Risa panik saat tak ia dapati Nadia di kamar. Ia langsung meminta Arkana mencari putri mereka ke semua tempat yang pernah Nadia kunjungi di Tokyo. “Benar instingku, ‘kan! Anak Devinta itu kurang ajar!” teriak Risa tak bisa menahan emosinya. “Nadia kemana kamu, ‘Nak? Kenapa kamu jadi nakal begini!” lirihnya sambil duduk di sofa. Ia menjambak rambutnya saking tidak bisa menyembunyikan darah yang mendidih ditambah ketakutan jika hal buruk sampai terjadi kepada Nadia. Calvin digendong Ratu yang langsung meminta suaminya mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari keponakannya. Rana tak enak hati, ia hanya bisa merutuki diri karena merasa kecolongan dan juga sudah terlibat atas hubungan Nadia dengan Deva. Sementara itu, Nadia dan Deva sudah merencanakan tempat mereka akan pergi. Deva akan menjaga Nadia dengan baik. Cinta yang menggebu membuat keduanya sudah mengambil keputusan yang tak tepat. Pagi menjelang, Deva dan Nadia pergi menuju terminal bus bahkan sebelum matahari terbit. Lelak
Nadia sedang menjemur pakaian saat Deva membuat makan siang untuk mereka. Sudah dua minggu mereka kabur dan tidak ada satu pun yang bisa menemukan keberadaan mereka. Matahari bersinar terik, Nadia merasa kehausan. Setelah selesai menjemur pakaian, ia masuk ke dalam rumah dan melihat Deva sedang menata makan siang di atas meja kecil, tidak ada kursi, mereka melantai. Deva tersenyum tampan, membuat Nadia mengusap wajah kekasihnya begitu lembut. "Jangan lihatin kayak gitu, kamu bikin aku--""Deva! Nadia!" suara beberapa orang berteriak di depan rumah. Nadia panik, ia lalu beranjak cepat mengintip ke depan rumah lewat jendela kecil yang tertutup tirai. "Deva! Mereka… bagaimana, Deva ayo pergi, kita kabur. Deva!" panik Nadia yang langsung mengeluarkan tas ransel lalu memasukkan pakaian. Deva beranjak, ia berjalan ke arah pintu, hal itu membuat Nadia menarik tangan lelaki itu dengan cepat. "Mau apa?" Wajah Nadia panik. Deva diam, kedua matanya berkaca-kaca. Perlahan, tangannya merengkuh
Bulan berganti, kini terhitung sudah tiga bulan Nadia dan Deva berpisah. Ia mulai masuk kuliah setelah dibujuk Risa dan Arkana tanpa kenal lelah. Menjadi fashion designer masih menjadi impiannya. Nadia memiliki teman, setidaknya hal itu mudah karena ia anak dari Arkana dan Risa yang namanya terkenal di kampus itu. Arkana juga merupakan penyumbang dana untuk berlangsungnya kegiatan akademi mode itu. Nadia asik menggambar baju pengantin rancangannya, mendadak kedua matanya melihat ke kalender meja yang ada di dekatnya. Meja belajar dengan nuansa warna putih kontras dengan kalender duduk yang berwarna pink cerah. Ia menatap lekat, lalu beranjak cepat masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamarnya. Tangannya dengan gemetar pelan membuka kabinet di dekat wastafel, begitu terkejut dengan apa yang ia lihat. Nadia membungkam bibirnya lalu memejamkan mata. Kembali ia tutup pintu kabinet dan berjalan ke arah meja belajarnya lagi. Pagi harinya ia terbangun karena Rana menggoyangkan tubuhnya.
“Kamu salah kalau meminta Nadia menggugurkan kandungannya! Sama aja kamu pembunuh, Risa!” teguran Arkana tidak main-main, ia begitu tidak menyangka istrinya bisa berpikir seperti itu. “Lalu, aku tidak bisa membiarkan Nadia hidup seperti aku, Arkana! Tidak bisa!” Risa segera duduk, tubuhnya terasa lemas dengan semua tekanan yang datang kepadanya. Arkana berlutut di depan Risa, menggenggam kedua tangan istrinya begitu erat. “Berarti, kamu menyesal kita menikah? Saling mencintai dan hidup bahagia sampai detik ini?” lirihnya begitu sendu. Risa terhenyak, ia membingkai wajah suaminya dengan kedua tangan. “Bukan, bukan… bukan begitu. Aku… aku tidak mau Nadia menjadi ibu diusia muda seperti ku, dia bahkan masih delapan belas tahun Arkana, satu tahun lebih muda dariku saat mengandung dia. Apa… apa… Nadia bisa bertanggung jawab atas anaknya?! Apa–”“Untuk itu, kita cari Deva, Sa. Kita nikahkan mereka,” sela Arkana yang bicara dengan nada begitu pelan, ia tak mau membuat Risa semakin tegang
Deva tak sadarkan diri, kondisinya mendadak menurun dan itu menyebabkan jantungnya berhenti memompa darah ke paru-paru. Masih dirundung rasa khawatir, Devinta tak henti berdoa sambil menunggu kabar dokter yang menangani putranya di ruang operasi. Harus ada prosedur medis yang dilakukan. Raka juga saa, ia terus terjaga, tak pergi barang sedetik dari sisi Devinta. Bahkan perawat membawakan mereka minum dan makan. “Semua akan baik-baik saja, Tuan, Nyonya, jangan khawatir,” lirih perawat wanita berkulit hitam dengan pembawaan yang sangat ramah. “Terima kasih,” balas Raka juga Devinta yang menganggukkan kepala. Mereka duduk di depan ruang operasi, Raka begitu menyayangi Deva. “Kenapa takdir begitu menyiksa hidupku, Raka?” Devinta menengadah kepala menatap suaminya dengan raut wajah sangat sedih. Raka mencium kening Devinta begitu lama. “Apa hukumanku akan terus berjalan seumur hidup? Berdosakah aku atas semua yang terjadi?” Devinta meremas kemeja yang dikenakan suaminya, hatinya menjadi
Sekembalinya Nadia dari rumah sakit, ia ingin berbicara dengan Risa, setidaknya sekali lagi. Risa yang sedang bermain dengan Calvin tampak malas melihat ke Nadia. Arkana meminta pengasuh membawa Calvin ke kamar karena ia akan bicara tentang kondisi keluarganya. "Bunda, kandungan Nadia sehat, dan calon anak Nadia laki-laki," ucapnya tanpa menunda. Risa menatap dengan ekspresi datar ke arah putrinya. "Bunda, mau sampai kapan Bunda abaikan Nadia. Nadia--" Ia menggigit bibir bawahnya. "Kamu tanya begitu ke Bunda, Nad?" pelotot Risa. "Bukannya kamu tau kalau Bunda tidak suka dengan semua hal yang berhubungan dengan Devinta. Mereka masa lalu kelam Bunda dan kamu. Kamu sadar tidak, sih, kalau dunia kita tidak lepas dari mereka. Ini yang jadi ketakutan Bunda, ternyata benar terjadi, terlepas dari status kamu dan Deva yang tidak ada hubungan darah. Kenapa kamu tidak berpikir untuk berhenti sebelum ini terjadi. Kenapa kamu tidak--"Nadia berlutut di kaki Risa, menangis seraya meminta ampun da
Nadia dan Arkana tiba di bandara Boston, Massachusetts. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, Arkana mengajak Nadia menikmati jajanan yang ada di bandara. Kondisi Nadia baik-baik saja, tapi sebagai Ayah, ia tetap saja khawatir. Arkana memesan coklat hangat dan donut setengah lusin. Wanita hamil mudah lamar, ia ingat bagaimana dulu Risa saat hamil Calvin banyak meminta makanan manis. "Ayah tidak makan?" Nadia meneguk sedikit coklat hangatnya. "Kopi, cukup, Nak," jawabnya. Padahal, ia khawatir akan apa yang terjadi beberapa waktu ke depan. Arkana mengusap lembut kepala Nadia yang sedang mengigit donut. "Anak Ayah kuat, dewasa dan bertanggung jawab, jangan sampai hal buruk ini terjadi lagi di masa depan, ya. Kamu harus jaga anakmu dengan baik. Kesalahan Bunda dan Ayah, terlalu tidak mempedulikan perasaan kamu, dan kita jarang bercerita semenjak Calvin lahir. Ayah sadar akan hal itu, Nadia. Maafkan Ayah dan Bunda, ya," tatapan Arkana begitu nanar, ia sudah membahas hal ini deng
Nadia tidak percaya saat Devinta memberitahunya jika Deva enggan bertemu dengannya karena Deva merasa tidak pantas bagi Nadia dan apa yang sudah terjadi sebelumnya adalah kesalahan. Kesalahan berbuah janin tak bersalah yang harus hadir diantara mereka. "Deva dimana sekarang, Nadia mau bertemu." berang Nadia sambil menatap tajam ke tiga orang tua di dekatnya. "Tapi, Sayang, Nadia kamu jangan memaksa, Deva tidak mau." Devinta kembali meyakinkan Nadia yang menggelengkan kepala tidak percaya dengan ucapan mama dari lelaki yang ia cintai. Napas Nadia memburu cepat, lalu mendadak ia meringis merasa tidak nyaman di perutnya. Arkana panik, ia beranjak lalu mendekat ke sang putri. Mengusap perut Nadia begitu penuh sayang. "Tidak boleh begini, kita harus jujur. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk dengan cucuku dan Mamanya." Arkana begitu menatap tegas Raka dan Devinta. "Ada apa, Ayah, ada apa?" tuntut Nadia. Raka dan Devinta menatap penuh rasa sedih ke Nadia yang menanti jawaban. ***