Kamar rawat inap terasa dingin oleh AC, dindingnya putih bersih tanpa ornamen, terlalu sunyi sampai rasanya menakutkan. Tama berbaring setengah duduk, selang infus menempel di punggung tangannya. Pandangannya kosong menatap jendela, meski yang terlihat hanya gedung rumah sakit lain di seberang.
Pintu kamar diketuk pelan. Felisha muncul lebih dulu, membawa kantong plastik, lalu disusul Erwin dengan cengiran lebarnya. “Hei,” Felisha menyapa, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. “Kau kelihatan pucat sekali.” Tama hanya mengangkat bahu. “Tentu, aku pasien,” katanya dengan santai. Erwin menarik kursi, kemudian duduk di samping ranjang rumah sakit. “Kapan jadwal operasimu?” tanyanya. Tama menoleh, memperhatikan kedua sahabatnya bergantian. "Lima jam lagi." Erwin hanya mengangguk tanpa menambahkan sepatah kata pun. Sementara itu, Felisha meletakkan kantong kresek yang dibawanya di atas nakas. Pandangannya kemudian tertuju pada kelopak-kelopak bunga yang tercecer di pojok meja. Seketika tenggorokannya terasa mengganjal, seolah menelan sesuatu yang besar, dan matanya mulai perih. "Apa itu?" Tama menjulurkan lehernya untuk mengintip isinya. Felisha menoleh, berusaha tersenyum dan dengan baik hati menunjukan beberapa minuman kotak dan makanan ringan. "Sayang sekali, aku tidak boleh makan sekarang," keluhnya dengan cemberut. Dia sudah harus puasa untuk melakukan operasi. "Tenang saja. Aku membelinya memang bukan untukmu." Felisha tersenyum jahil, senang melihat wajah kekesalan yang dibuat Tama. "Sialan." Tama terbatuk pelan setelah mengumpat. "Sudahlah, kalian. Seperti anak kecil yang selalu bertengkar saat bertemu,” kata Erwin sambil menghela napas panjang. Dia melipat tangan di dada, menatap kedua temannya sambil menggelengkan kepala. Tama menoleh kearahnya dengan alis terangkat. "Perlu kuingatkan, kau yang lebih sering bertengkar dengan Felis," katanya dengan mencibir. Mata Felisha berbinar, jemari lentiknya dengan sengaja menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. Senyum menggoda terbit di bibirnya. “Ah, kalian berdua. Cukup, jangan merebutkanku,” ucapnya sambil mengedipkan mata nakal. Tama sontak memasang wajah muak, mendengus keras seolah benar-benar jengah. Sedangkan Erwin, dengan dramatis berpura-pura muntah, yang dibalas pekikan Felisha yang mengaku terluka harga dirinya. Ketiganya tertawa sampai pintu terbuka lagi, menampilkan Aldo, Raisa dan Andin. “Kalian bersenang-senang rupanya,” komentar Raisa. Dia dan Andin melangkah masuk membiarkan Aldo yang masih berdiri di ambang pintu dengan kedua alis terangkat. Tama menoleh dengan senyum miring khasnya. Dia kembali bersandar pada bantal dan berkata, “Sungguh mengharukan,” ujarnya, “Aku bahkan belum naik ke meja operasi, tapi sudah banyak yang mengkhawatirkanku." Tidak. Tama tidak benar-benar terharu, semua orang di ruangan juga tau itu. "Aku ingin melihatmu sebelum hal buruk terjadi padamu," sahut Aldo seraya menutup pintu. Tama mendengus pelan, menatapnya seolah tersinggung. “Kau benar-benar pandai memilih kata, Aldo. Sekarang aku terdengar seperti pasien sekarat.” Kalimatnya dibuntuti batuk-batuk panjang, dan kering seperti biasanya. “Sebentar lagi kau akan melakukan operasi, bicaralah yang baik-baik saja,” ujar Andin sambil maju selangkah. Dia meletakkan pastel berisi buah-buahan di meja, berdampingan dengan makanan dan minuman yang sudah lebih dulu dibawa Felisha. “Syukurlah, aku memiliki teman yang normal.” Tama tersenyum lebar saat mengatakannya. “Tetap saja kau tidak boleh memakannya,” sahut Felisha dengan susu cokelat di tangannya. Dia melirik ke arah yang lain, tersenyum "Hei, kalian juga boleh ambil. Nikmatilah." "Kurang ajar sekali. Enyahlah. Kau sama sekali tidak membantu kondisi mentalku," gumam Tama menyipitkan mata pada Felisha yang sedang menertawainya “Kau benar-benar ingin melakukan operasi ini?” Pertanyaan Raisa membuat ruangan menjadi hening. Tama menoleh kearahnya. "Ya," jawabnya tegas. "Aku harus menyingkirkan bunga ini secepatnya." Tama melirik ceceran kelopak bunga yang dikumpulkannya. "Meski dengan efek samping yang seperti itu?" tanya Raisa lagi, lebih menekankan. Sejenak, keduanya saling menatap dalam diam. “Efek samping?” Felisha akhirnya membuka suara, keningnya berkerut. “Memangnya ada efek sampingnya?” Tidak ada yang menjawab. Yang lain hanya saling pandang, gelengan kepala mereka menunjukkan kebingungan yang sama. “Aku sudah memikirkannya dengan matang,” ujar Tama mengangkat bahu. “Lagipula, efek samping itu tidak akan menggangguku dalam keseharianku.” Felisha tidak puas. Dia bertanya ulang sedikit keras. "Jawab aku, apa efek sampingnya?" Hening sesaat, hingga akhirnya Raisa angkat suara. Dia berbicara dengan pelan, seakan memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Hanahaki terjadi ketika seseorang menyimpan cinta begitu dalam hingga perasaan itu bertransformasi menjadi bunga yang tumbuh di dalam paru-paru inangnya. Bunga-bunga itu bisa memangsa tubuh perlahan." Raisa memberi jeda, menelan ludah. Namun Felisha tidak sabar dan langsung menyela. "Ya, kami sudah mengetahui tentang hal itu, bisakah langsung ke point-nya saja?" "Felis, dengarkan dulu penjelasannya," kata Aldo. Erwin menepuk bahunya untuk menenangkan. Felisha menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. Andin hanya berdiri di tempat, matanya bergantian memperhatikan satu per satu dari mereka. “Sebenarnya tidak penting,” Tama mencoba menghentikan apa yang akan dikatakan Raisa, wajahnya tetap menyunggingkan senyum tipis. “Tidak. Meskipun tidak penting, kami harus tahu. Lanjutkan, Raisa,” sahut Felisha membuat Tama membuang wajah ke samping. Raisa menarik napas sebelum menjelaskan. "Satu-satunya cara efektif untuk menghilangkannya adalah dengan operasi, mencabut bunga tersebut secara paksa." Tatapan Raisa meredup. “Namun, konsekuensinya jelas. Bersama dengan hilangnya bunga, cinta yang semula bersemayam pun ikut lenyap. Setelah itu, sang penderita tidak akan mampu merasakan cinta lagi." Suara tercekat terdengar di ruangan. Raisa menunduk sebentar sebelum menambahkan, "Aku membacanya dalam jurnal penelitian tentang kasus hanahaki."Felisha melangkah maju. "Tama, kau sudah tau efek sampingnya?" Nada bicaranya lebih seperti pernyataan. Dia terdiam sejenak mencerna sesuatu. "Kau sudah tau tentang itu, dan kau masih akan melakukan operasi ini?" suaranya bergetar, jarinya terangkat untuk mencengkeram kedua bahu Tama dengan begitu kuat. Tama mengalihkan pandangan. Dia enggan menatap siapapun di ruangan itu. Mata kelamnya hanya tertuju pada dinding rumah sakit yang putih dan bisu. "Itu tidak akan berguna untukku," katanya datar tanpa adanya emosi sedikitpun yang ditunjukkan. Felisha tersentak. "Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta," bisiknya lirih. “Ada.” Kali ini Tama menoleh. Tatapannya tajam. “Aku.” Dia melanjutkan dengan nada getir. “Aku bahkan membencinya. Dan aku masih tidak percaya aku berada di sini dan melakukan operasi sebentar lagi, hanya karena 'cinta' yang tidak aku punya dari awal." "Omong kosong." Felisha tert
Kamar rawat inap terasa dingin oleh AC, dindingnya putih bersih tanpa ornamen, terlalu sunyi sampai rasanya menakutkan. Tama berbaring setengah duduk, selang infus menempel di punggung tangannya. Pandangannya kosong menatap jendela, meski yang terlihat hanya gedung rumah sakit lain di seberang.Pintu kamar diketuk pelan. Felisha muncul lebih dulu, membawa kantong plastik, lalu disusul Erwin dengan cengiran lebarnya.“Hei,” Felisha menyapa, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. “Kau kelihatan pucat sekali.”Tama hanya mengangkat bahu. “Tentu, aku pasien,” katanya dengan santai.Erwin menarik kursi, kemudian duduk di samping ranjang rumah sakit. “Kapan jadwal operasimu?” tanyanya.Tama menoleh, memperhatikan kedua sahabatnya bergantian. "Lima jam lagi."Erwin hanya mengangguk tanpa menambahkan sepatah kata pun. Sementara itu, Felisha meletakkan kantong kresek yang dibawanya di atas nakas. Pandangannya kemudian tertuju pada kelopak-kelopak bunga yang tercecer di pojok meja. Se
Tama merasa tidak sehat.Belum dua puluh menit, namun sudah terengah-engah ketika mengikuti porsi latihan biasa. Tama yakin dia sedang dalam kondisi paling menyedihkan sepanjang hidupnya, dan dia mungkin takkan pernah pulih dari kondisi terkutuk yang mengerikan ini. Seandainya parasit di organ pernafasannya tidak pernah ada...Sekarang Tama menyebutnya sebagai parasit. Sebutan paling tepat untuk sesuatu yang hidup menempel dan merugikan inangnya."Istirahatlah, kau terlihat pucat." Pak Burhan menyarankan. Tama menurut. Dia menepi sambil terbatuk-batuk. Menyembunyikan kelopak bunga di tangannya."Yang lain berlari keliling lapangan sepuluh putaran!" seru Pak Burhan, disambut keluhan dan protes dari anak-anak lainnya. Aldo mengerutkan kening ketika menoleh ke arah Tama, lalu akhirnya ikut berlari menyusul teman-temannya."Kau akan dicap pilih kasih oleh mereka." Tama menutup botol minumnya yang tersisa setengah.Pak Burhan hanya mengangkat bahu, tampak acuh. “Itu risiko menjadi guru yan
“Apa maksudmu mengatakan itu?” Tama memekik, berdiri dari duduknya dan memberikan tatapan tajam pada Felisha. “Jangan membuatnya salah paham.”Felisha balas menatap, namun tatapannya sedikit goyah dan getir.Keadaan menjadi tegang. Erwin mendekati Felisha sedangkan Aldo menjaga Tama agar tidak lepas kendali.Di tengah keadaan yang tidak nyaman ini, Raisa mencoba keluar dari kebingungan. “Eh, adakah yang mau menjelaskan sesuatu padaku?”Bel masuk berbunyi dan guru pelajaran pertama sudah di depan pintu. Mereka memutuskan untuk berhenti dan kembali ke bangku masing-masing mengabaikan tatapan beberapa teman sekelas mereka yang mulai penasaran.Namun bukan berarti Tama bisa menghindar selamanya. Tepat saat bel istirahat berbunyi, mereka memutuskan untuk menyeret Tama dan melanjutkan pembicaraan tadi di tempat sepi dan tidak mencolok, seperti di sudut ruang bagian belakang perpustakaan.Tama menyadari bahwa ada tambahan orang dan dia curiga seiring berjalannya waktu seluruh sekolah akan ta
Rumor menyebar lebih cepat daripada angin.Tama setuju dengan pepatah tersebut.Tidak tau dimulai dari siapa, namun rumor tentang ia yang telah ditolak seorang gadis dan mendapat kutukan dari dewa cinta dengan batuk berbunga telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.Rumornya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak benar.Tama tidak pernah mengerti orang-orang yang gemar mencampuri urusan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau Tama merupakan idola sekolah dan banyak yang menaruh atensi padanya, tak heran rumor sekecil apapun akan langsung membesar dengan hitungan detik."Tama!"Merasa dipanggil namanya, ia menoleh. Seorang gadis berjalan ke arahnya, dia melambaikan tangan pada Tama. Laki-laki itu menunggu sampai gadis tersebut lebih dekat untuk menyapanya kembali, "Raisa.""Bagaimana keadaanmu?""Seperti yang terlihat, aku baik.""Rumor tidak berbicara begitu."Tama terkekeh, “Rumor hanyalah rumor.” Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, memilih berdiri tenang di tengah ta
Tama menatap tajam pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih. Sama sekali mengabaikan teguran kakaknya yang berada disampingnya."Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak menyukai, mencintai, atau merayu siapa pun. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti itu."Setelah mendengar dari dokter secara langsung tentang kondisi kesehatannya, Tama masih tidak mau percaya. Itu tidak masuk akal.Serius, Hanahaki? Dari segala jenis penyakit lainnya?Apakah dia sedang bermimpi sekarang?Sang dokter menghela napas. Wajahnya masih tenang, sudah terbiasa menghadapi pasien keras kepala seperti Tama. "Bahkan jika kau menyimpan perasaan pada seorang pria—”"Tidak siapa pun, berarti termasuk seorang pria," sahut Tama, menekankan setiap kata.Tama selalu punya sifat pemarah. Pada dasarnya, itu sifat utamanya. Bukan berarti dia bangga akan hal itu, tapi keadaan saat ini benar-benar menguras emosinya.Wanita di sebelah Tama mengusap punggungnya perlahan. Sejujurnya