Share

Waktu Yang Semakin Tergerus

Aku menggelar semua keris lelaki yang bernama Warma di 'peken' atau pasar yang berada di tengah-tengah Desa Sojo. Kebetulan hari masih belum terlalu siang, pengunjung pasar juga masih berlalu lalang membeli kebutuhan, dan ada sebuah meja kayu tak bertuan yang kuangkat ke tengah pasar. 

Menjual keris-keris ini tidak jauh berbeda dengan ilmu negosiasi yang kupelajari saat di istana. Dan targetnya, aku harus bisa menjual beberapa keris Warma untuk ongkos menuju Wangsa Mahayana. 

"Bantu aku, Dewa. Bantu aku," gumamku kemudian mengambil dua keris yang terlihat paling menarik perhatian. 

Aku menghampiri seorang lelaki bertubuh gagah yang hanya memakai celana pendek sebatas lutut berwarna coklat tanpa baju. Kedua lengannya berotot dan rambutnya ditata rapi dengan sedikit gelungan di atasnya. Dan memakai alas kaki dari kulit hewan.

Dia pasti orang terpandang atau memiliki jabatan di Wangsa Canggal, tempatku berada saat ini. 

"Tuan, ada keris baru! Ini dari Wangsa Mahayana! Ini buatan Empu Dharmasetu! Pandai besi paling terkenal di Wangsa Mahayana!"

"Mana ada Empu Dharmasetu menjual kerisnya sembarangan! Kamu berbohong."

"Anda bisa mencobanya lebih dulu sebelum memutuskan ingin membelinya atau tidak, Tuan. Keris ini sangat tajam. Dan lihatlah ukiran ini, bukankah ini sama dengan ukiran keris buatan beliau?"

Dalam hati, aku ketar-ketir andai ketahuan jika keris itu bukanlah buatan Empu Dharmasetu. Karena aku paham sekali bagaimana kualitas keris buatannya yang khusus dibuat untuk para prajurit yang mengabdi pada istana Wangsa Mahayana. 

Lelaki itu nampak tertarik lalu memperhatikan dengan seksama ukiran yang berada di sangkur atau sarung keris. Lalu ia menarik keris sepanjang lima puluh centimeter itu hingga nampak ukiran seperti serat kayu dari bawah hingga ujung. 

"Ujungnya tidak sempurna," gumamnya. 

"Ini keris yang gagal dibuat oleh Empu Dharmasetu, Tuan. Lalu dia menyuruhku menjualnya dengan harga murah."

"Sejak kapan Empu Dharma tidak mau memperbaiki keris ciptaannya yang gagal?"

"Perunggu sudah banyak di datangkan di Mahayana, Tuan. Jadi Empu Dharma tidak kesulitan mencari bahan bakunya andai ada yang gagal dibuat."

"Kamu bagaimana bisa tahu hal ini?"

Aku terkekeh bangga lalu merangkai kebohongan lain demi menarik simpati lelaki gagah itu agar mau membeli keris yang entah itu buatan siapa. Kali ini aku harus berhasil agar bisa kembali ke Wangsa Mahayana. 

Begitu pasar mulai sepi, aku membungkus kembali keris-keris itu ke dalam kain coklat lalu menghampiri Warma yang sedari tadi duduk di bawah pohon yang rindang. Lalu menyerahkan lima puluh keping gobog atau setara dengan satu dirham. 

"Hanya terjual dua keris. Tapi cukup sebagai tambahan ke Wangsa Mahayana, kan?!"

"Baiklah. Ayo kita datangi pemilik bendinya."

***

Aku kembali ke gubuk Bibi Tyasih dengan peluh yang bercucuran. Pasalnya, rumah pemilik bendi ternyata cukup jauh ditambah cuaca sangat terik. 

Ini kali pertama aku berjalan sejauh ini karena selama menjadi putra mahkota, kemanapun aku pergi selalu menggunakan kuda atau bendi khusus kerajaan. Begitu matahari mulai terbenam dan sudah membersihkan diri, aku ikut duduk bersama Bibi Tyasih dan suaminya. 

Kami melahap singkong rebus dengan cabai dan garam yang dihaluskan sebagai makan malam. Maklum keadaan ekonomi keluarga ini tidak terlalu berada. 

"Bi, Paman, aku meminta izin pada kalian karena besok aku akan ke Wangsa Mahayana."

Keduanya menatapku dengan sorot tertegun. 

"Wira, kamu jangan mengigau. Mahayana itu jauh. Bisa berhari-hari sampai disana walau naik bendi."

"Aku tahu, Bi. Dan aku tadi sudah bertemu dengan pemilik bendi."

Kali ini mereka justru terkejut setengah mati mendengar ucapanku.

"Kamu baru mati suri dan sekarang mau pergi lagi? Wira, kesehatanmu belum benar-benar kembali."

Kepalaku menggeleng. "Aku akan semakin sakit kalau tetap berada di gubuk saja, Bi. Aku kesana karena ingin merantau. Aku ini laki-laki dan harus bisa membanggakan keluarga."

"Tidak, Wira. Jangan sekarang. Bibi tidak tega membiarkanmu pergi sejauh itu."

Beragam alasan yang kulontarkan pada Bibi Tyasih dan suaminya tidak serta membuat mereka mengizinkanku pergi. Mereka masih menganggap bahwa raga Grawira masih terlalu lemah. Padahal yang menjalankan tubuh keponakannya ini adalah jiwaku, Putra Mahkota Majafi.

Selain itu, aku baru tahu jika Grawira bukanlah lelaki bermental baja pada umumnya. Dia lelaki penakut apalagi untuk bepergian sejauh itu. 

Malam harinya saat aku akan menyelinap pergi dari gubuk ini, Paman dan Bibi Tyasih justru tidur di depan pintu gubuk. Padahal kemarin malam mereka tidur di dalam kamar mereka sendiri. Apakah mereka sengaja tidur di depan pintu untuk menghalau rencana kepergianku?

Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan ketika waktu yang kumiliki juga semakin sedikit?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status