Widya menyambut kedatanganku dan Fadil dengan senang. Ia tampak bahagia setelah melewati tiga tahun menanti kehadiran sang buah hati. Tak lupa aku serahkan cake dan juga hampers bayi yang tadi aku beli di mall. Fadil terlihat senang melihat adik bayi yang imut dan juga montok. Putri kecil yang sehat dan cantik itu, diberi nama Sahara.
“Maaf ya Wid, baru sempat jenguk sekarang. Soalnya kemarin-kemarin gak enak tinggalin Mama di rumah sendirian. Kalau sekarang Mas Andra udah pulang,” ucapku seraya memandangi wajah bayi mungil yang sangat mirip dengan Widya.
“Santai aja, Beb. Gue juga paham kok. Alhamdulillah ni baby dah keluar dari perut gue. Kemarin mulesnya ya ampun, ampe sehari semalam!” ujar Widya sambil tertawa-tawa.
Aku ikutan tertawa mendengar candaannya. Widya adalah teman dekatku semasa di SMA. Saat lulus kami terpisah karena Widya diterima sebagai mahasiswa kedokteran sedangkan aku mengambil jurusan akuntansi. Selama itu kami masih menjalin komunikasi walaupun jarang bertemu. Sampai akhirnya aku menikah lebih dulu, lalu Widya menyusul dua tahun setelahnya.
“Suami lo ke mana, Wid? Masih di luar kota? Lo cuma berdua sama baby di rumah?” tanyaku karena tak melihat keberadaan Mas Alfi, suami Widya.
“Di luar pulau, dia. Lagi di Kalimantan, ngurusin tambang punya mertua gue. Kalau bokap nyokap gue kemarin 10 hari di sini, trus balik lagi ke rumah mereka. Soalnya ade gue ga bisa ditinggal lama-lama. Eh, Mas Andra mana? Kok gak ikutan ke sini? Biasanya kalian ke mana-mana bareng terus!” Widya malah balik menanyakan keberadaan Mas Andra.
Aku mendesah, tak bisa langsung menjawab. Sekilas aku melirik Fadil yang anteng melihat adik bayi, sambil memainkan mobil-mobilan kecil. Sementara Widya memandangiku dengan seksama.
“Nai, kok diem? Jangan bilang kalo lo lagi ada masalah sama Mas Andra?” selidiknya dengan mata menyipit.
Dadaku semakin berdebar. Haruskah aku benar-benar bercerita dengan Widya? Apakah ini termasuk aib rumah tangga yang tak boleh aku umbar? Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Namun, jika tak berbagi mengenai hal ini, rasanya kepalaku mau pecah. Selama ini aku selalu menjaga kehormatan Mas Andra. Semua kekurangannya aku tutupi rapat-rapat. Tak ada orang lain yang tau selain aku dan mamanya bagaimana aslinya Mas Andra. Namun sekarang, bahkan Mama pun tak tahu apa yang sedang menimpa Mas Andra.
“Nai, woi, Nai! Kok lo malah ngelamun, sih?” tegur Widya sembari mencolek lenganku.
“Eh, i-iya, Wid. Sebenernya, gue ke sini mau curhat sama lo, Wid. Bukan hanya sebagai teman, tapi juga sebagai pasien,” lirihku.
Dahi Widya berkerut dengan mata memicing. Dia tampak kehilangan kata-kata untuk sesaat. Sedetik kemudian, ia tampak tersadar.
“Ya udah, bentaran. Gue ambil minum dulu. Lo mau minum apa? Jus? Teh? Kopi?” tawar Widya.
“Apa aja deh, Wid. Yang penting seger!” jawabku asal.
Widya mengangguk, lalu melihat ke arah Fadil. “Kalau Fadil mau minum apa, Nak? Tante ambilin. Jus mau, ya?”
Fadil melihat ke arahku, meminta persetujuan. Aku langsung mengangguk ke arahnya. Anak lelakiku tersenyum kecil.
“Fadil mau jus, Tante!” jawabnya riang.
“Oke!” seru Widya sebelum akhirnya berlalu ke dapur.
*
Mata Widya mengerjap cepat, sementara tangannya berkali-kali mengusap rambut. Jelas sekali kalau ia sebenarnya sedang khawatir karena mendengar ceritaku. Cerita yang mengalir lancar bagai tanpa beban. Suaraku sedikit bergetar saat menjelaskan hasil pemeriksaan Mas Andra di rumah sakit. Bagaimana kami sudah empat bulan tak bercampur, tapi Mas Andra malah mendapatkan penyakit itu.
Widya meraih gelas jus, lalu langsung menenggak isinya setengah gelas. Ia kemudian mendesah. Memijit pelipis sembari menunduk.
“Ja-jadi, gimana menurut lo, Wid?” tanyaku di akhir cerita.
Widya memandangiku lekat-lekat. Ia menggigit bibir bawahnya, grogi.
“Lo mau jawaban menenangkan apa jawaban jujur?” Ia balik bertanya, lalu menenggak jus lagi.
“Udah pasti jawaban jujur, Wid. Gue gak perlu kata-kata manis saat ini. Gue Cuma butuh fakta,” tegasku tanpa ragu.
Benar, bukan? Untuk apa kalimat-kalimat manis menenangkan? Toh aku bisa mendapatkan itu dari Mas Andra. Namun itu semua tak mengurangi rasa cemas dalam hati. Yang aku butuhkan saat ini adalah pencerahan.
“Oke, jadi lo yakin udah empat bulan lebih gak campur sama Mas Andra?” Widya memasang wajah serius.
Aku mengangguk mantap karena memang begitulah kenyataannya. Widya menopang dagunya dengan tangan kanan. Entah apa yang ada dalam pikiran sahabatku itu.
“Aku setuju sama penjelasan dokter Budi. Memang itu penyebab penyakit sifilis, Nai. Ga ada yang lain. Kalo misal Mas Andra ga pernah pake narkoba lewat jarum suntik non-steril, atau terima transfusi darah dari orang yang kena sifilis juga, berarti emang dia pernah tidur sama orang lain. Bisa jadi bukan cuma satu, dan salah satu dari mereka terinfeksi,” jelas Widya dengan suara pelan.
Aku terhenyak. Ia melirik sekilas ke arah Fadil yang fokus menonton tayangan kartun di TV. Sengaja kami mengalihkan perhatian lelaki kecil itu agar tidak mendengar percakapan ini.
“Jadi, memang gak mungkin penyakit itu datang begitu aja ya, Wid?” Pundakku terasa sungguh berat mendengar ucapan Widya barusan.
“Gak, Nai. Musti ada penyebab pastinya. Ga da ceritanya lo ujug-ujug kena sifilis. Ada sebab akibat.” Widya menarik napas sebelum melanjutkan.
“Mas Andra rutin minum obatnya, kan? Kalo ga cepet diobatin, bisa bahaya, merembet jadi penyakit lain,” imbuh Widya dengan wajah tenang.
“Ya diminum sih, Wid. Cuma, gue masih ragu mau deketin dia. Pengen nyentuh aja rasanya males. Gue jadi rada takut, udah parno duluan.” Aku menatap ke langit-langit rumah Widya yang berwarna putih tulang.
“Wajar, gue paham perasaan lo. Dan emang semestinya lo hati-hati, sih. Pokoknya jangan sampai campur dulu sama dia sampai dinyatakan bener-bener sembuh.”
“Ya gitu emang, Wid. Bahkan, walaupun Mas Andra dah sembuh, gue rasanya masih ragu. Soalnya gak jelas juga dia dapet penyakitnya dari mana, kan?”
Widya mengangguk. Suara rengekan Sahara memecah perhatian kami. Bayi mungil itu menggeliat, lalu menendang-nendang. Aku lantas melihat ke arah Fadil. Ternyata sedari tadi, diam-diam ia sudah tertidur di depan TV.
“Bentar, ya. Kayaknya laper tuh baby,” ucap Widya, lalu mengangkat Sahara. Tak lama kemudian, bayi itu sudah tenang lagi karena di-Asihi.
“Jadi, gue harus gimana ke depannya, Wid? Gue jadi ragu kalau Mas Andra bener-bener setia selama ini. Kemarin juga gue ajak periksa ke rumah sakit lain buat nyari second opinion, tapi dia nolak. Trus dia juga ga mau ngasih tau Mama soal penyakit itu, makanya gue curiga.” Aku melanjutkan perbincangan dengan suara pelan.
Widya tampak berpikir sejenak. Matanya mengerjap-ngerjap. Ia pun tampak bimbang dengan masalah yang tengah aku hadapi.
“Bentar, Nai. Tadi, lo bilang empat bulan ga ketemu sama Mas Andra, kan?” Mata Widya menyipit.
“Iya. Dia baru pulang seminggu. Empat bulan total kita LDR, ga ketemu sama sekali,” jelasku cepat.
“Astaga. Beneran kan, empat bulan dia ga pulang sama sekali?” tanya Widya sekali lagi, entah apa maksudnya.
Aku mengangguk mantap, dalam hati bertanya-tanya. Widya bangkit lalu mengambil ponselnya dari atas meja. Tangannya kemudian sibuk memencet.
“Lo mau ngapain, Wid?” Aku menjadi berdebar-debar melihat tingkah Widya.
“Bentar, gue jadi teringat sesuatu.”
Tak lama kemudian, ia tampak sedang menghubungi seseorang. Mataku terbelalak lebar. Jangan-jangan dia menghubungi Mas Andra? Ya ampun, Widya apa-apaan, sih?
Melihatku panik, Widya memberi isyarat menyuruhku tenang dan diam. Tak lama kemudian, suara bariton terdengar dari ponsel Widya.
“Halo Yang, lagi apa?” sapa Widya.
Aku menghembuskan napas lega. Ternyata dia menghubungi Mas Alfi. Pasangan suami istri itu sibuk bertukar kabar dan menanyakan hal-hal yang hanya mereka tahu. Namun, pertanyaan Widya kali ini berhasil menyita perhatianku.
“Oh iya, Yang. By the way, pas dua bulan lalu kamu mau berangkat ke Bandung itu, kamu ketemu sama Mas Andra di bandara Fatmawati, kan?” tanya Widya. Matanya menatap ke arahku tanpa berkedip. Aku sampai menahan napas.
“Dua bulan lalu? Oh, iya. Pas aku cerita ke kamu itu, kan? Kenapa emang?” Mas Alfi balik bertanya.
Dadaku berdebar-debar, badan terasa dingin seperti disiram air es. Sepertinya aku tahu ke mana arah pikiran Widya.
“Hooh, yang waktu itu. Kamu sama Andra ga sempet ngobrol sama sekali?”
“Kan aku dah bilang, waktu itu Andra gak lihat aku. Soalnya dia kayaknya buru-buru. Jadinya kita gak ngobrol. Emang kenapa sih, Yang?”
Aku menekan dada. Jantungku di dalam sana berdebar liar, seperti ingin copot dan keluar.
“Gak apa-apa, Yang. Nanya aja. Waktu itu, Mas Andra sendiri atau ada temennya?” selidik Widya lagi. Ia masih terus melihat ke arahku.
Mas Alfi terdiam sejenak, mungkin sedang mengingat-ingat di sana. Aku merasakan telapak tangan berkeringat dingin saking groginya. Jadi, dua bulan yang lalu Mas Andra pernah pulang? Dia pernah terlihat di bandara. Tapi ke mana dia? Dua bulan yang lalu dia tak pernah sampai ke rumah. Aku ingat betul, empat bulan tak bertemu dengannya sama sekali. Ya Tuhan, apakah ini sebuah petunjuk? Sepertinya langkahku memang dituntun untuk bertemu dengan Widya hari ini.
Lamat-lamat terdengar lagi suara Mas Alfi lewat ponsel Widya yang diatur dengan loud-speaker.
“Waktu itu ….”
***
“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan
Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beb
Mata Mas Andra mengerjap cepat. Ia menjilat bibir bawahnya dengan gugup. Ayolah, Mas, jawablah cepat. Jangan biarkan aku semakin curiga. Aku sudah sekuat tenaga menahan semua pertanyaan yang ingin keluar tanpa jeda.“Li-libur? Ng-nggak pernah, Nai! Mas selalu stand-by di lokasi proyek, kok. Kan, memang gak dapat jatah libur?” jelasnya, mencoba memasang tampang meyakinkan.“Oh, gitu. Kalau misal aku tanya Pak Herman gimana, Mas? Cuma untuk memastikan aja. Masa gak pernah dapat jatah libur,” lanjutku dengan tenang.Wajah Mas Andra berubah menjadi pias. Ia langsung berdiri dari duduknya.“Maksud kamu apa sih, Nai? Kok sampai melibatkan Pak Herman segala? Mas gak suka ya, kamu ikut campur masalah pekerjaan!” omelnya dengan wajah muram, suaranya meninggi.“Aku bukan ikut campur masalah pekerjaan, Mas! Hanya ingin memastikan hal itu saja. Gak kurang, gak lebih!” Aku tak mau kalah.“Kenapa? Kenapa emangnya? Kalau libur, Mas sudah pasti pulang, Nai!” Mas Andra berkata dengan ekspresi kesal. T
(Dua Bulan yang Lalu)Aku memandangi ponsel dengan perasaan tak menentu. Setelah semalam bertukar kabar dengan Mas Andra, sekarang ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi. Padahal biasanya, Mas Andra tak pernah lupa menyapa lewat pesan WA saat ia bangun tidur. Tak jarang pula ia mengirimkan voice note, bahkan saat istirahat makan siang ia akan mengabari lagi.Memang salahku yang tidak terpikir untuk meminta nomor salah satu teman kerjanya di sana. Ah, benar-benar cemas rasanya. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Mas Andra? Sehari semalam aku harus menanggung rasa gundah itu. Untunglah, saat aku terbangun subuh, beberapa pesan dari Mas Andra masuk. Katanya listrik di lokasi proyek tempat mess-nya berada sedang mengalami gangguan. Hal itulah yang menyebabkan ponselnya kehabisan daya.Perasaanku menjadi tenang lagi. amat bersukur karena keadaan Mas Andra baik-baik saja. Tak ada pikiran buruk kalau dia akan berani bermain api ataupun macam-macam. Sedikit pun tak pernah terlintas di dalam ke
Kembali aku periksa dengan teliti. Setiap folder yang berisi beragam aplikasi, aku buka satu per satu. Ternyata memang, Mas Andra memiliki nomor WA lain khusus di tabletnya.Di antara percakapan yang berkaitan dengan pekerjaan, tentu saja chat dari banyak perempuan ada di sana. Salah satunya yang paling mencuri perhatian adalah dari Chelly. Beberapa bukti transfer uang antar bank pun tertera dengan jelas. Jantungku bagaikan di remas kuat melihat setiap nominal yang dikirimkan Mas Andra untuk perempuan itu.Setiap bulan Mas Andra mengirimkan 4 sampai 5 juta ke rekeningku dan entah berapa juta ke rekening Mama. Itu pun, terkadang Mama masih merongrong dan mengaturku agar tidak boros. Berbagai macam petuah harus aku patuhi. Jika tidak, maka omelan pedas dari mulutnya akan meluncur bebas. Namun, untuk perempuan itu Mas Andra dengan entengnya mengirimkan 2 sampai 5 juta hanya untuk kenikmatan sesaat yang terlaknat. Belum lagi membayar perempuan-perempuan lainnya. Apa yang akan dikatakan Ma
Jadi itu yang membuat Mama marah? Ah, andai Mama tahu apa alasannya aku begitu. Namun, belum saatnya untuk memberitahu Mama sekarang. biarlah nanti akan aku ungkap di saat yang tepat saja. Saat ini Mama hanya termakan dengan asumsinya sendiri.Orang tua di mana pun pasti akan membela anaknya. Aku sangat paham akan hal itu. Apalagi Mas Andra adalah anak tunggal Mama. Pastilah ia akan dibela sedemikian rupa, tanpa tahu masalah yang sebenarnya. Harus bagaimana aku menjawab Mama sekarang? Aku mengusap pelan pelipis yang sedikit berkedut. Kepalaku agak pusing, mungkin karena pengaruh menangis tadi.“Maaf, Ma. Naira gak ada maksud seperti itu. Naira masih melayani dan merawat Mas Andra dengan sebaiknya, kok,” jawabku pelan, menekan emosi yang membuncah.“Merawat dan melayani sebaiknya, katamu? Cih! Kamu pikir Mama percaya? Mama lihat sendiri bagaimana kamu acuh tak acuh sama Andra. Apalagi semenjak kalian pulang dari rumah sakit! Jangan-jangan tahu suami sakit, kamu mulai mau membangkang!”
Entah sudah berapa jam aku tertidur di kamar Fadil. Sampai jam 11 tadi, Mas Andra belum juga pulang. Saat makan malam, Mama terus-terusan menunjukkan wajah sinis ke arahku. Kalau bukan menyabarkan diri, mungkin aku tak perlu masak untuknya. Namun, aku masih menahan diri untuk tidak memancing keributan karena ada Fadil yang melihat.Telingaku menangkap suara samar dari luar, entah dari mana asalnya. Perlahan aku bangkit, lalu keluar dari kamar. Suara itu makin jelas terdengar. Kukira berasal dari kamarku dan Mas Andra. Siapa di dalam sana? Apa Mas Andra sudah pulang? Atau Mama? Kulirik sekilas jam yang menunjukkan pukul 4 pagi.Sedikit berjingkat aku mendekati ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Terlihat Mas Andra berjalan mondar-mandir di dalam sana. Sesekali ia mengacak rambut, dan berdecak kesal. Kapan ia pulang? Mungkinkah Mama yang membukakan pintu?Terlihat Mas Andra membuka pintu lemari pakaian. Tangannya dengan cekatan mengangkat tumpukan-tumpukan baju. Laci-laci pun diperik
“Jangan main-main, Naira! Kembalikan tas itu, sekarang juga!” bentak Mas Andra tepat di depan wajahku.“Begitu caramu meminta baik-baik, Mas? Begitu? Kamu pikir aku akan sudi mengembalikan benda itu? Jangan harap!” Aku mendorong dadanya kuat.Badan Mas Andra hampir terjengkang. Ada kilatan aneh di matanya yang berubah menjadi beku. Aku merasa sangat ketakutan dan terancam sekarang. Ya Tuhan, tolong aku!“Sejak kapan kamu berubah menjadi melawan, Naira? Kualat kamu! Cepat kembalikan tasnya! Kalau tidak—“ Ucapan Mas Andra terpotong.“Kalau tidak, apa, Mas?” tantangku.“Jangan sampai aku harus berbuat kasar, Naira!” Dadanya kembang kempis. Bukan, ini bukanlah sosok Mas Andra yang aku kenal.Mas Andra yang dulu dengan romantis melamarku di pinggir pantai dan selalu bertutur kata baik, tidak pernah mengancam seperti itu. Siapa kamu? Siapa? Badanku mulai gemetar.“Tak akan pernah aku kembalikan! Barang-barang dalam tas itu akan menjadi bukti kuat dari kebusukanmu selama ini!” teriakku tegas