Satu pasien telah ia atasi, hanya pria itu lah yang memiliki janji konsultasi dengannya. Selebihnya tidak ada, karena setiap hari Senin, Sabtu dan Minggu ia tidak mengisi Praktek di Rumah Sakit tersebut. Waktu luangnya ia gunakan untuk membantu Yayasan milik Kedua Orang Tuanya dan mengajar Mengaji setiap sorenya serta melakukan pengecekan Manajemen saja.
Drrrrttt...Ponsel diatas meja bergetar, ia melirik siapa yang mengirim pesan untuknya. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, masih belum terlalu terik untuk mengiyakan ajakan si pengirim pesan tersebut. Ia melepas Jas putih kebanggaannya, kemudian meninggalkan Rumah Sakit tempat ia bekerja.Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai karena jalanan cukup senggang, mungkin karena hari libur dan masih terbilang pagi. Sehingga sebagian orang memilih untuk berdiam diri dengan aktivitas mereka masing - masing didalam Rumah."Akhirnya datang juga Atlet kita." Seru seorang pria berusia diatasnya dan menyambut kedatangannya."Apa kabar?" Tanya nya pada pria itu - Zafir. Begitu sapaan akrab para sahabatnya."Alhamdulillah kayak yang lo liat didepan lo ini.""Alhamdulillah.. Minta gue buat kesini emangnya ada lawan yang sepadan sama gue?" Sombongnya."Cih! Sombong." Balasnya sambil berdecih dan diikuti kekehan pria didepannya."Lo liat itu cewek? Permainannya bagus, dari kecil udah dicekoki Tenis sama Bokapnya. Dia Putri sahabat Almarhum Bokap gue.""Hmmm.. Lumayan oke juga permainannya. Terus maksud lo gue harus lawan cewek? Sorry bukan level gue kalo harus lawan cewek.""Sekali - kali, lo harus lawan dia. Permainannya gak jauh beda dari lo, dan yang pasti elo gak boleh ngalah. Dia bakal kecewa banget sama lawannya kalo si lawan pura - pura lemah.""Emangnya kenapa harus gue? Enggak lo aja atau yang lain?""Disini gak ada lawan seimbang, tuh Bokapnya aja uda kualahan.""Ck..ck..ck.. Gue udah kaku, lama gak main.""Tadi nyombong, sekarang merendah." Sarkasnya."Neng! Kasian Ayah, Abang punya lawan sepadan buat Neng." Teriaknya pada seorang wanita yang tengah bermain dengan Pria paruh baya. Sontak Ayah dan Anak itu menghentikan permainan dan menoleh kearah suara.Deg..Entah perasaan apa ini, setiap kali Daffa bertemu dengan wanita itu yang ia rasakan aliran darahnya seakan berdesir. Jantungnya tiba - tiba berdetak tidak beraturan, sehingga mengharuskan ia menghitung denyut nadi dipergelangan tangannya."Apa ini sebuah kebetulan? Kenapa beberapa hari ini aku sering bertemu dengannya? Jika memang dia jodohku, kenapa harus Istri orang ya Allah." Batinnya menjerit."Heh! Ngalamun wae. Tersepona sama kecantikannya ya? Bisa kali --""Hus, Udah - udah. Omonganmu ngalor ngidul." Daffa mengajak Sahabatnya kearah Lapangan.Pria paruh baya seusia sang Ayah menghampiri kedua pemuda itu dan bersalaman dengannya."Ini sahabat yang kamu ceritakan tadi Fir?" Kata Burhan sembari menunjuk Daffa dengan dagu."Iya Om. Dia lawan seimbang si Neng.""Syukur lah kamu cepat datang, Saya sudah tidak kuat. Salah saya juga karena menerima tantangan putri bungsu saya." Katanya dengan suara ngos - ngosan dan menepuk pundak Daffa."Tapi saya tidak pernah melawan perempuan Pak.""Tenang saja, Casing nya perempuan. Tapi tenaganya kayak laki - laki. Anggap saja lawanmu itu seorang pria." Kekeh Pria paruh baya itu."Ayah lama banget sih." Wanita itu mengayunkan kaki jenjangnya kearah sang Ayah."Nduk, pria muda ini bakal jadi lawan sepadanmu.""Jadi Ayah cari Joki buat lawan aku? Cih katanya sanggup." Mazaya berdecih.Ya, Anak dan Ayah itu adalah Burhan beserta Putri bungsunya - Mazaya. Setelah pulang dari pasar, ia bergegas mengganti pakaian dan menagih janji sang Ayah untuk melawannya bermain Tenis."Lagian kamu ada - ada aja Neng, masa Ayah disuruh lawan kamu.""Ayah juga sih yang rese tadi shubuh.""Kamu masih aja gak berubah Neng - Neng." Zafir mengusap puncak kepala wanita didepan sahabat Almarhum Ayahnya. Persahabatan sang Ayah dengan Burhan berlangsung lama, tepatnya sejak sekolah menengah atas hingga ajal menjemput Toni - Ayah Zafir.Burhan menganggap Zafir seperti putranya sendiri, ia memperlakukan Zafir seperti Ketiga Putra Putrinya. Bahkan Eran, Mafaza dan Mazaya sudah menganggap seperti Kakak baginya."Gimana? Masih mau main gak? Lawannya sepadan nih.""Hmm.. Boleh deh. Tapi jangan pura - pura lemah dan ngalah ya." Peringatnya."Baik lah." Daffa mengiyakan.Keduanya bermain seri, sedangkan kedua pria dipinggir lapangan hanya berdecak kagum dengan permainan pria dan wanita ditengah lapangan tersebut."Bisa kali Om dijodohin." Ucap Zafir."Adikmu satu itu susah Fir. Kalau memang bisa ya gak apa - apa dijodohkan, tapi Zaya diajak nikah sama Wibi aja gak mau. Padahal mereka berpacaran kurang lebih dua tahun lamanya.""Zafir sangat mengenal Zaya Om, dia pasti benar - benar mencari jawaban pada Tuhannya. Dia tidak ingin salah langkah, terlebih yang lagi ramai saat ini adalah meningkatnya persentase perceraian di Pengadilan Agama. Bukan hanya pasangan Muda, tapi pasangan berusia paruh baya pun tidak sedikit yang mengajukan perceraian. Bahkan kemarin ada yang pernikahannya baru satu bulan, sang wanita sudah mengajukan perceraian karena KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).""Yah, Om membenarkan perkataanmu. Kalau feeling Om sepertinya ada yang disembunyikan oleh Zaya, dan Om yakin itu lah alasan Zaya menolak ajakan Wibi untuk menikah.""Yah, who knows." Zafir menggedikkan bahu.Bugh..."Aaaaaawwww..."Kedua pria beda generasi itu menghentikan obrolannya dan mencari arah suara tersebut. Ya, mereka melihat Mazaya sudah tersungkur diatas lapangan dengan Daffa yang tengah berlari menghampiri wanita itu. Sontak hal tersebut membuat mereka berdua berlari ke tengah lapangan guna mengecek kondisi wanita muda tersebut."Kamu kenapa tiduran disini Nduk? Panas lho, mending tiduran di Rumah aja lebih adem.""Ih Ayah, anaknya jatoh. Mana kaki sakit banget, gak bisa digerakin." Rengeknya."Oh jatoh. Ayah gak kuat angkat kamu Nduk, biar Zafir aja yang gendong kamu buat ke tepi.""Sebentar Pak, boleh saya cek terlebih dahulu? Takutnya ada keretakan pada tulang Putri Bapak. Dan hal itu tidak bisa dipindahkan begitu saja.""Tenang Om, dia Dokter. Meskipun spesialis kejiwaan." Kekeh Zafir."Ah ya silahkan dicek saja, mau bagaimana pun Ilmu Kedokteran masih melekat pada sahabatmu." Daffa mengangguk setelah mendapat persetujuan."Maaf, saya buka sepatu kamu." Daffa membuka sepatu berwarna putih pink itu dengan sangat berhati - hati. Sedangkan Mazaya meringis menahan sakit."Hanya keseleo, dan kakinya mulai membengkak. Kita bawa langsung ke Rumah Sakit agar tidak semakin parah.""Yauda bawa aja si Neng sama lo, gue nyusul bawa mobil masing - masing sama Om Burhan." Usul Zafir."Gak usah protes!" Peringat Burhan saat Mazaya hendak melakukan protes. Sontak membuat wanita itu mengerucutkan bibirnya sembari menahan sakit dipergelangan kaki kirinya.Didalam Sebuah Rumah berlantai dua bergaya modern dengan cat berwarna putih dipadukan coklat serta cream menambah kesan mewah meski tidak masuk kategori rumah mewah pada umumnya. Seorang wanita paruh baya tampak cemas ketika sang Suami dan Putri Bungsunya belum juga pulang kerumah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Tidak seperti biasanya mereka pulang terlambat dan tidak memberikan kabar sama sekali, bahkan ponsel milik sang Suami dan Putri bungsunya tidak dapat dihubungi. Lebih tepatnya tidak memberikan jawaban pada panggilannya.Saat ini wanita paruh baya tersebut tengah berada di Rumah hanya bersama dua Asisten Rumah Tangga dan Sopir merangkap tukang kebun di Rumah tersebut. Sedangkan Mafaza beserta Suami dan Anak semata wayangnya berada di Cabang Restaurant yang belum lama mereka dirikan. Ponsel berdering nyaring, tertulis nama "ERAN" pada layar ponsel tersebut. Sedikit kecewa rasanya ketika membaca nama Putra sulungnya, bukan Eran yang ia harapkan untuk meng
2 Hari kemudian..Acara pernikahan mewah nan megah dengan dekorasi serba putih menghiasi Ballroom Hotel bintang lima. Banyaknya tamu undangan berlalu lalang, memberi ucapan, hingga menyantap hidangann yang telah disediakan. Tertulis pada papan berhias bunga segar "Welcome To Our Wedding Wibisana Dan Sahila" Kedua mempelai saling bertukar senyum menawan, bahkan pengantin wanita sangat anggun dengan Ball Gown berwarna putih yang ia kenakan."Om.. Tante.. Terima kasih sudah bersedia hadir di Acara pernikahan kami. Maafkan saya jika banyak salah sama kalian dan Zaya.""Kami yang seharusnya berterima kasih karena bersedia mengajak kami menikmati moment bahagia kalian. Semoga jadi Keluarga Sakinah Mawaddah dan Warahmah, serta memberikan keberkahan pada ibadah terpanjang kalian." Ujar Burhan, yang saat ini tengah hadir ke acara pernikahan mantan dari putri bungsunya."Aamiin.. Terima kasih banyak atas do'a yang diberikan." Kemudian menjawab anggukan pelan dari kedua pasangan paruh baya itu
Hari ini Mazaya hanya diantar oleh Sopir pribadi sang Ayah untuk melakukan kontrol di Rumah Sakit. Ia menggunakan kursi roda yang disediakan oleh pihak Rumah Sakit dan didorong oleh Pak Kamim. Sesampainya di Loby, ia bertemu dengan Daffa. Jelas saja mereka bertemu, karena pria itu ada praktek hari ini. Daffa menghampiri Mazaya yang tengah mendaftar untuk pemeriksaan. Ia menawarkan diri untuk membantu melakukan pendaftaran dan pengambilan nomor."Apa Pak Dokter sibuk?" Tanya Pak Kamim."Tidak, saya hanya perlu menunggu satu pasien lagi. Ada apa Pak?""Bisa tolong temani Si Non dulu Pak? Perut saya mules." Katanya kemudian."Ah iya, toilet disebelah sana. Saya akan bantu melakukan pendaftaran dulu.""Baik Pak Dokter, Terima kasih.""Ada data diri atau apapun?""Saya pakai Asuransi, dan ini identitas saya." Katanya ditengah bergelutnya pemikiran Mazaya mengenai identitas."Ah ya Rumah Sakit ini milik Peru
Daffa menatap kearah jalan raya, ia menemukan sosok yang tidak asing baginya. Seorang wanita dewasa tengah membantu anak Anak laki - laki berusia empat tahun untuk turun dari Kendaraan roda empat.Wanita itu berjalan beriringan dengan anak laki - laki yang bersamanya, ia hanya menyapa Daffa sekedarnya. Meski hal itu membuat pria tersebut tampak sedikit terkejut, pasalnya wanita dewasa yang ia kenal dengan nama Mazaya bersikap seolah mereka tidak saling kenal. Dan ah ia baru saja ingat, bahwa Mazaya memiliki saudara kembar."Apa dia saudara kembar Zaya? Sepertinya memang benar wanita itu saudara Zaya." Batinnya sembari menatap Wanita tersebut."Istri orang lho Daf." Suara itu sontak memecahkan pikiran yang tengah berperang."Assalamu'alaikum Umi. Kenapa gak salam sih Mi?""Wa'alaikum salam.. Umi sudah salam tapi kamu asik merhatiin Istri orang, dosa lho Daf.""Bukan yang itu Mi, tapi saudara kembarnya.""Saudara kembarnya
Setelah menyelesaikan Pertemuan Tim dan mengemukakan keinginan atasannya, Mazaya saat ini tengah berada didepan Restaurant milik saudara kembarnya diantar oleh Pak Kamim."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam, Bu Faza ada diatas Ruang VIP Bu." Kata salah satu waiters di Restaurant tersebut."Terima kasih Jia." "Sama - sama Bu."Mazaya memasuki elevator kapsul di Restaurant itu, memang Restaurant di Pusat terdiri tiga lantai dengan rooftop dilantai paling atas."Menyusahkan, kenapa lantai dua sih." Gerutunya."Kan bisa pakai elevator." Kata seorang pria disebelahnya. Sontak membuatnya terjingkat kaget saat mendengar suara yang pernah ia kenali."Pak Ustad?""Assalamu'alaikum..""Wa'alaikum salam.""Silahkan masuk." Katanya saat pintu elevator terbuka."Lantai?""Oh saya dua.""Sama kalau begitu.""Hmmm.." "Bagaimana keadaan kaki kamu?""Seperti yang Pak Ustad lihat.""Sudah tidak bengkak lagi, jangan terlalu sering buat jalan dulu. Takutnya bengkak lagi." Sarannya."Terima kasih, saya
Satu Minggu kemudianPekerjaan menumpuk karena ia sempat tidak masuk satu minggu lamanya. Bahkan sekarang ia harus memilih kandidat yang tepat untuk program training setiap tiga tahun sekali yang diadakan oleh Perusahaan tempat ia bekerja. Sebagai Manajer Personalia ia harus extra membantu para timnya dalam melakukan perekrutan. Meski Mazaya berjalan dengan bantuan tongkat, hal itu tidak menyulitkan pekerjaannya."Sudah ditentukan hasilnya?" Tanya Mazaya pada salah seorang dibagian rekrutmen.."Sudah Bu, ada dua puluh lima kandidat. Dan pihak manajemen minta sepuluh diantaranya.""Kita lakukan tes uji kelayakan dan segera diskualifikasi yang tidak mematuhi aturan kita.""Baik Bu. Maaf Bu, apa Ibu juga akan melakukan Uji kelayakan bersama kami?""Ya, saya akan turun langsung. Dan jangan lupakan Interview terakhir dengan para petinggi, saya juga akan andil dalam interview tersebut.""Baik, bisa kita mulai sekarang Bu?""Ya, jangan buang waktu."Tim perekrutan bersiap untuk melakukan Tes
Ada bahagia..Ada Kepedihan..Itu yang dinamakan kehidupan, tidak melulu tentang kebahagiaan atau kesedihan. Keduanya akan seimbang seiring berjalannya waktu, layaknya sepasang kekasih yang saling melengkapi.Meski langit terlihat gelap karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun cahaya dan kerlip lampu kota dibawah sana tampak cantik.Empat puluh lima menit Pesawat berwarna hijau putih mendarat di Juanda International Airport yang terletak di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Setelah mengurus ini dan itu, Keluarga Burhan berjalan tergesa - gesa dan menuju ke Kendaraan roda empat yang telah disediakan oleh pihak Keluarga Farida.Kendaraan yang mereka tumpangi melaju pesat menembus gelapnya malam, jarak tempuh Juanda ke Kota Kediri hanya memakan waktu kurang lebih dua jam lamanya hingga akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Tepatnya disalah satu Rumah Sakit terbaik di Kota Tahu tersebut.Diluar Ruang ICU mereka telah disambut oleh beberapa Keluarga, tangis kepedihan berh
Manusia lekat dengan peristiwa Kehidupan dan KematianKeduanya tidak akan pernah terpisahkan meski bertolak belakang..Tapi apakah ada cinta abadi yang dibawa sampai mati?Ada..Yaitu Cinta kepada Sang Pencipta, Kepada Orang Tua, serta Keluarga..Pagi menjelang, para pelayat mulai berdatangan. Karangan bunga bela sungkawa memenuhi pekarangan dan jalanan Kediaman Kedua orang tua Farida. Panca - Ayah Farida dengan setia duduk disamping Sang Istri yang telah terbujur kaku berbungkuskan kain kafan berwarna putih. Wajah cantik dan seulas senyum dibibir pucat Padma - Ibu Farida menjadi saksi bisu semasa hidup wanita senja berusia delapan puluh dua tahun tersebut.Sedangkan Mazaya, wanita muda berpakaian serba putih itu tengah membaca surat yasin untuk sang Nenek sembari mengusap kaki Padma. Beberapa kali ia mengusap air matanya, hingga ia tak sadar ada Zafir yang tengah memotretnya dalam diam dan mengirimkan pada seseorang."Sudah saatnya Bu Padma diantar ke Rumah terakhirnya." Ucap salah s