Share

05. Ritual Yang Gila

    Aku tak percaya ini! Apa yang ada di atas itu benar-benar Ivanoff? Anak yang selalu menakutiku? Sahabat baikku?!

    Astaga! Ini bencana! Meski aku tahu jika dia ternyata benar Ivanoff, aku masih tak menyangka jika dia menjadi bagian ritual gila ini. Aku juga syok ketika tahu dialah orang yang mengenakan jubah paling beda dari yang lain, dan terlihat seperti seorang pemimpin.

    Setelah pulang dari tempat ini, aku akan memborbardirnya dengan banyak pertanyaan!

    Seperti apa yang dia lakukan di atas panggung dan mengenakan jubah paling beda dari yang lain? Sial, entah mengapa aku iri! Awalnya aku tak peduli dengan pakaian apa datang ke tempat itu, tapi setelah melihat Ivan mengenakan pakaian yang bagus, aku benar-benar ingin mengenakan jubah hitam yang sama. Maksudku, apa bagusnya memakai pakaian yang tak sama dengan yang lain? Lihat aku, aku malah memakai baju tidur!

    Aish, aku iri. Dan, apa-apaan riasan di wajah Ivan itu? Kenapa wajahnya dicoret menggunakan sesuatu yang berwarna merah dengan pola yang aneh? Maksudku, dia terlihat seperti badut dan memang kelakuannya sudah aneh sejak dulu! Baru kali ini dia terlihat lebih aneh lagi ketika memakai riasan mata berwarna ungu cerah di bawah matanya. Dia seperti penyihir wanita yang bermaksud menculik anak-anak.

    Penampilan Ivan membuatnya terlihat mengerikan. Huh, aku tarik kata-kataku sebelumnya, tentang Ivan yang tampak keren. Yah, setidaknya jubah yang dia pakai memang terlihat menarik, sih.

    Tapi sungguh, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa semua orang melakukan hal aneh yang berada di luar kebiasaannya?!

    Aku sungguh-sungguh tak mengerti. Ada beragam pertanyaan yang mulai berkumpul dalam otakku dan saling dorong satu sama lain, hingga membuatku kesal sendiri karena tak bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan ini. Juga, ada banyak yang ingin kutanyakan kepada teman-teman sepermainanku. Kepada Elena yang tadi kulihat, juga kepada Ivan yang sibuk dengan tugasnya di atas panggung. Mereka berdua yang kukenal baik, malah ada di tempat yang sama denganku dan dalam keadaan yang jauh berbeda satu sama lain.

    Aku ingin sekali memanggil Ivan, namun mulutku terus melafalkan kalimat-kalimat aneh yang tak bisa kuhentikan. Meskipun ingin, tapi tetap saja tak bisa. Padahal aku sudah berusaha keras menahan mulutku, dan mencegahnya untuk tidak bersuara lagi, tapi aku tak bisa! Ini menyebalkan! Apa yang harus kulakukan!?

    Bagaikan ada suatu kekuatan magis yang membuatku tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan semuanya.

    Aku sungguh tak berdaya. Aku merasa bahwa aku semakin terlihat seperti seorang pecundang.

    Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hampir saja menangis jika tak mengingat ada di mana aku sekarang. Ada banyak orang di sini dan aku masih memiliki urat malu, tak mungkin anak laki-laki menangis di depan umum.

    Otakku dipaksa berpikir. Sulit rasanya ketika memikirkan sesuatu yang berat bagiku. Aku mau pulang.

    Sambil menahan air mata, aku mengalihkan pandanganku kembali kepada Ivanoff. Dia sepertinya menikmati sekali perannya di atas panggung itu. Aku iri dengan kepercayaan diri dan juga keberaniannya itu.

    Ivanoff dengan lantang menyebutkan bait-bait kalimat yang—sekali lagi, tak bisa kumengerti apa artinya. Seolah apa yang baru saja ia lontarkan itu berasal dari dunia lain. Seolah mereka yang ada di panggung itu sedang membaca sesuatu di luar kesadaran mereka sendiri.

    Seolah dia sedang ... menyahuti apa yang baru saja aku baca.

    Empat orang di belakang Ivan tidak terlihat berbuat apa-apa. Selain berdiri tegak dengan kepala yang ditundukkan. Mereka aneh. Terkadang mereka akan bergerak, sesekali berputar sebanyak dua kali di atas panggung begitu bacaanku sampai di kalimat tertentu.

    Aku penasaran dengan dua orang yang memiliki tinggi yang tidak terlalu berbeda denganku. Mungkin keduanya memiliki tinggi yang sepantaran. Siapakah mereka? Apa lagi-lagi mereka adalah orang desa yang kukenal? Jujur saja, malam ini sangat mengejutkan! Melebihi apa yang bisa kupikirkan.

    Aku kembali mengalihkan perhatianku pada kertas yang kugenggam. Kapan mulutku berhenti membacanya?! Rasa-rasanya aku sudah gila karena dipaksa mengeluarkan suara sampai-sampai bibirku mengering.

    Aku bahkan tak bisa mengusir nyamuk yang mengerubungi seluruh tubuhku. Semakin mendekati paragraf bawah yang itu berarti adalah selesai, intonasi suaraku akan bertambah naik. Aku membacanya dengan lantang, meskipun tak lagi memiliki banyak tenaga.

    Aku bahkan akan berteriak, suaranya begitu nyaring. Aku seperti mendeklarasikan sumpah ketika membaca teks tersebut.

    Oh, tuhan, kapan aku bisa pulang ke rumah? Ini terlalu membuat kepalaku sakit. Aku sudah tidak tahan lagi!

    Aku hanya bisa pasrah saat tanganku bergerak sendiri, seperti ... bagian tubuhku ingin menguasaiku. Lidahku pun bertindak seakan-akan dia akan melakukan segala sesuatu melalui bibirku. Ah, keanehan ini membuatku gila.

    Aku yang disibukkan dengan Ivan, tak menyadari jika orang-orang yang semula duduk dengan tenang sembari mendengarkanku, mulai menunjukkan keanehannya begitu aku akan mengakhiri paragraf terakhir dari kertas usang yang Nenekku suruh untuk membacanya.

    Awalnya mereka semua duduk tegak dan pandangan mereka hanya tertuju pada Ivan yang memasang senyum yang menawan di atas sana. Orang-orang ini tak bergerak, bahkan menggerakkan tangan pun tidak. Benar-benar sebuah pemandangan yang janggal dan mengerikan.

    Bagiku, duduk selama hampir 10 menit tanpa bergerak saja sudah cukup aneh. Dan lagi, setelah kuperhatikan baik-baik, sorot mata dari orang-orang yang duduk di batang pohon yang sudah ditebang itu semuanya terlihat hampa. Mereka tak sepenuhnya memandang Ivanoff, mereka hanya menatap kosong ke depan.

    Alunan musik harpa yang sebelumnya kudengar dari dalam hutan kini telah menghilang. Aku tak lagi mendengar alunan musiknya yang lembut. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama sampai aku kembali mendengar suara asing. Suara yang kudengar kali ini adalah koakan burung gagak yang hinggap di atas batang pohon.

    Aku bahkan merasa jika burung-burung itu sedang mengelilingi tempat kami berkumpul ini. Apa yang mereka tunggu? Akankah ada sesuatu yang mengerikan muncul?

    Ah, kenapa suasana ini menjadi semakin mengerikan, sih!? Aku yakin, burung-burung yang identik dengan kematian itu sekarang tengah mengawasi kami dari balik pepohonan.

    Koakk! Koak!

    Ah, mereka kembali bersuara sambil mengepakkan sayap. Kenapa mereka harus mengeluarkan suara seperti teriakan malaikat kematian?! Kenapa juga aku harus terjebak di tempat yang menakutkan ini?! Jika aku tahu akan menjadi seperti ini, maka aku tidak akan pernah mau mengikuti langkah Nenek tadi.

    Koak! Koak! Koak!

    Kenapa mereka malah berkicau sebanyak 3 kali, sih?! Mereka sedang memanggil apa kemari?! Setahuku, jika memanggil sesuatu sebanyak 3 kali, maka yang dipanggil itu akan tiba dalam wujud mengerikan!

    Aku benar-benar panik. Yang kulakukan selain berdoa dalam hati, maka aku akan menggerutu berulangkali.

    Suara burung gagak sering disebut sebagai penanda kematian, itu faktanya. Jika suara gagak terdengar di tempat yang biasa tidak pernah disinggahi oleh spesies burung itu, artinya akan ada orang yang meninggal dunia di sekitarnya.

    Inilah sebabnya aku begitu ketakutan. Aku belum siap mati! Aku masih ingin menikah dan mengelilingi dunia dengan kapal pesiar! Setidaknya, aku ingin melakukan sesuatu yang luar biasa, misalnya menyelamatkan dunia ini dari monster Godzilla, tapi rasanya itu mustahil. Pertama, aku tak yakin anak-anak sepertiku bisa membuat sebuah perubahan pada dunia ini setelah serangan monster mengerikan. Kedua, Godzilla itu tidak nyata.

    Berdasarkan pengamatanku, aku telah membaca isi dari lembaran kertas ini sekitar 1 jam. Itu berarti, aku telah berada di luar rumah selama 2 jam. Fajar belum juga tampak, sepertinya masih ada sisa 1 jam sebelum matahari terbit.

    Aku semakin "bersemangat" saat membaca isi dari kertas yang diperintahkan Ibu untuk kubaca itu. Bukan berarti aku membacanya atas kehendakku sendiri, tapi mulutku terus bergerak sendiri dan tak membiarkanku mengeluarkan pendapatku.

    Apakah aku harus mengigit lidahku agar aku bisa berhenti membaca tulisan ini sebagai jalan terakhir? Tidak, itu berbahaya. Bisa saja setelah lidahku lecet, aku akan terus membaca lebih banyak lagi. Bahkan jika itu akan menyakitiku.

    Argh! Aku tak tahan dengan ide gila ini!

    Tiap-tiap kali aku mencoba menggerakkan tubuhku, maka seolah-olah tubuhku menjadi berat seperti ditahan oleh sesuatu yang kuat. Bukan itu yang kumaksud. Pernahkah kau melihat magnet? Ketika kedua kutubnya sama, mereka akan saling bertolak-tolakan? Yah, kira-kira itulah yang aku alami saat ini.

    Walau telah berada di akhir paragraf dari kertas tersebut, aku masih tak bisa menebak apakah aku bisa berhenti di sini saja? Sebab mereka yang berhadir di sana mendadak berdiri dari tempat duduknya. Masih dengan posisi tegak dan tatapan mata yang kosong. Mereka lalu berlarian di sekitar tempat itu, sambil berteriak tak jelas. Mereka mencengkeram tangan bahkan memukul-mukul kepala.

    Mereka menggila dan bertindak di luar logika. Mereka dirasuki iblis! Aku tahu itu! Mustahil ada orang normal yang bersikap tak jelas secara tiba-tiba, terutama jika mereka adalah orang-orang dewasa yang sepantasnya menjaga sikap di depan mereka yang lebih muda darinya.

    Mereka mengucap sumpah serapah, memekik dengan suara yang melengking, juga tangisan mereka semua terdengar menggema di tengah hutan.

    Aku yang penakut ini berada di tengah-tengah keadaan yang ganjil itu, bahkan bisa kurasakan kedua lututku yang terus gemetar karena takut. Aku sangat takut dan ingin pulang. Tak ada yang kupikirkan lagi selain pulang dan bersembunyi di bawah selimutku yang tebal. Aku bersumpah akan melupakan apa yang kulihat hari ini, jika itu perlu.

    Mereka dari sekte ajaran sesat! Aku tahu itu! Bahkan semua anggota keluargaku yang pergi malam ini juga termasuk di dalamnya. Ibu guru di sekolah pernah berkata jika orang-orang desa selalu mempercayai segala hal yang berbau mistis dan makhluk supranatural.

    Aku tidak sanggup lagi berada di tempat ini. Benar-benar tidak sanggup!

    Kalimat ini mungkin sudah kulafalkan belasan kali! Atau lebih, tapi aku tak peduli lagi!

    Suasana tempat ini sudah sangat bising dan mereka benar-benar kacau. Semua sangat gaduh terutama setelah Ivanoff dan orang-orang di atas panggung bertingkah seolah mereka adalah domba. Yah, maksudku mereka menumpukan kaki di lutut dan tangan mereka, lalu mulai merangkak turun dari panggung dengan gerakan yang aneh. Sangat disturbing, mengingatkanku dengan makhluk halus yang sering Nenek ceritakan padaku. Uh, aku lelah, dan ingin pulang.

    Ivan tampak tak peduli saat jubah yang lebih besar dari tubuhnya itu menyapu tanah dan mulai menempelinya. Sayang sekali, padahal jubahnya bagus, tapi jadi kotor karena keanehannya.

    Aku mencoba melempar kembali kertas-kertas usang tersebut sejauh mungkin dariku, tapi tanganku yang seperti memiliki pikirannya sendiri langsung menahan keinginanku itu. Aku tak bisa membuang kertas-kertas ini! Gerakanku seketika terhenti ketika kertas itu akan kulemparkan ke sembarang tempat.

    Akhirnya aku menyerah membuangnya setelah melihat orang-orang di sana semakin menggila. Aku hanya bisa pasrah dan menerima kenyataan bahwa saat ini aku terjebak di hutan Lakebark bersama orang-orang yang kerasukan roh jahat. Ajaibnya adalah aku masih membaca kalimat-kalimat dalam tulisan itu dengan suara yang semakin naik. Kesannya seperti aku sedang berteriak lantang, dan ak peduli jika mereka yang hadir di tempat itu tak memperhatikan.

    Perlahan-lahan, semua orang bertingkah normal kembali. Mereka tak lagi merangkak atau bertingkah menggaruk tanah. Kini mereka duduk dan lagi-lagi tak bergerak bagaikan patung. Aku tak bisa melihat Elena dari tempat ini. Di manakah sahabatku berada? Dia pasti berada tak jauh dari orang tuanya.

    Ivanoff dan beberapa orang lain yang sebelumnya ada di atas panggung pun telah kembali dan berdiri tegak menghadap penonton. Mereka mulai normal seperti tak pernah melakukan sesuatu, padahal aku lebih tahu apa yang sedang terjadi kepada semua orang. Ivan mulai membuka mulutnya kembali dan tampaknya ia melafalkan sesuatu yang sepertinya berbeda denganku.

    Aku mulai menangis lagi, dan kuulang untuk yang kesekian belas kalinya, mulutku tetap tak mau mendengarkan tubuhku sama sekali.

    Ini mengerikan, aku mau pulang. Aku sudah terlalu lelah dengan apa yang kutemukan malam ini. Keanehan demi keanehan terus terjadi dan aku merasa harus meminum obatku sekali lagi.

    Aku bersyukur dalam hati, tampaknya halaman ini adalah yang terakhir. Aku sudah muak melihat tulisan yang bahkan tak bisa kuterjemahkan. Aku belum pernah mempelajarinya, dan lagi, ini adalah kali pertama aku melihat bahasa asing ini. Orang-orang yang telah kembali tenang mendadak berubah setelah aku membaca sampai ke baris terakhir pada lembar ketiga. Mereka semua yang sebelumnya sudah tampak gila kini semakin menggila, melebihi sebelumnya. Jauh lebih gila.

    Mereka meraung tak jelas dan berguling di tanah, tak peduli ketika penutup kepala mereka jatuh dan memperlihatkan wajah mereka semua. Jelas, aku mengetahui siapa mereka. Orang-orang yang kukenal bahkan di jalan aku sering berpapasan dengan orang-orang ini. Bahkan, aku melihat Mike, penjaga gerbang desa. Dia yang setiap bertugas selalu bersikap gagah dan pemberani, kini terlihat seperti seorang pecundang berotot yang menggigit kuku di jari tangannya.

    Aku melirik Nenek yang ternyata masih berdiri di sampingku. Berarti sejak tadi dia tetap setia tak beranjak sedikit pun dari tempatnya itu. Mataku langsung membola saat melihat Nenek mengeluarkan cairan kental berwarna merah, itu darah. Dan darah keluar dari bola mata serta hidungnya. Seperti seseorang yang sakit, tapi tak merintih; itulah Nenek. Aliran sungai darah di pipi Nenek itu tak terlalu banyak. Hanya dua tiga tetes saja, namun itu menunjukkan efek yang jauh lebih berbahaya.

    Karena Nenek tak mengamuk seperti yang lain, apakah nanti aku bisa menyelamatkan mereka semua dengan bantuan yang ia berikan.

    Tangisku tak bisa kuhentikan. Aku takut, aku takut, aku sangat ketakutan begitu melihat orang-orang sudah mulai bertingkah aneh. Mereka semua membuatku takut. Sama seperti ketika alunan harpa ataupun burung gagak yang sempat mengelilingi kami terdengar.

    Katakan aku penakut, tapi aku tak peduli! Ketika panik, aku akan mengulang-ulang apa yang sudah kukatakan sebelumnya. Walau hanya kata-kata, tapi aku ingin membuat diriku tenang dengan keadaan ini. Sialan! Aku bahkan mengeluarkan kata-kata kasar ini karena Ivan yang mencontohkannya kepada kami. Aku merasa itu keren, jadi aku menirunya. Tapi aku ingat, dulu Albert pernah ingin menampar Ivan karena anak itu berkata-kata kotor, tapi dia pikir sikapnya yang seperti itu tak akan menyelesaikan masalah karena Ivanoff itu sifatnya sangat kekanak-kanakan. Juga keras kepala.

    Ketika aku sekali lagi mencoba menutup mulutku dengan tenaga yang tersisa, isi dari kertas yang kubaca itu ternyata sudah habis (setelah sekian puluh menit lamanya) dan meninggalkan efek samping yang luar biasa saat dengan tidak sengajanya aku mengigit lidahku sendiri karena sebelumnya aku mencoba menutup mulutku rapat-rapat. Yang kuingat hanyalah suara gigiku yang saling berbenturan, sebab aku begitu syok dan senang, tapi lidahku jadi sakit.

    Sakit sekali, aku rasa lidahku berdarah.

    Ya, senang karena sepertinya semuanya sudah berakhir. Tak ada lagi yang perlu dibahas selain menunggu masalah ini diselesaikan dengan baik agar aku bisa melanjutkan mimpiku begitu pulang ke rumah.

    Aku berharap setelah ini, semuanya akan baik-baik saja.

    Tubuhku yang sedari tadi dipaksa berdiri pun langsung terduduk ke tanah, sakit karena tak berdaya, tapi aku heran karena tak juga jatuh pingsan. Padahal itu jauh lebih baik daripada merasakan suasana yang mengerikan seperti ini. Meski aku bisa menahan sakit di kepalaku selama beberapa saat, tapi makin lama semakin sakit rasanya. Aku bisa merasakan pandanganku mulai berkunang-kunang. Pusing sekali.

    Aku pun turun dari podium aneh itu secara perlahan, menyingkir dari tempatku berdiri sebelumnya dengan cara merangkak, tapi itu saja aku masih tetap kesulitan karena kakiku sudah tak memiliki tenaga lagi untuk berdiri.

    "Huu ... Ibu ...." Aku memanggil Ibu, berharap dia mendengar tangisanku. "Ayah ... huhu ... ayo pulang," rengekku sambil menahan ingus yang hendak keluar, aku tak bisa menyeka air mata karena masih menyeret tubuhku di tanah.

    "Aku mau pulang ... hiks, mau pulang ...."

    Aku mencari keberadaan orang tuaku di tengah kepanikan yang menderaku ini. Aku sangat takut, aku panik. Aku berusaha berani, tapi aku hanya seorang penakut yang bahkan sebelum tidur harus ditemani atau setidaknya aku memberikan sugesti kepada diri sendiri bahwa takkan ada yang akan membawaku ke alamnya.

    Aku masih menyeret tubuhku, masih berat rasanya, tapi aku bisa mulai merangkak. Kutolehkan wajah ke kiri dan ke kanan, mencari keberadaan teman dan juga anggota keluargaku, terutama Ayah dan Ibu.

    Aku merangkak perlahan mendatangi orang-orang, aku sangat mengenal mereka karena mereka satu desa denganku. Sembari menatap satu per satu wajah warga desa yang terlihat kesakitan, aku baru menyadari jika mereka yang menggila sebelumnya telah ambruk ke tanah. Kondisi mereka sangat memprihatinkan, bahkan bisa dibilang terlalu mengenaskan.

    Aku tidak bilang jika mereka terpanggang atau bagian tubuhnya terpotong-potong, tapi mereka terlihat ketakutan. Jelas terukir di wajah mereka. Keadaan mereka sama persis seperti Nenek yang pertama kali kutemukan, membuatku meringis dan menutup mata karena tak tahan melihatnya.

    Ada sungai kecil yang mengalir keluar dari mata para penduduk Birdben, mereka menangis darah, semuanya, kecuali aku. Aku tahu mengapa bisa demikian, itu karena mereka menahan sesuatu yang sangat menyakitkan. Kenapa kami harus mengalami semua hal mengerikan ini? Apa ini cara Tuhan membalas doa hamba-Nya? Ah, sepertinya Tuhan telah murka, ini pasti karena mereka bagian dari sekte sesat.

    Dan, oh ... sial. Aku malah menjadi salah satunya.

    Tak sanggup menahan sakit di kepala, aku pun jatuh tersungkur ke tanah dan tak mengingat apa-apa lagi selain lelah yang kurasakan di kedua kaki. Ah, aku ingin pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status