Share

4. Sebuah Penjara

“Apakah itu rumahmu?” Riti bertanya setelah melihat sebuah bangunan tembok tinggi dengan satu pintu gerbang dari besi yang tertutup. Ia tidak bisa melihat apa pun yang ada di dalamnya. Rasa penasarannya pun muncul dan ia kembali bertanya.

“Apa itu tempatmu mengurung semua orang yang bersalah padamu? Soalnya rumah itu mirip sekali dengan penjara!"

Kali ini Tama menoleh dan menunjukkan senyum di sudut bibirnya.

“Menurutmu begitu?” katanya.

“Ya!”

“Sayangnya kamu salah!” kata Tama sambil meraih tangan Riti dan berjalan lebih cepat.

Beberapa langkah sebelum tiba di sana, pintu gerbang itu terbuka, seolah tahu ada orang yang mau memasukinya. Tanpa sepengetahuan Riti, Tama hanya perlu menekan salah satu tombol pada jam tangannya agar para penjaga segera membukakan pintu untuknya.

Riti tercengang saat memasuki pintu gerbang, ia sangat takjub melihat rumah yang sangat indah. Pikiran buruknya tentang Tama, nyaris berubah, karena keadaan di sana, sama sekali di luar dugaannya. Apa lagi Tama memegang tangannya dengan erat dan terasa begitu hangat. Ia sama sekali tidak menyeramkan.

Setelah sampai di dalam, ada dua wanita yang menyambut kedatangannya dengan ramah.

Tama tidak menggubris satu pun dari semua orang itu, kecuali satu wanita paruh baya yang duduk di dekat pintu kamarnya. Ia berdiri setelah Tama dan Riti tiba di depannya.

“Apa dia orangnya?” tanya wanita itu pada Tama, setelah melirik wanita di sampingnya.

“Ya, biarkan dia tidur malam ini di sini, dan siapkan keperluannya!"

Tama memperkenalkan mereka, wanita itu menyebutkan namanya sebagai Sima.

“Baiklah, itu mudah!” kata Sima seraya beranjak dan pergi.

Namun, Riti tidak melihatnya, hal itu membuat Riti kembali tercengang, ia hampir tidak melihat ke tembok sebelah mana Sima menghilang.

Tama membawa Riti ke kamarnya dan membanting tubuh kurus gadis itu ke atas ranjang.

“Apa kamu tidak bisa pelan-pelan?” katanya sambil membenahi posisinya.

Tama duduk di sisina dan menatapnya tajam dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Aku ingin dengar semua yang dikatakan Ayahmu tentang aku!” katanya, sambil membuka kancing bajunya satu persatu.

“Aku sudah mengatakan semua yang aku tahu tentang kamu!” kata Riti seraya memalingkan pandangan, ketakutan mulai menyelusup di hatinya.

Ia tidak tahu banyak tentang pria yang telah menjadi suaminya. Namun, ia berpikir seharusnya mereka saling mengenal lebih dalam. Dikarenakan menunggu kehadiran seorang bayi juga tidak akan terwujud dalam waktu sebulan.

Tama tertegun, mengingat sejenak saat ia mencatat pernikahannha. Riti bukanlah Yuna. Jadi, mungkin tidak tahu banyak tentang dirinya, ia ingin Riti tidak berpikir buruk padanya.

Namun, ia tersinggung saat Riti mengatakan jika dirinya menikah hanya untuk mendapatkan keturunan. Naif sekali hal yang dikatakan Marhen pada istrinya.

Walaupun, benar keluarga Brawijaya akan memberikannya warisan jika ia berhasil memiliki keturunan, tapi ia tidak berniat untuk memutuskan hubungan pernikahannya begitu saja.

Tama tidak memikirkan warisan, sebab a bisa mendapatkan harta yang senilai dengan tanah yang dijanjikan Kakek Brawijaya kepadanya.

Sekali lagi Tama memikirkan tentang kebohongan ayah Riti.

Prinsipnya adalah kejujuran dalam bisnis, sekali janji tetap dihitung janji. Jadi, meski ia lebih menyukai Riti, ia tetap harus membuat perhitungan dengan Marhen suatu saat nanti.

“Aku bukan anak haram seperti perkataan mereka!” kata Tama, memulai obrolan di antara mereka.

“Tapi itulah yang mereka katakan padaku, aku sama sekali tidak tahu!” ujar Riti malu-malu.

Tama sadar bahwa isu buruk tentang dirinya sudah menyebar.

Brawijaya memberikan syarat pada Tama, kalau mendapatkan warisan dan diakui keberadaannya. Dari isu yang tersebar, mereka yakin Tama tidak akan mendapatkan wanita pilihannya, untuk mendapatkan seorang putra.

padahal, tanpa warisan itu pun ia bisa sukses dengan sendirinya. Ia hampir saja menganggap keluarga Brawijaya tidak pernah ada.

“Keluarga kakekku mengira aku hidup miskin setelah ditinggal Ayahku pergi, tapi aku dan ibuku bisa bertahan, karena usahaku sendiri,” kata Tama menjelaskan tentang dirinya pada Riti. Hal itu penting agar wanita itu tidak berpikir buruk lagi.

“Kamu tahu, ayahku meninggalkan ibuku untuk menikah dengan wanita pilihan Kakek! Tapi, tanpa mereka ketahui, Ayah memberiku sebuah tanah dengan tambang batu bara di dalamnya!" ujar Tama.

“Wah, itu mengesankan dan kamu bisa memberiku pekerjaan!!” sahut Riti dengan nada girang.

Mendengar ucapan Riti, Tama tidak melanjutkan ceritanya lagi dan memikirkan Riti yang begitu menyukai uang.

“Ayo! Lanjutkan lagi ceritamu, tentang bagaimana kamu mendapatkan pacar?”

“Aku tidak punya pacar! Aku terus memikirkan bagaimana caranya mengolah tanah itu, dan aku bekerja keras!"

“Apa kamu pernah menjadi pelayan seperti aku? Aku harus bekerja keras juga untuk membiayai hidupku!”

Tama mengerutkan alisnya cukup dalam tanda ia berpikir tentang, kehidupan Riti yang sebenarnya.

Lalu, Tama meneruskan cerita jika ia terus berusaha mendapatkan beasiswa,, hingga memiliki ilmu dan mitra kerja untuk mendirikan perusahaannya. Ia memulai semuanya dari awal, bekerja sama dengan banyak relasi dan orang-orang kompeten, hingga bisa memiliki beberapa perusahaan atas namanya sendiri.

“Oh, aku kira kamu berhasil karena dukungan seorang pacar!” kata Riti sambil tertawa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status