Share

Chapt 5

Didalam Sebuah Rumah berlantai dua bergaya modern dengan cat berwarna putih dipadukan coklat serta cream menambah kesan mewah meski tidak masuk kategori rumah mewah pada umumnya. Seorang wanita paruh baya tampak cemas ketika sang Suami dan Putri Bungsunya belum juga pulang kerumah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Tidak seperti biasanya mereka pulang terlambat dan tidak memberikan kabar sama sekali, bahkan ponsel milik sang Suami dan Putri bungsunya tidak dapat dihubungi. Lebih tepatnya tidak memberikan jawaban pada panggilannya.

Saat ini wanita paruh baya tersebut tengah berada di Rumah hanya bersama dua Asisten Rumah Tangga dan Sopir merangkap tukang kebun di Rumah tersebut. Sedangkan Mafaza beserta Suami dan Anak semata wayangnya berada di Cabang Restaurant yang belum lama mereka dirikan.

Ponsel berdering nyaring, tertulis nama "ERAN" pada layar ponsel tersebut. Sedikit kecewa rasanya ketika membaca nama Putra sulungnya, bukan Eran yang ia harapkan untuk menghubunginya. Tapi Sang suami dan Putri bungsunya, karena ia merasa ada perasaan gelisah pada hatinya.

[Farida : Assalamu'alaikum Mas.]

[Eran : Wa'alaikum salam, Bunda dimana?

[Farida : Di Rumah Mas, kamu mau mampir kerumah sama Istri dan Anak kamu?]

[Eran : Rencananya gitu Bun, tapi --] Sang Putra sulung ragu melanjutkan perkataannya.

[Farida : Ada apa Mas?]

[Eran : Ada sedikit kecelakaan di Lapangan Tenis tadi Bun.]

[Farida : Apa maksudnya Mas? Siapa yang kecelakaan? Jangan buat Bunda khawatir karena Ayah dan Zaya belum pulang dan gak bisa dihubungi.]

[Eran : Zaya Bun, dia jatoh waktu main Tenis. Sekarang ada di Rumah Sakit, kakinya bengkak karena terkilir.]

[Farida : Astaghfirullah Hal'adzim, di Rumah Sakit mana? Bunda kesana sekarang.]

[Eran : Rumah Sakit Bakti Wiyata, sekarang masih dilakukan tindakan. Bilang Pak Kamim buat gak ngebut ya Bun, Hhhh.. percuma bilang gitu pasti Bunda minta Pak Kamim buat ngebut.]

[Farida : Iya Mas, Bunda langsung kesana sekarang. Assalamu'alaikum.]

[Eran : Wa'alaikum salam.]

"Pak Kamim.. Pak... Pak Kamim..Antar saya ke Rumah Sakit Bakti Wiyata, sekarang gak pake lama."

"Mau jenguk siapa Bu?"

"Zaya dibawa ke Rumah Sakit itu. Ayo cepat."

"O njih Bu njih, saya ambil kunci mobil dulu."

***

Didalam Rumah Sakit, Mazaya masih melakukan tindakan di Unit Gawat Darurat dengan ditemani Daffa. Hanya Daffa yang diperbolehkan masuk, karena ia salah satu Dokter di Rumah Sakit tersebut. Sengaja ia membawa Mazaya kesini, selain dekat dengan tempat kejadian. Alasan lainnya agar ia dengan mudah memantau kondisi Mazaya saat ini, dosa memang ketika ia menemani Istri seseorang seperti ini. Namun sedari tadi ia tidak melihat sang suami wanita itu datang kesini. Hanya ada Burhan, Zafir, dan satu lagi seorang pria berwajah mirip dengan Mazaya. Kemungkinan pria itu adalah Kakak kandungnya.

"Dengan Ibu --" Seorang Dokter wanita tidak melanjutkan perkataannya karena ia tidak mengetahui nama pasien tersebut.

"Emm saya Eli, ya panggil saya dengan nama Eli." Kata wanita itu sembari melirik kearah Daffa.

"Ah baik Bu Eli, untung saja Dokter Daffa sudah lebih dahulu melakukan pertolongan pertama. Jadi anda tidak perlu khawatir dengan kesembuhan kaki Ibu, tidak membutuhkan waktu lama untuk sembuh. Asal Ibu dengan rutin minum obat yang saya resepkan dan jangan pernah diurut ya Bu." Saran Dokter tersebut.

"Baik, Terima kasih Dok."

"Udah selesai?" Tanya Daffa pada Dokter wanita itu.

"Sudah Dok, bisa bayar administrasi dan tebus obat terlebih dahulu baru bisa pulang."

"Baik Terima kasih Dokter Melia." Daffa menganggukkan kepala dan Dokter itu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Bu Eli, saya urus administrasi dan tebus obat dulu."

"Pak Ustad, jangan. Biar Ayah saja yang bayar administrasinya, sebentar saya hubu--" Seketika ia menepuk keningnya, Mazaya lupa jika tas miliknya tertinggal didalam mobil Daffa.

"Tas kamu ada di Mobil saya."

"Ah iya,tapi Pak Ustad bisa --"

"Nduk, gimana keadaan kamu?" Farida datang dan memeluk putri bungsunya.

"Bunda... Gak bisa nafas Bun."

"Maaf.. maaf. Masmu tadi hubungi Bunda katanya kamu jatoh."

"Iya gak apa - apa Bunda, cuma terkilir aja kok."

"Cuma kata kamu?" Farida mencolek kaki kirinya hingga membuat putri bungsunya mengaduh.

Eran, Zafir dan Burhan sudah berada di Unit Gawat Darurat saat mendapat kabar dari Dokter yang menangani bahwa Mazaya sudah bisa pulang.

"Tolong urus administrasi ya Yah, sama tebus obat biar a -- aku bisa pulang." Entah, rasanya ia tidak ingin menyebutkan nama panggilannya didepan Daffa. Meski ia tau jika suatu saat pria itu pasti akan tau siapa nama dia yang sebenarnya.

"Iya nduk. Oh iya Bun, ini teman Zafir namanya nak Daffa. Nak Daffa perkenalkan suami saya, Farida."

"Tadi pagi kami bertemu dengan Ibu Farida Pak." Kata Daffa. Farida merasa namanya terpanggil, ia menoleh kearah samping. Dan pria muda itu memang benar bertemu dengannya di Pasar Segar tadi pagi.

"Maa shaa Allah kita ketemu lagi. Maaf saya terlalu panik sampai gak ngenalin Nak Daffa. Nak Daffa ini putra sulunf Ustadzah Maryam Yah, Ustadzah yang pernah Bunda ceritakan ke Ayah."

"Maa shaa Allah, ternyata dunia memang sempit ya." Kata Burhan, sedangkan Daffa hanya tersenyum.

"Bunda, mau pulang." Rengek Mazaya.

"Iya iya ayo kita pulang. Ayah buruan ih urusin Administrasi sama tebus obatnya."

"Iya Bunda bos, sabar."

"Saya antar Om, biar Bu Eli cepat pulang."

"Bu Eli?" Semua orang kompak.

"Ayo Ayah buruan." Mazaya tidak ingin ketahuan sekarang, sehingga ia meminta sang Ayah segera menyelesaikan urusan di Rumah Sakit.

Burhan dan Daffa berjalan untuk menyelesaikan administrasi dan tebus obat sesuai perintah Dokter. Sedangkan Farida, Eran dan Zafir tengah melipat kedua tangannya didepan dada serta menatap kearah Mazaya guna meminta penjelasan.

"Iya iya dijelasin, gak usah kayak juri mastechep gitu."

"Zaya gak mau orang yang notabene nya gak kenal tau nama panggilan asli Zaya. Meskipun Eli juga masih bagian nama Zaya kan? Coba pikir - pikir lagi, Eiliyah disingkat Eli. Salahnya dimana?"

"Hhh.." ketiganya mendesah dan ingin sekali mengacak² rambut wanita muda itu.

"Awas ya Bang Zafir harus tutup mulut tentang Zaya."

"Harus ada penjelasannya dulu."

"Rumit. Kapan - kapan aja dijelasin."

"Pantes gak nikah - nikah, ceweknya aja serumit ini." Celetuk Eran dan mendapat tatapan tajam dari Adik bungsunya.

"Gini - gini juga Adekmu Mas."

"Hhh.. mau gak diakui tapi memang Adekku. Kenapa sih Bunda ngelahirin adek cewek yang serumit dia? Belum lagi kalo kembarannya bersatu, makin rumit."

"Hus, kamu ini ngawur kalo ngomong. Tapi kamu sendiri sayang kan sama adekmu."

"Ya mau gimana lagi, uda terlanjur juga punya adek modelan begini." Eran mengapit kepala Mazaya dengan keteknya hingga membuat wanita muda itu memberontak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status