Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.
Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.
Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.
Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beberapa kotak berisi peralatan yang jarang dipakai. Dadaku berdebar-debar, mendekat perlahan. Tak lupa bangku kecil di depan meja rias turut aku bawa agar bisa menjangkau sampai ke atas sana.
Dengan memantapkan hati, aku naik ke atas bangku kecil itu. Tangan mulai meraba dan menurunkan dua buah kotak. Sebisa mungkin aku tetap tenang agar tak membuat suara ribut. Masih tersisa dua kotak lagi, sedikit sulit dijangkau dengan tinggiku yang kurang mendukung.
Aku lantas turun, memeriksa isi kotak yang terlihat sedikit berantakan. Tangan dengan cepat membolak-balik barang yang ada di dalam sana. Nihil, tak ada apa-apa. Begitu pun dengan kotak yang satunya, hanya berisi botol-botol parfum kosong koleksiku dulu.
Dua kotak lagi yang terlihat cukup besar dan berat. Bagaimana caranya mengambil benda-benda itu? Tanganku kesulitan untuk menjangkaunya. Deru suara mesin mobil terdengar di depan.
Sepertinya Pak Herman sudah pamit pulang. Aku semakin gelisah, takut kalau Mas Andra datang saat aku masih mencari-cari. Sedangkan rasa ingin tahuku belum terpuaskan sama sekali.
Nekat, aku segera mengunci pintu kamar. Apapun yang terjadi, hari ini aku harus tahu di mana tas itu berada. Setelah menambahkan bantal yang cukup tebal, aku kembali naik ke atas lemari. Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya satu dari dua kotak besar itu berhasil aku tarik.
Apesnya, saat jatuh ke lantai kotak itu malah menimbulkan suara yang sedikit kencang. Aku menahan napas saat melihat handel pintu bergerak-gerak. Tak lama kemudian, suara Mas Andra pun terdengar memanggil.
“Nai, Naira!”
*
“Nai, Naira! Pintunya kenapa dikunci? Buka, Nai!” Terdengar suara Mas Andra memanggil. Handel pintu bergerak naik turun.
“I-iya, sebentar!” sahutku. Secepat mungkin merapikan kembali kursi meja rias setelah mengembalikan kotak-kotak itu ke tempatnya.
Sedikit gugup aku menuju ke pintu dan memutar kunci. Mas Andra masuk dengan tatapan heran dan menyelidik. Bisa dimaklumi karena aku jarang sekali mengunci pintu kecuali saat tidur.
“Kamu ngapain, Nai? Kok pintunya dikunci?” tanya Mas Andra dengan mata menyipit.
“E-enggak apa-apa, kok! Tadi mau mandi, malah refleks ngunci pintu. Maaf,” jawabku berbohong.
“Hmm. Ya udah,” timpal Mas Andra. Ia kemudian duduk di tepi ranjang.
Pandangannya tajam ke arahku. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Aku menjadi sedikit grogi. Dari sudut mata, aku melirik ke arah atas lemari. Susunan kotak tidak terlalu rapi seperti sebelumnya, tapi semoga Mas Andra tidak menyadari kalau-kalau memang tas itu ia sembunyikan di atas sana. Satu kotak lagi yang belum aku periksa. Hatiku belum tenang dan masih penasaran.
“Aku mau mandi,” pamitku seraya menyambar handuk dengan cepat dan berlalu ke kamar mandi.
*
“Nai, Mas mau bicara,” ucap Mas Andra pelan saat aku sedang mengeringkan rambut.
Aku menoleh, melihat ekspresi wajahnya yang serius. “Apa?” sahutku singkat.
“Sebenarnya, tadi Pak Herman ke sini ngasih tau kalau Mas dipanggil lagi untuk ngerjain lanjutan proyek.”
Tanganku berhenti bergerak. Barusan aku tak salah dengar, kan? Kembali ke luar pulau? Tak pelak rasa gelisah kembali melanda. Mas Andra tak boleh pergi ke mana-mana sebelum aku menemukan jawaban atas teka-teki penyakitnya itu. Sungguh, aku tak rela jika ia pergi begitu saja tanpa penjelasan.
“Kapan rencananya?” tanyaku, kembali fokus dengan rambut yang masih lembab.
“Se-sekitar seminggu lagi, Nai,” jawab Mas Andra sembari menelan ludah.
Aku berbalik, menatap lurus ke arah Mas Andra. Ia terlihat jauh lebih sehat sekarang. Sudah jarang mengeluhkan sakit setelah buang air kecil. Ruam-ruam di sekitar mulutnya juga sudah terlihat tak terlalu merah. Sepertinya ia sudah mulai akan sembuh. Itu adalah kabar bagus untuknya tapi bukan untukku.
“Mas, aku mau tanya. Tolong jawab dengan jujur. Jangan sampai aku melakukan berbagai cara untuk menemukan jawaban yang benar, seandainya kamu berbohong,” pancingku.
Mas Andra mulai terlihat tak nyaman. Sepertinya kata “jujur” benar-benar membuatnya ketakutan. Rasanya Mas Andra akhir-akhir ini memang banyak berubah. Saat mandi tadi, aku seakan-akan diberi pentunjuk.
Tiba-tiba saja otakku bisa mengingat dengan jelas kalau memang dua bulan yang lalu Mas Andra pernah menghilang selama sehari semalam. Ponselnya tak dapat dihubungi sama sekali. Saat itu ia beralasan kalau ponselnya kehabisan daya. Rasa percaya yang begitu besar padanya, membuatku tak mempermasalahkan hal itu sama sekali.
“Mau tanya apa, Nai?” Mas Andra mengusap ujung hidungnya.
“Apa selama empat bulan kemarin Mas gak pernah libur atau visit ke tempat lain? Ke luar daerah, mungkin?” Alisku terangkat.
*
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole
Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]
(PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,
“Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t
Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.