Hamil di Malam Pertama
Bab 7 : Masa Iddah
“Mas Yuta!” gumamku saat melihat pria yang menuduhku hamil setelah menggauliku itu.
“Siapa, Dek?” Kak Zaki menoleh ke arah tatapanku.
Air mata yang sudah mengering tadi mendadak berjatuhan lagi saat melihat mantan suamiku itu bersama wanita lain sedang bersantai di kafe pinggir pantai, walau saat ini mereka terlihat sedang bertengkar. Apa wanita itu pacar barunya? Aku mendadak pilu dan menyesali tragedi hamil anak setan ini.
“Ayo pulang ah!” Kak Zaki kembali menggandeng tanganku menuju mobil kami.
“Mas Yuta sama siapa itu, Kak? Siapa wanita itu? Apa dia sudah menemukan penggantiku?” Air mata semakin deras saja.
“Biar saja, kamu tak perlu memikirkan dia lagi. Ayo kita pulang!” Kak Zaki menarik tanganku untuk masuk ke dalam mobilnya.
Kak Zaki mulai menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mas Yuta, aku memang tak perlu memikirkan dia lagi, hidupku tetap akan berlanjut walau tanpa dia. Dia, pria yang telah mencampakkanku, dia tak menginginkan aku lagi jadi tak perlu aku terus mengemis padanya. Kutarik napas panjang dan berusaha menguasai diri agar bisa berpikir dengan jernih dan melupakan sejenak semua permasalahan yang telah membuat heboh dua keluarga ini.
“Kak, ponselku ketinggalan di Pondok tadi deh .... “ Aku baru teringat akan benda pipih itu.
Kak Zaki langsung putar arah ke Pondok tadi.
“Kamu tunggu di sini saja, biar Kak Zaki yang ambil!” ujarnya saat mobil kami sudah kembali ke tempat parkir yang tadi.
Aku mengangguk. Kak Zaki langsung turun dari mobil dan berlari menuju kafe atas pantai yang menyediakan sepuluh pondok yang masing-masing berjejer lima itu. Tempat kami menikmati enaknya kerang bakar tadi.
Cukup lama aku menunggu, tapi Kak Zaki belum kembali juga. Ke mana dia? Kalau ponselnya udah nggak ada, ya nggak apa-apa juga. Nanti bisa beli yang baru kok.
‘Brakk’
“Maaf, Dek, Kak Zaki agak lama. Ini ponselmu,” ujarnya saat masuk kembali ke dalam mobil.
Kulihat wajahnya terlihat lebam-lebam, kenapa dia? Apa duel dulu ama pemilik kafe itu baru bisa ambil ponselku?
“Kak Zaki kenapa?” tanyaku sambil memegang wajahnya yang lebam, bibir yang bedarah juga ujung mata yang terluka.
“Jatuh,” lirihnya.
“Masa? Jatuh apa berantem sama orang?” tanyaku tak percaya.
“Kak Zaki nggak apa-apa, Dek, kamu tenang aja! Besok juga sembuh kok kalau udah dibawa tidur,” jawabnya sambil tersenyum saat melihat ekspresi kekhawatiran di wajahku.
Aku melepaskan tangan dari wajahnya dan menyibukkan diri dengan ponselku sambil bermain game bunuh-bunuhan yang baru kudownload saat di kafe tadi. Aku akan tersenyum puas saat bisa memenangkan pertarungan dan membuat lawanku mati. Hah, sebentar lagi juga akan kupraktekkan kematian itu kepada bayi tanpa ayah ini.
***
Hari berjalan bergitu lambat, apalagi setiap malam mataku tak mau terlelap. Aku jadi takut untuk tidur, karena takut si pemilik janin ini akan kembali melakukan aksinya lagi. Akan kubunuh dia jika berani datang lagi, iya ... akan kubunuh dia, lalu kupotong-potong dan membakarnya. Iya, dibakar kayaknya enak, lalu kukasih sama Mama dan Papa biar mereka ke-nyang memakannya. Begitu saja pikiranku sepanjang malam, bolal-balik hanya itu yang ada di benak ini, berulang dan berulang lagi hingga masuknya cahaya matahari dari celah jendela yang menandakan hari sudah siang.
Aku beranjak dari lantai kamar, sebab akhir-akhir ini aku tak suka tidur di ranjang. Aku benci ranjang, sebab dia ikut menuduhku tak perawan pada malam pertamaku bersama Mas Yuta. Andai ia membelaku, mungkin aku akan menjadi istri paling beruntung, membina rumah bersama seorang dokter kandungan yang amat pintar, yang baru tahu ketakperawanan juga kehamilan ini setelah menggauliku. Kalau dia memang tahu aku hamil, mengapa masih saja meniduriku, lalu menuduhku setelah itu? Da-sar dokter konyol! Aku benci dia.
Aku keluar dari kamar dan melangkah menuju tangga. Mengapa aku harus menuruni anak tangga ini satu persatu? Mengapa aku tak langsung melompat saja biar cepat sampai di bawah sana? Perutku ini sudah semakin membuncit, aku mulai susah menuruni tangga ini kalau harus melangkahinya satu persatu. Satu, dua, tiga ... aku akan bermain lompat-lompatan. Aku tertawa senang saat sudah mulai melom-pat tinggi.
“Dek, mau ngapain kamu?!” Tiba-tiba tubuhku sudah berada di dalam pelukan Kak Zaki.
“Eh, aku kenapa?” Aku menatap ke sekililing, ternyata aku belum sampai di bawah sana.
“Ayo, Kakak bantu turun!” Kak Zaki menggandeng tanganku dan membantuku menuruni anak tangga.
Kak Zaki masih saja menggandengku hingga sampai di ruang makan, Mama dan Papa menatap kami dengan tatapan tajam.“Ayo, makan dulu!” ujar Mama sambil menyuruhku duduk di kursi yang sudah ia tarikkan untukku.
Aku merengut, sebab dengan perut sebuncit ini aku sudah mulai kesusahan untuk duduk. Mama mengambilkan makanan untukku dan menyuruhku untuk makan, dan aku memakannya dengan terpaksa sebab rasanya tak rela harus berbagi makanan dengan bayi yang hidup enak di dalam perutku ini. Akan kupaksa dia untuk menjawab siapa bapaknya setelah lahir nanti, seenaknya saja menumpang hidup di dalam perutku ini, da-sar be-na-lu!
“Vaulin, makannya pelan-pelan, Nak!” ujar Mama.
Aku menghentikan aktifitas makan dan menatap nanar wanita nenek sihir ini, dia selalu marah setiap saat, terutama kepada Papa dan Kak Zaki. Kini dia juga mau memarahku, da-sar!
“Vaulin, Mama cuma bilang makannya pelan-pelan nanti tersedak, bukannya menyuruhmu berhenti makan,” ujarnya sok baik, padahal dia tak suka melihatku makan.
“Aku sudah kenyang,” jawabku sambil bangkit dari kursi ruang makan lalu menuju ruang tengah, di mana ada tontonan kehidupan yang tak sama gilanya seperti kehidupanku.
Hah, film selalu begini setiap hari, suami selingkuh, poligami dan pelakor. Mengapa tak ada film seperti kisah hidupku? Hamil anak se-tan!
‘Klik’
Televisi yang sedang kutonton tiba-tiba ma-ti begitu saja, apa mati lampu atau orang di dalam tv itu sudah ma-ti semuanya? Aku mendengus kesal.
“Nak, kita harus membicarakan hal penting hari ini.” Mama tiba-tiba sudah ada di dekatku.
“Hmmm .... “ Papa juga ada di sini.
“Ada apa? Mengapa televisi ini dim*tikan?” tanyaku kesal.
“Vaulin, kita harus membicarakan masalah penting, jadi stop dulu nonton televisinya!” ujar Mama dengan mengusap bahuku.
“Iya, ada apa? Katakan saja!” jawabku tak bersemangat dengan menyandarkan punggung ke sopa.
Aduh, aku sangat tak nyaman dengan perut yang kian membuncit ini. Entah makhluk apa saja yang ada di dalamnya?
“Vaulin, proses ceraimu dan Yuta sudah lama selesai tapi masa iddah wanita hamil itu sampai ia melahirkan tapi Papa takkan bisa membiarkan kamu melahirkan tanpa suami. Untuk membuat Mamamu puas dan mematahkan tuduhannya yang mengatakan Zaki anak hasil perselingkuhan Papa, maka besok Papa akan menikahkanmu dengan Zaki sebab Zaki pun memang bersedia untuk menikahimu. Akan tetapi, pernikahan ini hanya untuk menutupi aib ini saja, Zaki tidak boleh menyentuhmu dulu. Jika kamu sudah melahirkan nanti, maka kalian harus menikah lagi. Walau sebenarnya ... ini keputusan berat, dengan menikahkan anak kandung dengan anak angkat, yang pastinya akan menjadi cibiran masyarakat, apalagi rumor kamu hamil di malam pertama sudah mulai beredar walau tak ada yang membongkarnya,” jelas Papa panjang lebar dengan mengusap wajahnya.
Aku hanya diam. Oh ... dia malu punya anak hamil di malam pertama ternyata. Dikira hanya dia saja yang malu, aku lebih lagi, apalagi semua yang terjadi ini tanpa kukehendaki sama sekali. Kutatap tajam Papa dan Mama yang wajahnya terlihat pura-pura sedih.
“Terserah saja, lakukan apa pun yang kalian mau! Aku saja bisa hamil tanpa kukehendaki dan tanpa tahu siapa yang membuatku hamil, kenapa tak kalian nikahkan saja aku dengan setan!!!” Kuedarkan pandangan dengan geram ke arah Mama dan Papa, ingin kucekik mereka berdua biar mati sekalian. Akan tetapi, Kak Zaki langsung duduk di sampingku, dan menggenggam erat tangan ini.
“Jangan marah-marah terus! Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan! Pa, Ma, Zaki dan Vaulin mau jalan-jalan ke halaman belakang,” ujarnya dengan menggandengku pergi dari hadapan dua manusia labil yang bisanya hanya bertengkar setiap saat itu.
Bersambung ....
Hamil di Malam PertamaBab 8 : Menikah Karena AibHari ini Mama dan Papa akan menikahkanku dengan Kak Zaki, katanya demi menutupi aib. Cih, aib! Dikira hanya mereka saja malu akan omongan orang-orang, aku lebih lagi. Kutatap perut yang kian membuncit, yang membuatku kesesahan untuk bergerak dan membuatku risau akan gerakannya di dalam sana, entah anak siapakah dia? Sungguh menyebalkan sekali takdir ini, seenaknya saja Tuhan membuatku hamil tanpa kuketahui siapa pelakunya.‘Cekrek’Terdengar pintu kamarku dibuka seseorang dan itu ternyata Mama yang sekarang sudah mendapat gelar nenek sihir karena sepak terjangnya sekarang, yang masih saja suka marah tak jelas.“Nak, kamu udah mandi?” tanyanya lembut.“Udah, ada apa?” Kulirik tajam dirinya yang terlihat sudah rapi.Kuraih ponsel yang ada di samping bantal dan membuka game favoritku, yang biasa kumainkan setiap detik jika sedang bosan.“Ko
Hamil di Malam PertamaBab 9 : Peralihan Status“Kak, aku numpang tidur di sini, ya? ‘Kan udah sah juga walau masih drama,” ujarku saat Kak Zaki membuka pintu kamarnya setelah gedoran heboh dariku beberapa saat yang lalu.Mama dan Papa yang ternyata ikutan keluar dari kamar dan menatap aneh ke arah kami, tumben sekali mereka akur? Aku melengos kesal. Malam ini ‘kan malam pertamaku bersama Kak Zaki, walau kami masih masa penyesuaian pergantian status, dari saudara menjadi suami-istri. Lucu, bukan? Emang, aku aja geli menjadi pemeran utama dalam drama aneh ini.Kak Zaki terlihat menghela napas panjang tapi menuntunku masuk juga dengan wajahnya yang letih. Nih suami emang nggak ada akhlak, masa dia tidur di kamarnya sendiri tanpa mengajakku tidur bersamanya. Aku ‘kan bosan kalau cuma main game sendirian di kamarku, kalau mabar mungkin akan semakin seru.“Kak, sini ponselnya kudownlodkan game kesukaan aku! Biar kita
Hamil di Malam PertamaBab 10 : Mulai Menduga-duga“Janinnya sehat, ya, Bu, usianya 28 minggu. Panjangnya 40cm dengan berat satu kilo gram. Posisi kepala juga udah di bawah, udah bagus ini. HPLnya tanggal 10 Agustus, bisa maju dan bisa mundur,” jelas sang dokter yang kemungkinan besar adalah selingkuhan Mas Yuta itu.“Jenis kelaminnya, Dok?” tanya Kak Zaki dengan mata menatap layar monitor di sebelahku.“Hmm ... jenis kelaminnya perempun, Pak,” jawab Dokter itu lagi.“Alhamdulillah, anak kita perempuan nanti, Dek. Jadi kita mesti siapin yang serba pink ini.” Senyum Kak Zaki semakin mengembang saja.Aku hanya melengos kesal, apalagi saat melihat penampakanan bayi manusia di dalam layar monitor dengan metode USG 4 dimensi itu. Ternyata dia bukan anak setan yang tak berwujud, aku semakin sakit hati akan pemilik benih sialan ini. Agghh ... kutepis tangan dokter itu dan menatapnya berang.&ld
Hamil di Malam PertamaBab 11 : Mungkinkah?Dokter Yuta, Dokter Caroline, mungkinkah kedua manusia itu bersekongkol? Mungkinkah semua yang terjadi kepadaku adalah rencananya agar bisa menalakku tepat di malam pertama kami, dan membuat seolah aku yang bersalah. Padahal semua ini hanya akal-akalan dia agar tetap bisa bersama selingkuhannya.Sadis sekali dia kalau memang begitu skenarionya! Kalau dia memang tak mau dijodohkan denganku, lalu kenapa dia setuju dan kami juga sempat berpacaran setahun walau LDR. Katanya dia mencintai ketika pertama kali bertemu, tapi nyatanya apa ... semua itu hanya bulshit saja! Aku benci Yuta, dokter gila perawan itu!Air mata ini mulai membanjiri wajah, mengapa takdirku sepahit ini? Apa salah dan dosaku, Tuhan?! Kembali kupukuli perut ini, gara-gara bayi tak bertuan ini hidupku hancur.“Dek, kamu kenapa? Kok nggak tidur?” Kak Zaki yang langsung tertidur ketika kepalanya jatuh ke bantal tadi terlihat terkejut meliha
Hamil di Malam PertamaBab 12 : Bertemu Teman YutaJalanan lumayan ramai, aku jadi teringat game balap mobil yang baru kudownload tadi pagi. Sepertinya aku harus mencobanya di alam nyata, wuuss ... mobil putih milikku ini mulai melaju kencang dan menyalip kendaraan di depannya hingga banyak bunyi klakson dari arah depan juga belakang. Heran, manusia di bumi ini pada nyebelin. Apa aku harus pindah ke khayangan? Hahah ... menyenangkan sekali, berasa sedang terbang.Kupelankan laju mobil saat melewati taman kota yang di depannya terlihat jejeran aneka gerobak yang menjual jajanan. Ada cilok, cireng, siomay, bakso bakal, pentol kuah, aneka rujak dan aneka es. Wuuuhh ... air liur seakan mau menetes saja. Segera kuparkirkan mobil di dekat para gerobak pedagang itu, lalu menghampiri aneka cemilan yang mendadak membuatku lapar ini.“Bang, bungkus semuanya yang ada itu, satu jenis satu kantong!” ujarku.“Baik, Non!” jawab si ma
Hamil di Malam PertamaBab 13 : Dia Dokternya“Gimana, Kak, Si Yuta ... udah diselidiki belum? Atau aku yang harus turun tangan untuk menyelidiki sendiri?” tanyaku saat Kak Zaki baru keluar dari kamar mandi, dia baru habis mandi tapi sudah langsung berpakaian saja. Belum pernah kulihat dia dengan handuk, dia selalu memasang pakaiannya di kamar mandi.“Kamu nggak perlu turun tangan, Kakak udah menyewa detektif swasta untuk membuntuti dia ke mana-mana dan menyelidiki kasus ini. Kamu tenang-tenang saja di rumah!” Dia meraih baju kokonya di lemari dan memakai sarung juga peci.“Kak Zaki mau sholat magrib dulu, kamu nggak mau ikutan sholat, Dek?” Dia membentang sajadah menghadap kiblat.“Nggak, titip doa saja, semoga pencuri itu cepat tertangkap!” jawabku sambil meraih ponsel Kak Zaki di atas nakas.Kak Zaki memulai sholatnya, sedangkan aku meminjam ponselnya untuk bermain game sebab ponselku lowbet
Hamil di Malam PertamaBab 14 : Isi Hati Yuta“Sialan sekali, pasiennya ternyata wanita murahan itu!” Dokter Yuta bergumam kesal saat keluar dari ruangan bersalin, di mana mantan istrinya berada.Dua perawat di belakang Dokter Yuta saling berbisik, namun tak berani menanyakan apa permasalahan sang dokter dan pasien itu.“Apa kalian bisik-bisik? Segera hubungi Dokter lainnya saja!” Dokter Yuta melangkah menuju ruangannya.Sedangkan dua perawat yang sama-sama memegangi dada karena kaget itu mengekor di belakangnya karena mereka bingung mau menghubungi dokter yang mana sebab malam ini memang jatah Dokter Yuta yang piket.“Ma—maaf ... Dokter, ka—kami harus menghubungi Dokter Caroline atau Dokter Willy? Kalau Dokter Emely ... lagi cuti.” Salah satu perawat itu memberanikan bertanya kepada Dokter Yuta yang memang terkenal galak itu.“Telepo
Hamil di Malam PertamaBab 15 : Princes“Kak, aku tetap tak mau dioperasi. Besok pasti lahit kok nin bayi,” ujar Vaulin memelas, karena ia masih bersikeras tak mau dioperasi. “Kali aja besok kepalanya bisa mutar ke bawah, dia ‘kan emang suka berputar-putar,” sambungnya sambil menangis.“Tapi Papa udah menanda tangani persetujuan untuk kamu dioperasi, Dek.” Zaki mengusap perut Vaulin, ia tak tega melihat istrinya itu menderita kesakitan. Andai ia bisa memindahkan rasa sakit itu ke tubuhnya saja, maka ia rela. Semua demi adik angkat yang memang sudah lama ia cintai itu. hatinya bagai teriris jika melihat Vaulin bersedih.“Pokoknya aku tetap nggak mau, Kak,” rengek Vaulin lagi.“Ya udah, tapi ... kalau besok posisi bayinya masih tetap nggak mutar juga, kamu harus setuju diopeasinya. Emang masih kuat nahan sakitnya? Kakak nggak tega lihat kamu kesakitan, Dek!” Zaki menghembuskan napas pa