“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.
Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.
“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.
“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”
Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.
Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan sekarang, masih bisakah aku percaya padanya? Meskipun kabar dari Mas Alfi belum tentu benar, tapi untuk apa juga ia berbohong dan mengarang cerita?
“Nai, lo gak apa-apa?” tanya Widya hati-hati. Ia meletakkan ponsel di pangkuan.
Aku memegang dada, merasakan debaran jantung yang meningkat.
“Gue ga tau lagi, Wid. Rasanya nyesek banget denger kabar kayak gini. Gue belum siap kalau harus nerima kenyataan. Apa iya Mas Andra selingkuh, Wid? Ga banget, kan!” balasku dengan suara bergetar.
“Waktu itu Mas Alfi sempet cerita kalo ketemu Mas Andra. Cuma gue lupa mau menghubungi lo. Gue pikir dia sama lo, Nai!” imbuh Widya. Dia terlihat sungguh menyesal, padahal itu bukan salahnya.
Apa yang harus aku lakukan kalau Mas Andra benar-benar sudah berpaling? Ia tak menunjukkan gelagat aneh sama sekali di hadapanku. Ia masih bersikap seperti biasa, tak ada yang berubah. Hanya penyakitnya yang menjijikkan itu saja yang menunjukkan kalau sesuatu sudah terjadi. Namun, untuk mendapatkan pengakuan secara sukarela dari Mas Andra sepertinya mustahil. Ia selalu tutup mulut dan mengelak. Sungguh pintar dan licik.
“Gue harus apa, Wid?” tanyaku, nanar menatap Widya. Rasanya air mataku ingin keluar saat ini juga.
“Feeling lo sendiri gimana, Nai? Kira-kira ada yang salah atau beda ga sama tingkah Mas Andra sekarang?” Widya balik bertanya.
Aku berpikir sejenak. Betul, semuanya harus kembali pada diriku sendiri. Apa yang aku rasakan dan lihat. Toh, hanya aku yang tahu betul bagaimana Mas Andra. Otakku memutar ulang dan mencari-cari sesuatu yang sekiranya bisa dijadikan petunjuk.
“Gue belum yakin, Wid. Tapi kayaknya emang ada yang salah dan berbeda.”
Widya mengangguk. “Berarti lo harus cari bukti, Nai. Jangan sampai menuduh tanpa landasan, nanti bisa jadi bumerang. Kalau lo punya bukti valid, dia ga akan bisa mengelak. Kalau ada yang bisa gue bantu, lo tinggal ngomong aja,” ujar Widya panjang lebar.
“Lo betul, Wid. Gue bakal cari buktinya. Insya Allah gue bisa. Makasih udah support gue,” tandasku meyakinkan diri sendiri.
“Gue yakin, lo pasti bisa. Pokoknya jangan gegabah, Nai. Jangan terbawa emosi. Cuma itu pesan gue.”
Setelah Fadil bangun, akhirnya aku memutuskan untuk pamit pulang. Lagi pula, hari sudah semakin siang. Tak enak rasanya kalau terlalu lama mengganggu Widya. Dia pasti butuh istirahat setelah menemani Sahara begadang semalaman.
*
Selama perjalanan pulang, otakku berpikir keras. Bagaimana caranya mencari bukti kalau Mas Andra sudah melakukan kesalahan? Dia terlalu sempurna menutupi segalanya. Masih terngiang di telingaku ucapan Mas Alfi tadi. Dua bulan yang lalu Mas Andra pernah terlihat di bandara. Ke mana ia pergi dan dengan siapa? Berkali-kali aku mendesah. Rasanya berat sekali harus memikirkan semuanya sendiri.
Celoteh Fadil terdengar, mengalihkan pikiranku yang seperti benang kusut. Bocah lelaki berumur 4 tahun itu bernyanyi riang dan sekali-kali mencoba mengeja tulisan yang ia lihat di sepanjang jalan. Anakku yang mulai tumbuh besar dan pintar, jangan sampai tahu tentang kegundahan hati bundanya.
Rasanya sedikit enggan untuk pulang ke rumah. Jika melihat wajah Mas Andra, emosiku jadi bercampur aduk. Antara sedih, marah, kesal, dan tanda tanya yang besar. Namun, cuaca yang mulai mendung dan hari yang semakin sore membuatku terpaksa pulang.
Terlihat sebuah mobil terparkir di depan rumah kami. Entah siapa yang bertamu. Saat turun, terlihat Mas Andra sedang berbincang dengan Pak Herman. Rupanya sang bos proyek datang berkunjung. Aku hanya mengangguk sopan dan bertegur sapa ala kadarnya dengan Pak Herman. Sementara Fadil, bersalaman dengan pria paruh baya itu.
“Nai, tolong buatkan minum untuk Pak Herman, ya,” pinta Mas Andra saat aku akan masuk rumah.
“Iya, Mas. Pak Herman mau minum apa? Teh atau kopi, Pak?” tawarku, menampilkan senyuman.
“Apa saja, Dik Naira. Saya tidak pilih-pilih,” jawabnya kemudian.
Tak menunggu lama aku berlalu, sambil bertanya-tanya dalam hati di mana keberadaan Mama? Mengapa tidak menyuguhkan minuman untuk tamu? Kalau tadi aku tidak pulang, apa mereka tidak akan menyuguhkan apapun untuk Pak Herman?
Kudapati Mama sedang bersantai di depan TV. Saat melihatku, wajahnya terlihat masam. Aku yang sedang tak enak hati, langsung saja ke dapur menyiapkan minuman. Dua gelas teh manis dan setoples biskuit aku suguhkan untuk Pak Herman dan Mas Andra.
“Ke mana aja kamu, Nai? Enak banget ya, jalan-jalan. Gak mikirin yang di rumah!” cetus Mama saat aku lewat akan ke kamar.
“Lho, tadi ‘kan Naira udah izin, Ma? Lagian ga jalan ke mana-mana juga, kok. Cuma jenguk temen yang baru melahirkan,” balasku dengan dahi berkerut.
Mama melengos, menunjukkan wajah tak percaya. Mulutnya komat-kamit, tapi tak ada ucapan yang keluar. Sudah pasti ia diam-diam mengomel.
“Ya udah, Naira mau mandi dulu, Ma,” pamitku, tak mau memperpanjang masalah.
*
Di dalam kamar aku tak langsung mengambil handuk, melainkan duduk di pinggir ranjang untuk berpikir sejenak. Kutatap sekeliling kamar, mencari-cari inspirasi. Seingatku, koper pakaian Mas Andra sudah dibongkar begitu ia sampai seminggu yang lalu. Tak ada yang aneh dengan isinya. Hanya pakaian dan beberapa oleh-oleh kecil. Begitu juga dengan bawaan lainnya.
Merasa buntu, aku berbaring sejenak dan memejamkan mata. Rasanya seperti ada yang kurang. Sesuatu yang selalu Mas Andra bawa ke mana-mana, tapi tak tampak wujudnya sampai sekarang. Tas kecil, tas hitam berbentuk persegi panjang tempat ia biasa menaruh dokumen-dokumen, tablet, dan benda-benda penting lainnya. Di mana ia menaruhnya?
Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beb
Mata Mas Andra mengerjap cepat. Ia menjilat bibir bawahnya dengan gugup. Ayolah, Mas, jawablah cepat. Jangan biarkan aku semakin curiga. Aku sudah sekuat tenaga menahan semua pertanyaan yang ingin keluar tanpa jeda.“Li-libur? Ng-nggak pernah, Nai! Mas selalu stand-by di lokasi proyek, kok. Kan, memang gak dapat jatah libur?” jelasnya, mencoba memasang tampang meyakinkan.“Oh, gitu. Kalau misal aku tanya Pak Herman gimana, Mas? Cuma untuk memastikan aja. Masa gak pernah dapat jatah libur,” lanjutku dengan tenang.Wajah Mas Andra berubah menjadi pias. Ia langsung berdiri dari duduknya.“Maksud kamu apa sih, Nai? Kok sampai melibatkan Pak Herman segala? Mas gak suka ya, kamu ikut campur masalah pekerjaan!” omelnya dengan wajah muram, suaranya meninggi.“Aku bukan ikut campur masalah pekerjaan, Mas! Hanya ingin memastikan hal itu saja. Gak kurang, gak lebih!” Aku tak mau kalah.“Kenapa? Kenapa emangnya? Kalau libur, Mas sudah pasti pulang, Nai!” Mas Andra berkata dengan ekspresi kesal. T
(Dua Bulan yang Lalu)Aku memandangi ponsel dengan perasaan tak menentu. Setelah semalam bertukar kabar dengan Mas Andra, sekarang ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi. Padahal biasanya, Mas Andra tak pernah lupa menyapa lewat pesan WA saat ia bangun tidur. Tak jarang pula ia mengirimkan voice note, bahkan saat istirahat makan siang ia akan mengabari lagi.Memang salahku yang tidak terpikir untuk meminta nomor salah satu teman kerjanya di sana. Ah, benar-benar cemas rasanya. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Mas Andra? Sehari semalam aku harus menanggung rasa gundah itu. Untunglah, saat aku terbangun subuh, beberapa pesan dari Mas Andra masuk. Katanya listrik di lokasi proyek tempat mess-nya berada sedang mengalami gangguan. Hal itulah yang menyebabkan ponselnya kehabisan daya.Perasaanku menjadi tenang lagi. amat bersukur karena keadaan Mas Andra baik-baik saja. Tak ada pikiran buruk kalau dia akan berani bermain api ataupun macam-macam. Sedikit pun tak pernah terlintas di dalam ke
Kembali aku periksa dengan teliti. Setiap folder yang berisi beragam aplikasi, aku buka satu per satu. Ternyata memang, Mas Andra memiliki nomor WA lain khusus di tabletnya.Di antara percakapan yang berkaitan dengan pekerjaan, tentu saja chat dari banyak perempuan ada di sana. Salah satunya yang paling mencuri perhatian adalah dari Chelly. Beberapa bukti transfer uang antar bank pun tertera dengan jelas. Jantungku bagaikan di remas kuat melihat setiap nominal yang dikirimkan Mas Andra untuk perempuan itu.Setiap bulan Mas Andra mengirimkan 4 sampai 5 juta ke rekeningku dan entah berapa juta ke rekening Mama. Itu pun, terkadang Mama masih merongrong dan mengaturku agar tidak boros. Berbagai macam petuah harus aku patuhi. Jika tidak, maka omelan pedas dari mulutnya akan meluncur bebas. Namun, untuk perempuan itu Mas Andra dengan entengnya mengirimkan 2 sampai 5 juta hanya untuk kenikmatan sesaat yang terlaknat. Belum lagi membayar perempuan-perempuan lainnya. Apa yang akan dikatakan Ma
Jadi itu yang membuat Mama marah? Ah, andai Mama tahu apa alasannya aku begitu. Namun, belum saatnya untuk memberitahu Mama sekarang. biarlah nanti akan aku ungkap di saat yang tepat saja. Saat ini Mama hanya termakan dengan asumsinya sendiri.Orang tua di mana pun pasti akan membela anaknya. Aku sangat paham akan hal itu. Apalagi Mas Andra adalah anak tunggal Mama. Pastilah ia akan dibela sedemikian rupa, tanpa tahu masalah yang sebenarnya. Harus bagaimana aku menjawab Mama sekarang? Aku mengusap pelan pelipis yang sedikit berkedut. Kepalaku agak pusing, mungkin karena pengaruh menangis tadi.“Maaf, Ma. Naira gak ada maksud seperti itu. Naira masih melayani dan merawat Mas Andra dengan sebaiknya, kok,” jawabku pelan, menekan emosi yang membuncah.“Merawat dan melayani sebaiknya, katamu? Cih! Kamu pikir Mama percaya? Mama lihat sendiri bagaimana kamu acuh tak acuh sama Andra. Apalagi semenjak kalian pulang dari rumah sakit! Jangan-jangan tahu suami sakit, kamu mulai mau membangkang!”
Entah sudah berapa jam aku tertidur di kamar Fadil. Sampai jam 11 tadi, Mas Andra belum juga pulang. Saat makan malam, Mama terus-terusan menunjukkan wajah sinis ke arahku. Kalau bukan menyabarkan diri, mungkin aku tak perlu masak untuknya. Namun, aku masih menahan diri untuk tidak memancing keributan karena ada Fadil yang melihat.Telingaku menangkap suara samar dari luar, entah dari mana asalnya. Perlahan aku bangkit, lalu keluar dari kamar. Suara itu makin jelas terdengar. Kukira berasal dari kamarku dan Mas Andra. Siapa di dalam sana? Apa Mas Andra sudah pulang? Atau Mama? Kulirik sekilas jam yang menunjukkan pukul 4 pagi.Sedikit berjingkat aku mendekati ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Terlihat Mas Andra berjalan mondar-mandir di dalam sana. Sesekali ia mengacak rambut, dan berdecak kesal. Kapan ia pulang? Mungkinkah Mama yang membukakan pintu?Terlihat Mas Andra membuka pintu lemari pakaian. Tangannya dengan cekatan mengangkat tumpukan-tumpukan baju. Laci-laci pun diperik
“Jangan main-main, Naira! Kembalikan tas itu, sekarang juga!” bentak Mas Andra tepat di depan wajahku.“Begitu caramu meminta baik-baik, Mas? Begitu? Kamu pikir aku akan sudi mengembalikan benda itu? Jangan harap!” Aku mendorong dadanya kuat.Badan Mas Andra hampir terjengkang. Ada kilatan aneh di matanya yang berubah menjadi beku. Aku merasa sangat ketakutan dan terancam sekarang. Ya Tuhan, tolong aku!“Sejak kapan kamu berubah menjadi melawan, Naira? Kualat kamu! Cepat kembalikan tasnya! Kalau tidak—“ Ucapan Mas Andra terpotong.“Kalau tidak, apa, Mas?” tantangku.“Jangan sampai aku harus berbuat kasar, Naira!” Dadanya kembang kempis. Bukan, ini bukanlah sosok Mas Andra yang aku kenal.Mas Andra yang dulu dengan romantis melamarku di pinggir pantai dan selalu bertutur kata baik, tidak pernah mengancam seperti itu. Siapa kamu? Siapa? Badanku mulai gemetar.“Tak akan pernah aku kembalikan! Barang-barang dalam tas itu akan menjadi bukti kuat dari kebusukanmu selama ini!” teriakku tegas
Abah sudah pulang dari mesjid, sedang bermain dengan Fadil seperti biasa saja. Fadil yang sudah rindu dengan kakung dan utinya, tampak ceria dan gembira. Sekali-kali Abah melirik ke arahku. Sementara aku, diam sambil terus menyiapkan sarapan di meja makan.Perasaanku mulai tak karuan. Dalam kepala sedang menyusun kalimat-kalimat yang harus aku sampaikan pada Umi dan Abah nanti. Aku tahu, hal ini tak akan mudah. Lima belas menit kemudian, sajian sudah siap di meja. Aku segera memanggil Abah dan Fadil untuk bergabung makan bersama.“Makan dulu, Bah. Fadil juga, yuk!” ajakku, ketika semua makanan sudah siap di atas meja.Soto ayam kampung kesukaan Abah sudah tersaji. Wajah Abah tampak berseri memandangi meja makan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memasak untuk Umi dan Abah. Ah, aku benar-benar rindu suasana seperti ini.Tanpa basa-basi, kami segera menikmati hidangan. Sesekali Abah memuji cita rasa masakan. Tentu saja aku merasa senang. Setelah dua mangkok soto tandas, akhirnya