Share

07. Melarikan Diri Dari Neraka

    "Elena!" Aku berteriak di tengah hutan mencari keberadaan sahabat karibku. Mustahil aku bisa mengabaikan gadis kecil itu, dia jauh lebih penakut dan aku akan menemaninya bersama ketakutannya itu!

    "Elen!"

    "Elen! Di mana kau?!" 

    Aku yang telah selesai memeriksa keadaan Deinn, Albert dan juga Ivan dengan segera menuruni panggung dan kemudian memanggil-manggil sahabat perempuanku. Aku tahu, seharusnya sejak awal aku cari dulu Elena baru kemudian beranjak mendatangi ketiga sahabatku yang lain.

    Sampai saat itu aku belum juga melihat Elena. Aneh, padahal tadi dia sedang bersandar pada pohon dan aku sendirilah yang sudah memindahkannya ke sana, tapi saat aku kembali Elena sudah tidak ada di sana.

    Aku pun memutari area itu dan tanpa sadar telah menginjak sesuatu. 

    "Elen!" pekikku tanpa sadar. Ternyata yang tak sengaja kuinjak itu adalah tangan seorang gadis kecil yang kucari-cari sejak tadi. "Kenapa kau bisa ada di bawah sini, Elen? Seharusnya kau duduk saja di sana!"

    Aku seperti orang bodoh yang mengajak bicara orang pingsan, buru-buru aku mengangkat tubuh Elena yang tidak terlalu berat, lalu membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di beberapa bagian tubuhnya, seperti di tangan, siku dan juga lutut. Aku bersyukur karena dia tidak berbaring di tanah berlumpur seperti aku sebelumnya. 

    Meski sudah mengamankan Elena, aku masih saja keheranan. Yang membuatku bingung adalah mengapa Elena bisa berpindah tempat ke sini? Ini bahkan berada sedikit jauh dari pohon tempat di mana aku menyandarkan sang gadis.

    "Maaf telah menginjakmu, aku tadi tidak melihatmu di sini," ucapku merasa bersalah. Aku lalu memapahnya dan kembali mendudukkannya di bawah pohon. Sejenak kutatapi wajah lelahnya sembari mengguncang-guncang pundaknya, berusaha membangunkan sang gadis.

    Tidak seperti orang-orang dewasa yang menangis darah, Elena sama sekali tidak mengeluarkan air mata darah. Namun, aku sangat yakin dia juga merasakan ketakutan dan kengerian yang sama. Aku hanya tak habis pikir dengan mereka yang melibatkan anak-anak kecil seperti kami dalam permainan kepercayaan ini. Mengapa harus melibatkan kami dalam ritual gila ini?

    "Elena, bangunlah!" Aku berteriak pelan, berusaha membangunkan sahabatku yang pingsan. Wajahnya ketika tidur terlihat damai, seolah tak pernah memiliki beban. Namun, aku tidak mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Kami berdua harus pulang ke desa! Tak peduli apa yang akan kami lalui, kami akan tetap bersama.

    "Ughh." Lenguhan pelan terdengar mengalun keluar dari mulut gadis mungil berambut pirang yang sedari tadi tak sadarkan diri. Aku menatapnya dengan tatapan haru, syukurlah dia baik-baik saja! Elena mencoba bangun secara perlahan, aku lantas membantunya yang sepertinya kesulitan itu dengan hati-hati. Bagaimanapun, Elena baru saja sadar dari pingsannya.

    Elena begitu terkejut saat ada seseorang yang berdiri di sampingnya. "Aaron?" panggilnya lembut, aku selalu suka dengan keindahan suara yang ia milki itu. Lalu Elena kembali mengajukan pertanyaan, "Sedang apa kau di sini?"

    "Di mana yang lain? A-ada di mana kita sekarang?"

    Aku hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaannya. Sudah kuduga, Elena pasti tak tahu tentang ritual di hutan Lakebark ini. Yah, itu berarti dia sama sepertiku yang dipaksa masuk ke dalam hutan, meskipun hanya mengenakan baju tidur sederhana.

    Bukannya aku tidak senang melihat Elena sudah bangun, hanya saja aku benar-benar terharu dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika melihat wajah manisnya. Elena benar-benar polos! Tak sia-sia aku menunggunya sadar selama beberapa belas menit sambil mengenyahkan banyak nyamuk yang menggigiti leherku juga nyamuk yang berusaha menggigit gadis itu.

    Pergilah kalian nyamuk-nyamuk yang jelek! KALIAN TIDAK BOLEH MENGANGGUKU DAN ELENA. Elena begitu berharga, dan aku tak akan membiarkan kalian menggigit sahabatku walau demi setetes darah.

    Saat melihat sorot mata Elena yang berbinar cerah ketika ia menatap dalam kedua bola mataku, rasanya seperti bertatapan dengan seekor kucing. Kau tahu? Terlihat manis sekali, rasanya aku ingin membawanya ke dalam dekapan lalu memeluknya erat-erat.

    Dengan tangan gemetaran, Elena menggenggam tanganku. Aku sangat ingin mengabadikan momen ini. Ah, aku jadi ingat dengan sebuah legenda. Pernahkah kau mendengar tentang burung Phoenix?

    Phoenix adalah burung mitolgi, sesuatu yang sangat tidak aku senangi di dunia ini. Burung ini melambangkan kehidupan yang kekal dan abadi. Setiap seribu tahun sekali, mereka akan merasakan bahwa hidupnya akan segera berakhir.

    Lalu, mereka membangun tumpukan kayu dan membiarkan dirinya terbakar api. Setelah burung phoenix tua menjadi abu, phoenix muda akan muncul dari sisa-sisa abu itu untuk memulai kehidupan baru di bumi. Ya, mereka terlahir kembali!

    Aku sering bertanya-tanya kepada Nenek yang menceritakan legenda dari makhluk mitologi ini, sebenarnya seperti apa wujud phoenix? Dan Nenek yang tak pernah pikun itupun menjelaskan bahwa burung ini memiliki warna yang cerah, badannya mirip dengan elang, serta tinggal di surga. Seribu tahun berlalu, Phoenix pun merasa bosan dengan keabadiannya dan meninggalkan surga untuk menuju ke dunia fana, seperti yang diungkapkan oleh Curious Historian--Aku tidak tahu siapa mereka, tapi sepertinya mereka adalah orang-orang yang memiliki banyak arsip seputar segala hal di dunia.

    "Aaron, aku takut," ucap Elena dengan mata berkaca-kaca. Oh tuhan, dia menggemaskan sekali!

    "Oh, Elena!" seruku refleks. Dengan cepat aku langsung menarik tangannya dan membawa gadis itu ke dalam pelukan. Aku tidak bisa memeluknya erat-erat karena sepertinya itu akan membuat tubuh kecilnya merasa sesak.

    "A-Aaron!" Elena terkejut saat aku mengurungnya dalam pelukan hangat, tubuhnya bahkan tersentak kaget saat aku memeluknya tiba-tiba. Dapat kuperkirakan bahwa wajahnya kini sudah memerah seperti kepiting rebus. Hehehe, tapi sepertinya Elena kedinginan, sebab tangannya gemetaran tadi.

    "Ki-kita ada di mana?" Elena bertanya seperti orang kebingungan begitu pelukan kami terlepas. Dia memiliki kebiasaan jika merasa takut atau dilanda kecemasan, maka dia akan berbicara dengan terbata-bata. Manis sekali.

    "Si-siapa mereka?" tanyanya lagi seraya menunjuk beberapa orang yang terkulai pingsan di tanah. Aku kembali teringat dengan apa yang kupikirkan tentang Elena yang sama sekali tak mengetahui apa-apa tentang ritual ini. Dia persis seperti aku saat pertama kali diseret masuk ke dalam hutan ini oleh keluargaku.

    Beruntung tidak ada naga di hutan Lakebark. Aku tak bisa membayangkan jika melihat naga di hutan seperti ini. Naga adalah hewan yang kuat.

    Setidaknya, mitologi terkait naga ini telah berusia lebih dari 4.000 tahun. Naga digambarkan sebagai reptil terbang besar yang menyemburkan api dari lubang hidung atau mulutnya. Salah satu mitologi naga yang paling terkenal berasal dari Tiongkok. Memang, naga jenis ini asalnya jauh sekali.

    Dilansir dari sebuah artikel internet—Draconika—yang disimpan oleh guruku, di Tiongkok san, naga adalah simbol kebijaksanaan, kekuatan, dan juga keberuntungan. Naga sangat dihormati di negeri tirai bambu ini. Bahkan, kuil dan tempat pemujaan di sana saja dibangun sebagai bentuk penghormatan terhadap naga.

    Sangat mengagumkan, mereka percaya dengan naga saja itu sudah sangat bagus. Mereka lebih baik daripadaku yang tak bisa mempercayainya.

    Ini berbanding terbalik dengan citra naga di Eropa. Naga kerap digambarkan sebagai hewan yang serakah, menyeramkan, dan juga suka melahap manusia. Dalam mitologi Eropa, bahkan naga hanya bisa dikalahkan oleh sosok ksatria, bangsawan, atau pahlawan. Yah, terdengar begitu heroik jika saja tak mengingat bahwa cerita semacam itu hanya akan terjadi di otak mereka yang menginginkannya. Tentu saja aku tidak menginginkan hal itu.

    ***

    Elena terlihat seperti sedang menyimpan banyak beban pikiran, ini baru kusadari saat kesadaran gadis di depanku ini belum sepenuhnya kembali padanya, ia terlihat tidak dalam kondisi yang prima. Apakah sahabatku baik-baik saja?

    "Elena, ada apa?" Aku memberanikan diri bertanya padanya. Gadis kecil itu menatapku dengan ekspresi polos.

    "Apa orang-orang ini ... akan baik-baik saja?"

    Aku tahu jika Elena adalah gadis yang tidak tega melihat penderitaan orang lain, oleh sebab itu pulalah dia bisa lemah sesekali. Jika ingin menjadi kuat, rasa tega yang ada di hati kita haruslah ditinggalkan.

    "Jangan mengkhawatirkan mereka, Elen. Setelah ini, kita akan pulang ke desa dengan selamat. Hanya kita berdua," jawabku seraya menepuk pundaknya, berusaha menenangkan Elena yang dilanda kecemasan, namun meskipun aku telah memberikan semangat seperti tadi kepada Elena, entah mengapa sifat penakutku mendorongku untuk menjadi seorang pesimis di saat-saat panik seperti ini.

    Tidak! Sekarang bukan saatnya menjadi pecundang!

    Aku tidak boleh takut, seharusnya aku memikirkan bagaimana dan dengan cara apa kami bisa kembali ke desa. Bukannya malah duduk diam sembari memikirkan hal-hal yang tidak terlalu penting. Laki-laki sejati itu harus bisa diandalkan oleh gadis yang ia sukai. Jika tidak, sebaiknya suruh pergi ke laut saja.

    Ah, andai saja di tempat ini ada Unicorn atau hewan serupa kuda lainnya, maka aku dan Elena bisa pulang lebih cepat daripada berjalan atau berlari menggunakan kedua kaki kami yang pendek dan kecil.

    Jika naik Unicorn mungkin kami berdua akan lebih cepat sampai di desa, tak ada yang tidak tahu apa itu unicorn, apalagi jika mengingat hewan ini begitu cepat larinya atau ketika bersembunyi dari sesuatu. Hewan mitologi yang satu ini digambarkan sebagai kuda putih dengan tanduk panjang yang tumbuh di tengah dahi. Tanduknya panjang dan lurus, juga berbentuk spiral dan memantulkan cahaya, itulah yang dikatakan oleh Animal Planet.

    Jika diterangkan dengan cara seperti ini, maka aku tidak akan keberatan. Toh, aku memang seorang yang penakut tapi aku juga suka dengan makhluk unik yang tidak membahayakan nyawa.

    Konon, unicorn ini hanya bisa ditangkap oleh bidadari cantik di hutan. Masalahnya adalah, aku bukan bidadari dan aku tidak cantik. Mungkin Elena bisa, tapi dia terlalu cantik untuk menjadi penangkap unicorn; itupun jika makhluk ini benaran nyata. Unicorn cocok jika disimbolkan sebagai kemurnian, kebaikan, dan juga kebebasan.

    Literatur paling awal tentang unicorn ditulis pada abad ke-398 Sebelum Masehi (SM). Berasal dari teks Indica yang ditulis oleh Ctesias (tabib asal Yunani), unicorn dideskripsikan sebagai kuda dengan satu tanduk di dahi. Tentu saja aku ingat penjelasan tentang makhluk ini karena aku pernah membacanya di sebuah buku. Aku sangat suka membaca dan jenis novel kesukaanku tentu saja adalah kisah serial misteri seperti Sherlock Holmes, atau buku-buku yang ditulis oleh Sandra Brown atau penulis fantasi dan misteri lain yang telah lolos tahap seleksi untuk menjadi penulis favoritku.

    Aku berharap bisa menjadi salah satu tokoh di cerita mereka, tapi aku tidak ingin berakhir menjadi tokoh yang menyedihkan atau tokoh sampingan yang memilih jalan kematian. Aku tidak menyukai alur cerita seperti itu. Akan lebih baik jika berakhir bahagia dan semuanya diceritakan dengan lengkap tanpa membuat pembaca kecewa.

    Astaga, berbicara tentang kesukaan membuatku lupa dengan apa yang seharusnya kulakukan di sini! Aku harus pulang bersama sahabatku, dan meninggalkan semua orang yang terkapar pingsan di tempat ini. Sesaat, aku bahkan sampai lupa dengan kehadiran Ivanoff di ritual aneh yang tiba-tiba saja anak itu berlagak seperti ketua pelaksana dari kegiatan di tengah hutan ini.

    "Aaron, aku tadi melihat Ivan." Tiba-tiba Elena berbicara dan ucapannya itu membuyarkan lamunan yang telah muncul sejak beberapa menit yang lalu.

    "Ya, aku tahu itu, Len." Aku kembali melanjutkan pembahasan di otakku setelah meminta gadis ini untuk diam. Semua sifat Ivan telah kuketahui dengan baik, tetapi aku tetap tak mengira jika Ivano akan masuk ke perkumpulan orang aneh. Yah, dia memang aneh sejak pertama kali kumengenalnya.

    Aku ingat dulu dia ingin sekali menikah dengan putri duyung. Kau tahu? Sosok dengan tubuh bagian atas seorang perempuan cantik, sedangkan tubuh bagian bawahnya adalah ekor ikan. Benar-benar selera yang aneh! Aku tahu putri duyung itu cantik, tapi mereka aslinya sangat mengerikan! Putri duyung ini muncul pertama kali di kisah Babilonia kuno. Era (dewa ikan) digambarkan sebagai setengah manusia dan setengah ikan. Dalam cerita lain, putri duyung dideskripsikan sebagai makhluk dengan sisik menutupi seluruh tubuh, mempunyai insang, memiliki mulut seperti ikan, dan ekor seperti lumba-lumba.

    Yah, penampilan mereka berbeda-beda, tentu saja.

    Banyak yang mengaitkan putri duyung ini dengan siren. Padahal, keduanya adalah makhluk yang berbeda. Siren dikenal berkat suara nyanyian yang sangat indah dan membuat pelaut terbius untuk mendengarkan suara nyanyiannya. Alhasil, kapal menjadi tidak terkendali, lalu menabrak bebatuan di sekitarnya dan menewaskan mereka semua.

    Malang sekali pria-pria kesepian itu! Bersyukur aku tak memiliki anggota keluarga yang pergi melaut. Semoga tuhan melindungi!

    Putri duyung memiliki versi berbeda-beda di berbagai negara. Hm, misalnya, putri duyung dalam cerita rakyat Tiongkok, mereka digambarkan sebagai makhluk yang mampu mengubah tetesan air mata menjadi mutiara. Jika itu benar, aku ingin meminta mereka menangis sangat lama agar mutiara yang dihasilkan pun sangat banyak. Setelah itu, mutiaranya akan kujual dan aku bisa cepat kaya.

    Mana mungkin aku takut dengan sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Haha!

    ***

    "Aaron, kenapa kau bisa ada di sini?

    Aku mendengkus sebal saat mendengar pertanyaan polosnya. "Seharusnya aku yang menanyakan hal itu, Elen," jawabku sambil menatap gadis bermata amber dengan tajam. "Kau dan aku berada di ritual gila yang berlangsung di bawah sinar rembulan yang menerangi malam pergantian awal bulan baru."

    "Ja-jadi ... tak ada Pegasus di sini?"

    Aku kebingungan dengan pertanyaan itu. "Tentu saja! Mana mungkin hewan mitologi itu ada di sini!" ucapku menjelaskan.

    "Ta-tapi, Aaron ... Nenek bilang di sini ada Pegasus ...."

    "Elena, percayakah kau jika Pegasus itu adalah putra dari Poseidon sang dewa laut dan Medusa? Pegasus digambarkan sebagai kuda bersayap yang indah dengan warna putih di sekujur tubuhnya, terkadang putih dengan sayap emas, atau berwarna emas secara keseluruhan."

    "Ya, a-aku tahu. Tapi kenapa kau tiba-tiba menjelaskannya padaku?"

    Aku menggedikkan bahu dan menjawab, "Aku hanya ingin memberimu pengetahuan yang aku tahu saja."

    Aku kembali memberi penjelasan untuknya. "Konon, Pegasus ini lahir dari tetesan darah Medusa setelah kematiannya. Ada pula yang mengatakan bahwa Pegasus itu melompat keluar dari leher Medusa saat Perseus memenggal kepalanya."

    "Pegasus itu digambarkan sebagai makhluk liar dan tidak mengizinkan siapa pun menungganginya. Tapi, Bellerophon tak kehabisan akal. Ia menggunakan tali kekang emas dari Dewi Athena untuk menjinakkannya."

    Aku berdeham setelah menyelesaikan dongengku. Untuk mengurangi ketakutan, sebaiknya aku membagi kisah yang pernah kudengar kepada Elena.

    Niat awalnya untuk sekadar membuat gadis itu segan padaku, justru menjadi bumerang tatkala ia menatapku dengan tatapan yang sarat dengan ketakutan. Aku menghela napas panjang. Ekspresi Elena saat ketakutan adalah kelemahanku yang lain. Sungguh, aku tak bisa melihatnya seperti ini.

    "Maaf, sebenarnya aku mengikuti keluargaku masuk ke hutan."

    Elena terlihat seperti mengerti apa yang kurasakan begitu memasuki hutan Lakebark. Aku menceritakan secara singkat perjalanan keluargaku hingga masuk sejauh ini ke dalam hutan. Aku lantas berdiri dan membantu gadis itu dengan mengulurkan tangan, Elena melangkah pelan dan kami berdua akan menuju jalan pulang. Aku memapah Elena dengan hati-hati, sembari melirik sekitar, mencari seseorang yang bisa dimintai pertolongan.

    Orang-orang berpenampilan serba hitam—termasuk keluargaku masih terbaring tak sadarkan diri di lantai alam yang khas dengan aroma tanahnya yang penuh dengan dedaunan kering yang telah jatuh karena sapuan angin.

    Orang-orang itu tak ada yang bergerak sama sekali.

    Namun, aku melihat sesuatu yang bergerak di dekat akar pohon yang memiliki rongga—cukup besar untuk menjadi tempat tinggal hewan-hewan kecil seperti tupai atau kelinci. Makhluk itu meliuk-liuk dengan tubuh rampingnya, melata di tanah menggunakan perutnya dan badannya pun panjang. Itu ular, makhluk yang sangat mengerikan. Aku berharap itu bukanlah ular jelmaan yang pernah aku lihat di film fantasi.

    Jika tidak salah ingat, nama makhluk itu adalah Hydra. Ia adalah sejenis ular berkepala banyak dengan darah dan napas yang sangat beracun yang bisa membunuh manusia. Membunuh Hydra itu dikatakan sangat sulit. Ketika satu kepala dipotong, maka dua kepala akan tumbuh kembali. Uh, bisa kau bayangkan?

    Kisah tentang Hydra yang paling terkenal adalah saat bertarung dengan Hercules. Akhirnya aku ingat film yang aku tonton! Monster itu dijuluki sebagai Hydra of Lerna dan tinggal di rawa-rawa di wilayah Lernaean Yunani.

    Hercules menemukan strategi jitu untuk melawan Hydra, yakni memenggal kepalanya, lalu membakar pangkalnya dengan cepat agar tidak bisa beregenerasi. Hercules terus melakukan ini sampai tidak ada kepala yang tersisa. Pahlawanku benar-benar hebat!

    Aku akan berlatih dan membuat otot agar bisa kuat seperti Hercules. Untuk sekarang, aku akan menikmati semua makanan enak banyak-banyak.

    Aku menggubris pemikiran itu dan memilih pergi bersama Elena. Kami berdua akan pulang ke desa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status