Akhirnya aku tiba di sebuah gubuk bambu yang disinari dua lampu minyak saja. Sedang bagian luar gubuk dibiarkan gelap gulita.
Suami Bibi Tyasih hampir jantungan melihat Grawira yang sudah sehat sepenuhnya. Padahal, aku lah yang mengendalikan raga pemuda malang ini.
Aku meluruskan kedua kaki dengan rapat sambil bersandar di tiang gubuk. Karena kelelahan membawa bungkusan pakaian sambil berjalan cepat mengimbangi langkah Bibi Tyasih.
"Wira, dudukmu seperti orang priyayi saja," celetuknya.
Karena terbiasa dengan didikan ketat kerajaan, aku terbiasa bersikap sopan dan santun dalam berbagai kondisi. Meski aku tahu bagaimana cara duduk para rakyat, namun aku tidak bisa melakukannya meski telah berada dalam raga Grawira.
"Ini air hangat untukmu, Wira. Maaf, Bibi hanya punya itu."
Sebuah gelas dari tanah liat berbentuk cembung berisi air putih hangat. Berbeda dengan yang ada di istana. Gelas-gelas itu terbuat dari perunggu.
Aku meneguk air hangat itu dengan etika yang diajarkan istana dan itu membuat Bibi Tyasih tertegun.
"Wira, apa kamu dirasuki roh seorang priyayi sampai gaya minummu saja berubah?"
Aku hampir menyemburkan air yang sudah kuminum ketika Bibi Tyasih berucap demikian. Bagaimana pun, aku tidak mau identitasku sebagai Putra Mahkota Majafi terkuak terang-terangan.
Ketika malam telah larut, Bibi Tyasih menata sebuah tikar untuk alas tidurku. Rasanya dingin dan lembab. Berbeda jauh dengan apa yang aku dapat dari istana.
Seperti inikah kehidupan para rakyat yang sesungguhnya?
Jika hidup mereka sudah sesulit ini, pantaskah Paduka Raja dan Pangeran Wikrama menjadikan tahta kepemimpinan sebagai ajang bersenda gurau?
Tidak! Aku tidak akan membiarkannya!
***
Di gubuk Bibi Tyasih, aku tinggal bersama beliau dan suaminya. Kedua anaknya bekerja sebagai kuli angkut seorang saudagar yang menjual jubah, keramik, dan perkakas dari Arab. Mereka tinggal di pasar yang berada di pelabuhan laut dan pulang kampung satu bulan sekali.
"Bi, apa Bibi tahu Wangsa Mahayana?" tanyaku padanya ketika kami sedang memetik sayur di belakang gubuk untuk dijadikan sarapan.
"Ya tahu lah, Wir. Itu kan Wangsa paling besar. Pertanyaanmu aneh sekali."
"Jaraknya berapa jauh dari sini, Bi?" tanyaku lagi sambil mengekori Bibi yang tengah memetik daun singkong muda.
"Jauh sekali, Wir. Kalau jalan kaki bisa sampai empat hari."
"Kalau naik kuda?"
Bibi menatapku setelah memasukkan daun singkong ke dalam wadah dari anyaman bambu.
"Kamu mau apa ke Wangsa Mahayana, Wir? Mau jual perkakas dan jubah kayak Ta-Shih?"
"Siapa itu Ta-Shih, Bi?"
"Juragan anak-anak Bibi. Saudagar dari Arab yang juga menjual barang-barangnya sampai Wangsa Mahayana."
Seketika aku memiliki ide cemerlang.
"Bi, kira-kira apa Ta-Shih masih butuh pekerja untuk membawa barang dagangannya menuju Wangsa Mahayana?"
"Kamu mau bekerja pada Ta-Shih, Wir?"
Kepalaku mengangguk tegas.
"Apa kamu benar-benar sudah sehat?" Tangan Bibi terulur menyentuh keningku.
"Iya, Bi. Aku ... harus bekerja. Aku tidak mungkin hanya makan dan tidur saja, kan?!"
"Bibi tanyakan kalau anak-anak Bibi sudah pulang kampung, Wir."
"Kapan itu, Bi?"
"Mungkin tiga minggu lagi."
Bahuku lunglai seketika. Pasalnya, Sri Dewa hanya memberiku waktu tidak banyak. Hanya empat puluh hari saja dan ini sudah berjalan dua hari. Jadi, sisa waktuku hanya tiga puluh delapan hari.
Jika aku menunggu kedatangan kedua anak Bibi Tyasih, bukan tidak mungkin aku tidak akan pernah bisa menghentikan penobatan Pangeran Wikrama sebagai Putra Mahkota yang baru. Dan rahasia kematianku akan tetap menjadi misteri.
Usai sarapan aku bergegas berjalan-jalan di sekitar desa demi menemukan informasi lain yang mungkin berguna bagiku untuk kembali ke Wangsa Mahayana. Hingga aku tiba di sebuah 'peken' atau pasar kampung.
Aku menoleh kanan kiri untuk mencari seseorang yang mungkin bisa kujadikan alat menuju Wangsa Mahayana.
"Kalau mau ke Mahayana, ongkosnya lima dirham," ucap pemilik bendi.
"Mahal sekali. Tiga dirham saja. Aku tambahi sepuluh keping gobog," tawar lelaki bertubuh kurus dengan membawa kain hitam berisi sesuatu yang disampirkan di pundaknya.
Gobog, uang logam dari tembaga yag nilainya tidak seberapa dari dirham yang berasal dari emas. Saudagar Arab yang mengenalkan dirham pada kami.
"Empat keping dirham, sepuluh keping gobog."
Rupanya, kesepakatan keduanya batal karena harga yang diminta terlalu mahal. Lalu aku segera berlari mengejar lelaki bertubuh kurus itu untuk bernegosiasi dengannya.
Kepiawaianku bernegosiasi tidak perlu diragukan lagi. Buktinya, Sri Dewa saja terbujuk olehku.
"Permisi, apa kamu akan ke Wangsa Mahayana?"
Lelaki bertubuh kurus yang hanya memakai celana pendek selutut dengan kulit hitam legam berlapiskan keringat itu menoleh ke arahku.
"Ya. Kamu siapa?"
"Aku Grawira. Aku juga akan ke Wangsa Mahayana. Tapi aku tidak memiliki angkutan kesana."
"Lalu?"
"Apa kamu seorang pedagang atau petani yang memiliki barang-barang? Aku bisa menjualkannya dengan cepat kalau kamu mau. Lalu keuntungannya akan kuberikan padamu asal kamu juga membawa serta aku ke Wangsa Mahayana." Tawarku.
Dia menatap penampilanku dari atas hingga bawah. "Aku tidak yakin kamu bisa menjual keris buatanku dengan harga yang mahal."
"Benarkah? Mengapa kamu tidak mencoba melihat cara berdagangku lebih dulu?"
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Membuat Pangeran Wikrama menghentikan langkahnya. Namun aku dan Rawati yang bersembunyi tetap waspada dengan jantung berdegub kencang.“Pangeran Grawira! Mohon segera ke balairung! Persiapan rapat pengukuhan sebagai Putra Mahkota harus segera dibicarakan!”Senyum kemenangan Pangeran Wirakrama tercetak jelas. Dan dia seketika lupa dengan tujuan awalnya mencari suara tidak jelas di kamarnya ini.Langkah Pangeran Wikrama terdengar menjauh menuju pintu.“Beri aku waktu sebentar,” ucapnya sembari mengambil jubah kebesarannya yang disulam dengan benang emas.Setelah Pangeran Wikrama melangkah keluar, aku melepaskan Rawati yang secara tidak sengaja kudekap cukup erat.Kami langsung menjauh dan tanpa sadar membentur langit-langit meja. Beruntung Pangeran Wikrama sudah pergi.“Maaf, Rawati,” ucapku.Dia hanya mengangguk dengan membetulkan pakaiannya yang tidak kenapa-napa dengan wajah sedikit memerah karena malu.Keheningan sejenak itu menyelimuti ruang
Berbekal mengenakan pakaian prajurit curian, aku bisa memasuki istana dengan leluasa. Namun jika memiliki kesempatan, aku selalu bergerak cepat. Kulihat Rawati mulai memasuki istana dan dia mengangguk sangat pelan dengan menatapku. Dalam hati aku berdoa agar Rawati bisa memasuki kamar Pangeran Wikrama dengan alasan akan membersihkannya. "Kamu kenapa, Wira?" tanya seorang prajurit yang sedang berjaga denganku. Aku berpura-pura memegangi perut sambil memasang wajah kesakitan. "Sepertinya aku tidak enak perut. Aku mau ke belakang sebentar. Tolong kamu yang berjaga sebentar ya?""Cepatlah! Sebelum panglima menghukummu!"Dengan setengah berlari aku menuju belakang namun di balik bangunan aku segera berbelok ke arah istana Pangeran Wikrama. Lalu dengan amat hati-hati, aku menyelinap masuk. "Biar aku saja yang membersihkan kamar Pangeran Wikrama. Kamu beristirahatlah." Itu suara Rawati. Dia sedang berbicara dengan seorang dayang yang biasanya membersihkan kamar Pangeran Wikrama. "Apa
"Bagus!" gumamku lalu tersenyum puas ketika anak panah telah menancap sempurna di pohon pisang bidikanku. Lalu tangan kananku menarik tali kuda dan membuatnya berhenti perlahan. Begitu kepalaku menoleh ke arah dimana Rawati berdiri dan memperhatikan, dia hanya memandangku dengan tatapan banyak kebimbangan. Aku turun dari kuda lalu mengikatkan talinya ke salah satu pohon lalu mendekati Rawati. "Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi tolong bantu aku. Tolong cari tahu kapan penobatan Pangeran Wikrama akan dilangsungkan." "Bagaimana kalau kamu ternyata seorang pengkhianat?" "Waktuku hanya empat puluh hari lagi. Jika dihitung dari sekarang, tersisa tiga puluh hari saja, Wati. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk berbohong. Lihat saat hari keempat puluh nanti. Raga yang kudiami ini akan kembali menjadi sosok Grawira yang sebenarnya. Aku meminta tolong padamu, Rawati." Kemudian aku berbalik menuju kuda untuk mencari strategi baru bagaimana cara menguak rahasia mati suri yang kualam
"Ampun, Baginda Raja! Saya hanya mengingatkan. Dari pada nanti akan terjadi kudeta seperti Wangsa Samara hingga membuat sang raja dihabisi oleh rakyatnya." Aku memberanikan diri sedikit mendongak untuk melihat raut wajah Baginda Raja, ayahku. Terlihat dia begitu kesal dengan bibir mengerucut dan alis menukik tajam. Lalu Pangeran Wikrama membisikkan sesuatu di telinga Baginda Raja kemudian beliau mengangguk kecil. Ekspresinya sedikit mengendur ketika mendapat bisikan kecil dari Pangeran Wikrama. Entah apa yang adikku itu katakan hingga Baginda Raja menurut. Beliau mengambil nafas sebanyak mungkin lalu menghembuskannya kasar dihadapan para patih yang duduk dihadapannya. "Baiklah, kita tunda seperti rencana awal." Aku ikut melega mendengar keputusan Baginda Raja karena setidaknya aku bisa menyusun rencana selanjutnya. Setidaknya aku harus tahu secara pasti kapan tanggal penobatan Pangeran Wikrama. Begitu acara usai, aku segera menuruni tangga lebih dulu lalu bergerak cepat mening
Setelah mendapat informasi kapan Pangeran Wikrama akan dilantik menjadi putra mahkota, aku tidak kembali ke istana tempat ragaku terbaring lemah. Juga tidak tega jika harus kembali ke sana tapi melihat Putri Mahkota Kayuwangi bersedih hati, namun aku juga sangat ingin tahu bagaimana kabar ketiga putraku. Calon penerusku. Bertepatan dengan langkah yang terasa berat ini, aku melihat rombongan para menteri menuju istana yang ditempati Baginda Raja. Aku hafal wajah dan nama mereka satu demi satu karena setiap kali Baginda Raja melakukan perkumpulan di setiap pagi hari, aku duduk di sebelah Baginda Raja menatap para menteri yang bergelar patih itu. Dengan sigap, aku urung melangkah kembali ke istanaku, melainkan bersembunyi di dekat bangunan yang ada di dekat dapur istana. "Apa yang akan mereka lakukan malam-malam begini ke kediaman Baginda Raja? Apa yang akan mereka bicarakan? Apa ada pembicaraan penting yang sifatnya mendadak?" gumamku sendiri. Kemudian aku makin melangkah mundur
"Pergi kamu dari istanaku, Pangeran Wikrama! Jangan pernah meletakkan kakimu lagi di istana ini!" Pekikan Putri Mahkota Kayuwangi terdengar menggema di pelataran istana yang biasa kutinggali dengannya saat raga ini masih sehat. Ia tengah berhadap-hadapan dengan Pangeran Wikrama yang berdiri tinggi menjulang dengan tubuh gagah dan tangan mengepal. Pakaian indah khas anggota kerajaan yang melekat di tubuh dan mahkota kecil dengan bermatakan intan serta berlapiskan emas yang tersunggi di atas kepalanya, nampak memantulkan sinar rembulan di malam ini. Menjadikannya sosok yang terlihat agung untuk dipuja. Di belakang Pangeran Wikrama ada lima prajurit berpakaian kurang lebih sama denganku, tengah berdiri dengan membawa gulungan kain dan tikar. Untuk apa? "Kamu hanya menantu di Istana Mahayana, Putri Mahkota! Jadi, tidak perlu bersikap jagoan akan melawanku yang jelas-jelas adalah keturunan dari kerajaan ini!" ucapnya tegas. "Walau aku menantu, tapi ini adalah istanaku dengan Putra