Share

6. Mencari Bukti

Penulis: Puspa Pebrianti
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-09 11:44:05

“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.

Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.

“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.

“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”

Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.

Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan sekarang, masih bisakah aku percaya padanya? Meskipun kabar dari Mas Alfi belum tentu benar, tapi untuk apa juga ia berbohong dan mengarang cerita?

“Nai, lo gak apa-apa?” tanya Widya hati-hati. Ia meletakkan ponsel di pangkuan.

Aku memegang dada, merasakan debaran jantung yang meningkat.

“Gue ga tau lagi, Wid. Rasanya nyesek banget denger kabar kayak gini. Gue belum siap kalau harus nerima kenyataan. Apa iya Mas Andra selingkuh, Wid? Ga banget, kan!” balasku dengan suara bergetar.

“Waktu itu Mas Alfi sempet cerita kalo ketemu Mas Andra. Cuma gue lupa mau menghubungi lo. Gue pikir dia sama lo, Nai!” imbuh Widya. Dia terlihat sungguh menyesal, padahal itu bukan salahnya.

Apa yang harus aku lakukan kalau Mas Andra benar-benar sudah berpaling? Ia tak menunjukkan gelagat aneh sama sekali di hadapanku. Ia masih bersikap seperti biasa, tak ada yang berubah. Hanya penyakitnya yang menjijikkan itu saja yang menunjukkan kalau sesuatu sudah terjadi. Namun, untuk mendapatkan pengakuan secara sukarela dari Mas Andra sepertinya mustahil. Ia selalu tutup mulut dan mengelak. Sungguh pintar dan licik.

“Gue harus apa, Wid?” tanyaku, nanar menatap Widya. Rasanya air mataku ingin keluar saat ini juga.

“Feeling lo sendiri gimana, Nai? Kira-kira ada yang salah atau beda ga sama tingkah Mas Andra sekarang?” Widya balik bertanya.

Aku berpikir sejenak. Betul, semuanya harus kembali pada diriku sendiri. Apa yang aku rasakan dan lihat. Toh, hanya aku yang tahu betul bagaimana Mas Andra. Otakku memutar ulang dan mencari-cari sesuatu yang sekiranya bisa dijadikan petunjuk.

“Gue belum yakin, Wid. Tapi kayaknya emang ada yang salah dan berbeda.”

Widya mengangguk. “Berarti lo harus cari bukti, Nai. Jangan sampai menuduh tanpa landasan, nanti bisa jadi bumerang. Kalau lo punya bukti valid, dia ga akan bisa mengelak. Kalau ada yang bisa gue bantu, lo tinggal ngomong aja,” ujar Widya panjang lebar.

“Lo betul, Wid. Gue bakal cari buktinya. Insya Allah gue bisa. Makasih udah support gue,” tandasku meyakinkan diri sendiri.

“Gue yakin, lo pasti bisa. Pokoknya jangan gegabah, Nai. Jangan terbawa emosi. Cuma itu pesan gue.”

Setelah Fadil bangun, akhirnya aku memutuskan untuk pamit pulang. Lagi pula, hari sudah semakin siang. Tak enak rasanya kalau terlalu lama mengganggu Widya. Dia pasti butuh istirahat setelah menemani Sahara begadang semalaman.

*

Selama perjalanan pulang, otakku berpikir keras. Bagaimana caranya mencari bukti kalau Mas Andra sudah melakukan kesalahan? Dia terlalu sempurna menutupi segalanya. Masih terngiang di telingaku ucapan Mas Alfi tadi. Dua bulan yang lalu Mas Andra pernah terlihat di bandara. Ke mana ia pergi dan dengan siapa? Berkali-kali aku mendesah. Rasanya berat sekali harus memikirkan semuanya sendiri.

Celoteh Fadil terdengar, mengalihkan pikiranku yang seperti benang kusut. Bocah lelaki berumur 4 tahun itu bernyanyi riang dan sekali-kali mencoba mengeja tulisan yang ia lihat di sepanjang jalan. Anakku yang mulai tumbuh besar dan pintar, jangan sampai tahu tentang kegundahan hati bundanya.

Rasanya sedikit enggan untuk pulang ke rumah. Jika melihat wajah Mas Andra, emosiku jadi bercampur aduk. Antara sedih, marah, kesal, dan tanda tanya yang besar. Namun, cuaca yang mulai mendung dan hari yang semakin sore membuatku terpaksa pulang.

Terlihat sebuah mobil terparkir di depan rumah kami. Entah siapa yang bertamu. Saat turun, terlihat Mas Andra sedang berbincang dengan Pak Herman. Rupanya sang bos proyek datang berkunjung. Aku hanya mengangguk sopan dan bertegur sapa ala kadarnya dengan Pak Herman. Sementara Fadil, bersalaman dengan pria paruh baya itu.

“Nai, tolong buatkan minum untuk Pak Herman, ya,” pinta Mas Andra saat aku akan masuk rumah.

“Iya, Mas. Pak Herman mau minum apa? Teh atau kopi, Pak?” tawarku, menampilkan senyuman.

“Apa saja, Dik Naira. Saya tidak pilih-pilih,” jawabnya kemudian.

Tak menunggu lama aku berlalu, sambil bertanya-tanya dalam hati di mana keberadaan Mama? Mengapa tidak menyuguhkan minuman untuk tamu? Kalau tadi aku tidak pulang, apa mereka tidak akan menyuguhkan apapun untuk Pak Herman?

Kudapati Mama sedang bersantai di depan TV. Saat melihatku, wajahnya terlihat masam. Aku yang sedang tak enak hati, langsung saja ke dapur menyiapkan minuman. Dua gelas teh manis dan setoples biskuit aku suguhkan untuk Pak Herman dan Mas Andra.

“Ke mana aja kamu, Nai? Enak banget ya, jalan-jalan. Gak mikirin yang di rumah!” cetus Mama saat aku lewat akan ke kamar.

“Lho, tadi ‘kan Naira udah izin, Ma? Lagian ga jalan ke mana-mana juga, kok. Cuma jenguk temen yang baru melahirkan,” balasku dengan dahi berkerut.

Mama melengos, menunjukkan wajah tak percaya. Mulutnya komat-kamit, tapi tak ada ucapan yang keluar. Sudah pasti ia diam-diam mengomel.

“Ya udah, Naira mau mandi dulu, Ma,” pamitku, tak mau memperpanjang  masalah.

*

Di dalam kamar aku tak langsung mengambil handuk, melainkan duduk di pinggir ranjang untuk berpikir sejenak. Kutatap sekeliling kamar, mencari-cari inspirasi. Seingatku, koper pakaian Mas Andra sudah dibongkar begitu ia sampai seminggu yang lalu. Tak ada yang aneh dengan isinya. Hanya pakaian dan beberapa oleh-oleh kecil. Begitu juga dengan bawaan lainnya.

Merasa buntu, aku berbaring sejenak dan memejamkan mata. Rasanya seperti ada yang kurang. Sesuatu yang selalu Mas Andra bawa ke mana-mana, tapi tak tampak wujudnya sampai sekarang. Tas kecil, tas hitam berbentuk persegi panjang tempat ia biasa menaruh dokumen-dokumen, tablet, dan benda-benda penting lainnya. Di mana ia menaruhnya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   59. Tak Mau Disalahkan

    Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   58. Tepat di Depan Mata

    Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   57. Berduaan dengan Della

    (PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   56. Rekaman Menjijikkan

    Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   55. Berpamitan

    “Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   54. Mengantur Rencana

    Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status