Share

06. Terjebak Di Hutan

    Hal pertama yang kulihat ketika membuka mata adalah langit malam dan dahan pepohonan yang rimbun. Hari masih gelap dan aku rasa malam kali ini lebih panjang dari malam-malam yang kulewati sebelumnya. Entah kenapa, seolah-olah malam ini berbeda dari malam lainnya.

    Hal kedua yang kurasakan saat itu adalah seluruh badanku terasa lengket. Seperti ada yang meresap pada kain satin baju tidur yang aku kenakan. Tidak hanya terasa di punggung saja, bahkan aku bisa merasakan sesuatu yang basah itu mengotori tubuh bagian belakangku juga. Rasanya menjijikkan.

    Aku berbaring dengan kedua tangan di sisi tubuh, tapi aku sendiri tak bisa merasakan kedua kakiku. Rasanya seperti kesemutan, tapi aku tak merasakan apa-apa selain kaki yang tidak bisa diangkat meski sudah mencoba mengangkatnya dengan hati-hati. Ah, sudahlah, setidaknya aku bisa berbaring lebih lama lagi di sini tanpa perlu repot-repot beranjak dan membuatku pusing lagi.

    Aku masih ingin memandang langit malam di atas tanah ini. Tentu saja aku tetap ingin pulang ke rumah.

    Mataku masih berat rasanya, bahkan untuk membuka mata lebar-lebar saja rasanya aku tak bisa. Bukannya ada sesuatu yang menganggu, tapi memang inilah kenyataannya. Aku ingin tidur tapi harus terjebak di tempat yang mengerikan bersama orang-orang yang bertingkah aneh. Apa ini efek karena aku tak tidur dengan cukup, ya? Aku hanya tidur sekitar empat jam saja sebelum dibangunkan oleh Nenek tadi.

    Uh, di mana anggota keluargaku yang lainnya, ya? Apa mereka meninggalkanku sendirian di sini? Aku ingin beranjak mencari mereka, tapi karena sudah telanjur berbaring di sini, aku akan melakukannya nanti. Sumpah, aku masih merasa lelah dan mengantuk. Tapi aku juga tak ingin tidur di tempat seperti ini.

    Mungkin aku mempertahankan posisiku itu selama dua menit. Sebenarnya bisa lebih lama lagi, jika saja tak ada bau yang mengganggu indra penciumanku yang cukup tajam. Aromanya busuk sekali! Dan membuatku mual!

    Aku yang telah merasakan aliran darah ke kakiku kembali pun mencoba bangkit dan duduk. Lengket dan perasaan basah masih terasa sedikit di punggungku, langsung saja mual itu kembali sesaat setelah aku menyadari bahwa sebelumnya aku telah berbaring di tanah basah dengan aroma tak sedap selama bermenit-menit lamanya. Bahkan aku berbaring seolah sedang berbaring di atas pasir pantai saja!

    Huh, pantas saja aromanya busuk sekali! Ternyata dekat kubangan tanah itu ada kotoran hewan penghuni hutan ini. Mungkin kotoran babi atau kelinci liar.

    CUKUP! Aku tak tahan lagi!

    Aku buru-buru membersihkan bajuku yang kotor, tapi tak bisa membersihkan semuanya, aku hanya bisa mengelap seadanya saja, lalu aku pun mencoba berdiri dengan berpegangan pada pohon terdekat. Pertama-tama, aku akan mengelilingi tempat ini dan mencari Elena. Sebenarnya kakiku masih kesemutan sedikit dan belum bisa kurasakan sepenuhnya, terutama ketika kumeluruskannya tadi, tapi setidaknya aku bisa berjalan walau harus menyeret kedua kakiku secara perlahan. Yang terpenting aku harus mencari sahabatku di sekian banyaknya orang ini.

    Oh, sepertinya aku tahu penyebab dari mataku yang terasa tidak nyaman dan berat sejak kusadar dari pingsan tadi. Mungkin karena aku pingsan setelah menangis cukup lama sebelumnya ketika membaca kertas-kertas itu, makanya hal itu membuat mataku merah dan bengkak serta susah dibuka lebar-lebar.

    Yah, setidaknya aku masih bisa melihat tanah yang kuinjak saat ini. Tentu saja aku tak ingin terjatuh karena tak bisa melihat jalan yang ada di depanku. Tapi beruntungnya lagi, sekarang aku sudah bisa merasakan kedua kakiku lebih baik dari sebelumnya.

    Jalanku sudah lebih normal daripada ketika aku berjalan tertatih-tatih tadi. Syukurlah. Dengan ini aku bisa pulang tanpa harus digendong oleh Ayah. Tapi masalahnya adalah sejak aku bangun dari pingsan tadi, sampai sekarang aku belum juga melihat anggota keluargaku yang lain, selain nenekku tentu saja. Yah, walau keadaan Nenek sangat mencemaskan tadi.

    Aku tak tega melihat nenekku dalam keadaan tertelungkup di tanah. Pasti bajunya kotor walau dia mengenakan jubah warna hitam. Jadi, setelah kakiku tak lagi kesemutan aku pun mencoba untuk memapahnya dan menyandarkannya ke batang pohon. Wajah nenek terlihat damai sekali, aku bahkan bisa melihat dosa-dosanya akibat menjailiku selama ini lenyap begitu saja. Menatap nenek yang sedang terlelap membuat perasaanku iba. Panjang umur, ya, Nek. Aaron sayang Nenek walau Nenek selalu menggangguku.

    Semoga anggota keluargaku yang lain juga dalam keadaan baik-baik saja dan tidak terkena ilusi serupa seperti yang didapatkan oleh orang-orang yang tak sadarkan diri di tempat ini. Ah, aku tidak ingin mereka meninggalkanku sendirian. Aku masih membutuhkan mereka, walaupun ada nenek yang bisa menjagaku hingga dewasa, tapi kini beliau sudah berusia 70 tahun. Yah, bukan usia yang muda untuk seorang wanita yang baru memiliki satu orang cucu dengan usia tujuh tahun.

    Padahal di umurnya ini, seharusnya Nenek sudah memiliki anak dari cucunya; yaitu aku. Untuk kalangan mereka yang telah memiliki usia di atas 50 tahun, sepertinya akan sulit untuk berharap apakah mereka masih bisa melihat anak cucunya nanti. Itu pun jika sang malaikat maut masih memberikannya kesempatan untuk melihat anak dari cucunya yang tampan ini.

    Yah, lagipula aku masih anak-anak.

    ***

    Orang-orang dewasa yang berasal dari desa Birdben tempatku tinggal masih saja terbaring di tanah dengan posisi yang tidak beraturan. Ada yang dalam keadaan duduk, ada juga yang bersandar pada pohon, ada yang persis seperti yang kulakukan sebelumnya; terbaring pingsan dengan wajah menatap langit-langit malam. Kesamaaan dari mereka semua adalah mulut yang menganga lebar, dan sisa air mata berupa darah yang mengering di pipi kanan dan kiri. Kengerian itu menunjukkan betapa dalamnya rasa sakit yang mereka rasakan sebelum tak sadarkan diri.

    Aku merasa kasihan, karena sepertinya hanya aku sajalah yang benar-benar sudah sadar dan memiliki tenaga yang cukup untuk mengubah posisi mereka yang terlihat menyedihkan. Walau tak bisa menggeser semuanya, setidaknya aku mampu menarik beberapa orang yang terkapar di tanah dan membantu mereka duduk bersandar di dinding.

    Aku juga menaikkan kembali rahang mereka agar mulut mereka yang menganga itu tidak dimasuki sesuatu. Aku juga mengelap wajah mereka yang tampak kelelahan. Sekilas, orang-orang ini seperti sedang tertidur pulas. Begitu damai dan seperti bayi yang tertidur di pangkuan ibu mereka. Hanya saja, ada air mata, darah dan keringat yang mengotori wajah orang-orang dari desaku ini. Aku tak tega melihat keadaan mereka, dan inilah yang bisa kulakukan untuk mereka saat ini.

    Aku lalu mengelilingi lokasi itu sambil membantu beberapa orang yang kulewati. Tak jauh dari tempatku duduk, aku melihat sosok yang sangat kuhafal bahkan ketika aku masih bayi berusia dua tahun. Aku beranjak menghampiri seorang wanita dewasa yang sangat kukenal dengan baik.

    Aku lalu memanggilnya. "Ibu," panggilku setelah berdiri di dekat wanita itu. Ibuku sama sekali tak merespons, sepertinya dia masih belum sadarkan diri dan membuka kedua matanya. Yah, paling tidak aku tahu jika ibuku baik-baik saja.

    Ibuku sedang bersandar di dinding dengan kepala yang sedikit tertunduk dan miring ke sebelah kiri. Aku lalu berjongkok di hadapannya dan melihat wajah Ibu di saat terlelap. Ibuku malang sekali, ini pasti berat untuknya. Sama seperti warga desa yang lain, dia dipaksa melakukan sesuatu yang berbeda jauh dengan kebiasaannya sehari-hari.

    "Ibu, sadarlah," panggilku lembut saat menatap ibu yang terlelap. Aku mendekatkan wajah dan mengguncang pelan tubuhnya yang kurus. Berharap dengan cara itu, ibu yang sangat kusayangi ini akan terbangun dan kembali menenangkanku seperti yang biasanya dia lakukan menjelangku tidur. Karena tak mendapat reaksi apa-apa, aku lalu menepuk pipinya pelan. Ibuku masih terlihat cantik saja walau tengah tertidur pulas—atau lebih tepatnya bisa dikatakan dia pingsan.

Yah, tak heran jika mereka pingsan, apa yang mereka lakukan tadi itu sangat menguras tenaga dan aku memahami hal itu.

    Aku kemudian mencari Ayah, merasa menyesal karena telah mengabaikannya dengan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan Ibu dan Nenek. Setelah kembali di tempat di mana aku melihatnya, secara perlahan, kuusap wajah Ayah dengan bagian bawah lengan piyamaku. Bermaksud menghilangkan jejak-jejak air mata berwarna merah—itu darah—di wajahnya yang mulai berkeriput. Betapa menyedihkannya ayahku saat ini. Seharusnya aku tidak mengabaikannya tadi dan berjalan menuju yang lain. Ayah adalah sosok yang tak kalah baiknya dengan Ibu, hanya saja dia lebih keras kepadaku.

    Aku kemudian memapah ayah, membawanya duduk bersandar di bawah pohon. Aku cukup bersyukur tubuh Ayah tidak terlalu berat, meski aku tidak lebih tinggi darinya, setidaknya aku bisa menyeret Ayah mendekati pohon. Seusai menyandarkan ayahku di sebuah pohon terdekat dari lokasinya pingsan, aku kembali berdiri dan beranjak dari sana untuk mencari keberadaan Elena.

    Tentu saja aku tidak ingin gadis itu mengalami ketakutan yang sama sepertiku ketika melihat semua orang mulai bertingkah tak wajar dan menjerit tidak jelas. Aku tidak mungkin pulang ke desa tanpa gadis ini, setidaknya Elena dan aku harus kembali ke tempat yang aman, yaitu di rumah kami masing-masing. Biarlah para orang dewasa di sini saja terbaring tak sadarkan diri, aku cukup membawa Elena pergi saja. Toh, aku sudah membantu mereka dengan mengelap wajah-wajah berlinang air mata darah yang menyeramkan itu dengan lengan bajuku ini.

    Berjalan mencari keberadaan Elena sambil membantu beberapa orang yang pingsan itu sangat menguras waktu dan juga tenaga. Aku hampir selesai menyelusuri tempat terakhir yaitu sebuah lokasi di belakang panggung. Aku bahkan baru sadar jika saat pembacaan kertas-kertas aneh itu berlangsung, sekalipun aku tidak pernah melihat Elena di barisan di dekatku saat itu.

    Ketika berjalan di antara orang-orang dewasa yang tergeletak di tanah, aku bisa melihat gadis bermata amber itu sedang bersandar di sebuah pohon. Syukurlah dia tidak dalam keadaan tertelungkup seperti anggota keluarganya yang lain. Mungkin saat keadaan payah tadi, dia berjalan menuju pohon dan hidungnya mulai mengeluarkan darah.

    Dari belasan orang yang sudah kutolong, hanya Elena sajalah yang tidak menangis darah. Setidaknya aku bersyukur karena dia tak mengalami rasa sakit seperti mereka yang lainnya. Aku tadi juga tidak sempat memperhatikan orang-orang yang berada di luar sudut pandangku sebagai seseorang yang membaca kertas yang mengendalikan semua situasi yang ternyata adalah ritual ini. Dan lokasi yang kupijak ini juga berada di luar kendaliku sebab aku hanya fokus pada tempat duduk di depan panggung yang mudah terlihat saja.

    Lantas, apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan orang-orang ini?

    Aku bahkan tak bisa mengawasi Ivan yang tak sadarkan diri di atas panggung bersama dengan orang tanpa identitas lainnya. Omong-omong, ada satu hal yang sungguh di luar perkiraanku selama berada di tempat ini. Sesuatu yang kulihat ini begitu mengejutkan, membuatku tercengang dan hanya bisa mengucap berbagai hal tentang ketidakberdayaanku ini seorang diri.

    Aku sangat syok saat melihat mereka untuk pertama kalinya, di saat-saat aku tadi membuka tudung di kepala mereka dengan hati-hati, alangkah terkejutnya aku begitu menyingkirkan tudung itu. Bisa-bisanya aku melihat wajah dua orang yang sudah tak asing lagi. Mereka adalah pinang yang dibelah dua. Wajah mereka sama dan mereka berdua adalah kakak beradik kembar.

    Tentu saja aku sangat mengenali keduanya, mereka adalah Deinn dan juga Albert, teman seperjuanganku sekaligus sahabatku di kala senang dan susah. Aku tidak bisa melihat Albert dan Deinn di belakang Ivan saat pembacaan ritual tadi, karena mereka sangat menutupi wajah mereka dengan bagian tudung belakang jubah itu. Sepertinya mereka tak ingin menunjukkan identitas dan dihentikan saat upacara berlangsung.

    Yah, lagipula semua sudah berlalu.

    Kini aku telah melihat semua anggota keluargaku lengkap dan aku juga bisa bertemu dengan sahabat-sahabatku. Aku ingat, yang pertama kali menjadi pembahasan kami saat awal bertemu itu adalah Elena yang baru saja menemukan alamat rumah seseorang yang tidak dikenalnya. Aku yang ketakutan pun berkata padanya bahwa jangan sembaragan mengambil sesuatu yang tidak jelas asal-usulnya dari jalanan, namun Ivan dengan sengaja dan beraninya malah menantang seseorang yang tinggal di tempat yang ada di alamat tersebut.

    Ternyata itu rumah milik seorang laki-laki berbadan besar dan gelap yang selama ini jarang pulang ke desa Birdben. Oleh alasan itu pulalah, kami tak tahu jika ada orang sepertinya di desa kami. Sejak melakukan berbagai hal bersama-sama; aku, Elena, Albert, Deinn dan Ivan yang berada di satu lingkungan tempat tinggal yang sama, kini harus bisa memahani keadaan hidup masing-masing.

    Berbicara tentang Ivan, apakah aku juga harus membangunkannya dan mengajaknya pergi? Lalu, bagaimana dengan Albert dan Deinn yang terkapar di belakang Ivan? Di saat aku harus memilih, aku malah diserang oleh rasa kebingungan karena tak bisa mengangkat siapapun selain Elena yang tubuhnya lebih mungil dariku.

    Setidaknya aku tetap bisa menolong sahabatku, iya, kan? Jadi tidak apa-apa. Elena adalah prioritas utamaku saat ini.

    Omong-omong, aku harus bergegas. Aku tidak tahu apa yang baru saja kami panggil ke tempat ini. Aku memang sudah curiga jika yang kubaca tadi adalah mantra-mantra yang digunakan untuk memanggil sesuatu, memanggil mereka yang berasal dari dunia yang lain. Jika saja aku tahu dari awal, mungkin aku tidak akan mengalami mimpi buruk seperti ini!

    Aku hanya ingin menikmati masa-masa tenang di dalam rumah sambil meminum cokelat panas. Tak ada minuman terbaik selain susu atau minuman rasa cokelat!

    Ah, aku kebanyakan bicara. Seharusnya daripada banyak mengeluarkan kalimat tidak perlu, aku harus keluar dari hutan ini sesegera mungkin. Aku akan melarikan dari tempat yang terlihat seperti neraka ini, lalu pergi bersama Elena dan meninggalkan semua orang yang berkumpul di hutan ini. Aku yakin mereka bisa bertahan selama sejam atau dua jam, mereka kuat dan pemberani, tidak seperti aku dan Elena yang tak bisa berlama-lama di hutan Lakebark yang terkenal mengerikan.

Semoga saja kami nanti tidak bertemu dengan beruang atau sesuatu yang mengerikan lainnya. Jadi, aku dan Elena beranjak pulang ke rumah dan setelah itu kami akan meminum cokelat panas yang enak. Ah, membayangkannya saja sudah membuat pikiranku tenang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status