“Nar, lo baik-baik aja?” Kiran tak heran kalau Dinara tak banyak bicara, hanya saja diamnya Dinara kali ini juga disertai raut dingin yang mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang terjadi. Sebagai teman sejak lama, bagaimana bisa Kiran abai begitu saja dengan perubahan mood yang siginifikan itu? Makan malam mereka tentunya penuh keriuhan. Pukul sepuluh malam, baru semua manusia itu beranjak pergi. Makan hanya satu jam, sisanya jelas dihabiskan untuk lebih banyak ghibah sampai resto hampir tutup. Kiran yang sejak di resto sudah curiga dengan perubahan Dinara langsung menawarkan untuk mengantar sahabatnya itu pulang. Kebetulan memang rumah mereka masih yang paling searah kalau dibandingkan dengan ciwi lainnya. Sembari menyetir, dia melirik Dinara yang benar-benar memandang lurus jalanan dihadapannya. Sepertinya gadis itu tak punya niatan untuk menjawab pertanyaannya. “Masalah Sandi?” Dinara mengerjap sebentar seolah baru sadar dari lamunannya. Kepalanya menoleh ke kanan—menyadari ba
“Kak! Yuk turun! Mama bawa makanan banyak banget!” Dinara tak sadar ini pukul berapa. Netranya menyipit saat Dikta membuka paksa gorden warna abu-abu di kamarnya sehingga cahaya matahari seakan merangsak masuk secara tiba-tiba. Terlihat sangat sulit untuk menyesuaikan, kelopak matanya rasanya seperti lebih tebal dan pedih daripada biasanya. Dikta yang bayangannya belum seratus persen full HD terlihat mendekatinya. Baru setelah sepersekian detik Dinara sadar bahwa sang adik tengah menatapnya heran dari jarak yang cukup dekat. “Sebelum turun kompres mata dulu deh kayaknya! Takut mama sama papa khawatir!” ujar Dikta sebelum lagi-lagi menarik seimut Dinara sehingga gadis yang sama sekali tak punya pembelaan itu kembali terkesiap. “Ini jam berapa sih? Tumben mama udah sampai rumah,” keluh Dinara. Seingatnya, kedua orang tuanya itu masih belum sampai rumah semalam. Dikta memutar matanya, “udah siang, mbak! Jam sebelas lho ini! Mama sama papa baru aja pulang.”Dikucek sebentar matanya y
Senyuman sok ramah menyebalkan itu jelas tengah berusaha untuk memancing keluar jiwa bar- bar Dinara. Saking seringnya bertemu dengan senyuman Selena, Dinara jadi begitu muak sekarang. "Aku pergi sesekali, nggak ada salahnya, kan?" balas Dinara tenang. Padahal dalam hati dia sudah mencak- mencak ingin mengeluarkan sapaan penuh kebun binatang yang diajarkan Julie dan Kiran sebelumnya. Tapi Dinara ingat, dia tidak perlu melakukan atau menanggapi dengan hal- hal yang semacam itu. Semakin dia menunjukkan emosinya, semakin puas juga si lawan yang memang selalu ingin membuatnya lepas kendali. Mengapa dia harus menurunkan value hanya karena kadal satu ini?"Kamu sudah benar- benar selesai, kan?" Selena bicara lagi lalu setelah itu dengan sok asik menambahkan kalimatnya, "ups, maksudku sudah benar- benar selesai perawatan atau apapun itu, kan?" Dinara masih mempertahankan rautnya, nyaris tersenyum remeh untuk membalas provokasi kurang menyenangkan yang dilakukan Selena. "Tentu, aku sedan
Banyak yang terjadi dalam seminggu belakangan dan ditengah seluruh keriwehan itu, Dinara benar-benar menjalani hidupnya yang super produktif.Pagi-pagi sekali Dinara sudah berada di bandara. Meski hubungannya mungkin berakhir, Dinara masih harus menepati janjinya dengan mantan atasannya—Alana Yasmin. Yap, hari ini dia harus berangkat ke Bali untuk memenuhi undangan pernikahan Alana dan Arkasa yang dihelat tertutup. Dinara sudah menyiapkan jawaban seandainya dia ditanyai terkait dengan dirinya dan Sandi. Namun sebisa mungkin Dinara benar-benar hanya ingin menghindar dari topik itu sebenarnya.Masker hitam yang menutupi hidung dan mulutnya terasa sedikit mengganggu karena pernafasannya terasa agak tersendat. Mungkin efek berangkat subuh-subuh, udara dingin agak menggelitik hidungnya.Kali ini dia berangkat bersama dengan rekan-rekannya selama bekerja sebelumnya. Mereka yang tadinya dijadwalkan berangkat jumat sore, ternyata justru bisa mendapatkan libur penuh dari perusahaan. “Hhh mas
Pernikahan putra putri dari keluarga tersohor itu punya tarikan megah dan eksklusif apalagi deretan tamu yang hadir benar-benar hanya pesohor dan kerabat dekat masing-masing. Setiap orang yang masuk adalah pilihan dan punya tiket masing-masing untuk menjangkau areal VVIP tersebut. Tidak ada istilah plus satu dari siapapun. Tak heran bahkan istri ataupun tunangan dari undangan manapun tetap tak akan bisa ikut masuk kecuali nama mereka memang dituliskan dalam undangan. Asumsi Dinara, itu adalah alasan mengapa pada akhirnya kekasih paksaan milik Sandi itu pada akhirnya tidak berada disini juga. Haruskah dia senang mengetahuinya?Tidak juga, tidak terlalu penting sebenarnya. Sekarang ini Dinara tengah menghadapi hal lainnya yang lebih menegangkan. Gadis itu berdiri dengan heels dua belas senti di depan pintu utama dan dengan senyuman paling ramahnya menyapa setiap undangan yang melakukan registrasi. Dia benar-benar berusaha menjadi versi paling ramahnya sekalipun ini terasa agak kurang
"Nar, pacar lo punya adik tiri?" Baru saja mencoba untuk menghapus riasan berat di matanya, Stecia dan Kalila tiba- tiba saja sudah berada di dalam kamarnya. Kedua gadis itu bahkan masih compang- camping dengan makeup yang belum sepenuhnya terhapus dan mengenakan pakaian tidur. Melalui pantulan cemin, Dinara bisa melihat bagaimana wajah syok keduanya, jauh lebih parah daripada Dinara yang kamarnya tiba- tiba dibuka paksa. "Hm?" Hanya deheman yang dia gunakan sebagai tanda untuk merespon. Dinara lebih memilih untuk meneruskan menempel kapas berteteskan micellar oil untuk menghapus riasan waterproof di bagian mata. Seakan tak begitu terpengaruh oleh keberadaan dua onggok rekan kerjanya itu. "Jadi bener cewek yang tadi mereka bawa itu anak haramnya Tuan Seno Arsena?" tanya Stecia lagi. Kalila kini sudah menggoyang- goyangkan bahu Dinara. Berusaha mendapatkan respon lebih dari Dinara yang dia yakini pasti lebih tahu tentang kebenaran ini. "Lo udah tahu, Nar?" tanya Kalila. Mau
Kamu bebas. Sandi masih ingat bagaimana gemuruh dadanya saat itu. Dia pikir mereka bisa kembali seperti semula—seperti sebelum hubungan keduanya tercegat oleh misi bawah tanah keluarganya. Tapi ternyata Dinara justru punya pilihan lain. Salahkah Sandi tak melibatkan Dinara dalam rencananya dulu? Apakah ini sudah terlambat bagi mereka? “Kamu bebas mengencani siapapun dan melakukan apapun. Aku nggak akan mengganggu kamu selama itu dan mungkin setelahnya.” Hampir emosi karena bukan ini yang dia inginkan. Apakah seburuk itu kesalahannya sehingga Dinara tak mau kembali padanya? “Aku nggak berpaling, Nar! Aku nggak selingkuh! Tell me! Aku tahu aku salah karena nggak melibatkan ataupun memberitahu kamu lebih dulu, tapi ini nggak adil buat aku!” Sandi masih duduk meskipun amarah hampir menguasai dirinya sementara Dinara justru nampak super tenang dan bahkan bisa menyajikan senyum tipis. “Kamu nggak salah. Nggak ada yang salah dengan tidak memberitahukan aku apa yang mau kamu lakukan un
Ruangan penuh buku nampak sudah cukup sepi, menyisakan tiga orang di masing-masing pojok berjauhan. Jarum pendek di jam dinding menunjuk angka 1 pagi—wajar saja orang-orang yang tadinya bergerombol di meja, kini sudah hilang satu per satu. Meskipun perpustakaan itu buka dua puluh empat jam, tidak semuanya betah duduk lama-lama hingga pegal saat dini hari begini. Dinara menutup bukunya, menarik pelan kaca mata baca yang dia kenakan hampir seharian. Bokongnya sudah kebas sekarang. Gadis itu membenarkan posturnya sebentar, bergerak sampai suara sendinya terdengar. Beginilah kehidupan sehari-hari Dinara selama dia berada di Negeri Paman Sam. Keluar asrama hanya untuk berangkat ke kampus lalu lanjut menenggelamkan diri di perpustakaan kota. Baru setelah itu kembali ke asrama dan tidur. Tak banyak yang dia lakukan diluar itu. Hampir dua bulan disini, Dinara bahkan belum sempat jalan-jalan berwisata sama sekali. Paling hanya sempat ikut makan malam bersama dengan beberapa teman kampusnya.