Share

Part 6 Keras Hati

Wati dan Jaka sampai di halaman rumah bu Lastri. Jaka memarkir roda duanya. Habibi yang duduk di teras bersama bu Lastri langsung berlari menghampiri ibu dan bapaknya. 

"Ibu... Bapak... " Teriaknya. Jaka langsung meraih tubuh mungil Habibi. Habibi memeluk erat Jaka. 

"Bagaimana Wati?"  Tanya bu Lastri tak sabar. Wati langsung memeluk bu Lastri dan tangisnya pecah. "Semua baik-baik sajakan?" Tanya bu Lastri cemas. 

"Alhamdulillah Bu. Alhamdulillah hasilnya negatif." Ucap Wati bahagia. 

"Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah." Ucap ibu dengan mata yang basah. "Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian sekeluarga."

"Iya Bu. Wati sangat bersyukur. Tadi di Rumah Sakit Wati ditanya, apa saat hamil Wati tidak melakukan pemeriksaan untuk ibu hamil. Itu lah salah Wati. Wati hanya USG saja. Tanpa melakukan tes lain-lainnya."

"Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian Wati." Ibu menggenggam erat tangan Wati. "Tapi..." Bu Lastri terlihat cemas. 

"Ada apa Bu?" Wati dan Jaka bingung. 

"Tadi Lintang datang." Mendengar nama Lintang Jaka langsung beranjak dari tempat duduknya. Wati menarik tangan Jaka.

"Humaira masuk Rumah Sakit."

"Humaira sakit apa Bu?" Tanya Wati terkejut. 

"Badannya panas tinggi. Dia selalu mencari Kamu Jaka." Ucap bu Lastri sambil menatap Jaka. Jaka hanya diam. 

"Bang. Mau sampai kapan hati Abang seperti batu?" Tanya Wati. 

"Wati, jangan sebut nama mereka di hadapanku!" Tegas Jaka. 

"Abang, pikirkan perasaan Humaira Bang! Apa salah dia? Dia sangat sayang pada Abang. Yang dia tau Abanglah ayahnya."

"Jaka, ma'af kalau Ibu harus ikut bicara. Bukalah hatimu Jaka! Humaira berhak mendapat kasih sayang. Jika Kamu tidak bisa menyayanginya lagi, setidaknya berpura-puralah tetap menjadi ayahnya untuk menyenangkannya sampai dia bisa mengerti keadaan yang terjadi!"

"Jaka tidak sanggup Bu."

"Abang pasti bisa Bang! Ayo lah Bang! Humaira perlu kasih sayang Abang! Dia sudah terbiasa dengan kasih sayang Abang sejak dia ada dalam kandungan. Apakah perasaan cinta Abang ke Humaira tidak tersisa sama sekali? Dimana hati nurani Abang?" 

"Abang ingin sendiri dulu Wati. Ibu, Jaka permisi. Assalammu'alaikum... " Jaka pamit. Diciumnya punggung tangan bu Lastri. Dikecupnya kening Wati. 

"Bapak mau kemana?" Tanya Habibi. 

"Habibi sama ibu ya. Bapak pergi dulu." Dikecupnya pipi anaknya kiri dan kanan kemudian Jaka berlalu bersama motornya. 

*****

Wati, bu Lastri, dan bu Ratna membesuk Humaira di rumah sakit. Humaira terbaring lemas di tempat tidur dengan selang infus. Wati mengelus rambut Humaira. 

"Ayah mana Bunda?" Tanya Humaira. 

"Ayah... " Wati bingung harus jawab apa. 

"Ayah sedang banyak kerjaan sayang. Nanti Ayah nyusul." Ucap bu Ratna. 

"Dulu kalau Humaira sakit, ayah selalu jaga Humaira, Ayah tidak mau tinggalkan Humaira. Sekarang Ayah jahat. Ayah tidak sayang lagi pada Humaira." Humaira menangis. 

"Ayah sayang Humaira. Ayah sangat sayang Humaira." Ucap Wati menahan tangis. "Sebentar ya Bunda keluar dulu." Ucap Wati.  Wati keluar ruangan, air matanya jatuh. 

"Apa mas Jaka sama sekali tidak mau melihat Humaira?" Tanya Lintang yang menyusul Wati ke luar. Wati mengangguk. "Apa yang harus Aku lakukan Wati?" 

"Aku sudah berusaha membujuknya, tapi hatinya masih keras. Sebentar Aku coba kirim WA ke bang Jaka." Wati mengirim foto Humaira yang terbaring lemas ke Jaka. Jaka membuka pesan dari Wati tapi tidak meresponnya. 

"Bagaimana?" Tanya Lintang. Wati menggeleng. 

"Humaira sakit apa?"

"Aku belum dapat hasil tesnya. Aku harap cuma demam biasa. Bisakah bantu Aku membujuk mas Jaka? Aku mohon Wati, Aku mohon!" Lintang menggenggam erat tangan Wati. 

"Tanpa Kamu minta pun Aku pasti melakukannya. Humaira sudah Aku anggap seperti anakku sendiri."

"Terima kasih banyak Wati." Lintang memeluk Wati. 

"Aku tidak menyangka bang Jaka akan setega ini terhadap Humaira." 

"Semua salahku Wati. Semua salahku." Lintang menangis terisak. 

*****

Wati dan anak-anaknya pulang ke rumah. Dilihatnya Jaka  sedang duduk di ruang tengah menatap ke layar ponselnya. Wati menyuruh Adit membawa Habibi ke kamar. 

"Bang... " Wati duduk di samping Jaka. Jaka mengusap air matanya. "Abang menangis?" Jaka langsung memeluk Wati. Dilihat Wati ponsel Jaka. Ternyata Jaka sedang menatap foto Humaira yang dikirimkannya. "Abang masih sayang Humaira kan Bang?" Tanya Wati. Jaka hanya diam. "Jujurlah pada hati Abang!" 

"Iya Wati, iya... Abang masih sangat menyayangi gadis kecil itu." Jawab Jaka sambil terisak. 

"Lalu kenapa Abang tidak mau melihat Humaira?"

"Abang tidak sanggup Wati. Abang belum bisa menerima kenyataan kalau Humaira bukan darah daging Abang."

"Abang... Tidak harus memiliki hubungan darah untuk memberikan kasih sayang Abang. Bukankah Abang bisa menyayangi Adit anak Wati seperti anak Abang. Lakukanlah juga pada Humaira Bang!"

"Dulu, tiap kali mendengar Humaira sakit, Abang langsung panik. Abang selalu di sampingnya. Humaira memang sangat dekat pada Abang."

"Tetaplah seperti itu Bang! Humaira belum siap kehilangan kasih sayang Abang."

"Hati Abang sangat berat Wati. Sangat berat."

"Bang, pikirkanlah perasaan Humaira. Kita orang dewasa pasti bisa mengabaikan perasaan kita. Tapi Humaira masih anak-anak Bang. Semua akan berdampak untuk masa depannya kelak. Pikirkanlah itu Bang! Jangan rusak masa kecil Humaira karena keegoisan Abang. Wati mohon Bang!" Jaka hanya terdiam. Wati kemudian beranjak meninggalkan Jaka sendiri. 

"Aku masih bingung Wati." Gumam Jaka. "Sungguh Aku sangat mencintai gadis kecilku itu. Tapi Aku masi tidak bisa terima perbuatan Lintang yang membohongiku bertahun-tahun. Menyembunyikan jati diri Humaira. Aku menumpahkan kasih sayangku sepenuhnya untuk gadis kecil itu, gadis kecil yang Aku pikir darah dagingku, ternyata darah daging laki-laki bajingan." Kesal Jaka. 

****

Mohon votenya ya readers

Mohon kritik dan sarannya

Terima kasih sdh mau mampir untuk membaca

Happy reading

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status