Share

Part 8 Menahan Sakit

Wati menjemput anak-anak di rumah bu Lastri. Mata Wati sembab karena sepanjang jalan dia terus menangis. Sesampainya bertemu ibunya dia langsung memeluk erat ibunya. 

"Ada apa Wati?" Tanya bu Lastri cemas. 

"Humaira Bu. Humaira."

"Humaira kenapa?" Ibu semakin cemas. 

"Humaira divonis leukimia Bu."

"Leukimia? Kanker maksud Kamu Wati?" Bu Lastri sangat terkejut. 

"Iya Bu."

"Innalillahi wa innailaihi roji'un."

"Kasian Humaira Bu."

"Apa Jaka sudah tau?" Wati menggeleng. "Cepatlah beri tahu Jaka. Semoga hatinya bisa luluh. Ibu khawatir Wati. Bukankah banyak orang yang tidak bisa bertahan kalau punya penyakit itu?" Bu Lastri tak kuasa menahan tangis. Wati mengangguk. 

*****

Wati keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitnya di dada. Jaka menghampirinya dan langsung menyambar bibirnya. 

"Abang... " Ucap Wati. Dilepas Jaka handuk yang melilit tubuh Wati. "Jangan sekarang Bang. Suasana hati Wati sedang tidak nyaman." Tolak Wati. 

"Matamu kenapa bengkak Wati? Kamu habis menangis?" Wati mengangguk. Wati mengambil handuk yang jatuh di lantai, dililitkannya kembali ke tubuhnya. "Ada apa lagi?" 

"Abang, ini soal Humaira Bang."

"Sayang, bisa tidak sehari saja Kamu tidak membahasnya. Hati Abang hancur setiap kali Kamu menyebut namanya."

"Tidak bisa Bang. Kali ini lebih serius."

"Apa lagi Wati? Apa lagi?" Kesal Jaka. 

"Abang harus secepatnya menemui Humaira, Wati mohon Bang!"

"Berapa kali Abang sudah bilang Abang tidak sanggup Wati."

"Humaira divonis leukimia Bang."

"Apa? Kamu jangan mengada-ngada Wati." Jaka tak bisa percaya. 

"Abang, Wati serius Bang. Wati mendengar sendiri dari dokter yang memeriksa Humaira. Sekarang, apa Abang masih ingin mementingkan ego Abang? Jangan Bang! Abang akan menyesal nanti. Kasihani Humaira Bang. Cukuplah fisiknya yang sakit karena penyakit itu. Jangan hatinya juga harus sakit karena ego Abang. Wati mohon!" Wati menangis. 

"Wati, Abang perlu waktu."

"Waktu? Waktu untuk apa lagi Bang? Sudah terlalu lama Abang mengabaikan Humaira. Gadis itu tidak tau apa-apa Bang. Jangan Abang hukum dia! Ayolah Bang! Jangan buang-buang waktu Bang! Kita tidak tau sampai kapan Humaira bisa bertahan." Wati menggenggam tangan Jaka. 

"Abang tidak tau Wati." Mata Jaka basah menahan sedih. Wati memeluk Jaka. 

"Bang, saat ini Humaira sangat perlu Abang. Bahagiakanlah Humaira Bang! Wati mohon!" Jaka hanya terdiam. "Wati sudah anggap Humaira seperti anak Wati sendiri Bang. Sakit rasanya hati Wati melihat kondisi Humaira."

*****

Humaira mulai sering mimisan. Bu Gita terus membersihkan darah yang keluar dari hidung Humaira. 

"Nek, Humaira kenapa?" Tanya Humaira bingung. 

"Ngga apa sayang. Humaira baik-baik saja."

"Badan Humaira rasanya sakit semua Nek." Keluh Humaira. Bu Gita tak kuat mendengar keluhan Humaira. Beliau langsung menangis. "Nenek kenapa menangis?" 

"Seandainya sakit Humaira bisa pindah ke nenek, nenek mau nenek saja yang rasakan sakitnya Humaira." Jawab bu Gita sambil tersedu. 

"Nenek, Humaira kuat kok Nek."

Wati datang bersama Jaka. Melihat Jaka Humaira langsung berusaha beranjak, merubah posisinya. 

"Ayah... " Teriak Humaira. 

"Tetap berbaring Humaira!"  Pinta bu Gita. 

Jaka sedikit ragu mendekati Humaira. Dia diam mematung di depan pintu. Matanya mulai basah melihat kondisi gadis kecilnya yang mulai kurus. 

"Bang, peluklah Humaira!" Ucap Wati. Jaka masih terdiam. Wati mengenggam tangan Jaka dan menyeret Jaka menghampiri Humaira. Jaka langsung memeluk Humaira. Wati dan bu Gita beranjak keluar ruangan. Mereka tidak ingin mengganggu. 

"Terima kasih nak Wati." Ucap bu Gita sambil menangis. 

"Hanya ini yang bisa Wati lakukan Bu." Wati pun ikut menangis. 

Humaira memeluk erat Jaka. Melepaskan kerinduan yang ditahannya. Air mata Humaira berlinang. 

"Ayah, kenapa Ayah lama sekali tidak menemui Humaira? Humaira rindu Ayah." Ucap Humaira. Jaka hanya terdiam. Air mata Jaka mulai tak terbendung. "Apa Ayah marah pada Humaira?" Jaka membelai lembut rambut Humaira. "Ayah jangan pergi lagi!" Pinta Humaira. "Ayah kenapa diam?" Humaira melepaskan pelukannya. "Kenapa Ayah menangis?" Diusapnya air mata ayahnya kemudian diciumnya pipi kiri dan kanannya. 

"Ma'afkan Ayah sayang, ma'afkan."

"Humaira tidak marah kok pada Ayah. Humaira rindu Ayah, sangat rindu." Humaira kembali memeluk Jaka. 

"Ayah juga rindu Humaira sayang." Ucap Jaka. 

"Ayah, badan Humaira sakit semua. Dan dari hidung Humaira sering keluar darah." Keluhnya. Jaka tak kuat mendengar keluhan gadis kecilnya. Dipereratnya pelukannya. "Ayah, apa Humaira sebentar lagi mati?" Tanya nya polos. 

"Humaira pasti sembuh sayang. Humaira pasti sembuh." Ucap Jaka sambil terisak. 

"Ayah, mau kah Ayah menemani Humaira?"

"Iya sayang, iya... "

"Ayah, Humaira sakit apa?"  Tanya Humaira. 

"Humaira baik-baik saja sayang."

"Kenapa Humaira belum boleh pulang Ayah?"

"Humaira harus banyak makan dulu ya, baru bisa pulang. Liat, Humaira kurusan."

"Humaira kangen disuapin Ayah. Tiap hari Humaira kangen Ayah. Tapi Ayah tidak pernah menemui Humaira." Jaka hanya terdiam. Air matanya berlinang. Humaira mulai bawel seperti biasanya. "Ayah sama bunda marahan ya? Kenapa bunda dan nek Gita tinggal di rumah kecil bersama Humaira? Ayah marah sama bunda ya?" 

"Humaira... Humaira harus banyak istirahat! Bawelnya nanti saja ya kalau Humaira sudah sembuh!"

"Humaira mau tau semuanya Ayah." Ngambek Humaira. 

"Nanti saja ya sayang."

Humaira kembali mimisan. Jaka langsung mengambil tisu dan membersihkan darah yang keluar dari hidung Humaira. Air mata Jaka kembali tumpah. 

"Ayah, sakit." Keluh Humaira. 

"Apa yang sakit sayang?"

"Badan Humaira sakit semua rasanya Ayah." Jaka langsung memeluk Humaira. 

"Humaira yang kuat ya sayang! Ayah di sini bantu Humaira menahan sakit." Air mata Jaka terus mengalir. "Ya Allah, angkat penyakit gadis kecilku. Aku tak sanggup melihatnya menahan sakit." Batin Jaka. 

*****

Mohon votenya ya readers

Mohon kritik dan sarannya

Terima kasih sdh mau mampir untuk membaca

Happy reading

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status