Share

5. Hamil Untuk Suamiku

“Aku bukan pria seperti itu!” seru Tama sambil mengenang masa lalunya, yang tidak memikirkan wanita selama berjuang meningkatkan kekayaannya. Apalagi penampilan, sama sekali tidak ia utamakan, hingga ia terlihat sangat sederhana dan tidak tampan.

Namun, yang ia lakukan adalah melebarkan sayap dan menguatkan pengaruhnya di dunia bisnis.

Ia tidak peduli disebut perjaka tua atau apa pun yang mereka sebut untuk mendiskriminasi.

Namun, dirinya yang sekarang bisa disebut penguasa, tanpa pengaruh siapa pun di dalamnya.

Sementara Riti menilai Tama seperti yang dikatakan semua orang. Pria itu tidak elegan dan wajahnya yang dipenuhi bulu itu terkesan mengerikan. Pantas saja tidak punya pacar.

“Tidurlah! Dan jangan ke mana-mana!" seru Tama. Setelah itu ia berjalan ke pintu.

“Apa kamu mau pergi dan tidak tidur di sini?” Riti bertanya dan beranjak dari tempat tidur. Ia memeluk Tama dari belakang.

“Aku tidak bisa tinggal terlalu lama di sini, apa kita tidak bisa melakukannya sekarang agar urusan kita cepat selesai, aku berjanji akan kembali padamu untuk melahirkan anakmu!” katanya lagi.

“Apa kamu terburu-buru dan ingin segera menghabiskan malam denganku?”

“Ya! Kenapa tidak?” Riti berkata sambil melepaskan satu persatu kancing bajunya.

“Hentikan!” bentak Tama, seraya memegang tangan Riti yang berada di atas dadanya.

Riti sudah siap melayani pria itu agar dirinya segera hamil, tapi ingin pergi dari tempat itu dan akan datang saat Tama membutuhkan dirinya lagi. Ia berharap tidak dikurung, karena ia masih harus mengurus ibunya.

“Kamu menjijikkan sekali, apa kamu pikir serendah itu keinginanku menikahimu?” Tama berkata dan melepaskan tangannya dari tubuh Riti.

Riti heran dengan ucapan Tama, sebab seperti itulah yang dikatakan Yuna dan ayahnya. Tama hanyalah pria yang menikah karena ingin seorang putra.

Apa dia jijik padaku? Kalau begitu kapan aku bisa hamil anak suamiku? Batin Riti.

“Apa aku salah? Bagaimana kalau kita buat perjanjian seperti yang ditulis Yuna untukku!” kata Riti, ia harus bisa menaklukan Tama demi ibu dan pekerjaannya, karena Tama tidak akan memberinya uang. Saat menikah, jangankan pesta, hadiah perkawinan saja tidak ia dapatkan.

“Aku akan patuh padamu karena kita sudah menikah, tapi aku mohon jangan kurung aku di sini, aku harus bekerja dan mengurus ibuku! Jadi, aku akan kembali ke sini kalau kamu menginginkan aku! Aku janji tidak akan merepotkan kamu sampai anak kamu lahir nanti!”

“Apa kamu benar-benar ingin melahirkan anakku?”

“Tentu saja!”

“Apa kamu mencintaiku?”

Suasana hening, dua mata saling menatap lama, menyelami makna kedalaman hati masing-masing. Mereka baru mengenal, tapi sudah saling memiliki berdasarkan ikatan perkawinan, tapi itu saja tidak cukup untuk menumbuhkan sebuah rasa. Berhubungan di atas ranjang dengan Riti hanyalah nafsu dan bukan cinta.

“Dengar ... aku tidak bisa mencintaimu begitu saja, sebab kita menikah bukan atas dasar cinta! Jadi, aku tetap akan melahirkan anakmu walau aku tidak mencintaimu, percayalah! Aku tidak akan kabur darimu!”

Pengakuan Riti hanyalah karena ia harus menyelesaikan urusan anak, agar ia bisa mendapatkan 25 juta dari Yuna. Kalau tidak, maka ada kmungkinan akan buruk bagi ibunya.

“Aku kira kamu tidak bernafsu, ternyata kamu lebih parah dari dugaanku!” tukas Tama, dan kembali membuka pintu.

“Jadi, apakah kamu mau melakukan hal itu sekarang?” Riti berkata sambil membelai tangan Tama, mencegahnya keluar.

Tama menggelengkan kepalanya.

“Baiklah! Aku akan buat perjanjiannya!” katanya, lalu mengeluarkan handphone.

“Jadi, kamu hanya ingin menemui ibumu setiap hari dan bisa bekerja?” Tama berkata lagi sambil menulis sesuatu dengan benda pipih itu.

“Ya! Dan aku janji akan—“

“Cukup, aku sudah merekam semua ucapanmu itu, besok kamu boleh pergi dengan sopir! Jangan membangkang lagi!”

“Oke! Oh ya! Satu lagi, kamu bilang bisa membayar harga gaun ini sepuluh biji, aku harap kamu bisa menepati janji!”

“Aku tidak pernah berjanji seperti itu!”

“Tapi—“

Tama tidak menggubris ucapan Riti, ia ke luar kamar dan membanting pintunya dengan keras.

Riti heran mengapa Tama tidak tergoda, padahal, semua kancing gaun yang ia kenakan sudah terbuka. Ia merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur, seraya berpikir jika semua yang terjadi, di luar dugaannya. Rumah itu bagus dan tidak seperti penjara, Tama juga tidak kasar atau menyiksanya.

Keesokan harinya, Riti terbangun dalam keadaan linglung karena ia hampir tidak ingat di mana ia berada. Namun, ia segera tersadar saat melihat pada pakaiannya, dan ada Sima serta seorang asisten lain di sisinya.

“Apa kalian kalian yang menyelimuti aku semalam?” tanya Riti sambil menyibakkan selimut dari tubuhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status