Tama merasa tidak sehat.
Belum dua puluh menit, namun sudah terengah-engah ketika mengikuti porsi latihan biasa. Tama yakin dia sedang dalam kondisi paling menyedihkan sepanjang hidupnya, dan dia mungkin takkan pernah pulih dari kondisi terkutuk yang mengerikan ini. Seandainya parasit di organ pernafasannya tidak pernah ada... Sekarang Tama menyebutnya sebagai parasit. Sebutan paling tepat untuk sesuatu yang hidup menempel dan merugikan inangnya. "Istirahatlah, kau terlihat pucat." Pak Burhan menyarankan. Tama menurut. Dia menepi sambil terbatuk-batuk. Menyembunyikan kelopak bunga di tangannya. "Yang lain berlari keliling lapangan sepuluh putaran!" seru Pak Burhan, disambut keluhan dan protes dari anak-anak lainnya. Aldo mengerutkan kening ketika menoleh ke arah Tama, lalu akhirnya ikut berlari menyusul teman-temannya. "Kau akan dicap pilih kasih oleh mereka." Tama menutup botol minumnya yang tersisa setengah. Pak Burhan hanya mengangkat bahu, tampak acuh. “Itu risiko menjadi guru yang hebat." Dia tertawa. "Tapi sebenarnya, apa penyakitmu? Kau selalu pucat dan mudah lelah.” Tama menimbang sesuatu dalam kepalanya. “Aku sakit keras.” Pak Burhan terbelalak. “Serius?” Tama terkekeh pelan, "Tidak. Tapi aku akan melakukan operasi. Untuk bulan ini, bolehkah aku melewatkan latihan yang terlalu berat?” "Ya, jaga kesehatanmu. Kau masih muda tapi harus dioperasi. Tetap semangat! Tumormu akan hilang nak." Pria paruh baya itu tersenyum sambil menepuk-nepuk punggungnya. Alis Tama terangkat mendengar perkataan itu. Dia menatap pelatihnya lekat-lekat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pak Burhan berkedip bingung. “Apa? Bukan tumor? Lalu, sebenarnya apa penyakitmu?” Tama menggeleng. "Kau benar pak. Itu tumor." *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿ "Aku masih penasaran, siapa gadis yang disukai Tama?" ucap Felisha sambil melangkah di trotoar di sisi Erwin. Tangannya menggenggam tali ransel yang tergantung di punggungnya, seolah menahan rasa ingin tahunya agar tidak tumpah begitu saja. Pandangannya sesekali menyapu jalanan, namun matanya lebih sering melirik ke arah Erwin, menunggu respon. “Apakah dia sudah mengaku lalu ditolak? Itu sebabnya dia malu untuk bilang pada kita?” lanjutnya, penasaran dan sedikit prihatin. Erwin menunduk untuk melihat gadis itu. "Kenapa kau sangat penasaran?" tanyanya. Felisha mendesah pelan. "Aku tidak pernah melihatnya melirik gadis manapun, aku hampir mengira dia aseksual?" Ujung kalimatnya diucapkan setengah berbisik, sebelum dia menghela napas panjang. “Kasihan, dia menyukai seseorang, namun justru itulah yang membuatnya menderita.” Erwin diam sejenak, langkah kakinya melambat seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun kalimat Felisha yang meluncur berikutnya membuatnya tak tahan menahan senyum geli. “Oh, dia tidak menyukaiku, kan?” Felisha menoleh dengan dagu terangkat sedikit, ekspresi terkejut tercetak di wajahnya mendengar ucapannya sendiri. "Aku tau aku cantik, imut dan mudah disukai, tapi karena Tama adalah sahabatku, mungkin aku akan mempertimbangkannya kalau dia mau mengaku." Erwin tidak bisa menahan tawanya. "Coba saja kau tidak pesek, kurus, dan pendek, dia mungkin—Agh!" Felisha sudah lebih dulu menendang tulang keringnya, lalu melengos dan berjalan lebih dulu meninggalkannya. Erwin masih berdiri sambil meringis, kedua tangannya sibuk mengusap kakinya yang baru saja menjadi korban kekerasan. "Hei, tunggu aku!" *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿ Tama terbatuk lagi, kali ini empat kelopak keluar bersamaan. Dadanya terasa terbakar, tenggorokannya pun perih seakan disayat. Dia butuh sesuatu yang dingin untuk meredakannya. Begitu membuka pintu rumah, langkahnya terus berlanjut tanpa sempat mengamati apakah ada seseorang di ruang tamu. "Aku tidak menyangka kau benar-benar mengidap sesuatu penyakit semacam itu. Hanahaki? Aku bahkan baru pernah mendengarnya." Suara berat dan dingin itu memotong keheningan, membuat langkah Tama terhenti. Dia menoleh, dan menemukan Indra sedang duduk di sofa kulit dengan kaki yang disilangkan. "Tapi setidaknya kau berpikir secara rasional dan tidak bersikap dramatis dengan mempertahankan cintamu,” ucap Indra lagi. Tatapan tajam yang dimiliki papahnya membuat bulu kuduk Tama meremang. Indra bangkit dari duduknya, langkahnya tenang namun sarat wibawa, lalu mendekati Tama. “Kau akan segera dioperasi.” "Itu juga yang aku inginkan," jawab Tama pelan. “Bagus.” Indra mengangguk kecil. “Emosimu hanya akan menghambatmu untuk berkembang. Sekarang berhentilah menjadi atlet dan belajarlah lebih giat. Peringkatmu turun satu.” Kening Tama berkerut, “A-aku, aku tidak bisa.” Membayangkan berhenti melakukan sesuatu yang selama ini menjadi bagian dari dirinya membuat dada Tama terasa sesak. Sorot mata Indra menajam. “Kaulah yang akan menjadi pewarisku. Menjadi atlet tidak terlalu berguna untuk masa depanmu.” Indra tidak meninggikan nada suaranya, namun dia tau cara menekan putranya. "A-aku akan berhenti ketika kelas tiga." Tama menatap papahnya dengan memohon, berharap mendapat sedikit kelonggaran. "Baiklah. Tapi kalau peringkatmu turun lagi, jangan harap kau bisa memegang bola lagi." "Aku mengerti." Tama menunduk. Senyum tipis terukir di wajah Indra. Tangannya terulur, mengusap rambut gelap Tama. "Aku tau kau tidak akan mengecewakanku." Lalu pria itu berlalu, tanpa menyadari sorot tajam di mata Tama dan kedua tangannya yang mengepal kuat di sisi tubuhnya. Tama tak bisa menyangkalnya. Masa depannya telah ditentukan sejak dia lahir, dan kini hal itu justru menakutinya. Itu bukan yang dia inginkan. Orang tuanya memintanya berjalan tanpa berpikir menyusuri jalan setapak yang telah mereka buat. Itu adalah jalan yang nyaman, Tama mengakuinya. Namun dia tak mau memakai tali kekang papahnya, meskipun bertahtakan berlian dan emas. Penjara yang terbuat dari permata langka tetaplah penjara.Felisha melangkah maju. "Tama, kau sudah tau efek sampingnya?" Nada bicaranya lebih seperti pernyataan. Dia terdiam sejenak mencerna sesuatu. "Kau sudah tau tentang itu, dan kau masih akan melakukan operasi ini?" suaranya bergetar, jarinya terangkat untuk mencengkeram kedua bahu Tama dengan begitu kuat. Tama mengalihkan pandangan. Dia enggan menatap siapapun di ruangan itu. Mata kelamnya hanya tertuju pada dinding rumah sakit yang putih dan bisu. "Itu tidak akan berguna untukku," katanya datar tanpa adanya emosi sedikitpun yang ditunjukkan. Felisha tersentak. "Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta," bisiknya lirih. “Ada.” Kali ini Tama menoleh. Tatapannya tajam. “Aku.” Dia melanjutkan dengan nada getir. “Aku bahkan membencinya. Dan aku masih tidak percaya aku berada di sini dan melakukan operasi sebentar lagi, hanya karena 'cinta' yang tidak aku punya dari awal." "Omong kosong." Felisha tert
Kamar rawat inap terasa dingin oleh AC, dindingnya putih bersih tanpa ornamen, terlalu sunyi sampai rasanya menakutkan. Tama berbaring setengah duduk, selang infus menempel di punggung tangannya. Pandangannya kosong menatap jendela, meski yang terlihat hanya gedung rumah sakit lain di seberang.Pintu kamar diketuk pelan. Felisha muncul lebih dulu, membawa kantong plastik, lalu disusul Erwin dengan cengiran lebarnya.“Hei,” Felisha menyapa, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. “Kau kelihatan pucat sekali.”Tama hanya mengangkat bahu. “Tentu, aku pasien,” katanya dengan santai.Erwin menarik kursi, kemudian duduk di samping ranjang rumah sakit. “Kapan jadwal operasimu?” tanyanya.Tama menoleh, memperhatikan kedua sahabatnya bergantian. "Lima jam lagi."Erwin hanya mengangguk tanpa menambahkan sepatah kata pun. Sementara itu, Felisha meletakkan kantong kresek yang dibawanya di atas nakas. Pandangannya kemudian tertuju pada kelopak-kelopak bunga yang tercecer di pojok meja. Se
Tama merasa tidak sehat.Belum dua puluh menit, namun sudah terengah-engah ketika mengikuti porsi latihan biasa. Tama yakin dia sedang dalam kondisi paling menyedihkan sepanjang hidupnya, dan dia mungkin takkan pernah pulih dari kondisi terkutuk yang mengerikan ini. Seandainya parasit di organ pernafasannya tidak pernah ada...Sekarang Tama menyebutnya sebagai parasit. Sebutan paling tepat untuk sesuatu yang hidup menempel dan merugikan inangnya."Istirahatlah, kau terlihat pucat." Pak Burhan menyarankan. Tama menurut. Dia menepi sambil terbatuk-batuk. Menyembunyikan kelopak bunga di tangannya."Yang lain berlari keliling lapangan sepuluh putaran!" seru Pak Burhan, disambut keluhan dan protes dari anak-anak lainnya. Aldo mengerutkan kening ketika menoleh ke arah Tama, lalu akhirnya ikut berlari menyusul teman-temannya."Kau akan dicap pilih kasih oleh mereka." Tama menutup botol minumnya yang tersisa setengah.Pak Burhan hanya mengangkat bahu, tampak acuh. “Itu risiko menjadi guru yan
“Apa maksudmu mengatakan itu?” Tama memekik, berdiri dari duduknya dan memberikan tatapan tajam pada Felisha. “Jangan membuatnya salah paham.”Felisha balas menatap, namun tatapannya sedikit goyah dan getir.Keadaan menjadi tegang. Erwin mendekati Felisha sedangkan Aldo menjaga Tama agar tidak lepas kendali.Di tengah keadaan yang tidak nyaman ini, Raisa mencoba keluar dari kebingungan. “Eh, adakah yang mau menjelaskan sesuatu padaku?”Bel masuk berbunyi dan guru pelajaran pertama sudah di depan pintu. Mereka memutuskan untuk berhenti dan kembali ke bangku masing-masing mengabaikan tatapan beberapa teman sekelas mereka yang mulai penasaran.Namun bukan berarti Tama bisa menghindar selamanya. Tepat saat bel istirahat berbunyi, mereka memutuskan untuk menyeret Tama dan melanjutkan pembicaraan tadi di tempat sepi dan tidak mencolok, seperti di sudut ruang bagian belakang perpustakaan.Tama menyadari bahwa ada tambahan orang dan dia curiga seiring berjalannya waktu seluruh sekolah akan ta
Rumor menyebar lebih cepat daripada angin.Tama setuju dengan pepatah tersebut.Tidak tau dimulai dari siapa, namun rumor tentang ia yang telah ditolak seorang gadis dan mendapat kutukan dari dewa cinta dengan batuk berbunga telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.Rumornya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak benar.Tama tidak pernah mengerti orang-orang yang gemar mencampuri urusan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau Tama merupakan idola sekolah dan banyak yang menaruh atensi padanya, tak heran rumor sekecil apapun akan langsung membesar dengan hitungan detik."Tama!"Merasa dipanggil namanya, ia menoleh. Seorang gadis berjalan ke arahnya, dia melambaikan tangan pada Tama. Laki-laki itu menunggu sampai gadis tersebut lebih dekat untuk menyapanya kembali, "Raisa.""Bagaimana keadaanmu?""Seperti yang terlihat, aku baik.""Rumor tidak berbicara begitu."Tama terkekeh, “Rumor hanyalah rumor.” Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, memilih berdiri tenang di tengah ta
Tama menatap tajam pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih. Sama sekali mengabaikan teguran kakaknya yang berada disampingnya."Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak menyukai, mencintai, atau merayu siapa pun. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti itu."Setelah mendengar dari dokter secara langsung tentang kondisi kesehatannya, Tama masih tidak mau percaya. Itu tidak masuk akal.Serius, Hanahaki? Dari segala jenis penyakit lainnya?Apakah dia sedang bermimpi sekarang?Sang dokter menghela napas. Wajahnya masih tenang, sudah terbiasa menghadapi pasien keras kepala seperti Tama. "Bahkan jika kau menyimpan perasaan pada seorang pria—”"Tidak siapa pun, berarti termasuk seorang pria," sahut Tama, menekankan setiap kata.Tama selalu punya sifat pemarah. Pada dasarnya, itu sifat utamanya. Bukan berarti dia bangga akan hal itu, tapi keadaan saat ini benar-benar menguras emosinya.Wanita di sebelah Tama mengusap punggungnya perlahan. Sejujurnya