Share

6. Mencari Bukti

“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.

Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.

“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.

“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”

Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.

Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan sekarang, masih bisakah aku percaya padanya? Meskipun kabar dari Mas Alfi belum tentu benar, tapi untuk apa juga ia berbohong dan mengarang cerita?

“Nai, lo gak apa-apa?” tanya Widya hati-hati. Ia meletakkan ponsel di pangkuan.

Aku memegang dada, merasakan debaran jantung yang meningkat.

“Gue ga tau lagi, Wid. Rasanya nyesek banget denger kabar kayak gini. Gue belum siap kalau harus nerima kenyataan. Apa iya Mas Andra selingkuh, Wid? Ga banget, kan!” balasku dengan suara bergetar.

“Waktu itu Mas Alfi sempet cerita kalo ketemu Mas Andra. Cuma gue lupa mau menghubungi lo. Gue pikir dia sama lo, Nai!” imbuh Widya. Dia terlihat sungguh menyesal, padahal itu bukan salahnya.

Apa yang harus aku lakukan kalau Mas Andra benar-benar sudah berpaling? Ia tak menunjukkan gelagat aneh sama sekali di hadapanku. Ia masih bersikap seperti biasa, tak ada yang berubah. Hanya penyakitnya yang menjijikkan itu saja yang menunjukkan kalau sesuatu sudah terjadi. Namun, untuk mendapatkan pengakuan secara sukarela dari Mas Andra sepertinya mustahil. Ia selalu tutup mulut dan mengelak. Sungguh pintar dan licik.

“Gue harus apa, Wid?” tanyaku, nanar menatap Widya. Rasanya air mataku ingin keluar saat ini juga.

“Feeling lo sendiri gimana, Nai? Kira-kira ada yang salah atau beda ga sama tingkah Mas Andra sekarang?” Widya balik bertanya.

Aku berpikir sejenak. Betul, semuanya harus kembali pada diriku sendiri. Apa yang aku rasakan dan lihat. Toh, hanya aku yang tahu betul bagaimana Mas Andra. Otakku memutar ulang dan mencari-cari sesuatu yang sekiranya bisa dijadikan petunjuk.

“Gue belum yakin, Wid. Tapi kayaknya emang ada yang salah dan berbeda.”

Widya mengangguk. “Berarti lo harus cari bukti, Nai. Jangan sampai menuduh tanpa landasan, nanti bisa jadi bumerang. Kalau lo punya bukti valid, dia ga akan bisa mengelak. Kalau ada yang bisa gue bantu, lo tinggal ngomong aja,” ujar Widya panjang lebar.

“Lo betul, Wid. Gue bakal cari buktinya. Insya Allah gue bisa. Makasih udah support gue,” tandasku meyakinkan diri sendiri.

“Gue yakin, lo pasti bisa. Pokoknya jangan gegabah, Nai. Jangan terbawa emosi. Cuma itu pesan gue.”

Setelah Fadil bangun, akhirnya aku memutuskan untuk pamit pulang. Lagi pula, hari sudah semakin siang. Tak enak rasanya kalau terlalu lama mengganggu Widya. Dia pasti butuh istirahat setelah menemani Sahara begadang semalaman.

*

Selama perjalanan pulang, otakku berpikir keras. Bagaimana caranya mencari bukti kalau Mas Andra sudah melakukan kesalahan? Dia terlalu sempurna menutupi segalanya. Masih terngiang di telingaku ucapan Mas Alfi tadi. Dua bulan yang lalu Mas Andra pernah terlihat di bandara. Ke mana ia pergi dan dengan siapa? Berkali-kali aku mendesah. Rasanya berat sekali harus memikirkan semuanya sendiri.

Celoteh Fadil terdengar, mengalihkan pikiranku yang seperti benang kusut. Bocah lelaki berumur 4 tahun itu bernyanyi riang dan sekali-kali mencoba mengeja tulisan yang ia lihat di sepanjang jalan. Anakku yang mulai tumbuh besar dan pintar, jangan sampai tahu tentang kegundahan hati bundanya.

Rasanya sedikit enggan untuk pulang ke rumah. Jika melihat wajah Mas Andra, emosiku jadi bercampur aduk. Antara sedih, marah, kesal, dan tanda tanya yang besar. Namun, cuaca yang mulai mendung dan hari yang semakin sore membuatku terpaksa pulang.

Terlihat sebuah mobil terparkir di depan rumah kami. Entah siapa yang bertamu. Saat turun, terlihat Mas Andra sedang berbincang dengan Pak Herman. Rupanya sang bos proyek datang berkunjung. Aku hanya mengangguk sopan dan bertegur sapa ala kadarnya dengan Pak Herman. Sementara Fadil, bersalaman dengan pria paruh baya itu.

“Nai, tolong buatkan minum untuk Pak Herman, ya,” pinta Mas Andra saat aku akan masuk rumah.

“Iya, Mas. Pak Herman mau minum apa? Teh atau kopi, Pak?” tawarku, menampilkan senyuman.

“Apa saja, Dik Naira. Saya tidak pilih-pilih,” jawabnya kemudian.

Tak menunggu lama aku berlalu, sambil bertanya-tanya dalam hati di mana keberadaan Mama? Mengapa tidak menyuguhkan minuman untuk tamu? Kalau tadi aku tidak pulang, apa mereka tidak akan menyuguhkan apapun untuk Pak Herman?

Kudapati Mama sedang bersantai di depan TV. Saat melihatku, wajahnya terlihat masam. Aku yang sedang tak enak hati, langsung saja ke dapur menyiapkan minuman. Dua gelas teh manis dan setoples biskuit aku suguhkan untuk Pak Herman dan Mas Andra.

“Ke mana aja kamu, Nai? Enak banget ya, jalan-jalan. Gak mikirin yang di rumah!” cetus Mama saat aku lewat akan ke kamar.

“Lho, tadi ‘kan Naira udah izin, Ma? Lagian ga jalan ke mana-mana juga, kok. Cuma jenguk temen yang baru melahirkan,” balasku dengan dahi berkerut.

Mama melengos, menunjukkan wajah tak percaya. Mulutnya komat-kamit, tapi tak ada ucapan yang keluar. Sudah pasti ia diam-diam mengomel.

“Ya udah, Naira mau mandi dulu, Ma,” pamitku, tak mau memperpanjang  masalah.

*

Di dalam kamar aku tak langsung mengambil handuk, melainkan duduk di pinggir ranjang untuk berpikir sejenak. Kutatap sekeliling kamar, mencari-cari inspirasi. Seingatku, koper pakaian Mas Andra sudah dibongkar begitu ia sampai seminggu yang lalu. Tak ada yang aneh dengan isinya. Hanya pakaian dan beberapa oleh-oleh kecil. Begitu juga dengan bawaan lainnya.

Merasa buntu, aku berbaring sejenak dan memejamkan mata. Rasanya seperti ada yang kurang. Sesuatu yang selalu Mas Andra bawa ke mana-mana, tapi tak tampak wujudnya sampai sekarang. Tas kecil, tas hitam berbentuk persegi panjang tempat ia biasa menaruh dokumen-dokumen, tablet, dan benda-benda penting lainnya. Di mana ia menaruhnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status