami sudah memintakan izin untukmu agar bisa datang ke rumah sakit. Dia darah dagingmu Dito. Dia ingin Kamu menemaninya. Menamaninya sebagai ayahnya." Ucap Jaka

  • HUMAIRA   Part 26. Luluh

    "Apa kata Dito?" Tanya Rini di dalam mobil. "Dia bernegosiasi denganku. Minta Aku rutin menjenguknya dan membawakan uang untuknya." Jawab Wati. "Dasar laki-laki brengsek." Kesal Beni. "Lalu, apa Kamu mau menurutinya Wati?" Tanya Rini lagi."Tidak Rin. Tidak akan. Bang Jaka bakalan marah besar kalau Aku masih mau bernegosiasi dengan Dito.""Syukurlah otakmu sudah waras." Ucap Rini lega. "Sialan Kamu Rin." Wati mendorong badan Rini yang duduk di depannya. "Hahahaha... Ya kali Kamu mau lagi di kerjain sama bajingan tengik itu.""Jangan cerita ke Bang Jaka ya soal sikap Dito tadi!" Pinta Wati. "Aku saja rasanya mendidih, apa lagi Jaka." Ucap Beni kesal. "Laki-laki itu benar-benar bajingan." Kesal Rini. "Kasian Humaira. Apa dia siap menerima ayah kandungnya adalah Dito?""Ya, mau bagaimana lagi Wati."Mobil mereka memasuki halaman rumah Wati. Jaka ternyata sudah menunggu mereka di teras. "Liat tuh lakimu Wati. Sampai nongkrong di teras. Kayanya nungguin Kamu." Ledek Rini. Mereka k

  • HUMAIRA   Part 25. Tidak Punya Hati Nurani

    Aditya dan Habibi bermain bola di halaman rumah. Humaira yang duduk di kursi roda hanya bisa menonton. Humaira sangat ingin ikut permainan mereka. Ikut berlari-larian tanpa kenal lelah. Humaira mencoba menggerakkan kakinya, tapi tidak ada hasil. Tiba-tiba Humaira menangis. Aditya langsung berlari mendekati Humaira. "Mba Humaira kenapa?" Tanya Aditya. Humaira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa ada yang sakit Mba?" Humaira kembali menggelengkan kepalanya. "Adit panggil mamah ya mba." Humaira langsung mencekal tangan Aditya yang ingin beranjak meninggalkannya. "Mba jangan menangis." Aditya mengusap air mata Humaira. Humaira berusaha tersenyum. Habibi yang sedari tadi hanya memperhatikannya tiba-tiba memeluknya. "Habibi sayang Mba." Ucap Habibi. "Aditya juga." Aditya turut memeluk Humaira. Air mata Humaira kembali mengalir. "Mba harus sembuh!!!""Terima kasih." Ucap Humaira sambil mengusap air matanya. "Mba jangan nangis!" Pinta Aditya. "Kita sayang Mba.""Mba juga sayang Adit dan H

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status