Daffa meletakkan ponselnya diatas nakas setelah ia memutuskan panggilan dari sang Ayah dan kembali berbaring disebelah Mazaya."Ada apa Mas?""Orang tua almarhumah datang kerumah.""Ngapain?" "Minta tolong Mas buat bantu usut kejanggalan peristiwa yang dialami Almarhumah.""Hah? Kok bisa?""Erika sepupu Almarhumah satu - satunya saksi di Tempat itu, setelah sekian lama mengalami trauma akhirnya dia bangkit dan membuka suara. Disitu lah Pak Zaenal ingin mengusut tuntas kejadian tersebut.""Hmmm.. Aku jadi ada ide."***Waktu masih menunjukkan pukul dua pagi, udara diluar sana tampak dingin meski berada dibilangan Ibu Kota. seorang pria berjalan sempoyongan bersama wanita berambut pendek, didepan pintu wanita itu menekan bel rumah dan tak lama seorang paruh baya membukakannya."Astaga Wibi." Begitu kata paruh baya itu saat mendapati Putra bungsunya dalam keadaan mabuk berat. Ia membantu memapah sang Putra dan mengalihkan pandangannya pada wanita muda didepannya."Terima kasih sudah men
Suara klakson bersahutan, asap hitam mengepul dari masing - masing kendaraan yang tengah berlalu lalang. Matahari pun sangat menyengat hingga menusuk kulit.Tangan yang diarahkan keatas oleh wanita berkerudung biru tua tak mampu menutupi wajahnya dari terik matahari. Mazaya, begitu lah sapaan akrab wanita itu. Kerap kali ia melirik jam dipergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul dua belas lebih empat puluh lima menit. Yang artinya lima belas menit lagi jam istirahatnya telah berakhir."Taksi..." Seru Mazaya saat sebuah Taxi berwarna kuning berjalan lambat didepannya."Waduh, kenapa ada dua orang begini?" Mendengar perkataan Sopir Taxi itu, sontak membuatnya menoleh kearah kanan. Seorang pria yang juga memberhentikan Taxi tersebut."Duh Pak saya sudah telat, Kantor saya deket kok dari sini.""Dimana kantor nya Neng?""Tinggal lurus aja kira - kira dua ratus meter, kiri jalan.""Oh Perusahaan Tambang Emas ya Neng?""Iya betul.""Terus Mas nya mau kemana?""Rumah Sakit didaerah
Masih hari Minggu, tanggal merah tak membuatnya bermalas - malasan bergelung dibawah selimut tebal. Mazaya setiap harinya rutin bangun pagi - pagi sekali untuk menunaikan ibadah shalat shubuh dan berolahraga. Seusai melaksanakan kegiatan rutinnya, ia turun menapaki anak tangga dan menuju kearah Dapur. Haus, tenggorokan kering. Itu lah yang ia rasakan saat ini, terlebih ia harus ke area samping rumah untuk berolahraga menggunakan treadmill serta olahraga ringan lainnya."Dor!" Kebiasaan itu lah yang akan ia lakukan ketika bertemu dengan Asisten Rumah Tangga paling muda di Kediaman Orang Tuanya."Dor! Ehh Dor! Dor! Dor! Mbak Zaya kenapa bisa disini? Eh iya Eh ini Rumah Mbak." Mazaya berdecak dan bergeleng ketika Asih - Asisten Rumah Tangga Kediamannya latah seperti itu. "Zaya antar Bunda sama Mbok ke Pasar dong. Persediaan Dapur sudah menipis." Farida - Sang Ibu berjalan mendekatinya yang tengah menuang air kedalam gelas."Pasar mana?" Jawabnya sembari menyesap segelas air putih ditang
Sepanjang perjalanan pulang dari Pasar segar, Daffa Khafid Irsyad atau yang biasa dikenal dengan nama Daffa atau Khafid tengah duduk dibalik kemudi sembari mendengarkan ocehan sang Ibu. "Putri bungsu Mbak Farida maa shaa Allah cantik, dengar - dengar karirnya bagus. Siapa tadi namanya?""Bu Farida gak nyebut nama Putrinya Umi.""Oh iya sayang sekali, kamu sih buru - buruin Umi.""Maaf Umi, Daffa ada janji sama pasien hari ini.""Tanggal merah loh Daf, kenapa masih saja kerja. Lagi pula kamu ini aneh, pengurus Yayasan tapi ambil jurusan Kedokteran dan Spesialis Kejiwaan." "Abi dan Umi hidup untuk menolong orang, dengan cara menyekolahkan mereka yang tidak mampu dan menampung mereka para anak terlantar serta yatim piatu dengan membuat panti sosial. Daffa juga ingin menolong orang seperti Abi dan Umi meski dengan cara berbeda." "Umi tau tujuan kita selalu sama tapi cara kita yang berbeda. Kamu ini pria dewasa, sudah sangat matang, ustad, tampan dan mendedikasikan hidup untuk menolong
Satu pasien telah ia atasi, hanya pria itu lah yang memiliki janji konsultasi dengannya. Selebihnya tidak ada, karena setiap hari Senin, Sabtu dan Minggu ia tidak mengisi Praktek di Rumah Sakit tersebut. Waktu luangnya ia gunakan untuk membantu Yayasan milik Kedua Orang Tuanya dan mengajar Mengaji setiap sorenya serta melakukan pengecekan Manajemen saja.Drrrrttt...Ponsel diatas meja bergetar, ia melirik siapa yang mengirim pesan untuknya. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, masih belum terlalu terik untuk mengiyakan ajakan si pengirim pesan tersebut. Ia melepas Jas putih kebanggaannya, kemudian meninggalkan Rumah Sakit tempat ia bekerja.Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai karena jalanan cukup senggang, mungkin karena hari libur dan masih terbilang pagi. Sehingga sebagian orang memilih untuk berdiam diri dengan aktivitas mereka masing - masing didalam Rumah. "Akhirnya datang juga Atlet kita." Seru seorang pria berusia diatasnya dan menyambut kedatangannya."Apa kabar
Didalam Sebuah Rumah berlantai dua bergaya modern dengan cat berwarna putih dipadukan coklat serta cream menambah kesan mewah meski tidak masuk kategori rumah mewah pada umumnya. Seorang wanita paruh baya tampak cemas ketika sang Suami dan Putri Bungsunya belum juga pulang kerumah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Tidak seperti biasanya mereka pulang terlambat dan tidak memberikan kabar sama sekali, bahkan ponsel milik sang Suami dan Putri bungsunya tidak dapat dihubungi. Lebih tepatnya tidak memberikan jawaban pada panggilannya.Saat ini wanita paruh baya tersebut tengah berada di Rumah hanya bersama dua Asisten Rumah Tangga dan Sopir merangkap tukang kebun di Rumah tersebut. Sedangkan Mafaza beserta Suami dan Anak semata wayangnya berada di Cabang Restaurant yang belum lama mereka dirikan. Ponsel berdering nyaring, tertulis nama "ERAN" pada layar ponsel tersebut. Sedikit kecewa rasanya ketika membaca nama Putra sulungnya, bukan Eran yang ia harapkan untuk meng
2 Hari kemudian..Acara pernikahan mewah nan megah dengan dekorasi serba putih menghiasi Ballroom Hotel bintang lima. Banyaknya tamu undangan berlalu lalang, memberi ucapan, hingga menyantap hidangann yang telah disediakan. Tertulis pada papan berhias bunga segar "Welcome To Our Wedding Wibisana Dan Sahila" Kedua mempelai saling bertukar senyum menawan, bahkan pengantin wanita sangat anggun dengan Ball Gown berwarna putih yang ia kenakan."Om.. Tante.. Terima kasih sudah bersedia hadir di Acara pernikahan kami. Maafkan saya jika banyak salah sama kalian dan Zaya.""Kami yang seharusnya berterima kasih karena bersedia mengajak kami menikmati moment bahagia kalian. Semoga jadi Keluarga Sakinah Mawaddah dan Warahmah, serta memberikan keberkahan pada ibadah terpanjang kalian." Ujar Burhan, yang saat ini tengah hadir ke acara pernikahan mantan dari putri bungsunya."Aamiin.. Terima kasih banyak atas do'a yang diberikan." Kemudian menjawab anggukan pelan dari kedua pasangan paruh baya itu
Hari ini Mazaya hanya diantar oleh Sopir pribadi sang Ayah untuk melakukan kontrol di Rumah Sakit. Ia menggunakan kursi roda yang disediakan oleh pihak Rumah Sakit dan didorong oleh Pak Kamim. Sesampainya di Loby, ia bertemu dengan Daffa. Jelas saja mereka bertemu, karena pria itu ada praktek hari ini. Daffa menghampiri Mazaya yang tengah mendaftar untuk pemeriksaan. Ia menawarkan diri untuk membantu melakukan pendaftaran dan pengambilan nomor."Apa Pak Dokter sibuk?" Tanya Pak Kamim."Tidak, saya hanya perlu menunggu satu pasien lagi. Ada apa Pak?""Bisa tolong temani Si Non dulu Pak? Perut saya mules." Katanya kemudian."Ah iya, toilet disebelah sana. Saya akan bantu melakukan pendaftaran dulu.""Baik Pak Dokter, Terima kasih.""Ada data diri atau apapun?""Saya pakai Asuransi, dan ini identitas saya." Katanya ditengah bergelutnya pemikiran Mazaya mengenai identitas."Ah ya Rumah Sakit ini milik Peru