Setelah Jatmiko dan Ratri kembali ke Suryaloka, situasi di istana negara berubah semakin memanas. Berita tentang Aisyah yang dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi menyebar cepat di media sosial, memicu hujatan dari berbagai pihak.
“Wakil presiden baru, tapi skandal sudah langsung datang! Memalukan!” tulis salah satu netizen dengan nada marah. “Jet pribadi buat ke rumah sakit? Sementara di pedalaman orang sakit susah dapat ambulans! Gila ini!” komentar lain yang mendapatkan ribuan tanda suka. “Ini pasti pakai uang rakyat! Korupsi berkedok kemewahan! Hancur sudah moral pemimpin kita!” tambah akun lain, memperkeruh suasana. Sulistyo duduk di ruang kerjanya, wajahnya tegang menatap layar ponsel yang terus menampilkan komentar-komentar penuh cemoohan. Jari-jarinya gemetar, dan tanpa sadar ia memukul meja, membuat suara keras menggema di ruangan. “Ini... Ini semua gara-gara dia!” geramnya, giginya gemeretak menahan amarah. “Gadis miskin rendahan itu! Hidupku jadi kacau karena dirinya!” Sulistyo berdiri, berjalan bolak-balik sambil memegangi kepalanya. Pikirannya penuh dengan kekesalan dan rasa malu. "Baru sehari dilantik, citraku sudah hancur. Apa yang akan terjadi jika ini terus berlanjut?" Ia berhenti di depan jendela besar yang menghadap taman istana, pandangannya kosong. “Aku harus menemukan cara untuk memperbaiki semuanya... Sebelum mereka menghancurkanku,” gumamnya pelan. Tapi di balik kata-katanya, ada kebencian mendalam yang terus ia arahkan pada Aisyah. “Dia tidak seharusnya ada di sini. Seharusnya aku memilih wanita lain... Wanita yang lebih layak, yang tidak membawa kehancuran seperti ini!” ujar Sulistyo, nadanya rendah namun penuh dengan kebencian yang membara. Namun, di sudut kecil hatinya, ia tahu bahwa masalah ini bukan hanya kesalahan Aisyah. Ambisi dan keputusan egoisnya sendiri yang kini berbalik menghantam dirinya, menciptakan mimpi buruk yang tak pernah ia duga. Sulistyo melangkah keluar dari Istana Negara, diapit oleh paspampres. Wajahnya tenang, tapi pikirannya berputar cepat. "Harus cari alasan. Alasan yang masuk akal, yang bisa diterima semua pihak. Ya, itu dia." Mobil berhenti di depan sebuah mansion mewah milik seorang pengusaha muda yang tengah naik daun. Sulistyo turun dengan langkah percaya diri, menatap tajam pintu yang terbuka. Di dalam, seorang pria berdiri. Rambut pirangnya memantulkan cahaya lampu kristal. Ekspresinya dingin, malas. "Nursyid," sapa Sulistyo, senyumnya samar namun penuh arti. "Apa yang kau inginkan?" tanya Nursyid, langsung to the point. "Punya uang berapa, untuk apa? Jangan buang waktuku." Sulistyo terkekeh pelan. Pria ini mengingatkannya pada dirinya sendiri—tidak sabaran, pragmatis. "Konfirmasi bahwa aku menumpang jet pribadimu." Nursyid mendengus, memutar bola matanya. "Lupakan. Aku tidak mau terlibat skandal. Cari orang lain." "Kau yakin?" Sulistyo menaikkan sebelah alis, nadanya penuh tantangan. "Tentu saja. Untuk apa aku—" Sulistyo tak memberinya waktu menyelesaikan kalimat. Dengan santai, ia mengeluarkan sebuah dokumen dan menyerahkannya. "Kontrak bebas pajak perseroan selama 20 tahun." Mata biru Nursyid membulat. Wajahnya yang dingin berubah drastis. Tangannya bergerak cepat meraih kertas itu, membacanya dengan seksama. "Deal," ucapnya tanpa ragu, nada suaranya penuh antusias. "Apa pun demi ini." Sulistyo tersenyum tipis. "Bagus. Pastikan semua orang percaya bahwa aku hanya menumpang di jet pribadimu." Nursyid mengangguk dengan semangat yang tak biasa. "Siap, bos! Kau bisa mengandalkanku." Sulistyo berbalik, matanya menatap kosong ke kejauhan. "Masalah terselesaikan," gumamnya, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. Sesaat setelah Sulistyo meninggalkan mansion, seorang pria berpenampilan rapi mendekati Nursyid. Wajahnya menunjukkan keraguan, tapi suaranya pelan, penuh kehati-hatian. "Bos, bukankah Anda sangat membenci keluarga Wakil Presiden? Kenapa mau membantu Sulistyo?" Nursyid menyandarkan tubuhnya di sofa, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Pertanyaan konyol. Tentu saja untuk bebas pajak 20 tahun." Nada suaranya santai, nyaris mengejek. "Tapi, Tuan—" Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, Nursyid mengangkat tangan, menyela dengan nada tegas. "Kita tinggal menonton drama politik dinasti itu dari kejauhan. Kau pikir warga Dwipantara sebodoh itu? Coba renungkan. Sulistyo dan keluarganya menaiki jet pribadi untuk ke rumah sakit, lalu tiba-tiba aku mengklarifikasi bahwa jet itu milikku, bukan milik Sulistyo. Aku di mansion, mereka di jetku. Apa itu terdengar masuk akal?" Asisten pribadi itu terdiam sejenak, mencoba memproses ucapan bosnya. Tapi kekhawatiran tetap terlintas di wajahnya. "Bagaimana kalau konsumen kita justru membenci produk kita karena terseret dalam skandal ini?" Senyum Nursyid semakin lebar, kali ini penuh tipu daya. "Kau tahu istri Sulistyo yang cantik itu? Dalam kontrak, selain bebas pajak 20 tahun, dia juga akan menjadi brand ambassador produk kecantikan kita." Asisten itu mengerutkan kening, tapi tidak berani membantah. "Tuan, Anda yakin ini keputusan yang bijak?" "Bijak?" Nursyid tertawa kecil, matanya berbinar seperti elang yang telah mengunci buruannya. "Wanita itu sedang jadi sorotan karena kecantikannya. Kehadirannya akan mendongkrak citra merek kita. Dan, menurut kontrak..." Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya menjadi lebih pelan, tetapi sarat dengan otoritas. "Dia akan tetap menjadi brand ambassador sampai aku bosan." Pria itu menelan ludah, tidak punya kata-kata untuk membantah. Nursyid menyandarkan tubuhnya lagi, menikmati kemenangan kecilnya. Dalam pikirannya, semua berjalan sesuai rencana. Di dalam perpustakaan mewah istana negara, Aisyah duduk dengan tenang, tenggelam dalam sebuah buku tentang teknik marketing. Mata hitamnya berbinar setiap kali menemukan ide-ide brilian di dalam buku itu. "Luar biasa... Teknik marketing seperti ini benar-benar efektif. Andai saja aku bisa melanjutkan kuliah di jurusan marketing atau bisnis..." Aisyah menghela napas panjang. "Tapi sepertinya itu hanya mimpi." Langkah kaki terdengar mendekat, memecah keheningan perpustakaan. "Aisyah!" suara Sulistyo yang tajam menggema, membuat Aisyah mendongak. Tatapannya bertemu dengan mata Sulistyo yang penuh amarah. Aisyah menutup bukunya dengan perlahan, berusaha tetap tenang meski jantungnya sedikit berdegup. "Apa lagi sekarang?" tanyanya malas, tanpa niat menyembunyikan kejengkelannya. Sulistyo mendekat, emosinya meledak. "Kau tahu skandal di media sosial tentang jet pribadi yang membawamu ke rumah sakit itu? Kau memalukan! Kau hanya beban di sini, Aisyah! Dan sekarang, kau merusak citraku!" Aisyah mendengus kecil. Ia melipat tangan di dada, tidak terintimidasi. "Pertama, tidak ada yang memintamu membawaku ke rumah sakit dengan jet pribadi. Kedua, kalau kau mau mengusirku, lakukan saja. Tapi ingat, citramu akan hancur lebih parah kalau itu terjadi." Sulistyo membeku. Kata-kata Aisyah menusuk tepat di egonya. Tangannya terkepal erat, menahan amarah yang membara di dadanya. Ia ingin menghancurkan ketenangan wanita itu, tapi... kontrak dengan Nursyid melintas di pikirannya. Wajah cantik Aisyah sekarang adalah aset yang tak bisa ia rusak. "Kau beruntung kali ini," gumam Sulistyo, suaranya dingin sebelum ia berbalik dan pergi, pintu perpustakaan tertutup keras di belakangnya. Aisyah menatap punggungnya yang menghilang, kebingungan menyelimuti pikirannya. "Kenapa dia pergi begitu saja? Ada apa ini? Firasatku tidak enak..." Dengan ragu, ia membuka kembali bukunya, tapi pikirannya melayang jauh, memikirkan apa yang sebenarnya sedang direncanakan Sulistyo.Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me