Hamil di Malam Pertama
Bab 8 : Menikah Karena Aib
Hari ini Mama dan Papa akan menikahkanku dengan Kak Zaki, katanya demi menutupi aib. Cih, aib! Dikira hanya mereka saja malu akan omongan orang-orang, aku lebih lagi. Kutatap perut yang kian membuncit, yang membuatku kesesahan untuk bergerak dan membuatku risau akan gerakannya di dalam sana, entah anak siapakah dia? Sungguh menyebalkan sekali takdir ini, seenaknya saja Tuhan membuatku hamil tanpa kuketahui siapa pelakunya.
‘Cekrek’
Terdengar pintu kamarku dibuka seseorang dan itu ternyata Mama yang sekarang sudah mendapat gelar nenek sihir karena sepak terjangnya sekarang, yang masih saja suka marah tak jelas.
“Nak, kamu udah mandi?” tanyanya lembut.
“Udah, ada apa?” Kulirik tajam dirinya yang terlihat sudah rapi.
Kuraih ponsel yang ada di samping bantal dan membuka game favoritku, yang biasa kumainkan setiap detik jika sedang bosan.
“Kok masih pakai daster sih? ‘Kan sebentar lagi kamu akan menikah dengan Zaki di bawah sana!” ujarnya dengan mengambil pakaian yang tadi malam diletakkannya di dalam lemariku.
Aku hanya diam, dengan posisi masih duduk di atas tempat tidur sambil bermain game.
“Bunuh dia!” ujarku kesal karena saking menghayati game ini.
“Vaulin, ayo ganti baju!” perintah Mama dengan menyodorkan gamis berwarna putih kepadaku.
“Kok bajunya kayak mukena gitu? Aku nggak suka!” ketusku.
“Vaulin, ayo pakai! Biar perut besarmu tak terlalu tampak, walau yang hadir hanya Pak Penghulu dan dua saksi. Ayo cepat, Mama bantu masang bajunya!” Mama mengambil ponsel di tanganku lalu menyimpannya di atas nakas.
Karena malas ribut, aku menurut saja saat Mama mengganti bajuku dengan gamis yang kedodoran ini. Terserah saja, nikahnya juga sama Kakak sendiri, waktu sama Mas Yuta udah pakai kebaya bagus kok. Eh ... malah ingat dokter gila perawan itu lagi, cih aku benci dia!
“Pakai jilbab juga?” Aku menatap jengkel Mama.
“Iya, nurut aja kamu!” jawab Mama sambil memasangkan jilbab juga menepuk wajahku dengan bedak tipis dan lipstik.
Taklama kemudian, Mama sudah menggandeng tanganku menuruni anak tangga yang sampai hari ini masih membuatku penasaran ingin ter-jun sampai ke bawah sana dengan tanpa menapakinya satu persatu. Besok-besok aku harus mencobanya, turun tangga dengan sekali lom-pat saja.
“Ayo duduk di sini!” Mama menyuruhku duduk di samping Kak Zaki yang terlihat sudah rapi dengan baju koko berwarna putih juga kopiah berwarna hitam, dia terlihat seperti mau pergi sholat jumat saja, padahal perasaaan hari ini minggu.
Kak Zaki terlihat fokus ke depan dan tak mau menolehku sedikit pun, mungkin sedang menghapalkan ijab kabul bohong-bohongan ini. Nikah karena untuk menutupi aib kok diseriusi begitu, aku aja santai.
“Bagaimana, Pak Malik, Mas Zaki, apa bisa dimulai sekarang ijab kabulnya?” tanya pria yang sepertinya berperan sebagai penghulu dalam drama ini.
“Iya, Pak Penghulu, silakan dimulai sekarang!” jawab Papa.
“Hmm ... baiklah kalau begitu, prosesi ijab kabul akan segera kita mulai. Sebelumnya akan saya ingatkan lagi akan hukumnya menikahi wanita yang sedang hamil, bahwasannya ... sang suami belum boleh menggauli istrinya sampai sang istri melahirkan dan menikah kembali saat anaknya telah lahir. Pak Malik juga sudah menjelaskan tentang status masa iddah Mbak Vaulina yang sebenarnya akan habis setelah melahirkan nanti, akan tetapi karena sesuatu hal ... maka pernikahan ini harus tetap dilaksanakan. Saya juga berani melakukan hal ini berdasarkan permintaan Pak Malik dan Saudara Zaki sendiri,” jelas Pak Penghulu yang menurutku hanya basa-basi membuang waktu saja, aku capek duduk seperti ini, enaknya itu selonjoran.
“Iya, Pak Penghulu, saya yang akan menanggung semuanya. Semua demi kebaikan putri saya, karena ini masa-masa sulit baginya juga kami,” jawab Papa dengan wajah yang menurutku hanya pura-pura sedih.
Pak penghulu mengangguk dan bersiap menjabat tangan Kak Zaki, kakakku yang lumayan tampan tapi belum pernah punya pacar itu. Heran juga, biar diuber-uber cewek dari jaman SMA sampai kuliah, dia tetap cuek saja, nggak ada yang ditanggapin. Malahan kalau dapat kado dari para fansnya, dikasih ke aku. Setiap malam minggu juga, nyantainya ya sama aku.
“Muhammad Zaki bin Hamzah (alm) saya nikah dan kawinkan engkau dengan Vaulina binti Lukman Malik dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan sebentuk cincin emas dibayar, tunai!” Ijab kabul palsu pun dimulai.
“Saya terima nikah dan kawinnya Vaulina binti Lukman Malik dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan sebentuk cincin emas dibayar tunai!”
“Bagaimana para saksi, sah?”
“Sah!”
“Alhamdulillah!”
Setelah Pak penghulu selesai membaca doa, Kak Zaki memasangkan cincin bermata love ke jari manisku dan dia memintaku mencium tangannya. Dia tersenyum senang saat aku terpaksa salim kepadanya sebab rasanya jengkel saja menjadi pemeran utama dalam drama nikah palsu ini.
Aku yang sedang malas tersenyum, membuang wajah dari pandangannya. Aku itu bawaannya benci dengan semua orang, terutama bayi terkutuk di dalam perutku ini.
“Udah selesai ‘kan, Ma? Pinggangku sakit ini, mau selonjoran,” ujarku dengan meringis, memegangi perut juga pinggang.
“Sudah selesai, Mbak Vaulin sudah bisa istirahat sekarang.” Pak Penghulu yang menjawab.
Mama membantuku bangkit dan berpindah ke ruang tengah, di tempat favoritku menghabiskan waktu di kala siang yaitu dengan menonton sinetron omong kosong.
“Ma, ambilin dasterku di kamar!” perintahku kepada Mama.
Dia mengangguk dan menyuruh Bik Ijah yang mengambilnya ke kamarku di lantai atas, aku capek turun naik tangga, nunggu udah malam baru ke sana.
“Ini, Non, dasternya.” Bik Ijah memberikan daster itu ke tanganku.
Aku mengulurkan tangan ke atas, meminta bantuan kepadanya untuk bisa bangkit. Aku melangkah menuju kamar Kak Zaki, mau numpang ganti baju di kamar dia saja, sekarang ‘kan dia sudah jadi pemeran utama suami palsuku. Kami berdua akan mulai melakoni drama dengan judul ‘saudara tapi nikah’ hahhh ... kalau dibikin cerbung pasti laku keras ini.
‘Cekrek’
Pintu kamar terbuka, padahal aku belum sempat memakai dasterku.
“Ngapain kamu di sini, Dek?!” Kak Zaki terkejut dan langsung membalikkan tubuhnya menghadap pintu.
“Numpang ganti pakaian, mau naik ke atas ... nggak kuat jalan aku,” jawabku dengan sambil memasang dasterku dan membiarkan saja gamis kedodoran itu tergeletak saja di lantai kamar Kak Zaki.
Kulewati tubuh pria jangkung itu dan membuka pintu kamar, dia langsung menoleh ke arahku dengan menghembuskan napas.
“Kenapa, Kak? Udah suami istri juga, walau hanya demi menutupi aib!” lirihku sambil melewatinya.
“Bukan karena aib, Dek, tapi karena kita memang ditakdirkan untuk selalu bersama. Kak Zaki sayang sama kamu, lain kali kalau mau ganti baju, pintunya jangan lupa dikunci dulu!” Dia menarik tanganku dan membuat mata kami saling bertatapan untuk beberapa saat.
Aku hanya memutar bola mata jengah, lalu menarik tanganku dari genggamannya. Kulangkahkan kaki ke dapur untuk mencari makanan sebab bawaannya selalu lapar saja. Akan tetapi, takkan kubiarkan ba-yi di dalam sana bisa makan enak. Akan kubuat dia ke-pe-dasan di dalam sana dengan mencemil kripik super pedas ini. Rasakan bayi setan, akan ku-sik-sa ka-mu!
Bersambung ....
Hamil di Malam PertamaBab 9 : Peralihan Status“Kak, aku numpang tidur di sini, ya? ‘Kan udah sah juga walau masih drama,” ujarku saat Kak Zaki membuka pintu kamarnya setelah gedoran heboh dariku beberapa saat yang lalu.Mama dan Papa yang ternyata ikutan keluar dari kamar dan menatap aneh ke arah kami, tumben sekali mereka akur? Aku melengos kesal. Malam ini ‘kan malam pertamaku bersama Kak Zaki, walau kami masih masa penyesuaian pergantian status, dari saudara menjadi suami-istri. Lucu, bukan? Emang, aku aja geli menjadi pemeran utama dalam drama aneh ini.Kak Zaki terlihat menghela napas panjang tapi menuntunku masuk juga dengan wajahnya yang letih. Nih suami emang nggak ada akhlak, masa dia tidur di kamarnya sendiri tanpa mengajakku tidur bersamanya. Aku ‘kan bosan kalau cuma main game sendirian di kamarku, kalau mabar mungkin akan semakin seru.“Kak, sini ponselnya kudownlodkan game kesukaan aku! Biar kita
Hamil di Malam PertamaBab 10 : Mulai Menduga-duga“Janinnya sehat, ya, Bu, usianya 28 minggu. Panjangnya 40cm dengan berat satu kilo gram. Posisi kepala juga udah di bawah, udah bagus ini. HPLnya tanggal 10 Agustus, bisa maju dan bisa mundur,” jelas sang dokter yang kemungkinan besar adalah selingkuhan Mas Yuta itu.“Jenis kelaminnya, Dok?” tanya Kak Zaki dengan mata menatap layar monitor di sebelahku.“Hmm ... jenis kelaminnya perempun, Pak,” jawab Dokter itu lagi.“Alhamdulillah, anak kita perempuan nanti, Dek. Jadi kita mesti siapin yang serba pink ini.” Senyum Kak Zaki semakin mengembang saja.Aku hanya melengos kesal, apalagi saat melihat penampakanan bayi manusia di dalam layar monitor dengan metode USG 4 dimensi itu. Ternyata dia bukan anak setan yang tak berwujud, aku semakin sakit hati akan pemilik benih sialan ini. Agghh ... kutepis tangan dokter itu dan menatapnya berang.&ld
Hamil di Malam PertamaBab 11 : Mungkinkah?Dokter Yuta, Dokter Caroline, mungkinkah kedua manusia itu bersekongkol? Mungkinkah semua yang terjadi kepadaku adalah rencananya agar bisa menalakku tepat di malam pertama kami, dan membuat seolah aku yang bersalah. Padahal semua ini hanya akal-akalan dia agar tetap bisa bersama selingkuhannya.Sadis sekali dia kalau memang begitu skenarionya! Kalau dia memang tak mau dijodohkan denganku, lalu kenapa dia setuju dan kami juga sempat berpacaran setahun walau LDR. Katanya dia mencintai ketika pertama kali bertemu, tapi nyatanya apa ... semua itu hanya bulshit saja! Aku benci Yuta, dokter gila perawan itu!Air mata ini mulai membanjiri wajah, mengapa takdirku sepahit ini? Apa salah dan dosaku, Tuhan?! Kembali kupukuli perut ini, gara-gara bayi tak bertuan ini hidupku hancur.“Dek, kamu kenapa? Kok nggak tidur?” Kak Zaki yang langsung tertidur ketika kepalanya jatuh ke bantal tadi terlihat terkejut meliha
Hamil di Malam PertamaBab 12 : Bertemu Teman YutaJalanan lumayan ramai, aku jadi teringat game balap mobil yang baru kudownload tadi pagi. Sepertinya aku harus mencobanya di alam nyata, wuuss ... mobil putih milikku ini mulai melaju kencang dan menyalip kendaraan di depannya hingga banyak bunyi klakson dari arah depan juga belakang. Heran, manusia di bumi ini pada nyebelin. Apa aku harus pindah ke khayangan? Hahah ... menyenangkan sekali, berasa sedang terbang.Kupelankan laju mobil saat melewati taman kota yang di depannya terlihat jejeran aneka gerobak yang menjual jajanan. Ada cilok, cireng, siomay, bakso bakal, pentol kuah, aneka rujak dan aneka es. Wuuuhh ... air liur seakan mau menetes saja. Segera kuparkirkan mobil di dekat para gerobak pedagang itu, lalu menghampiri aneka cemilan yang mendadak membuatku lapar ini.“Bang, bungkus semuanya yang ada itu, satu jenis satu kantong!” ujarku.“Baik, Non!” jawab si ma
Hamil di Malam PertamaBab 13 : Dia Dokternya“Gimana, Kak, Si Yuta ... udah diselidiki belum? Atau aku yang harus turun tangan untuk menyelidiki sendiri?” tanyaku saat Kak Zaki baru keluar dari kamar mandi, dia baru habis mandi tapi sudah langsung berpakaian saja. Belum pernah kulihat dia dengan handuk, dia selalu memasang pakaiannya di kamar mandi.“Kamu nggak perlu turun tangan, Kakak udah menyewa detektif swasta untuk membuntuti dia ke mana-mana dan menyelidiki kasus ini. Kamu tenang-tenang saja di rumah!” Dia meraih baju kokonya di lemari dan memakai sarung juga peci.“Kak Zaki mau sholat magrib dulu, kamu nggak mau ikutan sholat, Dek?” Dia membentang sajadah menghadap kiblat.“Nggak, titip doa saja, semoga pencuri itu cepat tertangkap!” jawabku sambil meraih ponsel Kak Zaki di atas nakas.Kak Zaki memulai sholatnya, sedangkan aku meminjam ponselnya untuk bermain game sebab ponselku lowbet
Hamil di Malam PertamaBab 14 : Isi Hati Yuta“Sialan sekali, pasiennya ternyata wanita murahan itu!” Dokter Yuta bergumam kesal saat keluar dari ruangan bersalin, di mana mantan istrinya berada.Dua perawat di belakang Dokter Yuta saling berbisik, namun tak berani menanyakan apa permasalahan sang dokter dan pasien itu.“Apa kalian bisik-bisik? Segera hubungi Dokter lainnya saja!” Dokter Yuta melangkah menuju ruangannya.Sedangkan dua perawat yang sama-sama memegangi dada karena kaget itu mengekor di belakangnya karena mereka bingung mau menghubungi dokter yang mana sebab malam ini memang jatah Dokter Yuta yang piket.“Ma—maaf ... Dokter, ka—kami harus menghubungi Dokter Caroline atau Dokter Willy? Kalau Dokter Emely ... lagi cuti.” Salah satu perawat itu memberanikan bertanya kepada Dokter Yuta yang memang terkenal galak itu.“Telepo
Hamil di Malam PertamaBab 15 : Princes“Kak, aku tetap tak mau dioperasi. Besok pasti lahit kok nin bayi,” ujar Vaulin memelas, karena ia masih bersikeras tak mau dioperasi. “Kali aja besok kepalanya bisa mutar ke bawah, dia ‘kan emang suka berputar-putar,” sambungnya sambil menangis.“Tapi Papa udah menanda tangani persetujuan untuk kamu dioperasi, Dek.” Zaki mengusap perut Vaulin, ia tak tega melihat istrinya itu menderita kesakitan. Andai ia bisa memindahkan rasa sakit itu ke tubuhnya saja, maka ia rela. Semua demi adik angkat yang memang sudah lama ia cintai itu. hatinya bagai teriris jika melihat Vaulin bersedih.“Pokoknya aku tetap nggak mau, Kak,” rengek Vaulin lagi.“Ya udah, tapi ... kalau besok posisi bayinya masih tetap nggak mutar juga, kamu harus setuju diopeasinya. Emang masih kuat nahan sakitnya? Kakak nggak tega lihat kamu kesakitan, Dek!” Zaki menghembuskan napas pa
Hamil di Malam PertamaBab 16 : Test DNA“Dek, udah, jangan nangis lagi!” Zaki menggenggam tangan Vaulin sambil mengusap dahinya, ia lega istrinya itu sudah berhasil melahirkan bayi itu secara normal dan sang bayi juga terlihat sehat.“Aku nggak mau melihat bayi itu, Kak! Aku benci dia .... “ Air mata Vaulin masih saja mengalir, setengah hati ia lega bayi tanpa ayah itu sudah enyah dari rahimnya tapi ia masih saja kesal akan permainan takdir yang sedang ia jalani.“Ya udah, kamu istirahat saja dulu. Sebentar lagi kayaknya kita bakalan pindah ke ruangan rawat. Jangan nangis lagi.” Zaki menghapus air mata di wajah Vaulin dan mendaratkan ciuman di dahinya.Taklama kemudian, Della dan Malik masuk ke ruangan bersalin Vaulin. Mereka lega bayi tanpa ayah itu terlahir dan akan segera melakukan test DNA untuk mencari pelakunya.“Vaulin, gimana keadaan kamu, Nak?” Della mendekati putri tunggalnya itu.