LOGIN"Aku hampir ketahuan Raisa." "Apa?" Felisha bangun setengah duduk, dia melepaskan minatnya pada rubik 4x4 yang masih belum dia kuasai selama dua tahun. Sekarang mereka berada di kamar Tama, dengan posisi Felisha yang rebahan di kasur sedangkan pemiliknya duduk tenang di meja belajarnya. Keduanya baru pulang dari rumah sakit untuk mengambil obat Tama, dan memutuskan untuk nongkrong dulu di kamar sang laki-laki. "Aku tadi batuk di depannya," ulang Tama seperti memberi laporan. Felisha bergerak lagi menjadi duduk sempurna. Rubik yang masih berwarna acak di putar dengan kedua tangan. "Lalu bagaimana? Bagaimana responnya?" Tama memutar bola matanya ke atas, mencoba mengingat kembali. "Mungkin khawatir? Aku tidak begitu memperhatikan. Aku langsung berlari ke kamar mandi." "Ya," Gadis itu mengangguk. "Dia tidak mungkin menyusulmu sampai sana," sahutnya santai. Dia melanjutkan lagi mengotak-atik benda persegi tersebut. Keheningan menguasai ruangan. Tapi isi pikiran Tama terlalu ramai s
Tama menyeret langkahnya di sepanjang koridor. Dia tidak bisa melewatkan pertemuan yang sudah diatur oleh Felisha. Dia sudah berjanji, sebenarnya dipaksa. Dia tidak mampu menolak ketika gadis licik itu memasang wajah memelas dan mengatakan hal tentang kepedulian. Dasar ratu drama! Untungnya pertemuan tersebut sudah selesai, dan hasilnya cukup membuat Tama merasa lega namun tidak bagi Felisha. Gadis itu tidak berhenti menggerutu, mengatakan Safira berbohong dan sebagainya. Dia tidak terima kalau ternyata Safira sudah mempunyai pacar dan hubungannya masih sangat baru. "Dia bohong, Tama. Aku tahu dia bohong,” ucapnya yakin. “Pacar? Sejak kapan? Tidak mungkin—" Tama hanya mendengarkan separuh, memanfaatkan kelengahan Felisha untuk mengambil jalan yang berbeda. Erwin sempat melihatnya, namun dia cukup mengerti untuk tidak memberitahu gadis yang masih mengomel itu. "Kau tidak bisa bila
"Kenapa kita bersembunyi di sini?" Mendengar pertanyaan dari Aldo membuat Tama mendesah. Sekarang mereka berada di atap sekolah, tempat terakhir kali mereka gunakan untuk diskusi. Empat hari telah berlalu, dan selama itu juga Tama tidak pulang ke rumah. Aldo berbaik hati memberinya tempat tidur, namun Tama tidak yakin Aldo akan melakukan itu untuk selamanya. Selain Aldo, Tama tidak percaya pada Felisha maupun Erwin. Keduanya pasti akan melaporkan pada mamahnya tentang keberadaannya. Dia sedang tidak ingin diseret pulang seperti sepuluh tahun yang lalu. Sekarang dia sudah cukup besar, sudah menyatakan dengan lantang tentang kemunduran dirinya sebagai pewaris. Aduh, lagi-lagi Tama berbicara tanpa berpikir. Apakah dia sudah dicoret dari kartu keluarga? Tidak mungkin, bagaimana pun dia anak laki-laki satu-satunya. "Mau sampai kapan kau menginap di tempatku?" Pertanyaan lainya dari Aldo berhasil menarik Tama dari
Tama sudah lebih baik sekarang. Jelas, obat itu memberi efek yang memuaskan. Sayangnya, persediaannya hanya cukup untuk dua hari lagi. Dia harus kembali meminta pada Dokter Budi, dan alangkah baiknya jika kali ini dia bisa mendapat Lebih banyak daripada sebelumnya. Hari ini dia habiskan bersama teman-teman, terutama Felisha yang masih sangat khawatir. Malam sudah tiba ketika akhirnya Tama berdiri di depan rumahnya. Rumah yang masih sama sepinya ketika dia pergi ke sekolah tadi pagi. Selalu sepi. Langkahnya berhenti saat mendapati papah dan mamahnya sedang duduk di sofa kulit hitam mewah seolah menunggunya. Ada apa? Orang tuanya tidak pernah menunggunya pulang selama ini, apa mereka bangkrut sekarang? Tidak mungkin. Tapi Tama yang akan pertama kali menertawakannya saat itu tiba. "Akhirnya kau pulang." Satu-satunya wanita yang berada di ruangan, mengeluarkan suaranya. Tersenyum tipis, namun sorot matanya tampak goyah.
"Kau," Raisa menggeleng, mengganti kata yang lebih tepat. "Kalian menyembunyikan sesuatu, kan?" tanyanya dengan memandang menyelidik ke arah Aldo. Laki-laki yang ditanya, menelan ludah. Dia sudah menduga pertanyaan ini akan datang setelah Raisa diam selama semenit. "Kenapa kau tiba-tiba menyimpulkan begitu? Apa aku terlihat seperti orang yang bisa menyimpan rahasia?" Aldo terkekeh, namun segera berhenti ketika Raisa tidak bereaksi sama sekali dengan leluconnya. "Jawabannya tidak." Raisa menghentikan langkahnya, membuat Aldo juga ikut berhenti. Sangat disayangkan, padahal ruang kelasnya tidak lebih dari dua meter lagi. Namun dia harus terjebak dengan Raisa yang instingnya sangat kuat. Aldo hanya takut keceplosan! Dia serius ketika mengatakan tidak bisa menjaga rahasia. "Kalian bertingkah aneh, kau pikir aku tidak menyadarinya?" Raisa memicingkan mata. "Aku tidak menyangkal kami memang agak aneh tadi, kita mema
Erwin dan Aldo menghela napas lega ketika mengetahui bahwa Ardi sudah mempunyai pacar dan pemikiran dikepala mereka, ternyata salah besar. "Aku menyukai kapten sebagai idolaku! Ka-kalian gila!" Ardi mengucapkan itu dengan wajah merah padam. Dia langsung pergi bersama pacarnya tanpa memberi kesempatan untuk Aldo dan Erwin meminta maaf. Kesalahpahaman yang konyol. Waktu istirahat hampir habis, perutnya juga sudah kenyang, keduanya sepakat untuk kembali ke kelas. Toh Tama dan Felisha pasti sudah berada di sana. Ngomong-ngomong, Erwin lupa untuk mengirim pesan pada gadis itu tadi, semoga saja telinganya selamat kali ini. Mereka berjalan beriringan sampai melihat Tama yang membungkuk, terbatuk, disamping Raisa yang menatapnya khawatir. Gadis itu terlihat bingung bagaimana harus bertindak karena Tama menunduk begitu dalam dan berusaha untuk menyembunyikan sesuatu dari gadis tersebut. "Tama!"







