Share

7. Mencari Bukti (2)

Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.

Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.

Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.

Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beberapa kotak berisi peralatan yang jarang dipakai. Dadaku berdebar-debar, mendekat perlahan. Tak lupa bangku kecil di depan meja rias turut aku bawa agar bisa menjangkau sampai ke atas sana.

Dengan memantapkan hati, aku naik ke atas bangku kecil itu. Tangan mulai meraba dan menurunkan dua buah kotak. Sebisa mungkin aku tetap tenang agar tak membuat suara ribut. Masih tersisa dua kotak lagi, sedikit sulit dijangkau dengan tinggiku yang kurang mendukung.

 Aku lantas turun, memeriksa isi kotak yang terlihat sedikit berantakan. Tangan dengan cepat membolak-balik barang yang ada di dalam sana. Nihil, tak ada apa-apa. Begitu pun dengan kotak yang satunya, hanya berisi botol-botol parfum kosong koleksiku dulu.

Dua kotak lagi yang terlihat cukup besar dan berat. Bagaimana caranya mengambil benda-benda itu? Tanganku kesulitan untuk menjangkaunya. Deru suara mesin mobil terdengar di depan.

Sepertinya Pak Herman sudah pamit pulang. Aku semakin gelisah, takut kalau Mas Andra datang saat aku masih mencari-cari. Sedangkan rasa ingin tahuku belum terpuaskan sama sekali.

Nekat, aku segera mengunci pintu kamar. Apapun yang terjadi, hari ini aku harus tahu di mana tas itu berada. Setelah menambahkan bantal yang cukup tebal, aku kembali naik ke atas lemari. Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya satu dari dua kotak besar itu berhasil aku tarik.

 Apesnya, saat jatuh ke lantai kotak itu malah menimbulkan suara yang sedikit kencang. Aku menahan napas saat melihat handel pintu bergerak-gerak. Tak lama kemudian, suara Mas Andra pun terdengar memanggil.

“Nai, Naira!”

*

“Nai, Naira! Pintunya kenapa dikunci? Buka, Nai!” Terdengar suara Mas Andra memanggil. Handel pintu bergerak naik turun.

“I-iya, sebentar!” sahutku. Secepat mungkin merapikan kembali kursi meja rias setelah mengembalikan kotak-kotak itu ke tempatnya.

Sedikit gugup aku menuju ke pintu dan memutar kunci. Mas Andra masuk dengan tatapan heran dan menyelidik. Bisa dimaklumi karena aku jarang sekali mengunci pintu kecuali saat tidur.

“Kamu ngapain, Nai? Kok pintunya dikunci?” tanya Mas Andra dengan mata menyipit.

“E-enggak apa-apa, kok! Tadi mau mandi, malah refleks ngunci pintu. Maaf,” jawabku berbohong.

“Hmm. Ya udah,” timpal Mas Andra. Ia kemudian duduk di tepi ranjang.

Pandangannya tajam ke arahku. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Aku menjadi sedikit grogi. Dari sudut mata, aku melirik ke arah atas lemari. Susunan kotak tidak terlalu rapi seperti sebelumnya, tapi semoga Mas Andra tidak menyadari kalau-kalau memang tas itu ia sembunyikan di atas sana. Satu kotak lagi yang belum aku periksa. Hatiku belum tenang dan masih penasaran.

“Aku mau mandi,” pamitku seraya menyambar handuk dengan cepat dan berlalu ke kamar mandi.

*

“Nai, Mas mau bicara,” ucap Mas Andra pelan saat aku sedang mengeringkan rambut.

Aku menoleh, melihat ekspresi wajahnya yang serius. “Apa?” sahutku singkat.

“Sebenarnya, tadi Pak Herman ke sini ngasih tau kalau Mas dipanggil lagi untuk ngerjain lanjutan proyek.”

Tanganku berhenti bergerak. Barusan aku tak salah dengar, kan? Kembali ke luar pulau? Tak pelak rasa gelisah kembali melanda. Mas Andra tak boleh pergi ke mana-mana sebelum aku menemukan jawaban atas teka-teki penyakitnya itu. Sungguh, aku tak rela jika ia pergi begitu saja tanpa penjelasan.

“Kapan rencananya?” tanyaku, kembali fokus dengan rambut yang masih lembab.

“Se-sekitar seminggu lagi, Nai,” jawab Mas Andra sembari menelan ludah.

Aku berbalik, menatap lurus ke arah Mas Andra. Ia terlihat jauh lebih sehat sekarang. Sudah jarang mengeluhkan sakit setelah buang air kecil. Ruam-ruam di sekitar mulutnya juga sudah terlihat tak terlalu merah. Sepertinya ia sudah mulai akan sembuh. Itu adalah kabar bagus untuknya tapi bukan untukku.

“Mas, aku mau tanya. Tolong jawab dengan jujur. Jangan sampai aku melakukan berbagai cara untuk menemukan jawaban yang benar, seandainya kamu berbohong,” pancingku.

Mas Andra mulai terlihat tak nyaman. Sepertinya kata “jujur” benar-benar membuatnya ketakutan. Rasanya Mas Andra akhir-akhir ini memang banyak berubah. Saat mandi tadi, aku seakan-akan diberi pentunjuk.

Tiba-tiba saja otakku bisa mengingat dengan jelas kalau memang dua bulan yang lalu Mas Andra pernah menghilang selama sehari semalam. Ponselnya tak dapat dihubungi sama sekali. Saat itu ia beralasan kalau ponselnya kehabisan daya. Rasa percaya yang begitu besar padanya, membuatku tak mempermasalahkan hal itu sama sekali.

“Mau tanya apa, Nai?” Mas Andra mengusap ujung hidungnya.

“Apa selama empat bulan kemarin Mas gak pernah libur atau visit ke tempat lain? Ke luar daerah, mungkin?” Alisku terangkat.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status