MasukKeduanya kemudian memeriksa buku yang dibawa kakek tadi. Felisha membaca judul buku pertama, “Bahasa Rahasia Bunga.” Sampulnya merah marun dengan gambar berbagai bunga yang disatukan. Melewati kata pengantar dan daftar isi, yang dibahas pertama adalah bunga anggrek (orchid) dan makna simbolik bunga tersebut. Bunga anggrek bulan; Kemurnian, Keindahan, Keanggunan. Anggrek Bulan dikenal dengan bunga yang besar dan indah, biasanya berwarna putih atau ungu muda. Dalam budaya Asia, bunga ini melambangkan kemurnian dan keanggunan yang mendalam. 'Hm? Hanya begitu saja? Tidak dijelaskan secara personifikasi bunganya.' Sedangkan Erwin mengambil yang kedua, “Herbarium.” Berisi gambar-gambar bunga yang sudah diawetkan. Merasa tidak membutuhkan ini, dia meraih buku terakhir dari sang kakek. Yang terakhir berjudul “Mitos dan Legenda dari Timur.” Erwin mengerjap pelan, 'Mitos dan legenda, ya? Mungkin saja Hanahaki juga termasuk di dalamny
Felisha menatap sekeliling. Di dalam toko yang nyaris runtuh ini, terdapat rak-rak menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit. Sebagian tampak miring, menandakan sudah terlalu lama bertahan mengemban beban. Erwin mendekat ke salah satu rak dan mengusap punggung buku yang warnanya sudah pudar. Debu menempel di ujung jarinya. Sang kakek terkekeh kecil. “Toko ini sudah berdiri sangat lama. Lebih tua dari umur kalian. Dulu tempat ini hanyalah gudang buku yang tak terpakai. Kupikir, daripada menumpuk dan dilupakan, lebih baik dijual saja,” ujarnya dengan bangga. Felisha menatap langit-langit kayu yang retak. "Ya, tapi apakah tempat ini tidak pernah direnovasi? Bisa berbahaya kalau sampai rubuh kek." Erwin berdeham untuk memperingatkan Felisha untuk menjaga kata-matanya. "Aku minta maaf," kata Felisha sembari membungkuk. Sang kakek malah tertawa, bahunya sedikit bergetar. “Tidak apa-apa, Nak. Ak
Tama ingat dulu pernah ke panti ini bersama papahnya. Waktu itu, dia masih terlalu kecil untuk memahami alasan mereka datang. Yang dia ingat hanya tangan papahnya yang besar menggenggam tangannya erat, dan anak-anak berbaris rapi di halaman, menyanyikan lagu yang kini samar di telinganya. Sekarang, berdiri lagi di depan gerbang yang sama, semuanya tampak lebih kecil dari yang dia bayangkan dulu. Cat temboknya sudah berganti warna, tapi papan namanya masih memajang huruf-huruf besi yang sama. Sedikit berkarat, tapi tidak buruk. "Panti ini tidak banyak berubah." Tama menoleh pada sumber suara. Raisa mendesah. Matanya berbinar penuh kerinduan. "Kau sudah lama tidak kembali ke sini?" tanya Tama. “Ya, sejak aku diminta pindah dari sini.” Raisa tersenyum tipis, lalu menunduk sebentar sebelum melanjutkan, “Dua bulan yang lalu aku bertemu dengan ibunya Brian, tidak sengaja. Dia menanyakan kabarku, lalu tahu kalau aku satu sekolah dengan anaknya.” Dia tertawa kecil. “Begitulah akhirnya d
"Aku hampir ketahuan Raisa." "Apa?" Felisha bangun setengah duduk, dia melepaskan minatnya pada rubik 4x4 yang masih belum dia kuasai selama dua tahun. Sekarang mereka berada di kamar Tama, dengan posisi Felisha yang rebahan di kasur sedangkan pemiliknya duduk tenang di meja belajarnya. Keduanya baru pulang dari rumah sakit untuk mengambil obat Tama, dan memutuskan untuk nongkrong dulu di kamar sang laki-laki. "Aku tadi batuk di depannya," ulang Tama seperti memberi laporan. Felisha bergerak lagi menjadi duduk sempurna. Rubik yang masih berwarna acak di putar dengan kedua tangan. "Lalu bagaimana? Bagaimana responnya?" Tama memutar bola matanya ke atas, mencoba mengingat kembali. "Mungkin khawatir? Aku tidak begitu memperhatikan. Aku langsung berlari ke kamar mandi." "Ya," Gadis itu mengangguk. "Dia tidak mungkin menyusulmu sampai sana," sahutnya santai. Dia melanjutkan lagi mengotak-atik benda persegi tersebut. Keheningan menguasai ruangan. Tapi isi pikiran Tama terlalu ramai s
Tama menyeret langkahnya di sepanjang koridor. Dia tidak bisa melewatkan pertemuan yang sudah diatur oleh Felisha. Dia sudah berjanji, sebenarnya dipaksa. Dia tidak mampu menolak ketika gadis licik itu memasang wajah memelas dan mengatakan hal tentang kepedulian. Dasar ratu drama! Untungnya pertemuan tersebut sudah selesai, dan hasilnya cukup membuat Tama merasa lega namun tidak bagi Felisha. Gadis itu tidak berhenti menggerutu, mengatakan Safira berbohong dan sebagainya. Dia tidak terima kalau ternyata Safira sudah mempunyai pacar dan hubungannya masih sangat baru. "Dia bohong, Tama. Aku tahu dia bohong,” ucapnya yakin. “Pacar? Sejak kapan? Tidak mungkin—" Tama hanya mendengarkan separuh, memanfaatkan kelengahan Felisha untuk mengambil jalan yang berbeda. Erwin sempat melihatnya, namun dia cukup mengerti untuk tidak memberitahu gadis yang masih mengomel itu. "Kau tidak bisa bila
"Kenapa kita bersembunyi di sini?" Mendengar pertanyaan dari Aldo membuat Tama mendesah. Sekarang mereka berada di atap sekolah, tempat terakhir kali mereka gunakan untuk diskusi. Empat hari telah berlalu, dan selama itu juga Tama tidak pulang ke rumah. Aldo berbaik hati memberinya tempat tidur, namun Tama tidak yakin Aldo akan melakukan itu untuk selamanya. Selain Aldo, Tama tidak percaya pada Felisha maupun Erwin. Keduanya pasti akan melaporkan pada mamahnya tentang keberadaannya. Dia sedang tidak ingin diseret pulang seperti sepuluh tahun yang lalu. Sekarang dia sudah cukup besar, sudah menyatakan dengan lantang tentang kemunduran dirinya sebagai pewaris. Aduh, lagi-lagi Tama berbicara tanpa berpikir. Apakah dia sudah dicoret dari kartu keluarga? Tidak mungkin, bagaimana pun dia anak laki-laki satu-satunya. "Mau sampai kapan kau menginap di tempatku?" Pertanyaan lainya dari Aldo berhasil menarik Tama dari







