Share

Chapt 4

Satu pasien telah ia atasi, hanya pria itu lah yang memiliki janji konsultasi dengannya. Selebihnya tidak ada, karena setiap hari Senin, Sabtu dan Minggu ia tidak mengisi Praktek di Rumah Sakit tersebut. Waktu luangnya ia gunakan untuk membantu Yayasan milik Kedua Orang Tuanya dan mengajar Mengaji setiap sorenya serta melakukan pengecekan Manajemen saja.

Drrrrttt...

Ponsel diatas meja bergetar, ia melirik siapa yang mengirim pesan untuknya. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, masih belum terlalu terik untuk mengiyakan ajakan si pengirim pesan tersebut. Ia melepas Jas putih kebanggaannya, kemudian meninggalkan Rumah Sakit tempat ia bekerja.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai karena jalanan cukup senggang, mungkin karena hari libur dan masih terbilang pagi. Sehingga sebagian orang memilih untuk berdiam diri dengan aktivitas mereka masing - masing didalam Rumah.

"Akhirnya datang juga Atlet kita." Seru seorang pria berusia diatasnya dan menyambut kedatangannya.

"Apa kabar?" Tanya nya pada pria itu - Zafir. Begitu sapaan akrab para sahabatnya.

"Alhamdulillah kayak yang lo liat didepan lo ini."

"Alhamdulillah.. Minta gue buat kesini emangnya ada lawan yang sepadan sama gue?" Sombongnya.

"Cih! Sombong." Balasnya sambil berdecih dan diikuti kekehan pria didepannya.

"Lo liat itu cewek? Permainannya bagus, dari kecil udah dicekoki Tenis sama Bokapnya. Dia Putri sahabat Almarhum Bokap gue."

"Hmmm.. Lumayan oke juga permainannya. Terus maksud lo gue harus lawan cewek? Sorry bukan level gue kalo harus lawan cewek."

"Sekali - kali, lo harus lawan dia. Permainannya gak jauh beda dari lo, dan yang pasti elo gak boleh ngalah. Dia bakal kecewa banget sama lawannya kalo si lawan pura - pura lemah."

"Emangnya kenapa harus gue? Enggak lo aja atau yang lain?"

"Disini gak ada lawan seimbang, tuh Bokapnya aja uda kualahan."

"Ck..ck..ck.. Gue udah kaku, lama gak main."

"Tadi nyombong, sekarang merendah." Sarkasnya.

"Neng! Kasian Ayah, Abang punya lawan sepadan buat Neng." Teriaknya pada seorang wanita yang tengah bermain dengan Pria paruh baya. Sontak Ayah dan Anak itu menghentikan permainan dan menoleh kearah suara.

Deg..

Entah perasaan apa ini, setiap kali Daffa bertemu dengan wanita itu yang ia rasakan aliran darahnya seakan berdesir. Jantungnya tiba - tiba berdetak tidak beraturan, sehingga mengharuskan ia menghitung denyut nadi dipergelangan tangannya.

"Apa ini sebuah kebetulan? Kenapa beberapa hari ini aku sering bertemu dengannya? Jika memang dia jodohku, kenapa harus Istri orang ya Allah." Batinnya menjerit.

"Heh! Ngalamun wae. Tersepona sama kecantikannya ya? Bisa kali --"

"Hus, Udah - udah. Omonganmu ngalor ngidul." Daffa mengajak Sahabatnya kearah Lapangan.

Pria paruh baya seusia sang Ayah menghampiri kedua pemuda itu dan bersalaman dengannya.

"Ini sahabat yang kamu ceritakan tadi Fir?" Kata Burhan sembari menunjuk Daffa dengan dagu.

"Iya Om. Dia lawan seimbang si Neng."

"Syukur lah kamu cepat datang, Saya sudah tidak kuat. Salah saya juga karena menerima tantangan putri bungsu saya." Katanya dengan suara ngos - ngosan dan menepuk pundak Daffa.

"Tapi saya tidak pernah melawan perempuan Pak."

"Tenang saja, Casing nya perempuan. Tapi tenaganya kayak laki - laki. Anggap saja lawanmu itu seorang pria." Kekeh Pria paruh baya itu.

"Ayah lama banget sih." Wanita itu mengayunkan kaki jenjangnya kearah sang Ayah.

"Nduk, pria muda ini bakal jadi lawan sepadanmu."

"Jadi Ayah cari Joki buat lawan aku? Cih katanya sanggup." Mazaya berdecih.

Ya, Anak dan Ayah itu adalah Burhan beserta Putri bungsunya - Mazaya. Setelah pulang dari pasar, ia bergegas mengganti pakaian dan menagih janji sang Ayah untuk melawannya bermain Tenis.

"Lagian kamu ada - ada aja Neng, masa Ayah disuruh lawan kamu."

"Ayah juga sih yang rese tadi shubuh."

"Kamu masih aja gak berubah Neng - Neng." Zafir mengusap puncak kepala wanita didepan sahabat Almarhum Ayahnya. Persahabatan sang Ayah dengan Burhan berlangsung lama, tepatnya sejak sekolah menengah atas hingga ajal menjemput Toni - Ayah Zafir.

Burhan menganggap Zafir seperti putranya sendiri, ia memperlakukan Zafir seperti Ketiga Putra Putrinya. Bahkan Eran, Mafaza dan Mazaya sudah menganggap seperti Kakak baginya.

"Gimana? Masih mau main gak? Lawannya sepadan nih."

"Hmm.. Boleh deh. Tapi jangan pura - pura lemah dan ngalah ya." Peringatnya.

"Baik lah." Daffa mengiyakan.

Keduanya bermain seri, sedangkan kedua pria dipinggir lapangan hanya berdecak kagum dengan permainan pria dan wanita ditengah lapangan tersebut.

"Bisa kali Om dijodohin." Ucap Zafir.

"Adikmu satu itu susah Fir. Kalau memang bisa ya gak apa - apa dijodohkan, tapi Zaya diajak nikah sama Wibi aja gak mau. Padahal mereka berpacaran kurang lebih dua tahun lamanya."

"Zafir sangat mengenal Zaya Om, dia pasti benar - benar mencari jawaban pada Tuhannya. Dia tidak ingin salah langkah, terlebih yang lagi ramai saat ini adalah meningkatnya persentase perceraian di Pengadilan Agama. Bukan hanya pasangan Muda, tapi pasangan berusia paruh baya pun tidak sedikit yang mengajukan perceraian. Bahkan kemarin ada yang pernikahannya baru satu bulan, sang wanita sudah mengajukan perceraian karena KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)."

"Yah, Om membenarkan perkataanmu. Kalau feeling Om sepertinya ada yang disembunyikan oleh Zaya, dan Om yakin itu lah alasan Zaya menolak ajakan Wibi untuk menikah."

"Yah, who knows." Zafir menggedikkan bahu.

Bugh...

"Aaaaaawwww..."

Kedua pria beda generasi itu menghentikan obrolannya dan mencari arah suara tersebut. Ya, mereka melihat Mazaya sudah tersungkur diatas lapangan dengan Daffa yang tengah berlari menghampiri wanita itu. Sontak hal tersebut membuat mereka berdua berlari ke tengah lapangan guna mengecek kondisi wanita muda tersebut.

"Kamu kenapa tiduran disini Nduk? Panas lho, mending tiduran di Rumah aja lebih adem."

"Ih Ayah, anaknya jatoh. Mana kaki sakit banget, gak bisa digerakin." Rengeknya.

"Oh jatoh. Ayah gak kuat angkat kamu Nduk, biar Zafir aja yang gendong kamu buat ke tepi."

"Sebentar Pak, boleh saya cek terlebih dahulu? Takutnya ada keretakan pada tulang Putri Bapak. Dan hal itu tidak bisa dipindahkan begitu saja."

"Tenang Om, dia Dokter. Meskipun spesialis kejiwaan." Kekeh Zafir.

"Ah ya silahkan dicek saja, mau bagaimana pun Ilmu Kedokteran masih melekat pada sahabatmu." Daffa mengangguk setelah mendapat persetujuan.

"Maaf, saya buka sepatu kamu." Daffa membuka sepatu berwarna putih pink itu dengan sangat berhati - hati. Sedangkan Mazaya meringis menahan sakit.

"Hanya keseleo, dan kakinya mulai membengkak. Kita bawa langsung ke Rumah Sakit agar tidak semakin parah."

"Yauda bawa aja si Neng sama lo, gue nyusul bawa mobil masing - masing sama Om Burhan." Usul Zafir.

"Gak usah protes!" Peringat Burhan saat Mazaya hendak melakukan protes. Sontak membuat wanita itu mengerucutkan bibirnya sembari menahan sakit dipergelangan kaki kirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status